Sehabis salat Magrib diadakan acara pengajian. Para undangan yang hadir terdiri dari umat muslim warga sekitar, jamaah masjid tempat Ni Kesumasari membaca syahadat, teman-teman muslim Bang Deni, dan warga muslim yang dengan suka rela hadir karena simpati terhadap sesama.
Lek Dirman, Mak Nah sudah dari pagi membantu Ningsih dan Bang Beni. Meski Wayan Suri beragama Hindu, dia tampak sibuk membantu memasak dan menerima para tamu undangan.
Pak Lana dan Sarti datang menjelang Magrib dengan membawa kue, buah dan minuman dalam kemasan. Dalam acara pengajian ini semua anggota keluarga terlibat dan terlihat rukun.
Saat ini mereka sedang duduk di teras sembari menunggu tim forensik yang baru selesai mengindentifikasi gundukan tanah di belakang rumah. Mereka butuh kepastian tentang telur, lontar berajah dan sobekan kain untuk dimusnahkan demi ketenangan bersama.
“Bang Deni, sobekan kain dan lontar berajah
“Ni!” panggil Bang Deni lirih saat mendekati tubuh wanita berpakaian serba putih tersebut.Pria berbadan tegap berpeci itu pun perlahan menyingkirkan rambut yang menutupi wajah wanita di hadapannya.“Oh, Ni Sayang,” ucap Bang Deni sembari memegang tangan sang wanita lalu memeriksa denyut nadinya.“Alhamdulillah, dia masih hidup!” teriak pria itu bahagia.Tak lama kemudian, Pak Kyai mendekat dengan yang lain.“Bang, tolong, bisikkan azan di sebelah kanan dan ikamah di sebelah kiri,” ucap Pak Kyai memberi saran yang lalu dilaksanakan pria berambut gondrong tersebut.Perlahan tubuh wanita yang tak lain Ni Kesumasari mulai bernapas teratur dan tubuh mulai menghangat. Seketika tubuh wanita itu digendong oleh Bang Deni lalu ditidurkan di kamar sebelah yang lebih bersih.Ningsih, Wayan Suri dan Mak
“Ni Kesuma, mari kita pulang!”Ningsih yang telah dipegang oleh Wayan Suri dan Mak Nah serta para ustaz masih berteriak memanggil nama Bang Deni dan Ni Kesumasari. Lek Dirman segera masuk dan bergabung dengan Bang Deni untuk mengaji bersama.“Ada apa ini, Bang? Lek Dirman?”“Alhamdulillah,” ucap kedua pria yang duduk di kedua tepi pintu berbarengan.“Ni, kuat ambil wudu? Kalo gak kuat, bisa tayamum,” ucap Bang Deni selanjutnya sembari berdiri menghampiri wanita bergamis putih tersebut.“Aku ambil wudu aja, Bang.”Ni Kesumasari berdiri lalu melangkah ke arah toilet yang ada di dalam kamar tersebut. Bang Deni yang khawatir kemudian menghampiri toilet yang sudah tertutup.“Ni, sebelum ambil wudu, ganti baju dulu, ya. Biar suci.”“Oh, ya. Abang
“Assalammu'alaikum.”“Wa'alaikummusalam.”Wajah dengan senyum manis Bang Deni muncul di ambang pintu. Ni Kesumasari segera bangkit lalu berbicara berbisik pada calon suaminya.“Bang, barusan Dadong datang lagi.”“Aneh! Ngomong apa dia?”“Mungkin ada pesan yang ingin disampaikan.”“Nggak perlu didengar. Kita bacain ayat suci lagi. Kasian Ningsih!”“Dia kembali pasti ada urusan yang belum selesai. Aku akan tanyain maunya apa.”“Nggak usah! Biarin aja!”“Baaang?”Ni Kesumasari berusaha merajuk pria berpeci di hadapannya tapi tangannya malah ditarik, hingga langkahnya terhenti seketika.“Nggak usah dipedulikan! Teruskan baca doa. Besok waktu ngaben
