AKIRA
Akira melihat raut wajah Giselle kembali gusar ketika menerima telepon dari ibunya.
“Itu semua hanya gosip murahan, Ma.” tukas Giselle dengan keras dan lugas. Nada bicaranya membuat Nero dan Raka berfokus kepada Giselle, mengecek apakah kekasihnya itu membutuhkan pertolongan dari mereka atau tidak.
“Nanti malam? Memang Mama mau bertemu sama Papa juga?” tanya Giselle di samping Akira. Dia hanya bisa memberikan support dengan cara meremas jemari lentik sang kekasih dan menenangkannya dengan mengusap punggung Giselle dengan penuh kasih.
“Hah? Mas Damar juga datang? Buat apa? Terakhir dia bilang nggak mau menginjakkan kaki di rumah Papa lagi?” Giselle berdecak mendengar respon dari mamanya di ujung telepon.
Kini Akira baru menyadari betapa disfungsionalnya keluarga kekasihnya itu.Setelah drama yang tak digubris oleh mereka berdua di kantor sepanjang hari, Akira dan Giselle akhirnya pergi bersama menuju sebuah restoran bistro bernama Moon Gypsies yang terletak di bilangan Dharmawangsa.Perjalanan yang cukup memakan waktu karena macet Akira manfaatkan untuk bertanya beberapa hal mengenai keluarga Giselle di sepanjang perjalanan tadi.Tentang ibunya, ayahnya, serta kakak laki-lakinya yang sedingin kulkas yang bernama Damar.Satu kesimpulan ketika Akira belum bertemu mereka adalah: orang tua narsistik penuh drama, dan kakak yang tidak memiliki kecerdasan emosional untuk mel
GISELLE Giselle mencoba mencuri pandang ke arah Akira ketika mereka bergegas dalam perjalanan pulang selepas bertemu dengan orangtuanya. Akira begitu mengayomi dan melindunginya sepanjang debat alot dengan mama dan papanya tadi. Pria itu bahkan dengan berani mengambil posisi dan tak segan mematahkan ucapan merendahkan papa terhadap dirinya, serta permintaan halu mama dan papanya agar dia tetap berhubungan dengan Kelana Sastrowilogo. Bagaimana mau berhubungan jika koneksi romantis dengan pria itu saja tak ada sejak awal pertemuan mereka! Yang Giselle pilih adalah Akira Hangga Aryanto. Pria setengah Jepang, atasannya langsung, si musuh yang berubah menjadi kekasih Giselle. Tak ada yang bisa menggantikan posisi Akira sampai saat ini. Akira adalah pria sempurna di mata Giselle. Pria penyabar yang bisa melihat dan bersikukuh memilih Giselle dengan apa adanya. Bisa meredam kegelisahan dan kekalutan karena rasa insecure-nya Giselle jika berbicara tentang keluarganya. Lalu ketika Aki
Berbagai macam emosi dan pikiran tumpah ruah di dalam otak Giselle saat ini. Dia merasa seperti mesin yang sudah tua dan usang, namun dipaksa untuk tetap beroperasi. Alhasil, setelah Akira mengungkapkan secara gamblang apa maksud ucapannya itu terhadap Papa, Giselle menjadi diam seribu bahasa. Dia tak tahu harus menjawab apa karena perasaannya yang campur aduk. Rasa bahagia tak terkira tentu saja mendominasi relung hatinya saat ini. “Kamu ngelamar aku sekarang?” Refleks Giselle bertanya seperti itu. Dirinya seperti sedang berada di alam mimpi. Akira tertawa kecil, “bagaimana menurutmu?” tanyanya kembali yang membuat Giselle semakin bingung. “Ih, gimana sih! Kamu malah nanya balik!” cerca Giselle, berusaha menyembunyikan perasaannya yang membuncah malam ini. Tak lama, Akira merogoh sakunya dan mengeluarkan sekotak beludru hitam dan membukanya di hadapan Giselle. "Giselle, aku tahu ada sesuatu yang nggak bisa aku hiraukan sejak pertama kali aku melihatmu." Akira membuka ucapannya
