Saat ini, En Jio tidak dapat menolak kenyataan, jika semua kejadian itu termasuk dari aksi yang dia lakukan, ya, meski tidak semuanya benar.Beberapa kali dia melirik kearah Ling berada, lalu dengan cepat dia alihkan, seakan merasa malu untuk mengakui jika semua kejadian itu akibat ulahnya.Namun dengan sikapnya itu, membuat Heng Juesha menyadari tentang semua yang terjadi, ya, bagi dirinya hal itu tidak mungkin dapat terjadi, mengingat En Jio tidak akan bertindak terlalu berlebihan.“Aku mengerti, lalu bagaimana dengan yang lain?” tanya pria itu sembari mengangkat alis berusaha mencairkan suasana.Untuk saat ini, En Jio seakan merasa bingung ketika harus menjawab pertanyaan dari pria itu, yang membuatnya sedikit menggaruk kepala lalu berkata, “Entahlah, tetapi-“ ujarnya.Mendengar hal tersebut, membuat Heng kembali mengangkat alisnya, “Apa maksudnya En?” tanya pria itu.Namun belum sempat En Jio menanggapi pertanyaan pria itu, secara tiba-tiba datang seseorang yang menggunakan jurus
Di sisi lain Ling bersama Heng Juesha telah berjalan cukup jauh dari keberadaaan mereka sebelumnya, tetapi hingga sampai saat ini, mereka belum menemukan jejak dari kelompok aliran hitam yang di duga kuat masih berada di sekitar sana.Mereka berdua bahkan telah memasuki gubuk satu demi satu, berharap masih ada yang bisa di selamatkan, akan tetapi pada akhirnya mereka tidak menemukan seorang pun yang berada di sana.Dengan temuan mereka itu, Ling dapat menyimpulkan, jika mayat yang sempat mereka jumpai beberapa saat lalu, pasti merupakan orang-orang yang pernah tinggal di gubuk tersebut.Mendengar pendapat yang di lontarkan dari mulut pemuda itu, membuat Heng Juesha menanggapinya, “Kau benar Ling!”Setelah Heng berbicara, barulah pemuda itu berkata kembali, sembari menoleh kearah kanan,“Sebaiknya kita kembali, Guru!”Heng Juesha sempat ingin melanjutkan pencarian mereka tersebut, akan tetapi mengingat mereka tidak memiliki cukup waktu, sehingga ia hanya mengangguk pelan ketika Ling mel
Dua orang pria itu ikut bereaksi, ketika melihat Ling menemukan seseorang yang masih bernyawa, lalu tanpa menunggu aba-aba keduanya lantas mendekat ke arah Ling berada.Rasa cemas ikut menghampiri dua orang tersebut dan berharap masih ada beberapa di antaranya yang masih bernyawa sehingga dapat di selamatkan.Pada saat mereka tiba di tempat itu, En Jio dan Heng Juesha langsung dapat mengenalinya, ya, pria itu adalah salah satu sepuh yang berhasil selamat meski terdapat banyak luka di tubuhnya.Tangan pria itu menggenggam erat tangan milik pemuda yang berada di sisinya, perlahan mulut pria tersebut mulai terbuka kembali diikuti dengan getaran dari kedua bibirnya, “A.. aku-“ ucapnya terputus,”Minta maaf!”Meski satu tangannya sedang berpegangan pada pemuda tersebut, akan tetapi kedua bola matanya menatap En Jio dan Heng Juesha secara bergantian.Nampak jelas di wajah pria tua itu, rasa penyesalan karena tidak ikut serta bertempur bersama mereka beberapa saat yang lalu, kini yang dia ras
Saat ini, pria itu sedang terkejut ketika melihat betapa banyaknya orang yang telah mati dan menutup pintu tempat sayembara berada.Ya, keterkejutan itu bahkan hampir membuat Guan Ping hampir jatuh pingsan, karena tidak kuasa menahan sesak di dadanya.Pandangan matanya mulai memudar, ketika ia berusah untuk tetap melangkahkan kaki menuju tempat tersebut, hingga langkah kaki yang perlahan itu berhasil tiba tepat di hadapan semua mayat yang menggunung.“Siapa yang telah melakukan ini?” ucapnya.Pada saat yang sama, kedua bola matanya menatap kepada tumpukan mayat itu, hingga akhirnya ia mulai menyadari, jika semua mayat manusia tersebut tidak satupun dari mereka yang dia kenali.Nafasnya yang semula berat, perlahan mulai membaik, ketika dia mengetahui jika semua mayat itu berasal dari kelompok aliran hitam, bukan orang-orang yang berasal dari desa.Tatapan matanya yang semua mulai kosong, kini kembali terang, seterang harapan yang dia miliki saat ini, hingga di saat yang sama, terdengan