Mak Nah yang kerasukan roh Dadong, tahu keberadaan keempat ustaz. Wanita separuh baya itu mengibaskan tangan kirinya beberapa kali dan seketika muncul pusaran angin mengelilingi tubuhnya.Tanpa diduga, Ni Kesumasari cekatan berlari dan merebut kotak yang dipegang wanita separuh baya itu. Ia kemudian masuk dapur, beberapa menit keluar dengan kayu dan botol minyak tanah. Wanita bergamis kuning gading ini pun membuat perapian kecil dan memasukkan kotak itu dalam kobaran api.“Audzubillahiminasyaitonirrojim. Bismillahirahmanirahim!”“Ini jalan yang kau pilih, Bik Tut!” teriak Ni Kesumasari berapi-api, tampak sekali amarah di raut wajahnya.“Auch ... panaaas!”Secara mengejutkan, tubuh Mak Nah mengejang beberapa saat lalu seluruh tubuh diselimuti asap. Sebentuk bayangan berwarna merah keluar dari kepala wanita separuh baya itu lalu mel
“Suri, Lek Dirman tadi dengar pembicaraan kita gak, ya?” tanya Ningsih was-was.“Kayaknya, sih. Gak dengar.”“Moga aja, gak dengar. Mbok jadi khawatir juga kalo Lek Dirman dengar. Moga aja kalo pun dengar, bisa jaga rahasia.”“Moga aja. Kita liat Mbok Yan, yuk!” ajak Wayan Suri segera bangkit dari kursi.Kemudian kakak beradik tersebut melangkah menuju tempat Ni Kesumasari mendapat tindakan. Saat mereka sampai, Pak Lana berpamitan akan pulang. Setelah kepergian pria tersebut, keduanya mendekati pembaringan Ni Kesumasari. Sedangkan Bang Deni tampak serius berunding dengan Lek Dirman. Sejurus kemudian kedua wanita itu menghampiri kedua pria berpeci.“Bang, Lek! Gimana kata perawat?” tanya Ningsih sembari menoleh ke arah tirai yang tertutup.“Kayaknya harus diambil tindakan operasi hari ini juga,&
Ningsih sudah menghabiskan porsi makannya sembari menunggu sang adik yang lemot menyantap makanan, iseng-iseng ia bermain ponsel. Dalam sebuah laman sosial media tanpa sadar matanya dibuat takjub lalu menyodorkan tangkapan layar ponselnya kepada Wayan Suri.“Apa ini, Mbok? Kok bisa?”Seketika wanita polos dan selalu baik hati pada siapa pun itu menghentikan aktivitas mengunyah. Mata belognya tak berkedip menatap layar ponsel di hadapan.“Ini Mbok Yan? Tapi kok, namanya lain? Kok ....”Belum tuntas rasa penasaran Wayan Suri terpaksa terputus gara-gara ada panggilan masuk dari Bang Deni. Akhirnya ponsel pindah tangan ke kakaknya. Ningsih segera memasang speaker aktif saat menjawab panggilan masuk agar sang adik bisa ikut mendengarnya.“Ada apa, Bang?” tanya Ningsih.“Udah selesai sarapan?”&ld
“Operasi sekarang? Emang Mbok Yan kenapa?”Pertanyaan itu seketika meluncur dari mulut Mak Nah, saat Ningsih memberitahu keperluannya pulang bersama sang adik. Ningsih menceritakan semua mengenai Ni Kesumasari berdasar hasil rontgen.“Nggak menyangka seserius ini,” sahut Lek Dirman kemudian.“Minta doanya aja, buat Mbok Yan,” ucap Ningsih sembari meminum teh hangat yang disodorkan oleh Mak Nah.Wayan Suri yang sudah tak sabaran ingin mencicipi jajanan yang dibikin para kerabat, langsung menyelonong ke dapur dengan membawa minumannya.“Mak Nah, izin ke dapur, ya? Aromanya menggoda cacing perut,” ucap Wayan Suri setengah teriak.“Silakan, Mbok Gek,” jawab Mak Nah sembari tersenyum.Wanita separuh baya ini sangat bahagia melihat kerukunan di antara mereka. Padahal hubungan mereka be
