Anjas lemah dengan air mata. Tembok besar benteng hati ambruk begitu melihat kriptonite itumengalir di pipi gadis. Memakai cara itu Anis menang, membuatnya mau membantu mengedit draft. Tempat pertemuan mereka di rumah Anis, gadis itu yang menentukan sepihak.
Cahaya matahari menerpa motor Anjas yang terparkir di depan gedung apartemen. Ia duduk di motor hendak memakai helm, hingga hp bergetar membuatnya terdiam sejenak. Sebuah pesan masuk dari Vivi.
[Kak, bisa anterin enggak? Penting nih, butuh Kakak]
Ia tersenyum kecil sesaat. Anjas telah membuat janji terlebih dahulu bersama Anis. Tak mungkin dia membatalkan sepihak dan mendadak. Lagi pula Vivi bisa berangkat sendiri dengan motor sendiri, menurutnya gadis itu hanya manja.
[Maaf enggak bisa. Minta temani Sasa atau Mimi aja.]
Setelah menyimpan hp ke saku kemeja, ia segera memakai helm, memacu motor pergi dari sana.
Anjas melalui jalan yang sama seperti beberapa bulan yang lalu. Ja
Alvin memandang heran gadis dihadapannya. Terlalu tua untuk menjadi Vivi dan terlalu muda untuk menjadi Tante. Jelas hanya satu sosok yang tersisa, yaitu April, si galak yang dulu selalu jahil menutup hidung kala bertemu sambil mengejek bau tai kucing baru keluar dari bokong. Sekarang sosok itu menjadi gadis berbody sekelas peragawati dan berparas cantik. Pastinya Vivi tak jauh beda dari kakaknya."I-ini ... ini bukan mimpi kan?" tanya April, memegang kedua pipi. Mulutnya menganga lebar."Bukan lah. Ini Kak, ada oleh-oleh buat Kakak. Semoga masih suka empek-empek Palembang."Alvin menyodorkan kantong plastik berukuran besar bergambar salah satu produsen empek-empek terkemuka. Dia membeli online barang itu karena tak sempat mampir ke Palembang.April bengong gagal kedip melihat sosok di depan. Sosok yang biasanya hanya bisa dilihat di tv, sekarang bisa dipegang-pegang lengannya, dicubit, dielus, perut pun bisa dielus dan ditepuk-tepuk. April me
Senyum manis itu membuat Vivi tak bisa memberi jawab. Bukan hanya begitu menggoda dan rasa gemas ingin mencubit pipi Alvin, tapi dia tak ingin menyakiti hatinya. Lagi pula jika menerima cinta Alvin, bagaimana dengan Anjas? Andai Alvin datang lebih cepat semua pasti lebih mudah. Kenapa baru datang sekarang setelah rasa cinta lain tumbuh. "Gimana Vi?" tanya Alvin. "Kamu belum punya pacar, kan?" Vivi menggeleng dengan cepat. "Belum sih, cuma--" "Aduh, kenapa mereka bisa kemari?" "Mereka? Mereka siapa?" Tiba-tiba beberapa pria berjaket kulit hitam nampak melangkah cepat di ujung jalan. Vivi menoleh ke belakang, lalu memandang Alvin. Wajah imutnya pucat pasi. Dia bangkit menggandeng gadis di sebelah untuk berdiri. "Ayo kabur." "Heh?" Vivi bingung, memandang mereka bergantian. "Kenapa kabur? Mereka siapa?" "Udah, ayo kabur aja." Keduanya berlari menuju arah lain dari datangnya para pria aneh. Sesekal
Setiap hari bertambah buruk. Anis berhasil membuat Efendi untuk step out bicara tentang pengalamannya ketika Vivi membajak karyanya. Kali ini banyak support untuk Efendi, dan Vivi tersudut. Dia berusaha cuek akan masalah ini, tapi tidak bisa. Apalagi ketika Anis mengaitkan masalah Efendi dengan masalah Bunga, dengan kalimat, "Sekali kamu melakukan plagiat, pasti bakal melakukanya lagi dan lagi."Vivi mencoba menutup mata juga telinga, tapi iklan buku Bunga ada di mana-mana. Ketika Vivi menuju ke kampus, spanduk di toko buku membuatnya muak. Buku Bunga lagi dan lagi. Di kampus Vivi berusaha menonton Youtube untuk ketenangan, tapi iklan bodoh itu muncul, membakar dirinya sampai ke ubun-ubun. Setiap adegan di sana benar-benar membuatnya ingin teriak, menghujat Bunga, sosok yang tak dia kenal apalagi lihat sebelumnya.Tekanan mulai bertambah berat. Ketika pergantian mata kuliah Vivi berjalan bersama teman-teman. Teman-teman di kampus yang biasanya tak peduli pada hal berba
