Pagi ini aku bangun agak lambat, tidak seperti biasanya yang bangun selalu pagi-pagi sekali.Aku menghela napas, memandang wajahku di pantulan cermin. Walaupun sudah aku tutupi dengan make up, tapi mata cekung kurang tidurku tak dapat tertutup dengan sempurna.Aku menghela napas, kulirik Naira yang masih tertidur lelap di atas ranjangku. Malam tadi, gadis kecilku sedikit manja. Tidak biasanya ia minta tidur bersamaku. Biasanya ia akan selalu tidur bersama neneknya."Sayang, bunda pergi kerja dulu ya, Nak, kamu sama Nenek aja di rumah! Dan jangan nakal ya, Nak. Jangan bikin Nenek repot!" ujarku sambil mencium rambut Naira. Entah gadis kecilku itu mendengarkannya atau tidak? Yang jelas Naira masih tak bergeming. Masih tertidur lelap tampaknya.Kuciumi kembali pipi gembulnya sebelum melangkahkan kaki pergi. Aku tersenyum membayangkan waktu yang cepat sekali berputar. Tak terasa gadis kecilku sudah mulai besar d
Pov. DitoSudah beberapa hari aku memantau pergerakan Indah dan hari ini aku memberanikan diri untuk menemuinya. Aku tak mau kalah langkah dan membiarkan berlian yang aku buang diambil oleh orang lain.Beruntungnya aku, akhirnya aku bisa menemui mantan istriku ini. Namun, sialannya! Ia justru sedang asik makan romantis bersama seorang duda yang tempo hari memperkenalkan diri sebagai calon suami Indah.Dengan segala drama serta kebohongan yang aku buat, hampir saja Indah iba dan kasihan padaku! Tapi sialnya, si duda itu justru menghentikannya. Padahal sedikit lagi aku bisa mempermainkan hati Indah dan membuat ia kembali kepelukanku. Aku sudah pusing dengan debt colektor yang datang silih berganti menagihku, baik secara langsung atau lewat via telpon."Sayang, Mas mohon maafkan, Mas!" ucapku kembali mengalihkan perhatian Indah dari lelaki putih itu. Namun, tak ada respon. Sejak kepergian si duda itu, Indah terus saja me
"Sayang ... apa kamu tak melihat ketulusanku, aku tulus meminta maaf padamu, dan memperbaiki hubungan kita. Apa aku salah?" ujarku berusaha menyakinkan, dengan ekspresi yang serius aku mainkan agar Indah luluh. Dan mau menerimaku kembali.Indah terlihat mengulas senyum tipis, lalu menghela napas panjang. Wajahnya tetlihat biasa-biasa saja dengan pandangan mata yang sedikit pun mau menatap padaku. "Aku sudah memaafkanmu, Mas. Tapi kembali rujuk? Itu tak akan mungkin terjadi. Pergilah dari sini, Mas! Aku masih banyak kerjaan yang harus aku kerjakan. Jangan pernah datang lagi ke sini jika hanya untuk menemuiku!" balas Indah yang membuatku ternganga. Ia seakan tak peduli lagi denganku. Rayuanku selama ini yang dapat membuatnya luluh, sia-sia belaka.Kutelan ludahku dan ingin aku jambak rambutku erat, Jika Indah kekeuh tidak mau balik rujuk. Lalu bagaimana dengan hutang-hutangku itu, bunganya semakin hari semakin meninggi. Mencekik leher dan membuatku sesak. Bekerja siang malam juga tid
Semenjak Indah pergi meninggalkanku, hidupku menjadi susah dan menderita. Aku memang mendapatkan anak laki-laki yang aku nantikan, hanya saja rezekiku menjadi seret dan hutangku semakin menumpuk setiap harinya.Retno tidak seperti Indah yang sederhana dan bijak dalam mengatur keuanganku. Gaya hidup serta kebutuhan Retno yang besar, membuatku terjerat hutang di mana-mana. Perempuan itu pintar sekali mengambil kesempatan, memanfaatkan rasa sayangku saat ia sedang mengandung anakku. Banyak sekali permintaannya padaku, dengan alasan bayi yang ada di dalam kandungannya. Tentu saja, karena rasa bahagiaku yang sebentar lagi memiliki anak laki-laki darinya, membuat aku selalu mengabulkan keinginannya. Walau pada akhirnya semua permintaannya itu semakin menjadi-jadi saja.Terkadang aku berpikir, apa iya ada orang ngidam perhiasan dan barang-barang branded. Ah ... itu pasti akal-akalannya saja. Hingga imbasnya sekarang, hutangku di mana-mana! Hingga sekarang aku sampai tak berani pulang ke r
