"!" Bi lisa sungguh tak bisa berkata-kata mendengar percakapan nyonya Sukma dan gadis kecil dengan pita pink yang wajahnya tampak begitu tak suka saat memandangi foto Arimbi, gadis kecil yang terluka dan Sukma sama sekali tak menunjukan penyesalannya sedikitpun untuk itu.
[Tak perlu suka pada Arimbi untuk tinggal di rumah ini? karena Oma pun tak suka padanya? papi? Mami? Tinggal di sini?]
'Ya tuhan apa maksud ucapan nyonya Sukma itu? dan siapa yang akan tinggal di sini?' batin Bi Lisa yang rasanya bisa merasakan kehidupan nona kecilnya akan sangat berubah mulai hari ini. Ia memegang gagang pintu makin erat memandangi Sukma dan gadis kecil asing yang terlihat begitu manja juga dimanjakan.
Rapat, Lisa menutup mulutnya dengan lidah kelu dan bayangan-bayangan tak enak yang ingin ia enyahkan tapi tak bisa. Tapi siapa dirinya? Ia hanya orang digaji yang bisa dipecat sewaktu-waktu, jika si pemberi gaji yang pasti akan berubah mulai hari ini tak menyukai kehadirannya de
"Cy, kok lo gak bilang kalo lo deket sama Mas Sani, sih?" ucap Lorenzs begitu ia dan Lency sudah menjauh dari ruangan yang diperuntukkan khusus untuk Sang fotografer. Pria yang tak menyembunyikan kemalasannya sedikitpun saat meladeni gadis tinggi semampai yang membuat Lency benar-benar menahan diri agar tak meraih gelas kopi yang akan menyapa tubuh gadis di sampingnya ini. "Emang harus?" ucap Lency membuat Lorenzs menarik tangan Lency yang berjalan di depannya. "Ok, Gue minta maaf atas kesalahan apapun yang gue lakukan hari ini. Sorry banget karena udah nyalahin lo tadi. Tapi-" 'HEAR WE GO THE 'BUT' THING!' batin Lency yang memang tak berharap pada ucapan maaf Lorenzs. "-lo harusnya paham, kan, kenapa gue ngomong gitu, Cy? bisa-bisa agency kita gak bisa ikut pemotretan kalo gue gak ngomong gitu, kan?" ucap Lorenzs dengan suara manja membuat Lency menarik nafasnya dalam dan berhenti melangkah
"Oalah, Mbok, majikan kesayanganmu itu ngamuk di kamarnya, lho," adu Ina pada perempuan paruh baya yang menghentikan gerakan tangan saat mengaduk sayur di atas kompor menyala. Tatapan Mbok Min membuat Ina mengangguk. "Iya, mbok min. Kamar neng Zizi kayak kapal pecah meski aku belum pernah liat kapal pecah itu kayak apa," ucap Ina menjawab lalu menghampiri laci untuk mengambil kotak kecil berisi bermacam obat dan mengambil satu band aid yang ia lepas dari pembungkusnya. "Kamu kenapa, Na?" tanya mbok min pada keponakannya yang sibuk membungkus jari. "Tanganku kena beling, Mbok, untung ndak dalem, ini," jawab Ina merekatkan plester pada jari kelingkingnya dengan mata terpejam merasakan perih menusuk. "Untung pake sendal ak- Simbok, mau ke mana? Ndak usahlah, nanti kena marah kalo neng Zizi bangun, lho. Mending di sini saja sampai dia manggil kita, Mbok," cegah Ina melihat
"Terimakasih sudang nganterin," ucap miss Eva menyerahkan helm pada Angga yang mengangguk lalu menjulurkan tangan merapaikan anak rambutnya yang berantakan."Mau dijemput, gak?""Emang kamu libur hari ini?""Enggak, tapi aku masuk sore. Jadi kita bisa makan siang di luar.""Kalo ditraktir aku gak akan nolak," jawab miss Eva menunjukkan jempol pada Angga yang mengangguk, "your the best, Pak Polisi," ucap Eva mengecup pipi Angga yang hanya tersenyum."Aku ngajar dulu, ya.""Ya, jangan galak-galak, Miss.""Itu sulit dilakukan tau." Jawab Eva dengan tawa lebar lalu melambai dan berjalan masuk gerbang yang sudah dipenuhi anak-anak menggemaskan yang menyapanya riang.Beberapa bocah berpipi kenyal dan bulat itu bahkan berteriak memanggil Eva tapi tak sedikit pula yang hanya ikut-ikutan."Dia