Setelah Vivi pulih, Anjas mengajak bertemu langsung dengan pihak penerbit super mayor EmangZituOkey yang bakal menjadi penerbit buku milik Bunga. Tempat pertemuan mereka berada di salah satu ruang penerbit Rayon, penerbit mayor Rayon, yang bakal menerbitkan buku Vivi. Vivi duduk berbagi sofa panjang dengan Sasa, Mimi dan April. Sementara Rafa duduk di sofa tunggal karena badannya terllau besar untuk nyempil. Mereka menonton debat Anjas dengan orang publisher EmangZituOkey. Anjas dan pria gendut itu duduk di kursi lipat bersebelahan, menghadap tiga orang wakil penerbit Rayon. Suara tinggi Anjas menggema seantero ruang, bahkan Vivi yakin orang-orang di luar bisa mendengar suaranya. "Ini enggak mungkin. Aku sendiri yang membimbing Vivi menulis novel. Dan kalimat itu aku yang koreksi, aku yang bantu memilih kalimat. Jadi dia jelas bukan seorang plagiat. Yang ada malah Bunga yang plagiat novel Vivi, karena semua kata-kata itu milik kami, mengerti?" P
Sebelum menyerang ke sarang serigala, harus punya senjata. Begitu kata Mimi. Idenya membuat viral video klarifikasi masalah Efendi. Menurutnya Anis dan Bunga pasti bakal memakai masa lalu Vivi sebagai amunisi kelak ketika berdebat. Dengan membuat klarifikasi langsung bersama Efendi, Anis kelak tak bisa memakai masalah ini sebagai amunisi.Vivi berdiri di depan auditorium kampus bersama Sasa. Beberapa Mahasiswa dan Mahasiswi sibuk menata kursi lipat juga meja. Beberapa dosen mengobrol di sudut ruang sambil sesekali memandang Vivi."Udah, kamu tenang aja, semua sudah diatur," ujar Mimi. Kaosnya basah keringat, begitu juga wajah. Semerbak aroma tak sedap memaksa Vivi dan Sasa menutup hidung. Melihat ini Mimi mencium ketiaknya sendiri dan hidungnya mengkerut. "Ntar sore acaranya mulai, aku mandi dulu, ntar ke sini lagi sama Efendi.""A-apa?" Sasa bingung. "Efendi ... Efendi yang korban Vivi? Kok bisa?""Bisa lah, Mimi gitu loh. Dah dulu, aku mau m
Beberapa hari berlalu. Vivi menumpang mobil Rafa bersama April, Mimi dan Sasa. Selama perjalanan mereka menonton berita di TV kecil yang berdiri di dashboard. Seorang gadis wartawan melakukan liputan langsung. 'Miracle never die menggoyang Medan. Ribuan penonton memenuhi Stadion Teladan. Penampilan terbaik malam ini membuat para penonton puas dan ...' Tiba-tiba kamera menyorot muka Alvin, pemuda itu bertepuk tangan dua kali, kebiasaan ketika bakal bicara sesuatu yang penting, seperti pengumuman dan sebagainya. 'Untuk gadis yang kusayang. Aku masih menanti jawabmu.' Sontak semua penonton bersorak histeris. Terlebih Alvin pakai mengedip satu mata. Wartawan mengambil alih perhatian kamera. 'Demikian berita dari saya. Kita kembali ke saudara Hermansyah untuk berita-berita selanjutnya.' "Busyet dah, Vi, Vivi, Alvin tanya apaan?" ujar Mimi sambil mendorong lengan Vivi yang duduk di bangku tengah, tepat di sebelahnya. Vivi terdo