Aku tersenyum sinis pada Ibu Anna. Tak sedikit pun tergerak hatiku untuk menolongnya.Bughhh.Sebuah tinju melayang ke rahangku dengan keras, hingga membuatku jatuh tersungkur. Sontak aku menoleh. Mata melebar seraya memegang sudut bibirku yang koyak dan mengeluarkan sedikit darah.Aku tidak menyangka mereka berdua akan pulang secepat ini, dan menghentikan aksiku menculik Naira. Saat mereka tiba aku baru saja keluar dari gerbang dan ingin membawa Naira ke mobil. Tangan Arman dengan cepat merebut Naira dari gendonganku dan memberikannya pada Indah. Setelah itu dengan penuh amarah ia melayangkan tinjunya kembali padaku, hingga perkelahian diantara kami pun tak terelakkan. Bughhh.Satu tinju aku berikan sebagai balasan atas tinju yang Ia berikan padaku, namun pria itu begitu lincah. Ia kembali berhasil membalas tinjuanku barusan, adu jotos tak dapat dihindari lagi diantara kami. Walau pada akhirnya, aku yang berulang kali kena tinju tangan pria itu hingga membuat wajahku yang tampan me
Aku tidak habis pikir, bagaimana Mas Dito begitu berani datang ke rumah ini dan berniat mengambil Naira dariku. Aku yakin ada sesuatu yang sedang ia rencanakan. Jika tidak, tidak mungkin ia begitu ngotot ingin rujuk kembali padaku. Karena Naira? Itu tidak akan mungkin, karena aku tahu pasti siapa Mas Dito.Aku mendekati Naira yang sedang duduk manis di sebelah Mas Arman. Kuusap kepala putriku lembut, sudah tak sabar mulut ini ingin menanyakan perihal kejadian tadi padanya. Apa Mas Dito memaksa dan berlaku kasar pada putriku tadi. Sebab aku melihat putriku menangis di gendongannya.Naira gadis kecilku ini, adalah anak yang tidak mudah dekat dengan orang lain. Bahkan ia cendrung membantasi diri terhadap orang luar. Dengan Mas Arman saja ia bisa dekat, karena ia mengira Mas Arman adalah ayahnya."Naira, Bunda boleh tanya sesuatu, gak, sayang?" ujarku lembut. Mas Arman menatapku bingung. Mungkin ia penasaran dengan pertanyaan yang ingin aku sampaikan. Entahlah ..."Apa, bunda? Bunda mau t
Setelah sekian lama bergelut dengan pikiran yang berkecamuk, serta gemuruh di dalam hati. Akhirnya kuusap kasar air mata ini, lalu kuciumi puncak kepala putriku dengan sayang. Aku sudah membuat sebuah keputusan, aku tak bisa hidup dalam ketakutanku seperti ini terus. Putriku berhak bahagia, ia berhak hidup dengan keluarga yang utuh. Ya ... aku tak boleh egois lagi. Apa pun yang terjadi nanti akan aku tanggung. Asalkan putriku bahagia, ia bisa tersenyum riang saat merasakan apa yang dirasakan teman-temannya."Naira mau Ayah dan bunda tinggal bersama? Baiklah, Bunda dan Ayah akan tinggal bersama. Asalkan ..." Aku menggantung ucapanku, ingin melihat bagaimana reaksi gadis kecilku dan benar saja. Naira langsung menghentikan tangisnya dan memandang ke arahku penuh harap."Asalkan apa Bunda?" tanganya dengan mata bulat yang berkaca-kaca."Asalkan Naira janji sama Bunda, tidak akan jadi anak nakal lagi! Naira tidak boleh dekat-dekat dengan orang yang tidak dikenal, dan jangan terima pembe