"Kau mengenalnya, Tian?""Apa...? Ah, tidak. Aku tak mengenalnya, kecuali bertemu di jalan." Jawab Tian membuat Miranda mengangguk lalu menatap dua bocah yang tampak cekikikan."Apa kalian sudah selesai bersembunyi?" tanya Miranda pada Joe dan Rei yang menatapnya lalu mengangguk, dua anggukan kepala kecil yang berpikir apa yang mereka lakukan tak disadari siapapun."Kalau sudah, masuklah dan jangan lupa bekalmu, Joe," ucap Miranda menyerahkan kotak bekal bergambar beruang pada Joe yang melepas tasnya dan mencangklongnya lagi setelah kotak bekalnya berada di dalam tas."Akh...! aku hampir lupa bekalmu, Sayang." Beo Tian berlari menghampiri mobilnya dan mengeluarkan botol minuman yang ia kalungkan di leher Rei.Bocah nakal yang lalu dipeluknya erat."Apa papa akan terus memelukku seperti ini?""Tentu saja, lihat bahkan Joe mencium Mom
"Kenapa orang lain bisa menyayangi Arimbi sejauh ini, sementara keluarganya sendiri bersikap lebih dari tak perduli pada gadis kecil kesayangan kita, Ko? Kenapa? kh! kenapa, Ko? kenapa ...."Marko memeluk kekasihnya yang menangis itu erat. Dan ia hanya memeluk Ali karena Marko tak tahu penghiburan macam apa yang bisa ia ucapkan pada Ali yang begitu terluka sampai tak bisa menahan rasa di hadapan Arimbi yang ia tinggalkan bersama Arum.'Apa yang diucapkan Bi Lisa pasti hal yang sangat tak baik.' Batin Marko tahu pasti hal yang membuat Ali sampai menangis itu pasti tak akan ia sukai. SANGAT!"Aku pun sebenarnya tidak tau, Li," jawab Marko mengusap punggung Ali yang bergetar."Tapi, mungkin karena orang lain yang bertemu dengan orang asing bisa menjadi seperti kita, Li. Ataupun menjadi seperti kita pada Arum dan Arimbi," tambah Marko pada pria yang mengeratkan pelukan pada tubuhnya itu."Kamu
"Berapa lama, Dokter Sabrina?" tanya Ali membuat Sabio kembali memperhatikan tiga orang yang duduk di ruangan sebelah sekalipun bibirnya masih bersenandung pelan."Beberapa hari, pak Ali. setidaknya kami membutuhkan 5 sampai satu minggu, dan satu minggu lagi untuk memastikan bahwa Arimbi sungguh sudah melupakan apa yang kita hapuskan dari ingatannya. ingatan yang memang Arimbi lupakan.""Dua-- ... dua minggu?" tanya Ali menahan nafas tanpa ia sadari."Itu ... itu terdengar begitu singkat untuk menghapuskan hal yang menyakitkan, bukan?" ucap Ali membuat Sabrina mengangguk. Meski dalam dua minggu itu ia pasti akan sangat merindukan gadis kecil kesayangannya."Kami pastikan Arimbi akan baik-baik saja Pak Ali, Pak Marko." Jawab Sabio berjalan ke luar, memberi senyum meyakinkan pada dua pria yang menatapnya, "bahkan, Pak Ali dan Pak Marko bisa melakukan vidio call untuk mengecek keadaan Arimbi