Di sisi lain, dua kelompok yang bertugas mengumpulkan mayat kelompok aliran hitam serta mengumpulkan orang-orang yang terluka, hampir menyelesaikan tugas mereka.Rasa lelah dalam menjalankan tugas seakan tidak mereka rasakan, hingga pada saatnya mereka telah mengumupulkan semua orang yang telah tewas di satu halaman terbuka, tepat di salah satu rumah penduduk.Tempat yang biasa digunakan oleh orang-orang desa untuk menjemur hasil ladang mereka yang kini berubah sebagai tempat terkumpulnya semua mayat dari orang yang telah merusak kedamaian di desa.Dari tempat tersebut tampak seorang pria tengah mengusap wajahnya menggunakan tangan, berusaha untuk tidak terlihat kelelahan, “Beristirahatlah, kami akan meneruskannya!” ujar salah seorang pria lainnya.Pria itu tampak tidak memperdulikan rekannya barusan, ketika di peringatkan untuk beristirahat, tatapannya kosong, seakan sedang memikirkan sesuatu, “Tidak, aku tidak ingin beristirahat..” sahutnya.Mendengar hal tersebut, rekannya hanya da
Beberapa saat berlalu, ketika pekerjaan hampir semuanya di selesaikan, ya, meski begitu sulit, tetapi semua berjalan dengan cukup sempurna.Saat ini, kelompok yang terbagi tugas ketika menyampaikan pesan kepada desa lain, telah kembali dengan perwakilan desa tersebut untuk menjemput semua mayat yang telah tumbang dalam pertempuran itu.Nyala api cukup besar berada tepat di halaman yang cukup luas yang biasa di gunakan oleh orang-orang desa sebagai tempat berlatih, kini berubah menjadi sebuah tempat upacara penghormatan bagi mereka yang telah pergi meninggalkan dunia yang fana ini.Ya, hal itu di lakukan oleh mereka untuk mengenang jasa para pejuang yang telah rela mengorbankan nyawa mereka untuk kedamaian desa.Meski tidak sedikit orang yang mati itu bukan dari para pejuang, melainkan hanya rakyat biasa, akan tetapi dalam hal ini, derajat mereka di anggap sama, karena bukan tidak mungkin, orang yang telah mati itu akan melakukan sebuah perlawanan sebelum ajal menjemputnya.Pada malam
Waktu berlalu begitu cepat, tidak terasa sinar pagi mulai menyingsing dari upuk timur hingga terlihat ke permukaan, diikuti dengan hembusan angin yang berlalu pelan, semakin membuat sejuknya suasana pagi itu.Kicau burung-burung kecil semakin menambah indahnya suana alam, tapi tampaknya hal tersebut tidak membuat orang-orang merasa bahagia, seakan enggan menolak datangnya pagi.Namun mau tidak mau mereka harus melalui hari demi hari, untuk melanjutkan keberlangsungan hidup mereka, sehingga terpaksa membuat mereka bergerak meski hal itu tidak ingin di lakukan.Dari arah timur terlihat seorang wanita muda yang berjalan perlahan, mendekati seorang pria yang tampak merenung di dekat sebuah kolam kecil, seakan sedang meratapi nasib.Dengan langkah gontai, wanita itu tampak memutar kedua jari telunjuknya lalu berhenti tepat di arah samping pria itu, sebelum berkata, “Apa yang sedang kau fikirkan?” tanya wanita tersebut.Saat ini wanita itu seakan sedang menanti jawaban atas pertanyaan yang
Saat ini, situasi di dalam tahanan tersebut menjadi sangat dingin, ketika En Jio mulai bergerak ke arah salah satu ruangan yang di dalamnya terdapat seseorang tengah di ikat oleh satu utas tambang pada kedua tangannya.Dengan tubuh yang masih di penuhi oleh luka, pria itu hanya bisa tertunduk seakan tidak memiliki semangat untuk bertahan hidup, akan tetapi hal tersebut tidak seperti yang di lihat oleh mata kepala.Meski saat ia terlihat tidak memiliki cukup tenaga, akan tetapi hal itu bahkan tidak menjamin dia tidak akan melakukan perlawanan, terlebih saat ini, En Jio telah memperingatkan kepada para penjaga untuk mengambil jarak cukup jauh.Perlahan En Jio mendekati sel tahanan tersebut, lalu menatap pria itu beberapa saat sebelum akhirnya berkata, “Tidak aku sangka, setelah sekian lama, akhirnya kita akan bertemu..!!” ujar En Jio.Namun setelah En Jio berkata demikian, rupanya tidak membuat pria itu bereaksi, melainkan hanya menggerakkan tangan beberapa kali seakan sedang memikirkan