"Saya terima nikah dan kawinnya Indah Savitri binti Heru Sudrajat, dengan mas kawin satu set perhiasan seberat 50gram dan seperangkat alat sholat dibayar, TUNAI!" "Sah, para saksi?""Sah!""Sah!" Dengan satu tarikan nafas, Mas Arman berhasil mengucapkan kalimat sakral yang mengikatku seumur hidup, menjadikanku istrinya yang sah. Mas Arman menepati janjinya, pada Naira untuk bisa tinggal di rumah ini dalam 3 hari. Dengan segala persiapan yang terkesan dadakan, tapi pantas akhirnya pernikahan ini terlaksana dengan khidmat.Pernikahan ini hanya dihadiri sanak saudara serta tetangga-tetangga dekat komplek saja. Doa untuk para pengantin dipanjatkan, aku tak kuasa menahan haru, akhirnya air mata pun jatuh ke pipi. Begitu pun dengan Ibu.Saat ini perasaanku bercampur aduk, ada rasa sedih, juga ada rasa bahagia yang melebur jadi satu.Dulu saat menikah dengan Mas Dito, aku berharap pernikahan yang kujalani saat itu, adalah pernikahan sekali seumur hidup. Namun nyatanya, pernikahan itu h
pov. NinaAku menatap kebahagiaan dua anak manusia dari balik jendela. Awalnya aku ingin masuk, tapi melihat kebahagian dan keromantisan mereka berdua membuatku mengurungkan niat.Dari balik jendela ini aku melihat gurat-gurat bahagia itu begitu terpancar dari wajah Arman. Tentu saja ia bahagia, penantian panjangnya akan cinta Indah membuahkan hasil serta hadirnya seorang putra diantara mereka. Arman mengecup kening Indah lembut, penuh sayang.Membuat rasa iri ini kembali hadir di kalbu. Andai aku juga bisa seperti itu bersama Mas Rio. Namun sayangnya hanya bisa berandai, karena kenyatannya kini. Suamiku sedang berbahagia bersama istri mudanya. Tak kuat melihat kemesraan yang di tunjukkan mereka berdua, aku memilih pergi. Mungkin aku akan menemui Indah dan bayinya besok saja, setelah hati ini sudah mulai tenang.Jam batu menunjukkan jam sepuluh malam. Namun, lorong rumah sakit ini tampak begitu lenggang, bukan berarti tak ada orang
Perutku mulai terasa pedih, apa lagi efek obat bius yang mulai menghilang. Aku meringis menahan sakit saat jempol ini bergeser saja sakitnya sudah terasa sampai keubun-ubun. Dengan lembut Mas Arman memperbaiki letak bantal yang ada di punggungku. Tiba-tiba bayi yang ada di dalam box menangis kencang. Lengkingannya memekak telinga, Mas Arman meraih bayinya. Mencoba menenangkan.Aku merentangkan tanganku menyambutnya. "Sini, Mas! Mungkin dia haus, aku akan menyusuinya,""Apa kamu baik-baik saja, sayang. Perutnya masih nyeri?" tanyanya khawatir."Gak apa-apa, Mas. Mungkin dengan menyusuinya rasa nyeriku dapat sedikit berkurang. Kasihan dia, pasti sudah lapar," Ragu-ragu Mas Arman menghampiriku, Lalu menyerahkan bayi merah yang sedang menangis itu. Setelah terlebih dahulu mencium pipi anaknya dengan sayang.Aku mengambil alih bayi mungil itu, memasukkan puting susuku ke dalam mulut kecilnya. Mas Arman beralih duduk di seb
Aku memarkirkan taksiku di parkiran khusus rumah sakit. Rumah sakit Citra Medika, rumah sakit bersalin terbaik di kota ini. Aku tidak tahu kenapa aku membuntuti mobil mereka hingga sampai di sini.Perlu waktu yang lama untukku menimbang dan memutuskan untuk turun atau pulang. Aku merasa aku tak punya hak untuk datang ke sini. Tapi di sini lain, hati kecil ini begitu ingin menemuinya di saat-saat seperti ini.Dengan langkah gontai aku masuk kedalam rumah sakit, menanyakan ruangan Indah pada resepsionis. Setelah mendapatkan informasi aku langsung menuju ke tempat yang di beritahukan padaku.Setelah melewati 2 kali belokan dan lorong panjang, akhirnya kau sampai di tempat yang di tunjukan perawat tadi. Dari kejauhan aku melihat Arman dan Nina yang menunggu di depan ruangan. Mata Arman menatap kedatanganku dengan nanar. Ku kuatkan tekad untuk melangkah. Apapun yang terjadi, aku hanya ingin meliat Indah dan bayinya baik-baik saja. Lalu pergi.