"Joe!"Seru Carmen begitu bersemangat melihat bule terimut yang masuk ke ruang kelas bersama bocah nakal yang menunjukkan wajah malas."Lewat sini aja, Joe," ajak Rei memutari meja lain agar tak berpapasan dengan Carmen yang pita pinknya berayun saat ia berlari ke arah mereka.Meski merasa bingung kenapa Rei mengajaknya berjalan lebih jauh untuk sampai meja mereka yang berisi 4 kursi berderet, Joe yang mengangguk pada Carmen ahirnya berhenti melangkah karena Carmen berdiri di sampingnya cepat."Joe, listen!" begitu semangat Carmen berucap.Gadis kecil berpita pink itu langsung menahan tangan Joe dengan senyum lebar yang membuat Rei memutarkan bola matanya, malas, "Rei ngapain kamu di sini, udah sana duduk!" seru Carmen pada bocah nakal yang menyedakepkan tangan."Suka-suka aku, dong. Carmen aja yang duduk sana. Aku mau berdiri di sini." Bala
"No fighting, fighting is bad!" seru Joe membuat miss Eva tersadar dari apapun yang sedang ia pikirkan lalu menatap bule imut yang baru pertama kali ini bicara begitu keras dengan tatapan tegas lalu menatap guru muda yang jadi malu pada bule kecil bermata abu-abu itu."Terimakasih, Joe. fighting is really a bad thing to do, isn't it?" ucap miss Eva mengusap kepala Joe yang mengangguk. Ia duduk dan membantu Rei berdiri."Kamu tak apa, Rei? Ada yang sakit tidak?" tanya miss Eva pada Rei yang menggeleng membuat guru muda itu mengangguk sambil tersenyum. "Anak nakal yang pintar," puji Miss Eva membuat Rei menyentuh hidung kecilnya malu."Jatuh gak sakit, Miss." Jawab Rei pelan lalu menatap Joe yang menurunkan tangannya kembali. Entah apa yang dipikirkan dua bocah kecil yang mata jernihnya bertemu pandang sampai kepala keduanya mengangguk tanpa kata dan Rei berdiri dibantu Miss Eva.Rei hanya meliha
Pria yang wajahnya bisa menipu banyak orang itu berdiri di depan ratusan mahasiswa. wajahnya yang bisa tersenyum dalam keadaan apapun, begitu pula tatapan ramah ia tunjukan pada bakal-bakal manusia yang sudah menentukan pilihan hidup yang ingin mereka jalani. Telinga para mahasiswa itu mendengarkan dengan seksama apa yang Sabio sampaikan dalam kelas yang mereka ikut, sesekali bertanya, tidak menyela saat pria yang mata sebelah kirinya selalu menjadi perhatian karena ada tanda lahir di sana bicara, menerangkan apapun yang ingin mereka ketahui. "But, is it possible to erese their memory permanenly, Sir? Mendengar itu Sabio menatap pria keturunan yang gigi putihnya begitu kontras dengan warna kulitnya yang hitam. Pertanyaan yang rasanya selalu Sabio dengar kapanpun itu apalagi saat ia harus menjadi pembicara entah di depan kelas ataupun konferensi bahkan individu. Apa lelaki yang wajahnya bisa ia mainkan sesuka hati itu pernah b
"So, apa yang akan kalian lakukan saat Bagas datang?"Lency menelan ludahnya untuk pertanyaan Sani. Matanya menatapi bergantian dua pria yang entah akan menjawab apa. Ia yang sudah berpikir tidak akan bermimpi buruk malam ini karena memilih jujur untuk kedatangan Bagas, menghembuskan nafas dalam, berharap Marko ataupun Ali tak mendengar.'Sial! Gue akan makin mimpi buruk kalo gak dengar jawaban mereka sekarang!' batin Lency yang juga ingin tahu apa yang akan ayah ke-2 dan ke-3 Arimbi lakukan.Ia lalu menatap wajah Arimbi yang terlihat begitu damai dalam lelap, "apa mimpimu menyenangkan, Arimbi?" Ucap Lency yang tak sadar ucapannya membuat Ali menoleh."Apa? Jangan bilang gue ngomong kenceng barusan?" Ucap Lency tak urung membuat suasana tegang dalam ruangan, berubah.Apalagi sorot mata Ali jadi melembut ketika ia menatap Arimbi yang rambutnya ia belai, sementara Marko berdiri lalu duduk di atas lantai memegang jemari Arimbi yang jadi terlihat