“Katamu belum tuntas, apa itu?”tanya Pak Lana sembari menatap ke arah Wayan Suri.“Tyang belum bakar rambut di atas jasad Meme, Bli.”“Kok bisa gitu?” Ningsih makin dibuat penasaran dengan jawaban sang adik.“Dulu Meme pernah lakukan itu saat We sakit agar segera meninggal dan tak bisa reinkarnasi. Meme menginginkan ilmu We.”*We: Bibi“Itu sama dengan membunuh We,” ucap Ningsih dengan berapi-api.Wanita keturunan Jawa ini tak menyangka memenya bisa bertindak sekejam itu. Dalam bayangan Ningsih, memenya adalah wanita berhati lembut dan sayang keluarga dan nyatanya seperti itu.“Yaudah, Bli pergi dulu. Petugas udah datang.”“Tunggu, Bli! Ada yang ingin aku tanyakan,”sahut Ningsih sembari berdiri menghampiri Pak Lana yang b
“Jangan pura-pura! Sengaja betulin rumah Dadong untuk ambil alih, kan. Kami tau tipu muslihatmu, Nak Jawa!” Pria berkulit gelap ini berteriak berapi-api.“Kami? Dugaan kalian sekeluarga salah! Tanah itu milik Dadong dari gadis. Sebelum menikah dengan dengan suaminya,” ucap Ni Kesumasari dengan hati-hati lalu melanjutkan, “itu memang hak anak-anak kandungnya, meski wanita. Putu Adi telah dapat bagian setelah bapak angkatnya meninggal. Kemana itu? Kalian jual!”Ni Kesumasari kini tak dapat menahan emosi juga. Ia marah dengan keserakahan keluarga yang didatanginya. Putu Adi yang diangkat jadi anak sentana begitu mendapat harta warisan kembali ke keluarga asal.Ia dibujuk keluarganya untuk menjual harta tersebut tanpa menghiraukan upacara keluarga dan kehidupan Dadong Canangsari. Kini, bapaknya masih ingin menguasai tanah milik Dadong pula.Pria tukang judi ini telah menghabiskan harta peninggalan suami Dadong untuk b
“Astaghfirullah! Dari darah?”Semua yang ada di situ terkejut mendengar penjelasan dari Ni Kesumasari. Mereka terkesima sekaligus ngeri saat melihat warna merah pada tenun tersebut. Seketika bayangan mereka melayang sibuk mereka-reka cara mendapatkan darah untuk proses membatik.“Apa pun itu, yang penting dengan kamen ini Mak Nah telah dipercaya Bik Tut untuk menyelesaikan masalah kita sekarang,” kata Ni Kesumasari menatap ke arah Mak Nah.“Insyaallah Mak Nah bantu sebisanya. Tapi, gimana caranya, Mbok Yan?” tanya Mak Nah.Semua saling pandang, termasuk Mak Nah dan Lek Dirman yang diberi barang wasiat oleh Dadong Canangsari.“Setau tyang, tinggal pake aja, Mak. Oh, ya. Bungan sandat selipkan di atas telinga kiri dan sunggar di bagian rambut depan. Sayang, gak ada kebaya Meme,” ucap Wayan Suri dengan nada menyesal.“Mbok Yan ada warisan kebaya dari Bik Tut.”“Wah bisa ke
Hingga mobil sampai rumah pun, belum ada sepatah kata dari mereka. Bang Deni memarkirkan mobil di luar gerbang karena ia harus segera berangkat kerja.Pria ini berniat ke kebun belakang ingin memastikan penglihatan sebelum berangkat ke rumah Bik Mang tadi. Rasa penasaran yang memenuhi otaknya sepanjang perjalanan barusan.Tiga wanita bersaudara telah melangkah meninggalkan mobil lalu menuju dapur. Mereka kehausan, lebih tepatnya efek dari rasa kecewa telah mengeringkan tenggorokan dan dada. Mak Nah melihat mereka dengan rasa penasaran.“Gak ketemu lagi?”“Bukan gak ketemu. Ia sengaja sembunyi, Mak,” kata Ni Kesumasari bisa dibilang sebuah keluhan lalu mengambil botol mineral dari dalam kulkas.“Maaf, kalo boleh Mak Nah tau. Ada masalah apa?”“Oh, iya. Mak Nah belum tau ini. Bik Mang mencuri sunggar emas Bik Tut dan juga sebagian kulitnya diiris,” jawab Ni Kesumasari sambil menahan rasa sesak.