AKIRA Saat dalam perjalanan kembali ke rumah dari apartemen Giselle, Akira menerima pesan singkat dari Nero. ‘Kami sudah mengantongi siapa dalang dari fitnah yang tersebar di media sosial, hubungi gue jika menerima pesan ini.’ Membaca pesan tersebut, Akira menepikan mobilnya dan segera menghubungi Nero dalam speed dialnya. “Nero!” sapa Akira dengan genting. Nero menjawab panggilannya dengan sigap, “Akira, kami sudah tahu siapa dalangnya,” jawab Nero di ujung telepon. “Siapa?” cecar Akira. “Teddy Mulyawan. Rekan kerja kalian.” Ucapan Nero mengukuhkan kecurigaan Akira selama ini. “Benar kan, dia pelakunya!” Akira sontak memukul stir mobil seraya menggertakkan giginya. Menahan emosinya agar tidak keluar dan membuat kerusakan di sekelilingnya. “Dia dibantu oleh Citra Purba, salah satu rekan kerja kalian juga.” Informasi tambahan yang dituturkan Nero membuat Akira melongo sesaat. What the fuck? “Hah?! Kenapa Bu Citra ikut terlibat?” tanya Akira tak habis pikir. Ini sunggu
Ternyata Teddy digelandang ke hotel bintang lima The Royal Ruby milik Darius. Darius dan dua orang kepercayaannya mengatakan jika ada hal yang perlu dibicarakan dengan Teddy.Lalu Teddy yang silau akan kesempatan networking dengan konglomerat muda Darius akhirnya menyetujui pertemuan di hotel The Royal Ruby. Ruangan yang disediakan tentu saja Presidential Suite dan membuat Teddy semakin terlena sehingga dia mengendurkan kewaspadaannya dan tidak mempertanyakan lebih lanjut apa maksud dan tujuan Darius membawanya ke ruangan ini.Pantas saja tadi Darius terkekeh ketika Akira menuduhnya menculik Teddy. Memang terkesan berlebihan. Mungkin istilah yang tepat untuk digunakan adalah ‘memperdaya’ Teddy yang sudah kepalang tergiur dengan tawaran Darius.
Teddy tak bisa mengelak lagi. Sudah beberapa kali bola matanya bergerak liar dari pisau yang dipegang Nero lalu menuju pintu yang tertutup rapat, hingga beberapa kali melihat Akira yang berdiri tanpa ekspresi melihat bagaimana intimidatifnya Nero jika melakukan proses ekstraksi informasi seperti ini. “Saya dan Citra meminta seorang hacker untuk membuat akun palsu dan membuat cerita tentang Giselle,” ujar Teddy terbata-bata saat merasakan dinginnya pisau di leher gemuknya. Napasnya berubah jadi tak beraturan, seperti orang yang terserang serangan panik akut. Membuat Akira semakin jengah melihat pria yang terlihat begitu pathetic di hadapannya kini. Wajah pucat pasi pria itu dipenuhi dengan peluh, bahkan celananya basah karena rupanya dia tak bisa menahan ketakutannya dan berakhir dengan tindakan memalukan seperti itu. Darius hanya tertawa kecil, lalu melanjutkan pekerjaannya membaca laporan keuangan. Sedangkan Raka sibuk dengan tripod dan kamera di ujung ruangan. Kamera terseb