Ling terdiam dalam keheningan, tatapannya masih terpaku pada tempat di mana sosok berjubah putih itu menghilang. Lengkukup dan En Jio berdiri di sisinya, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Namun, pertanyaan yang menggantung di udara tidak segera menemukan jawaban."Siapa dia?" En Jio akhirnya memecah kesunyian, suaranya bergetar lemah. "Penjaga Kuil Tianlong? Aku tidak pernah mendengar tentang sosok seperti itu..."Lengkukup, yang biasanya tenang dan penuh perhitungan, hanya menggelengkan kepala. "Dia muncul tepat saat kita membutuhkannya. Entah siapa atau apa tujuannya, kita sebaiknya bersyukur."Ling menghela napas panjang, tubuhnya masih lelah setelah serangan besar yang hampir menghabisi kekuatannya. "Kita harus segera pergi dari sini. Tempat ini penuh dengan kegelapan, dan aku merasakan sesuatu yang tidak beres."Mereka bertiga mengangkat diri, meskipun tubuh mereka masih t
Sima Yan berdiri tegak di hadapan Ling, Lengkukup, dan En Jio. Aura kegelapan yang memancar dari tubuhnya membuat udara di sekitar mereka terasa berat. Pedangnya yang besar dan hitam berkilauan dengan cahaya merah yang jahat, menandakan kekuatan yang luar biasa.Ling mengepalkan tangannya lebih kuat di sekitar gagang pedangnya. Napasnya terasa berat, dan dadanya bergemuruh dengan adrenalin. Dia tahu ini bukan hanya pertarungan melawan seorang musuh yang kuat, tapi juga perjuangan untuk tetap hidup."Kita tidak bisa membiarkan dia menang!" desis Ling dengan penuh semangat, meski dia tahu dalam hatinya bahwa mereka mungkin tidak akan bertahan dari pertarungan ini.Lengkukup berdiri di sampingnya, menatap dingin ke arah Sima Yan. "Kita bertarung sampai napas terakhir. Tidak ada pilihan lain."En Jio, yang masih terluka, mengangguk dengan susah payah. Meskipun kondisinya jauh dari ideal, dia tahu tidak ada waktu untuk mundur.
Ketika mereka keluar dari gua, lembah yang dulunya gelap sekarang diterangi cahaya redup matahari yang mulai tenggelam. Udara terasa lebih berat, seolah sesuatu yang jahat menyelimuti mereka dari kejauhan. Langit di atas Gunung Tianfeng mulai berubah menjadi merah darah, pertanda bahwa bahaya semakin dekat.
Suasana di dalam ruangan besar itu mendadak tegang. Pria berjubah hitam yang berdiri di hadapan mereka tampak mengintimidasi, dengan senyum penuh kebencian yang menyiratkan keyakinan mutlak pada kekuatannya. Cahaya dari kristal elemen hijau memantul di zirah hitamnya, mempertegas aura kegelapan yang menyelimuti tubuhnya."Aku adalah pengawal elemen ini," ucap pria itu dengan suara rendah yang bergetar. "Namaku Hei Long, dan kalian tak akan bisa melewati gerbang kehidupan ini."Ling menatap pria itu dengan tajam, mempersiapkan diri. "Kalau begitu, kita tak punya pilihan lain selain melawanmu."Lengkukup dan En Jio mengambil posisi di sebelah Ling. Meskipun mereka tahu bahwa Hei Long adalah lawan yang kuat, mereka tidak punya waktu untuk ragu. Kristal elemen hijau itu adalah kunci untuk melengkapi kekuatan Kitab Dewa Naga, dan mereka harus mendapatkannya, apa pun risikonya."Serahkan saja elemen itu
Malam mulai menyelimuti perbukitan, namun Ling, Lengkukup, dan En Jio terus melangkah. Suasana semakin mencekam saat kabut tipis mulai muncul, menyelimuti jalanan setapak yang semakin sempit. Hutan lebat di kiri dan kanan mereka seolah menjadi dinding kegelapan yang tak tertembus. Hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar di tengah keheningan itu."Kita semakin dekat," kata Lengkukup, matanya terus mengawasi setiap gerakan di sekitar. "Aku bisa merasakan kehadiran sesuatu yang tidak biasa di sini."Ling mengangguk setuju. Dari kitab Dewa Naga yang berada dalam genggamannya, ia bisa merasakan energi yang semakin kuat. "Lembah itu tak jauh lagi. Energi dari elemen berikutnya sangat jelas terpancar dari sana."En Jio, yang biasanya penuh semangat, kali ini tampak lebih tenang. "Apa kalian sudah siap? Kalau pasukan hitam benar-benar menunggu di sana, ini akan menjadi pertempuran yang sulit."