“Bang, aku harus segera ke Bik Mang, “ucap Ni Kesumasari sambil meminum teh hangatnya. “Yang penting harus segar dulu. Entar Abang yang antar,”sahut Bang Deni sambil berdiri. “Mau ke mana, Bang?” tanya sang calon istri. “Mau minum kopi. Tadi Abang taruh di meja depan sambil nunggu kalian siuman,” jawab pria berambut lebat ini sambil berlalu. “Mak Nah permisi ke dapur dulu. Tadi bawa pisang, mau bikin pisang goreng.” “Enak itu, Mak. Perlu bantuan?” “Gak usah, matur nuwun. Mbak Ning, rehat dulu. Barusan siuman juga,” ucap Mak Nah menepuk bahu Ningsih lalu balik badan lalu keluar kamar. Kini tinggal tiga bersaudara saling menatap dan segera tersenyum begitu menyadari bahwa mereka saling menunggu untuk berbicara duluan. “Okey, Mbok Yan yang ngomong dulu. Bisa jadi Bik Mang telah dapat darah kita buat ritual.” “Adi, Mbok Yan ngomong keto?” “Kamu gak diberitahu Bik Tut?” “Gak tuh, Mbok,” jawab Wa
Polisi segera membuat garis kapur di TKP. Para petugas mengambil beberapa foto di tempat tersebut. Pak Lana, Lek Dirman, Bang Deni, dan kedua tukang ikut ke kantor polisi untuk diminta keterangan.Setelah kepergian para aparat dan kelima pria ke kantor polisi, ketiga wanita berembuk secara serius.“Suri, kira-kira siapa?”“Kok aku yang ditanya Mbok Yan?”“Lah iyalah. Secara, kamu yang lebih peka dibanding kami,” sahut Ningsih sambil senyum meledek ke arah sang adik.“Sejak awal aku menduga, Bik Mang.”“Mbok Yan juga,” timpal Ni Kesumasari lalu berpaling ke arah Ningsih.“Aku belum pernah ketemu Bik Mang. Kemarin diajak Suri ke sana juga gak ketemu.”“Mbok Ning udah liat orangnya. Di Labfor Polri kemarin itu,” ucap Wayan Suri mengingatkan kakaknya.“Oh ya. Mbok baru ingat sekarang. Bik Mang sempat bantuin masak di sini dan juga semba
Ada apa dengan keluarga Bik Mang?Semoga Bik Mang belum sempat mempraktekkan ilmu itu.Sejak kapan mereka tahu cara curi ilmu?Ni Kesumasari semakin pusing dengan berbagai pertanyaan yang menumpuk satu persatu dalam benak. Ia belum bisa menemukan jawaban hingga mobil yang mereka tumpangi meninggalkan tempat tersebut. Sementara itu, Wayan Suri belum beranjak meski Bang Deni telah memberi kode klakson.Mobil semakin menjauh, justru motor Wayan Suri semakin mendekat ke arah hutan. Ia melihat bayangan seseorang melangkah di antara pohon-pohon jati.Bayangan itu pasti salah satu dari anggota keluarga Bik Mang, batin wanita berpinggang ramping ini.Wayan Suri ingin masuk ke hutan, tapi hati nurani melarang. Akhirnya, terpaksa balik arah untuk mengejar mobil Bang Deni. Ia berpikir akan menceritakan hal ini kepada ketiga kerabatnya dan bisa jadi pendukung anggapan mereka belakangan ini.Mereka hanya ingin membantu Bik Mang agar tak terjebak r
