Randika bangun cukup pagi hari ini, dia memang sengaja melakukannya karena ingin melihat gadis itu melakukan tugas pertamanya. Namun, sudah beberapa menit berlalu Arumi belum juga muncul. Padahal biasanya gadis itu akan nangkring bersama para pelayan di dapur, dengan kebiasaannya yang selalu memperhatikan apa saja yang mereka lakukan.
"Apa dia lupa dengan tugasnya?"
Randika memutuskan untuk membangunkan wanita itu. Namun baru saja hendak menaiki tangga, seorang pelayan menghampirinya.
"Bonjour Monsieur, avez-vous besoin de quelque chose ?"
"Ah kebetulan kau di sini, Bangunkan Arumi untukku Claudia."
"Désolé jeune maître. Nona, sudah pergi dari satu jam yang lalu."
"Apa?"
Randika begitu kaget, tenyata Nona pembangkang itu sudah bangun dan pergi tanpa seijinnnya.
"Kemana
"Randika!" Pria berambut hitam lebat itu terkekeh. "Maaf mengagetkanmu." "Dasar pria mesum, untuk apa kau diam-diam ke sini huh? mau membuatku mati karena kaget!" "Maaf." "Memyebalkan!" "Kau terlalu serius Rumi, bahkan kau tidak menyadari ada orang di sekitarmu." Arumi menatap tidak percaya pada pria di depannya. Bukan karena ucapannya tapi, bagaimana bisa pria ini tahu dia ke bukit Gros Morne, bahkan untuk sampai ke sini butub perjalanan yang cukup jauh. Dan Pria ini, tanpa memberi kabar sekarang malah duduk di sampingnya. "Sedang apa kau di tempat menyeramkan ini, apa kau tidak talut sendirian?" "Apa kau tidak luhat d sekitarmu? banyak orang mendirikan tenda di sini. Beberapa hari lagi musim panas akn segera berlalu, jadi tempat ini akan ramai demgan pengunjung." "Apa meraka datang sejauh ini untuk menikmati matahari?" "Tanyakan saja pada mereka." Randika tersenyum, dia
Arumi tersenyum, dia melangkah ke bawah pohon di mana itu adalah depat mereka akan menikmati bintang. Dia duduk di atas rumput tebal bersama Randika. Namun, suasana sedikit hening karena ciuman tiba-tiba Randika tadi. Entah harus bersikap seperti apa sekarang. Saat ini Arumi benar-benar sangat gugup. Harusnya dia marah karena Randika karena lagi-lagi pria itu menciumnya dengan sesuka hati tapi, yang terjadi dia malah sebaliknya. Pipi Wanita dengan manik cokelat itu bersemu menjadi pink dengan jantung yang berdebar tidak teratur. "Jangan sampai kau menyukainya Arumi, kau harusnya sadar dia tidak akan bisa membalas cintamu. Marah ... marahlah, jangan tunjukan kepolosanmu saja Arumi," batinnya memperingati diri sendiri. "Apa kau suka gunung?" Pertanyaan Randika membuat dia mevngerjab kaget. "Tidak! Aku membencinya sama seperti aku membencimu." Randika terkekeh. Apalagi nada suara Arumi saat mengatakan benci seakan sedang menegaskan ba
Bintang sudah menampakan dirinya dengan sangat banyak saat Arumi dan Randika memutuskan untuk kembali "Hari sudah mulai gelap sebaiknya kita kembali," ujar Arumi canggung. Randika berdecak kesal saat Arumi beranjak dan menuruni bukit tanpa menunggunya. "Apa pernyataan cintaku tadi di tolak?" "Arumi kau menolak ku?" "Aku tidak mengerti apa maksudmu Randika." "What?" Pemilik manik hitam itu menyapu rambutnya dengan kasar, dia sangat kesal juga malu karena perasannya di abaikan oleh wanita itu. Untuk mengatakannya saja dia butuh keberanian yng cukup tapi wanita itu. "Argghhh." * * * Mustang hitam itu berhenti tepat di depan Mansion yang megah. Keduanya tiba di Mansion dengan kebisuan. Pembahasan tentang menikah pun hilang begitu saja karena sepanjang perjalanan kembali, Arumi sama sekali tidak mengeluarkan sepata katapun. Dia bahkan pura-pura tertidur untuk menghindari percakapan, padahal Rand