"Arimbi akan pulang ke rumah ini, Bu, tapi aku tidak akan membiarkan ibu melakukan apa yang ibu mau."Mata Sukma membesar, tangannya terangkat tinggi namun hanya berhenti di udara."Arimbi akan pulang ke rumah ini dan aku tidak ingin mendengar ibu atau siapapun menyalahkannya untuk apa yang terjadi."Plakk!Kali ini tangan Sukma benar-benar menampar pipi Bagas yang tidak terkejut dengan reaksi Sukma. "Kau tahu kenapa kita harus melakukan itu!" Seru Sukma lalu menoleh ke kanan dan ke kiri, memeriksa jika ada mata ataupun telinga yang mendengar lalu mengecilkan suaranya. Sadar, jika ada telinga yang mendengar maka apa yang sudah ia susun akan berakhir."Kau tahu betul kita harus melakukan itu!"Sukma memegang lengan Bagas, tatapannya memelas namun penuh tuntutan, "kau tahu kenapa ibu melakukan ini bukan? Semuanya untukmu, Bagas, agar kau bisa hidup tenang bersama Maya dan Carmen."Sukma lalu menyentuh pip
"Cari siapa, Mas?""Saya suami Arum.""!" Mata lency membesar untuk jawaban lelaki yang ketidak-hadirannya selalu ia tanyakan. Manik mata wanita berkulit hitam manis itu bergerak gelisah sementara punggungnya terasa panas mengingat di ruangan Arum ada Ali dan Marko yang mungkin tak akan senang mendengar siapa yang datang.Namun, ia yang tahu siapa dirinya tak mungkin berkata "jangan masuk!" pada lelaki tampan yang masih mengenakan pakaian kerja dengan jas yang melekat begitu pas di badannya.'Gue belum siap liat Ali sama Marko menghajar suami Arum!' seru Lency dalam hati, 'dan di dalam juga ada Arimbi-'Zreeeg!!Tangan Lency bergerak sendiri menutup pintu yang ia buka, begitu cepat sampai ia sendiri merasa kaget dan jadi kikuk saat menatap Bagas.Lency bisa merasakan punggungnya berkeringat sekalipun pendingin ruangan menyala. Mulutnya jadi terasa kelu meski tak ada satu kalimatku yang melintas dalam benak untuk ia sampaik
PING: Saya harap bapak tidak lupa dengan uang yang bapak janjikan untuk informasi ini.Entah apa yang kini sedang berkecamuk dalam benak Bagas saat melihat potret Arimbi, putrinya. Ia tampak tidak perduli dengan baris terahir dari pesan yang masuk bertubi-tubi dipenuhi oleh potret Arimbi.Tapi, ia yang sudah berdiri dan siap melangkah, punggungnya terlihat ragu apalagi saat matanya menatap dua pria yang terlihat bahagia di samping Arimbi yang lebar tersenyumMarko dan Ali. Dua lelaki yang wajah bahagianya pasti akan berubah jika ia datang atau bahkan menunjukkan diri.Sampai Bagas menarik nafasnya dalam, begitu dalam. Sementara matanya tak melepas senyum gadis kecil yang akhirnya masuk ke dalam ruang rawat inap yang pintunya dibuka Ali.PING: ini potret terakhir yang bisa saya kirimkan. Saya harap bapak tidak lagi menghubungi saya atau saya akan mendapat masalah karena sudah melanggar kode etik."Kode etik?" ucap Bagas menarik uj