“Cicing cai! Panak tyang mati, bangka caine!” teriak Ningsih dengan mata memerah.Tangan wanita berdarah Jawa yang telah dirasuki roh Dadong Canangsari telah terangkat dan Ni Kesumasari buru-buru memeluknya.“Bik Tut, tenang! Tyang akan ngajak ngomong ke dia. Percaya ke tyang! Ini bukan jalan terbaik,” ucap wanita mualaf ini dengan sesengukan.“Wak, tolong pulang dulu. Nanti kita ke rumah Wak. Sayang nyawa,” ujar Wayan Suri sembari membantu pria ini untuk bangkit.Meski dengan ekspresi tak senang, suami Bik Mang mau menuruti kata-kata Wayan Suri. Ia berlari ke arah motor lalu menstater dan berlalu dengan kepulan asap motor dua tak.Begitu suami Bik Mang sudah pergi, tubuh Ningsih seketika lunglai dan hampir jatuh ke lantai. Beruntung Ni Kesumasari dan Wayan Suri telah sigap menangkap tubuhnya. Tubuh wanita keturunan Jawa ini dibopong ke ruang tengah lalu dibaringkan di sofa.“Ningsih ... ningsih,&rdq
Mereka lega telah memiliki beberapa foto adegan dalam rekaman yang dianggap penting. Kakak beradik ini mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan para petugas lalu mohon diri kepada sang kepala dan anak buahnya.Langkah keduanya menuju tempat parkir diisi pembahasan langkah selanjutnya yang akan dilakukan. Tanpa sengaja, pandangan Wayan Suri tertuju kepada seorang wanita yang berjalan mengendap-endap dari tempat parkir motor menuju bagian samping gedung.Wayan cekatan menarik tangan sang kakak diajak bersembunyi di balik tembok ruang lapor. Ningsih hanya bisa bengong saat diajak memindai gerak-gerik wanita itu.“Itu yang kita cari tadi, Mbok.”“Bik Mang?”“Iya. Dia adik ipar Bapak.”Setelah wanita yang diintip telah berlalu, mereka keluar dari tempat persembunyian lalu berjalan ke tempat parkir. Sejurus kemudian motor telah membawa keduanya berbaur dalam keramaian jalan raya.Perjalanan menempuh j
“Berapa orang?” tanya Ningsih sambil mengambil piring dari rak lalu ditaruh di meja.“Sekitar 20 orang termasuk tukang, Bli Yan dan Pak Lana,” jawab Wayan Suri sembari membantu menaruh teko kopi dan teh di nampan.“Jangan lupa gelasnya,” ucap Ningsih sembari menata beberapa gelas di nampan lain.“Udah komplit. Tolong bawa ke sana! Biar segera sarapan. Untuk kita udah Mbok siapin di wajan,” kata Ni Kesumasari.Mereka melangkah keluar dari dapur menuju teras rumah besar. Pak Lana dan Lek Dirman telah selesai mempersiapkan meja panjang untuk tempat menaruh sarapan.“Kita perlu ngomong bertiga. Ada leak baru di daerah ini,” ucap Wayan Suri kepada kedua saudaranya.“Kamu tau dari mana?” tanya Ni Kesumasari terkejut.Ketiga wanita ini kemudian melangkah ke dapur dan duduk di dipan. Wayan Suri menatap Ni Kesumasari lekat-lekat. Terang saja pandangan mata sang adik sepupu