Setelah berhasil mengalahkan Pengawal Bayangan dan mengamankan elemen es, Ling, Lengkukup, dan En Jio melanjutkan perjalanan mereka menuju perbukitan yang lebih rendah, meninggalkan puncak es yang mencekam di belakang. Udara di sini lebih hangat, tapi suasana tegang masih melingkupi mereka. Masing-masing terdiam, merenungkan pertempuran yang baru saja mereka lalui.“Kita sekarang memiliki dua elemen,” kata Lengkukup, memecah keheningan. “Tapi musuh kita pasti semakin sadar dengan keberadaan kita.”Ling mengangguk. “Kita harus bergerak cepat. Mereka tidak akan tinggal diam dan membiarkan kita mengambil semua elemen begitu saja.”En Jio, yang biasanya ceria, kali ini terlihat lebih serius. “Kalau mereka sudah mengirim Pengawal Bayangan, berarti kekuatan besar sedang memantau kita. Kita harus siap menghadapi mereka, kapan pun mereka menyerang.”
Setelah berhasil mendapatkan elemen es dari Puncak Es, Ling, Lengkukup, dan En Jio tidak bisa beristirahat lama. Meski mereka baru saja mengalahkan serigala es yang menjaga elemen tersebut, perasaan cemas tidak pernah benar-benar pergi. Keheningan yang melingkupi pegunungan bersalju seolah menyembunyikan ancaman yang belum terungkap.“Ling,” kata Lengkukup tiba-tiba, matanya tajam menatap ke kejauhan. “Kita sedang diawasi.”Ling yang sedang mengatur napas setelah pertempuran, langsung siaga. Dia mengeluarkan pedangnya dengan gerakan cepat, memfokuskan seluruh indranya untuk mendeteksi ancaman yang disampaikan Lengkukup. Seiring angin dingin yang menusuk, bayangan mulai terlihat di balik kabut tebal.En Jio, yang sebelumnya sedang bercanda untuk menghilangkan ketegangan, kini mengalihkan pandangannya dengan wajah serius. “Sepertinya, penjaga elemen es bukan satu-satunya yang harus kita hadapi.”Dari kabut yang semakin pekat, muncul sosok-sosok berpakaian hitam. Mereka bergerak dengan k
Setelah berhasil mendapatkan elemen api dari Gunung Berapi Hitam, Ling, Lengkukup, dan En Jio tidak memiliki banyak waktu untuk merayakan keberhasilan mereka. Tantangan berikutnya, elemen es, menanti mereka di ujung dunia yang berlawanan, di Puncak Es yang dilapisi salju abadi.“Kita tidak bisa berlama-lama di sini,” ujar Ling, napasnya masih terengah-engah setelah pertarungan yang menegangkan. “Puncak Es jauh, dan kita tidak tahu apa yang menanti kita di sana.”Lengkukup menyetujui, mengangkat elemen api dengan hati-hati. Cahaya merah yang menyala dari elemen itu berdenyut lembut, memberikan rasa hangat yang kontras dengan suhu yang akan mereka hadapi di perjalanan berikutnya.“Kau benar, Ling,” katanya. “Kita harus segera bergerak. Semakin lama kita menunda, semakin besar kemungkinan musuh kita mengetahui keberadaan elemen ini.”En Jio, yang telah berhasil mengalihkan perhatian naga api, berjalan mendekat. Dia tersenyum puas, meskipun wajahnya dipenuhi keringat. “Aku tidak sabar unt
Dengan hati yang penuh semangat dan ketegangan yang meningkat, Ling, Lengkukup, dan En Jio meninggalkan pasar malam. Mereka tahu bahwa perjalanan ini akan menjadi salah satu yang paling menantang yang pernah mereka hadapi. Mereka harus mendapatkan dua elemen yang berlawanan, dan langkah pertama adalah menuju Gunung Berapi Hitam.Di jalan, Ling merenungkan kata-kata lelaki tua itu. Kekuatan tidak hanya datang dari kemampuan fisik, tetapi juga dari keputusan yang mereka buat. Perjalanan ini bukan hanya tentang mencari kunci, tetapi juga tentang menemukan diri mereka sendiri dan menguji batasan mereka.Sesampainya di tepi hutan, mereka berhenti sejenak. Ling bisa merasakan perubahan udara, dari segar menjadi panas dan berbau sulfur. “Kita sudah dekat dengan gunung,” ujarnya.“Kau yakin kita siap menghadapi makhluk yang menjaga elemen api?” Lengkukup bertanya, merasakan ketegangan di udara.“Kita harus percaya satu sama lain,” jawab Ling. “Kita sudah melalui banyak hal bersama. Ini hanya