Matahari mulai meredup dan senja mulai menunjukkan kekuasaannya. Lelah tubuh ini belum juga terbayarkan dengan lembaran rupiah yang memadai. Seharian aku bekerja, baru dua pelanggan yang pakai jasaku. Dari pada melamun, aku putuskan untuk pulang saja."Taksi!" teriak seorang wanita yang berdiri di pinggir jalan. Akhirnya, di penghujung hari aku mendapatkan satu orang pelanggan lagi, lumayan.Aku menghentikan mobilku tepat di depan mobilnya. Sepertinya mobil mereka mogok. Lama aku menunggu, tapi wanita tadi tidak juga masuk kedalam mobil. Kulirik sedikit kebelakang, pantas saja lama. Ternyata mereka berdua tampak kerepotan dengan banyaknya belanjaan di bagasi belakang. Dasar wanita kaya, menghambur-hamburkan uang saja kerjanya. Sangat berbeda dengan, Indahku. Entah mengapa akhir-akhir ini aku merindukan wanita yang telah aku sakiti itu.Sudah lama aku tidak bertemu dengannya, sejak pertemuan terakhir, yang menyebabkan aku kecel
Kata orang pamali berbelanja perlengkapan bayi jika usia kandungan belum memasuki tujuh bulan. Itu sebabnya aku menginjakkan kaki di toko baby shop ini saat usia kandunganku sudah masuk bukan ke-delapan. Walau sebenarnya dari bulan-bulan yang lalu aku sudah tak tahan ingin sekali membeli baju-baju yang lucu untuk bayiku. Namun kata orang tua, walaupun hanya mitos, tidak baik diabaikan, kan?"Indah coba lihat ini? Lucu banget kan, aku suka ini. Ambil ini saja, Ya!" pinta Nina sambil menunjukkan gaun kecil berwarna peach. Ia tampak antusias sekali menemaniku berbelanja perlengkapan bayiku. Karena Mas Arman sedang sibuk jadi dia tidak ikut menemani, hanya aku dan Nina saja yang pergi.Selama beberapa bulan terakhir ini, aku sudah terbiasa bersama Nina saat Mas Arman tak dapat menemaniku.Nina juga sekarang, sudah banyak berubah. Ia jadi sangat penyayang dan perhatian. Membuatku seakan memiliki saudara perempuan saja. Apa lagi, kali i
Pagi-pagi rintik hujan sudah turun deras membasahi bumi. Aku berdiri di dekat jendela, menikmati dinginnya udara pagi. Memikirkan segala masalah yang terjadi. Aku masih berada di rumah Mama. Tidak seperti biasanya, di hari senin kami masih berada di sini. Semua karena keributan tadi malam, membuat kami batal untuk pulang dan melanjutkan menginap di sini.Aku terkejut, saat merasakan sepasang tangan memelukku dari belakang. "Kamu lagi mikirin apa, sayang? Bumil dilarang mikir yang berat-berat! Kasihan sama yang di dalam perut," ujar Mas Arman. Ia mengeratkan pelukannya, meletakkan dagu di atas bahuku. Aku menyenderkan punggungku di dada lebarnya, menghirup wangi sabun yang menguar dari tubuhnya. Harum dan menenangkan. Sejak hamil aku menyukai semua aroma yang keluar dari tubuhnya. Bahkan aroma keringat ia habis pulang kantor yang kata orang asam, justru tercium wangi di Indra penciumanku. "Aku hanya mengingat kejadian semala