Pagi ini, Randika bangun lebih awal. Rasa penasaran akan siapa orang yang sudah mengusiknya membuat dia tidak bisa tidur. Dia menatap sekeliling sebelum melakukan panggilan dengan benda pipih miliknya. "Hallo?" "Apa kau sudah tahu pemilik nomor itu?" "Maaf Monsieur, aku baru saja akan melakukannya." "What? Apa kau sedang mengurusi kekasih mu?" hardik Randika dengan kesal. "Kekasih? apa anda bercanda Tuan, bagaimana bisa aku punya kekasih, jika tiap waktu aku bersamamu." "Kau benar, dengan wajah dinginmu mana mungkin ada wanita yang berani mendekatimu." Wajah Rilan terlihat kesal. "Aku masih di sini Tuan." Randika terkekeh, rasanya senang jika berhasil menjaili sahabatnya. "Apa ada yang penting hari ini di kantor?" "Non monsieur, hanya ada beberapa berkas yang membutuhkan tanda tangan anda. "Bawa itu ke Mansion." "Tapi Tu--" Belum sempat Rilan menyelesaikan ucapannya, Randi
"Apa aku harus menjadi seperti Rilan untuk membuatmu memanggilku dengan lembut. Atau Aku harus berpura-pura menjadi kakak yang baik agar bisa mendengarmu memanggil ku kakak." Randika mempertahankan kontak matanya dengan Arumi, hari ini dia benar-benar meluapkan isi hatinya tanpa di tutup-tutupi. "A-aku tidak mengerti, apa yang kau bicarakan," jawab Arumi gugup. Dia memainkan cicin yang baru di pasangkan Pria di depannya dengan bola mata yang bergerak cepat untuk menghindari tatapan Randika. "Luar biasa Randika, luar biasa. Kau membuat Arumi bingung dengan perasaanmu yang tidak seberapa ini," ujar Randika mengalihkan pandangan kemudian melangkah pergi meninggalkan segala keluh kesah yang baru saja dia ungkapkan kepada gadis polos keras kepala itu. "Ran, Kau mau kemana." Arumi menarik lengan Randika agar berhenti. "Apa lagi," desah Randika dengan napas menggebu-gebu. "Kenapa kau jadi seperti ini! bukankah beberapa hari ini kita baik-baik saja. L
"Katakan!" pinta Arumi dengan menahan napas. Dia terlihat sangat gugup karena baru kali ini berani menghampiri Randika. "Apanya," ujar Randika menekuk dahi. "Katakan semua perasaanmu padaku. Aku ingin mendengarnya," desak Arumi. "Bukankah Aku sudah mengatakanya waktu kita di bukit." Arumi melongo. Dia tidak mengira semua yang di katakan Randika waktu di bukit adalah benar. Meski sebenarnya waktu itu, dia sempat berfikir keras hingga membuat kepalanya pusing. "Aku pikir kau hanya bercanda waktu itu. Karena kau menimbang-nimbang saat mengatakan akan menikahiku, makanya tidak aku perdulikan," ujar Arumi dengan nada suara yang semakin turun. "Apa! kau bilang aku bercanda!" teriaknya tidak percaya. Randika benar-benar merasa malu. Ternyata ungkapan perasaanya di anggap candaan oleh Arumi. "Itu karena kau yang selalu berbuat sesuka hatimu." "Kenapa kau selalu salah paham dengan kata-kataku." "Memang apalagi yang harus