Seisi ruang gaduh. Para wartawan membombardir pihak penerbit EmangZituOkay dan Bunga dengan beratus pertanyaan. Suara gaduh mereka tak mempengaruhi Anis yang dengan cueknya duduk tertunduk, tak peduli pada sekitar, memilih merenung, hanyut dalam pikiran sendiri. Semua ucapan tentang Anjas kembali menyerang. Dia tak bermaksud berkata seperti tadi. Hanya saja banyak orang penerbit EmangZituOkay, membuat ucapan tentang anjas terlontar begitu saja. Ia takut jika menentang penerbit, maka untuk buku selanjutnya bakal susah untuk terbit di sana. Bibir bergetar. Ia meremas celana bagian dengkul. "Kau yang salah Njas. Kenapa memulai ...," gumamnya dengan lirih. Tiba-tiba telapak tangan Ismed mendarat di kepalan tangannya. Begitu hangat dan lembut menggenggam kepalan. "Semua sudah berakhir," bisiknya. "Yang sudah berlalu, biarkan menjadi kenangan, Nis. Sekarang lihat ke depan. Bangun masa depan. Jadikan semua ini sebagai pembelajaran." A
Anis berdiri bersandar daun pintu. Kemeja kebesaran kusut menjadi satu-satunya pakaian yang ia kenakan. Kaki seksi itu terpampang jelas, rambut kusut, dan sekarang ia menguap lebar."Kalau enggak ada yang mau dibicarakan, mending pergi.""Heh, Jalang, ngapain kau di sini?" sentak Mimi hendak melabrak, tapi Vivi menahannya."Ini kan apartremen pacarku, ya bebas dong. Oh iya, maaf ya, kemarin aku terlalu kasar sama kalian. Oh iya, mau masuk? Tapi maaf, apartemennya berantakan, tadi malam kami habis ... kamu tahu kan, Anjas stalion yang hebat di ranjang, jadi lemes banget nih."Telinga vivi terbakar amarah. Hatinya terendam kesedihan, kekecewaan. Ia mencoba tersenyum ketika mata berkaca-kaca. "Sampaikan salam buat Kak Anjas. Permisi." Dia angkat kaki dengan tergesa dari sana."vi? Vivi!" Mimi menuding muka Anis. "Ada ya, manusia sepertimu?""Yang cantik? Yang cerdas?" Anis tertawa kecil. "Mending kejar sahabatmu, siapa tau dia mau b
Anjas duduk di sofa nyaman. Dua pria berjas berdiri di belakang. Beberapa gadis yang duduk tak jauh dari tempatnya duduk berbisik-bisik sambil tertawa genit. Ketika Anjas menoleh, mereka tersenyum tak berani memandang balik. Mungkin karena penampilan Anjas kali ini? Dia memakai kaos lengan panjang dengan kerah membentuk V, berlapis sweeter bentuk rompi. Celana panjang kain hitam serasi dengan pantofel yang ia kenakan. Tiba-tiba wajah kedua gadis berubah menjadi wajah Anis dan Vivi. anjas menggeleng pelan, sedikit menunduk mengurut kening. Ia lanjut membaca. "Psst, gadis aneh tadi siapa ya? Katanya mau bertemu pacar, gitu," bisik seorang gadis kepada pacarnya, melintas santai di depan Anjas. "Enggak tahu juga. Tapi heboh banget," jawab pemuda, mengajak pacarnya duduk di sofa sebelah Anjas. Pengumuman terdengar nyaring. Sebentar lagi pesawat akan berangkat. Anjas hanya membawa hp, juga tas satchel hitam. Sebelum pergi ia
Motor yang Vivi kendarai, sampai di lahan parkir apartemen Anjas. Dia melepas helm sambil berlari kecil menuju gedung. Ia tak peduli pada Mimi dan Efendi yang baru datang melintas di samping mengendarai motor mereka. "Astagfirullah, Vivi tunggu!" Sasa memungut helm yang Vivi lepas. Yang dipanggil benar-benar tak mendengar ucapan, malah nyelonong masuk seorang diri ke dalam gedung. "Vivi, tunggu dulu, jangan bergerak sendiri seperti ini!" sentak Sasa, mengekor. Di depan lift, Vivi memencet tombol berulang kali bagai tiada hari esok. "Cepet ... cepetan!" Pintu lift terasa lama terbuka, bagai seabad dia menanti. Kesal Vivi memukul tembok. "Vivi!" sentak Sasa, menahan kedua tangan sahabatnya. "Jangan seperti ini, malu dilihat orang." Vivi memandang sekitar. Dua sekuriti berada di dekatnya. Banyak mata pengunjung melihat dan mereka berbisik-bisik. Bahkan beberapa orang di kafe apartemen berkumpul di dekat kaca jendela memandang aneh k