"Mungkin Mbak Indah benar, aku serakah! Tapi semuanya sudah terjadi, Mbak. Aku janji aku akan bersikap adil terhadap keduanya." jawab Mas Rio. Terdengar meyakinkan, tapi apakah ia mampu menciptakan kata 'adil' itu dalam rumah tangganya? Tanpa ada satu pun yang tersakiti."Berusaha adil seperti apa, Rio? Dengan membawa istri keduamu kerumah ini saja, kamu sudah bersikap tidak adil." timpal Mama tiba-tiba. Aku yakin Mama juga tidak setuju dengan sikap Mas Rio."Ma, Ambar juga menantu Mama. Jadi tidak ada salahnya jika ia datang kerumah ini. Biar Aisyah juga bisa mengenal Oma dari sebelah ayahnya juga." jawab Mas Rio. Entah kenapa, aku jadi hilang respect padanya. Kata-katanya santai tapi begitu menyakitkan. Nina masih tergugu menangis di pelukanku. Ia tak mampu lagi berkata walau sepatah katapun. "Nina mungkin memang salah, tapi yang lebih bersalah lagi itu adalah kamu, Rio! Kamu telah gagal sebagai seorang
"Indah! Hey ... Indah! Kenapa kamu melamun?" ujar Dinda."Siapa juga yang melamun, Dinda. Aku lagi malas ngomong. Lihat nih! Mulutku sedang sariawan! Perih kalau dipakai ngomong." Jawabku. Aku menunjuk ke arah pipiku, agar Dinda tahu jika mulutku ini penuh dengan sariawan. Apalagi perempuan ini sedari tadi berceloteh, membahas kakak kelas yang tampan. Dasar perempuan ganjen. Aku dan Dinda sekarang sedang duduk di bangku, di bawah pohon rindang dekat lapangan yang ada di depan kelas kami. Lapangan multifungsi ini berada di tengah, di kelilingi bangunan kelas dua tingkat yang membentuk huruf U. Kelasku berhadapan dengan kelas 2 Ips 2, sedangkan kelas 1 di lantai atas dekat kelas 3."Din," aku mencolek bahu Dinda. Wanita itu sedang asik mengunyah tela-tela balado yang kami beli di kantin tadi."Apa sih, In? Pakai colek-colek segala, kamu pikir aku sabun colek," jawabnya lebay."Itu, kamu lihat perempuan dengan
"Cepat katakan, Ayah! Jangan buat bunda penasaran. Ramuan apa?" cercaku. Aku begitu penasaran, dari pada aku tak bisa tidur malam ini. Iya, kan?"Tapi Bunda janji jangan marah, ya! Aku cuma takut Bunda tersinggung.""Iya, cepat katakan, buat istri penasaran itu dosa loh, Yah!" sahutku cepat. Entah dalil dari mana membuat istri penasaran itu dosa'. Bodoh amat lah, yang penting suamiku mau cerita."Bunda, ingat ramuan yang setiap minggu Mama berikan pada, Bunda?" Aku mengangguk, bagaimana aku bisa lupa. Jamu pahit, yang pahitnya mengalahkan pahit Brotowali itu. Belum lagi bau langu Yaang di campur sedikit asam, pokoknya nano-nano rasanya. Aku memegang tenggorokanku sambil bergidik ngeri. Baru membayangkannya saja, rasa pahit itu langsung terasa di tenggorokanku. Namun tiba-tiba aku teringat akan sesuatu."Ehh ... tunggu dulu, Yah. Tumben hari ini, Mama tidak memberi Bunda jamu itu? Biasanya kalau Bunda datang, Mama langsung meny