GISELLE Benar saja kan, semalaman Giselle tak bisa tidur dengan nyenyak karena otaknya secara sadar memutar kembali kilasan-kilasan kejadian yang terjadi dalam hidupnya belakangan ini. Giselle baru bisa benar-benar menutup matanya dini hari setelah dia pergi ke dapur dan minum susu hangat, dan menyemprotkan linen spray beraroma lavender ke bantalnya, dan akhirnya memakai eye mask untuk memaksa matanya terpejam. Pagi ini dia bangun dengan sedikit lelah. Kepalanya sedikit pusing, dan mungkin saja serangan migrain akan terjadi lagi dalam hari ini karena dia kurang tidur semalaman. Selama dia mandi dan bersiap untuk pergi ke kantor, kilau cahaya cincin yang semalam Akira sematkan di jarinya selalu berhasil membuat hatinya berdebar sedikit demi sedikit. Sampai terkadang seulas senyum tercipta di bibirnya karena dia tak mampu menghalau perasaan bahagia yang menghampiri hatinya sejak dia terbangun. Akira bilang kalau dia akan menjemput Giselle pagi ini. Maka dari itu Giselle bangun d
Giselle tak menyadari bagaimana dia dan Akira sampai di kantor. Perjalanan pagi tadi serasa blur dan tak terekam dalam memori otaknya. Dia baru menyadari mereka tiba di kantor ketika Akira menggamit jemarinya dan menuntunnya keluar dari mobil Akira. “Duh, makin lama aku makin males ke kantor,” ujar Giselle pelan ketika mereka berada di dalam lift. Akira hanya meremas jarinya dan mengecupnya sesaat. Beberapa pengguna lift melihat bagaimana mesranya mereka dan saling lirik satu sama lain. Giselle tahu jika Akira adalah salah satu pria populer di gedung perkantoran ini. Tak jarang dia melihat beberapa perempuan turun ke kedai kopi ketika Akira memesan kopinya di lobi gedung. Belum lagi bisik-bisik yang selalu menemani setiap langkah pria itu kemanapun Akira pergi. Tapi sepertinya Akira begitu acuh dengan segudang perhatian yang dia terima dari lawan jenis, dan memilih untuk tetap berfokus di samping Giselle serta menjaganya sedemikian rupa. “Nanti kita bicara dengan Pak Hasan. Aku p
EPILOG Akira dan Giselle bertatapan setelah di kursi pelaminan mereka berdua, dan tak lama Giselle terkikik geli dan menepuk lengan Akira sebelum akhirnya terdistraksi oleh beberapa tamu yang mendekat untuk datang memberikan selamat kepada mereka. Akira tak henti-hentinya mengagumi Giselle yang terlihat begitu cantik, elegan dan menawan dalam balutan kebaya modern berwarna silver yang membalut tubuhnya. Wajahnya terlihat bersinar. Make up dan Hairdo yang begitu sempurna membuat decak kagum tamu yang melihat Giselle. Tak sedikit yang memuji secara langsung dan mengatakan kalau Giselle cocok menjadi selebriti atau model papan atas. Mereka pun mengangguk setuju ke arah Akira dan mengatakan kalau mereka pasangan serasi. Tampan dan cantik dalam hari istimewa mereka. “Kamu capek?” bisik Akira kepada Giselle yang masih memasang senyumnya selepas para tamu kembali turun. Giselle menggelengkan kepalanya. Tapi perempuan yang kini telah resmi menjadi istrinya melirik ke arah mama dan p
AKIRA Akira merasa sedang berada di atas angin. Semua yang dia inginkan kini berada dalam genggamannya. Tunangannya yang cantik, baik hati dan pintar luar biasa. Keluarga Akira yang begitu mendukung hubungan mereka. Sikap calon mertuanya yang semakin hari semakin melunak kepada dirinya. Meskipun tentu saja terkadang mereka masih suka kelepasan mengontrol sikap snobbish-nya di hadapan Giselle dan Akira. Tapi Akira sadar, mungkin memang mereka yang terbiasa dengan perlakuan golden