"Itu siapa?" bisik Alvin sambil memandang Efendi. "Jadi, dia cowok yang kamu suka? Orang Timur Tengah?" Vivi menggeleng sambil tertawa kecil. "Bukan lah. Dia Ismed, temannya Kak Anis. Sebentar ya, Vin. aku ke sana dulu." "Jangan pergi, di sini banyak wartawan, nanti mereka bisa berpikir macam-macam kalau kamu menemui cowok itu." "Tapi--" "Nanti ya, setelah wawancara selesai, baru temui dia." Vivi memandang sekitar. Wartawan memang banyak mengerumuni mereka, membuatnya susah untuk bergerak. Terlebih Ismed terjebak di kerumunan, tertahan oleh pihak keamanan. Ismed bisa bertahan di sana menunggu. Vivi memberi kode anggukan pada pemuda itu hingga membuatnya sedikit tenang. Para wartawan tak memberi kesempatan untuk Alvin dan Vivi pergi, memaksa mereka dikawal para pengawal berpakaian safari hitam menuju lahan parkir mobil. Mereka semakin jauh dari Ismed. Di kejauhan anggota band Miracle Never Die yang lain nyaris mendapat perlakuan sama se
Alvin membuka pintu kamar hotel, menaruh tas ransel ke dalam kamar. Cukup besar kamar itu juga adem karena embusan angin dari AC."Nah Vi, Bu, selama di Malang, kalian tinggal di sini, ya. Tenang saja, semua biaya Alvin yang tanggung."Ibu tertawa kecil menepuk-nepuk pipi pemuda itu. "Kamu sudah bisa mentraktir rupanya, ya." Beliau memandang seisi kamar, duduk di tepi kasur besar empuk di tengah ruang. Beliau melihat Alvin membuka pintu kamar mandi."Nah, ini kamar mandinya, Bu.""Iya Nak, terima kasih. Tante mau istirahat dulu." Beliau mendapati anak gadisnya berdiri sambil tertunduk malu, begitu juga Alvin yang nampak tak tenang. "Sudah, kalian pergi main sana, bebas mau ke mana saja asal Vivi harus kembali ke kamar ini sebelum jam sepuluh malam, mengerti?"Alvin mengangguk kecil."Ibu beneran enggak ikut nonton konser Alvin?" tanya Vivi, raut wajahnya penuh harap. Ia mengambil lembut jemari tangan Ibu.Beliau menggeleng. "Ibu
Banyak orang hilir mudik, tapi tidak satu pun yang dia kenal. Secangkir kopi panas dan sepiring jamur goreng menghias meja. Sekantung plastik putih berada di atas kursi sebelah kursi yang diduduki Ismed. Dia bersenandung pelan mengamati lift dan pintu masuk apartemen, berharap Anjas cepat pulang. Sesuai janji dia ingin mengganti hp milik Anjas yang rusak karena insiden malam kemarin.Pengunjung kafe semakin sedikit. Pejalan kaki di lobby pun mulai jarang. Tak terasa tiga gelas kopi kosong menghias meja. Hingga saat ini belum nampak sosok yang ditunggu. Ismed memandang jam di layar hp. Angka 23.45 memaksa suara decak kesal keluar dari bibirnya."Mana sih, kok lama. Apa dia menginap di rumah Vivi?" Senyumnya mereka membayangkan hal itu. Baru saja hendak bangkit, sosok yang dinanti tiba.Perban melingkar di kening. Anjas melangkah pelan dibantu satpam. Beberapa orang di belakang meja resepsionis bergegas turut membantu."Ya Tuhan." Ismed bu