"Hallo Tampan." "Evanya!" "Kau mengenali suaraku." "Tentu saja. Siapa yang tidak hafal dengan suara merdu Pianis cantik sepertimu, semua orang pasti langsung tahu saat mendengarnya." Evanya terkekeh, tentu saja yang di katakan Brian itu tidak benar, dia pasti akan tau karena satu-satunya orang yang memanggilnya tampan hanya Evanh.ya. "Tapi dia tidak mengenaliku," ujarnya sendu. "Apa kau menghubungi Randika?" "Aku menghubunginya berkali-kali. Bahkan mengirimkan pesan mesra untuknya." "Apa!" "Kau tahu, dia tidak merespon semua panggilan dan pesanku. Apa dia sudah melupakanku?" "Untuk apa kau bertanya seperti itu padaku, bukankah kau yang telah meninggalkannya," decak Brian. "Aku menyesal Tampan, tidak ada yang bisa meluluhkan ku seperti pria dingin itu. Dia bisa membuat ku melayang hanya dengan sekali sentuhan." Pipi Evanya bersemu saat mengatakan kata-kata itu. Dia membayangkan, bagaimana Randika memperla
"Bicara dengan siapa tadi, sepertinya serius?" "Tidak! hanya salah satu pelangganku. Dia ingin memesan tempat untuk berpesta," ujar Brian berbohong. "Wow ... jadi kita akan berpesta gratis di sini." "Dasar!" "Ah yah, kita sambung lagi nanti ada hal penting yang harus aku bahas dengan sahabatku. Sampai nanti," ujar Brian untuk seseorang di seberang teleponnya. "Jangan matikan teleponnya Brian. biarkan saja. aku mohon, sebentar saja. Aku hanya ingin mendengar suaranya. Letakkan ponselmu dengan hati-hati agar dia tidak tahu," pinta Evanya. "Ada apa? kau terlihat aneh sejak aku datang. Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku," tanya Randika dengan raut wajah penasaran. "T-tidak, tidak ada apa-apa," jawab Brian cepat. Dia benar-benar gugup sekarang. Evanya membuat dia harus berbohong lagi kepada Randika. "Dan sendiri, Sedang apa di jam seperti ini datang ke tempatku," tanya Brian mengalihkan pembicaraan. "Suasana hatiku sedang
Randika mengerutkan keningnya melihat tingkah Arumi yang sedari tadi terus gelisah. "Nikmati sarapanmu dengan benar kenapa kau terus bergerak. Apa kursinya tidak nyaman.""Ti-tidak!""Lalu?"Randika mendorong pelan kursinya mendekat pada Arumi yang sepertinya tidak nyaman dengan dudukannya. "Ada apa Sayang? Apa tempat dudukmu tidak nyaman?""I-itu. Aku ...."Randika mengerutkan dahinya mencoba mengerti dengan ucapan istrinya. Sedangkan Amirta dan Jenny hanya tersenyum kecil melihat bagaimana Arumi malu-malu mengatakan akibat dari ulah anaknya. Untuk itu dia mengambil inisiatif untuk menyudahinya, agar Randika tidak terus bertanya dan membuat Arumi terus merasa malu."Sayang, istrimu hanya merasa tidak nyaman karena ulahmu semalam. Nukan begitu Sayang." Jenny menatap ke arah Arumi yang mulai tertunduk malu."Maksud mommy aku?" Randika menu
Fajar belum menunjukan dirinya, tetapi Randika sudah terjaga. Tatapannya terpaku pada wanita yang tidur di sampinganya. Punggung putih mulus Arumi membuat Randika tidak tahan untuk mengelusnya, yang kemudian membuat Arumi bergerak dengan mata yang masih terpejam."Sayang ...."Arumi terjaga, dia mengucak kedua matanya pelan agar penglihatannya tidak kabur. Perempuan yang baru saja melewatkan malam pertama bersama suaminya itu berusaha duduk. Namun, karena tubuh mungilnya tidak berbalutkan apapun, dia kembali ke posinya dengan kebih manikan selimutnya."Kau sudah bangun?" tanya Arumi saat mendapati pria yang baru saja resmi menjadi suaminya itu menatapnya dengan ternyum."Aku tidak bisa tidur jika keadaanmu seperti ini Sayang."Arumi mengerutkan kening, tidak mengerti dengan apa yang di bicarakan Randika. "Apa maksudmu dengan jeadaan sepert,i ini, Sayang. Memangnya apa yang terjad