spoon sehingga realitas mereka berbeda dengan Akira yang memang dibesarkan secara membumi dan sederhana. Tapi untungnya kini sudah tidak ada tendensi merendahkan lagi kepada Akira, dan mereka sudah mulai bisa membuka hati mereka kepada Akira. Kini jadwal malam minggu Akira dan Giselle menjadi lebih padat daripada biasanya. Kini, Tante Mira dan Om Anton terkadang berebut slot, bersikeras agar Giselle mendatangi rumah mereka masing-masing atau mereka mencari waktu untuk lunch bersama di restoran sambil men
Balasan tajam yang Mas Damar lancarkan membuat napas Papa memburu keras seperti habis bertengkar hebat. Tante Elena yang duduk diam di samping papa hanya bisa mengusap punggung papa, sedangkan Giselle meremas jemari Mas Damar yang duduk di sampingnya, menatap Papa dengan tatapan tajamnya. Sepertinya memang berdiskusi dengan papa adalah satu hal yang begitu sulit. Rasa-rasanya restu dari Papa akan sulit mereka dapatkan dan mereka harus siap dengan batu terjal yang termanifestasi dalam bentuk kekeraskepalaan Papa untuk menolak hubungan Giselle dan Akira. Mas Damar setelah ditenangkan oleh Giselle akhirnya menghela napas panjangnya. “Pa, apa yang membuat Papa begitu keras kepala tidak menyukai hubungan Giselle dan Akira? Mereka pasangan yang sempurna dan aku melihat Akira begitu bertanggung jawab sebagai lelaki dan begitu menghormati serta mencintai Giselle,” ujar Mas Damar yang memuji Akira dengan tulus. Papa masih terdiam dengan wajah yang mengeras setelah perdebatannya dengan Mas
GISELLEBenar sesuai janji Mas Damar, dia datang ke kediaman Giselle sebelum mereka bertolak menuju rumah ayah mereka di daerah Pondok Indah. Ini pertama kalinya Mas Damar datang mengunjungi unit studio apartemen milik Giselle. “Wah, tempatmu ternyata nyaman juga ya,” puji Mas Damar saat menginspeksi apartemen Giselle. “Terima kasih, Mas!” jawab Giselle. Saat ini mereka sedang menunggu Akira tiba dan mereka bertiga bisa pergi bersama menuju rumah ayahnya. “Giselle, tenang saja, aku pasti akan mendukung dan membela kamu. Jangan terlalu dipikirin nanti respon papa akan seperti apa,” ujar Damar dengan serius sejurus kemudian. Giselle sontak tersenyum miris. “Sebelum aku ketemu Akira, aku selalu saja merasa kalau ada yang salah sama diriku. Sepertinya mama dan papa nggak pernah puas sama aku. Apa saja yang aku lakukan dianggap salah di mata mereka,” Giselle mengingat kembali kepingan masa lalunya. Hidup sebelum dia mengenal Akira terasa begitu jauh dan pudar. Berbeda ketika Akira d
“Ayo kita bicara!” ujar Pak Hasan dengan cukup keras. Membuat beberapa pengunjung menoleh penasaran ke arah mereka. Beberapa waitress melirik was-was pula ke arah sumber keributan.“Tapi saya sedang ada urusan lain,” jawab Akira tak kalah dingin.Tak bisakah mantan bosnya itu melihat dia sedang bersama orang lain?Tapi sepertinya Pak Hasan sedang diliputi kemarahan dan dia tak peduli bahkan tidak melirik sedikitpun ke arah Raka, Giselle dan Damar.“Kamu bisa-bisanya menarik klien kakap kita dan meminta mereka untuk mundur bekerja sama dengan The Converge! Kotor sekali caramu itu!” Wajah Pak Hasan sudah memerah, dan urat di dahinya mulai keluar–seiring dengan meningkatnya emosi Pak Hasan.