"Karena lebih baik anak itu tidak kembali jika ingin hidupnya tenang "Sera menggigit bibir bawahnya, lalu menatap ke depan. Zizi seperti orang kesetanan yang bahkan menerobos lampu merah, untung saja motor yang pengemudinya berteriak karena kaget ada mobil sport yang melanggar rambu tidak jatuh dan terlindas mobil di belakangnya.Well, tak lagi bertanya tentang Arimbi pada Zizi 'saat ini' adalah hal yang benar untuk dilakukan, mengingat Sera masih menyayangi nyawanya. Lagipula, apa yang telah dan akan dilakukan Zizi pada Arimbi bukanlah urusannya. Ia hanya ingin lebih dekat dengan Sani. Pria yang begitu tak tergoyahkan bahkan mengabaikan dirinya yang sudah menjual murah harga dirinya di depan Sani.'Kalo gue gak berhasil dapetin Lo, jangan panggil gue Sera!'Hatchi!"Godbless you, Boss," ucap Joyce pada Sany yang bersin lalu menatap sang asisten yang kembali berucap, "palingan ada yang ngomongin Lo, maklum cowok mahal kayak Lo pasti ba
"Apa Ali dan Marko akan membawa Arimbi pulang kerumahnya?"Lency yang berdiri di depan pintu langsung menoleh pada Sani, "apa?" meski sedetik kemudian wajah Lency jadi pucat mengingat rumah Arimbi meski ia belum pernah ke sana."A--Ali sama Marko gak ngomong apa-apa tentang itu," jawab Lency membuat Sani mengangguk. Mengingat hari ini adalah hari sama Ali dan Marko kembali dari Berlin setelah menyelesaikan pekerjaan begitupun Arimbi yang masa perawatannya selesai.Karena sama-sama sibuk, apalagi Ali dan Marko yang jadwalnya dipadatkan sama sekali belum bertukar kata dengannya."Setidaknya Arimbi sudah kembali, bukan?" ucap Sani saat melihat wajah pucat Lency. Ia jadi merasa tak enak hati melihat wanita yang tadi tertawa bersama Mawardi jadi menunjukan wajah bermasalah.Sani tahu, Marko dan Ali pasti sudah memikirkan banyak hal menyangkut masa depan Arimbi meskipun dalam waktu singkat. Tapi, bagaimanapun juga selain mereka berdua y
"Kok tumben udah balik, Sayang," ucap wanita ayu yang meletakan majalah Fashion saat melihat putrinya masuk dengan wajah kesal."Den Joe, sedang pergi bersama kakaknya, Bu," jawab pengasuh yang mendapat tatapan tanya dari Maya yang mengangguk paham kenapa wajah putrinya yang keluar dengan semangat kembali dengan wajah kesal."Gak usah cemberut gitu dong, Sayang. nanti kalo Joe udah pulang bisa main lagi, kan?""Kata Bu Miranda pulangnya malam, Bu. jadi baru besok bisa main lagi.""Oh, jadi karena itu anak mami wajahnya jadi gini?" ucap Maya tersenyum menyentuh kepala Carmen yang masih saja cemberut dengan bibir kecil mengerucut."Aku tuh mau main sama Joe, Mami. tapi malah keduluan sama Seth. Nyebelin banget!" Sungut Carmen tak melihat Maya memberi kode pada pengsuhnya agar membawakan kue stroberi untuk Carmen."Kalau begitu, gimana kalau kamu jalan-jalan sama Mami dan papi, setelah papi pulang nanti?"Carmen menoleh
Small small bad wolf~She life with a pack of a liar~Small small bad wolf~What she will do when she get older~Small small bad wolf~She smile with innocent smiling face~Small small bad wolf~What she gonna do? What she gonna do~Small small bad wolf~Carefull everyone she come to get you~Small small bad wolf~She life with a pack of liar~Small small bad wolf ~She smile to get you~Small small bad wolf~*Gadis kecil yang langkahnya terlihat ringan itu berjalan digandeng Sabrina, matanya membulat melihat dua pria dewasa yang bahkan tak bisa menahan lari mereka lalu memeluk dan mengangkatnya dalam dekapan rindu disertai kecupan di pipi kenyal nan lembut tanpa bekas tamparan yang sudah tak terlihat lagi.satu minggu terasa begitu lama, Namun setelah melihat gadis kecil kesayangan mereka kembali dengan senyum, Marko dan Ali hanya bisa memeluk Arimbi yang tawanya sudah tak mahal lagi. Rasa syu