"Kau sudah selesai membuka bajumu Sayang?"Randika keluar dari kaca pembatas antara bagian shower dan buthup dengan handuk yang melilit di pinggangnya, dada kekarnya membuat dia terlihat jantan dengan kulit yang basah.Cukup lama wanita itu mengagumi suaminya hingga tidak sadar pria itu kini sudah berdiri tetap di hadapannya. "Sayang?""Huh?"Randika tergelak melihat ekspresi istrinya yang malu-malu. "Berhenti merada malu, dan singkirkan tanganmu itu. Apa yang ingin kau tutupi, bukankah kita sudah sah."Arumi tidak bisa apa-apa, dia membiarkan Randika membersihkan dirinya, dan membuka sisa pakian dari tubuhnya. Sambil mandi, dia melihat bayangan Randika pada cermin besar yang sedang serius membersihkan bagian belakang tubuhnya. Tanpa sadar dia tersenyum dan bergumam. "Suami ku ternyata sangat tampan."Setelah selesai membersihkan tubuh, dan memakai handuk Ran
Meninggalkan keramaian pada Ballroom hotel, Randika dan Arumi memilih untuk lebih dulu beristirahat. Perempuan itu kelelahan karena lama berdansa bergantian dengan 3 pria. Randika, lalu Amirta, kemudian saudara laki-laki semata wayangnya, Mr Cool, Rilan Harrper. Dan Brian, dia sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk berdansa dengan Arumi, karena sibuk menenangkan Aurela yang sedang merajuk.Randika menggendong Istri tercintanya ala-ala bridal. ( Biar kaya pengantin yang lain gengs 😆.)Arumi menyembunyikan kepalanya di dada Randika karena malu, beberapa orang yang berada di lobi memperhatikan keduanya karena Arumi yang masih memakai gaun pengantin."Sayang, turunkan aku. Banyak orang di sini.""Memangnya kenapa kalau banyak orang.""Aku malu," bisik Arumi."Tidak perlu malu, kita sudah sah.""Tetap saja, ini memalukan Randika." Arumi sedikit meront
Ballroom hotel di penuhi dengan orang-orang berdansa. Dan Evanya, dia hanya bisa menahan kesalnya melihat dari jauh bagaimana Randika begitu lembut memperlakukan Arumi. Adegan ciuman keduanya bahkan membuat perempuan berdarah Jepang itu merasa jijik hingga meninggalkan titik di mana dia dan Damian bersembunyi untuk memantau keadaan.Kalimat janji suci yang di ucapkan Randika bahkan masih terngiang-ngiang di telinganya. Bagaimana pria itu kini menjadi milik orang lain, mengucapkan janji dengan sempurnah tanpa ada keraguan. Sedangkan dia, kini harus hancur dengan pata hati yang luar biasa. Kehancurannya itu semakin menjadi saat Damian mengatakan semua rencana mereka untuk menghancurkan pernikahan Randika dan Arumi telah gagal.Semua ranjau yang mereka siapkan ternyata sudah di bersihkan tetapi Evanya dan Damian tidak sadar akan hal itu, Detik setelah Arumi memasuki gedung, seharusnya perempuan itu jatuh pingsan karena terkena gas beracun di da