AKIRAAkira tiba di kantor Darius pagi ini dan diharapkan untuk langsung menemui Raka serta head of HR perusahaan ini. Dengan nominal bonus sign in yang telah ditransfer Darius tempo hari, tentu saja Akira harus datang lebih awal dan menunjukkan komitmennya untuk bergabung dengan perusahaan ini dengan sungguh-sungguh. “Hey Akira, akhirnya datang juga!” Raka ternyata telah menyambutnya dan memintanya untuk segera naik ke lantai 50, tempat Darius dan yang lainnya berkantor. Saat di foyer lantai 50, dia melihat ada beberapa gadis berperawakan tinggi seperti Giselle yang menyambut Akira dengan senyum mereka. Setelah menyampaikan kalau dia ingin bertemu dengan Raka dan Darius, sikap mereka berubah profesional dan menunjukkan di mana ruangan yang telah disediakan oleh Raka sebagai tempat Akira menunggu. “Siapa dia? Kok ganteng sih? Rekan kerja Pak Darius kah?” Sayup-sayup Akira masih bisa mendengar diskusi para resepsionis tersebut sebelum pintu ditutup. Tak lama Raka datang dengan seo
Giselle tiba di sebuah gedung perkantoran besar di kawasan SCBD tempat di mana co-working space Mas Damar berada. Giselle berdiri di depan resepsionis sambil menunggu Mas Damar menjemput dirinya. Tak lama, Mas Damar datang dari dalam salah satu ruangan. Hari ini penampilan kakaknya terlihat casual dan santai, namun tetap terlihat rapi dan menawan. Khas gaya CEO muda perusahaan rintisan. “Giselle! Akhirnya kamu datang!” sapa Mas Damar dengan sumringah. “Kamu sudah sarapan belum? Mau sarapan dulu di bawah? Ada kafe di bawah dan croissant-nya juara,” tawarnya kepada Giselle penuh semangat. Ini merupakan sisi lain Mas Damar yang tidak Giselle kenal. Tapi sesungguhnya Giselle sangat menyukai sisi lain kakaknya yang hangat seperti ini. “Aku sudah sarapan tadi dari rumah. Tapi kalau Mas Damar ingin ke kafe itu ayo aku ikut aja,” Giselle menawarkan. “Oke, kita turun sebentar ya. Sekalian aku mau cek supply kopi di kafe tersebut. Ada keluhan atau nggak,” ujar sang kakak. Mereka tu
GISELLE Saat perjalanan pulang, ponsel Akira kembali berdering dan cukup membuat konsentrasi sang kekasih sedikit terbelah saat mengendarai mobil untuk mengantar Giselle kembali pulang dari rumah mamanya ke apartemennya. “Sayang, mending kita menepi dulu deh. Aku penasaran siapa itu yang dari tadi telepon kamu nggak putus-putus,” Giselle akhirnya gregetan dan meminta Akira untuk menepikan mobilnya terlebih dahulu dan mengecek siapa yang menghubunginya malam-malam ini. Tak lama, mereka menepi dan mengecek ponselnya. “Hmm… Pak Hasan menghubungiku berkali-kali,” ujar Akira seraya mengernyitkan dahinya. “Huh? Ngapain dia telepon kamu?” Giselle jadi ikut penasaran. Tak lama, ponsel Akira kembali berdering dan akhirnya pria itu mengangkatnya. “Pak Hasan,” ujar Akira dengan dingin, meskipun masih terdengar sedikit sopan. Giselle mencoba menganalisa apa pembicaraan mereka berdua. Kepalanya mendekat ke arah Akira, dan Akira yang menyadari sikap konyolnya tertawa tanpa suara sebe
Dering ponsel di saku celananya begitu mengganggu sepanjang perjalanannya menuju rumah mamanya Giselle yang terletak di kawasan Dharmawangsa, Kebayoran Baru - Jakarta. “Kamu nggak mau angkat teleponnya?” Giselle yang tadinya sudah gugup seharian ini karena Akira mengiyakan ajakan mama Giselle untuk menemui mereka berdua, akhirnya terdistraksi juga dengan suara ponsel Aira yang bergetar sedari tadi. “Nanti saja, yang pasti ini bukan dari keluarga. Nada dering mereka aku setting berbeda,” jawab Akira seraya mengernyitkan dahinya. “Oke kalau begitu,” ucap Giselle pasrah. “Akira… nanti kita bakal bicara apa sama Mama?” Tak lama Giselle bersuara, menyiratkan kekhawatiran yang dari tadi bergumul di dalam hatinya.