Terdengar suara obrolan dari lorong. Banyak sampul buku terbitan Rayon menghias dinding ruang berdinding putih. Di ruang lumayan luas itu, Sasa duduk berjajar dengan Anjas dan Efendi, menanti seorang pria duduk di balik meja. Pria itu membaca dengan seksama draft di tangan sembari sesekali mengangguk, tersenyum. "Bagus ini jalan ceritanya. Sudah matang sekali dalam penulisan dan plotnya mengalir. Pembentukan karakter pun nyaris sempurna. Hanya sedikit kesalahan dalam penggunaan kalimat berdasar KBBI. Apa kamu yang ngedit, Njas?" Anjas mengangguk. "Cuma sedikit. Mayoritas isi draft dibuat oleh Sasa sendiri." "Benar begitu. Mbak?" Sasa mengangguk kecil. Wajahnya memerah malu, tertunduk tiada berani memandang langsung pria ramah berkemeja lengan pendek yang sembari tadi memandang kagum pada Sasa. "Kenapa kok enggak pernah mengirim kemari?" tanya pria ramah. Sasa tak menjawab, mungkin karena dia sungkan. Anjas tahu jika Sasa
Vivi menemui tamu yang Kakak maksud. Sosok itu berdiri membelakangi pintu, memakai denim hitam, celana jeans biru muda pudar, kupluk biru tua dan bersenandung kecil. Kedua tangan berada di belakang pinggang memegang setangkai bunga merah.April sengaja tak bersuara pergi dari sana, menepuk pundak Vivi."Siapa?" bisik Vivi."Cari tahu sendiri."Perlahan Vivi mendekat. Pasti Anjas. Ya, siapa lagi. Pikirannya sekarang penuh oleh pria berkacamata itu. Walau dia tahu tinggi badan mereka tak sama, tetapi harapnya terlalu besar hingga tercetus untuk menebak. Lalu bunga yang pemuda itu bawa, bunga kenangan Vivi dan Anjas. Pasti dia."Kak Anjas?"Pemuda itu berbalik. Senyum lebar gigi putih terlihat jelas. Ia melambai. "Hai Vi.""Ya Tuhan, Alvin? Kok bisa?" Vivi bingung karena baru saja melihat sosok pemuda itu di tv. "Bukannya baru wawancara--""Itu kan kemarin. Sehabis wawancara, aku tanya sama wartawan ada apa dan dia mencerita
Berita di TV tentang Anis membuat Anjas tersenyum puas. Dia bangkit dari duduk di sofa, melangkah ringan menuju balkon.Dia berdiri di sana. Angin sejuk pagi menerpa wajah, membuat rambut bergerak-gerak. Cahaya matahari baru terbit menebar hangat nikmat, sampai meresap ke hati. Tak sabar ingin bertemu Vivi, memberi kabar gembira.Ketika hendak masuk ke ruang, sebuah mobil Pajero hitam menyita perhatian. Mobil itu parkir di dekat pohon mangga di lahan parkir depan gedung. Pengemudi mobil turun. Seorang pria berjas hitam mendongak, melambai kecil ke arahnya. Anjas tahu pagi ini dia bakal kedatangan seorang tamu.Dia turun menuju kafe lantai bawah. Di sana Ismed duduk seorang diri ditemani dua cangkir kopi di meja. Kafe masih sepi, hanya beberapa kursi terisi pelanggan. Suara obrolan kecil mengiringi langkahnya.Melihat Anjas, ia tersenyum melambai kecil. Anjas menyeringai karena tingkah pria itu. Ia duduk di kursi depan Ismed."Sudah kubelikan
Suara gemercik air berasal dari arah dapur. Air dingin menerpa kulit tangan. Vivi sibuk mencuci piring seorang diri. Rencananya sehabis ini dia bakal kerja bakti bersama April dan ibu bersih-bersih rumah. Sekali lagi dia memandang layar hp.Dia berharap Anjas menghubungi, setidaknya mengirim pesan, tetapi tidak. Semua harap itu sirna. Ia menghela napas. Kenapa masih berharap? Anjas telah kembali bersama Anis. Dia telah meninggalkan kapal yang tenggelam, bernama kapal Vivi dan melompat ke kapal yang besar, kapal yang membawanya berlayar ke samudera bahagia..Matanya berkedip dengan cepat. Bibir bergetar. Vivi menutup mulut supaya suara tangis tidak terdengar.Sakit hatinya. Walau mencoba percaya jika apa yang dia lihat menyembunyikan suatu alasan, tetap saja ... rasanya seperti berjalan di ribuan duri kaktus. Sebegitu jahat Anjas hingga setelah berjuang bersama, sekarang dengan mudah membuangnya?Pasti ada penjelasan kenapa pemuda itu tak bisa