Cantiknya Arumi membisukan dunia Randika, wanita itu muncul dengan begitu anggun. Gaun putih yang melekat pada tubuh rampingnya, membuat dia semakin terlihat cantik. Gaun yang di gunakan Arumi memang terlihat polos. Namun, sangat memukau. Bagian dadanya terlihat sedikit terbuka, tetapi itu yang membuat Arumi terlihat mempesona karena terdapat beberapa swaroski yang menempel di bagian itu.Arumi datang di temani Daddy Amirtha sebagai pendampingnya. Mereka mendekat dan Daddy Amirta menyetahkan Arumi kepada Randika. Hal pertama yang di lakukan wanita itu adalahpp menatap manik Randika yang seperti kebingungan, lalu menggenggam jemarinya erat, agar pria yang memiliki manik mata hitam itu bisa meredahkan ketegangannya.Randika mulai tersadar ketika terdengar seseorang memberikan pertanyaan. "Apa kalian siap?"Keduanya pun menjawab secara bersamaan. "Ya, kami siap.""Baiklah! ... Randika Garrett, ête
Malam itu berakhir begitu kelam untuk Aurela dan Rilan. Gelapnya malam menemani kekecewaan Keduanya dengan angin dingin yang berhembus halus masuk ke dalam sela-sela jendela. Aurela menaikan selimutnya menghirup dalam-dalam aroma tubuh Rilan yang melekat di sana. Membayangkan jika sekarang dia sedang berada di pelukan pria itu, menghabiskan malam bersama hingga matahari terbit."I really miss you, my cold man." Dokter hewan itu menarik dalam-dalam napasnya, lalu membuangnya dengan pelan. "Aku tidak ingin hubungan kita kembali seperti dulu lagi. Please, mengertilah. Aku hanya takut kau melupakanku."Sedang di sisi lain, Rilan tengah gelisah dalam tidurnya, membalikan badan ke kiri lalu ke kanan. Sesekali, dia akan mendesah kemudian duduk lalu kembali mencoba menutup mata lagi. Namun, sekuat apapun usaha nya untuk bisa tertidur, tetap tidak bisa. Pikirannya melayang memikirkan permintaan Aurela untuk menjauhi Arumi.
"Apa kau sudah makan?"Aurela menengada, menggeleng menatap kekasihnya dengan wajah cemberut. "Bisakah kau tidak terlalu lama bekerja, aku tidak bisa terus menunggumu seperti ini, itu membosankan.""Maaf," ujar Rilan lalu mencium pada puncak kepala kekasihnya."Kau tidak ingin berhenti bekerja pada Randika?""Aku tidak bisa," jawab Rilan."Karena Arumi?"Rilan hanya diam, tidak ada satu katapun yang ia keluarkan saat mendengar ucapan Aurela."Jawablah!"Pria bermata elang itu mengeles dagu wanita di depannya. "Kau sangat tahu untuk apa aku tetap berada di dekat Randika, Aurela.""Aku tahu, karena ingin tetap menjaga Arumi.""Jadi untuk apa aku harus menjawab jika kau tahu alasannya.""Randika, bisa menjaganya, dia kekasih yang sebentar lagi akan menjadi su
"Berapa tamu yang akan hadir Tuan?""Entahlah, aku lupa. Bukankah semua undangan kau yang sebarkan?""Semua undangan di atur oleh Nyonya Jenny, Tuan.""Begitukah.""Oui monsieur."Randika mengangguk-ngangguk, dia duduk di salah satu kursi tamu yang di sediakan. "Aku sangat gelisah.""Evanya?""Aku takut Arumi akan tahu jika wanita itu masih berkeliaran, entah apa yang harus aku katakan padanya jika Evanya tiba-tiba muncul besok.""Apa aku perlu melakukan sesuatu padanya?""Jangan! Biarkan saja. Bukankah dia hanya ingin mengatakan selamat tinggal. Jika kita mengusiknya sekarang, dia akan kabur dan bersembunyi lagi.""Tapi Tuan, dia bersama Damian. Apa kau tidak takut jika mereka melukai Arumi atau menghancurkan acara pernikahanmu?""Itu bagianmu."&n