"Sudah, sekarang kamu jangan terlalu fokus pada wanaita itu. Kamu fokus bagaimana bisa menjadi lebih baik, dan membuat Attar bisa kembali menjadi dia yang kamu kenal!" Nasehat ibu yang ingin kubantah. Namun, aku ingat dengan diriku yang belum bisa menjaga berat badan, apakah hanya karena ini, Mas Attar hatinya tergoda, dan membuatnya bisa di guna-guna, bukan karena suka. Tentu saja, hal ini membuatku semakin putus asa. Mas Attar adalah lelaki yang bisa menjaga pandangannya, selama kami menikah dan belum dikaruniai anak, dia pernah kuminta untuk menikah lagi, tapi langsung ditolak olehnya. Mas Attar mengatakan akan berjuang dan hidup hanya bersamaku. Kenyataannya, baru tujuh tahun dia sudah berubah. Benar kata pepatah, lelaki diuji, ketika memiliki harta dan tahta. Sedangkan wanita akan diuji, saat suaminya tidak memiliki apa-apa. "Mau ibu antar, atau Radit?" tawar ibu. Tangan ibu mengusap punggungku dengan lembut, terasa sekali kasih sayang yang dia berikan. Terkadang aku merasa se
Aku bertanya, ketika Mas Attar masuk ke rumah tanpa mengucapkan salam dan langsung menerobos masuk ke kamar, setelah seminggu tidak pulang. Mengobrak-abrik lemari pakaiaan, dan terlihat sangat panik. “Kamu ke mana, kan sertifikat rumah?” tanya Mas Attar marah. “Aku tidak tahu, Mas! Kamu kenapa jadi kasar begini?” tanyaku lirih, berusaha menghormati dia yang selalu membersamaiku selama ini. “Kamu!” Tangan Mas Attar terulur ke leherku, dengan tatapan mata yang sangat tajam. Bebarengan dengan tangis Aqilla yang tidak biasa, sehingga membuat cengkraman tangan Mas Attar terlepas. Aku langsung berlari ke ruang santai, di mana Aqilla tidur di dalam box bayi. Kuangkat anakku, memeriksa tempat tidurnya dengan seksama, takut jika ada semut atau hewan lainnya. Sekilas, kulirik Mas Attar yang terduduk lesu di pinggir ranjang. Tangannya mengacak-acak rambut yang mulai panjang dengan sangat kasar, kemudian memukul ranjang dengan membabi buta. Hatiku cukup mencelos dibuatnya, tidak lagi mengena
Setelah menimang-nimang Aqilla beberapa lama, ibu mertua masuk dan mengambil Aqilla dari dekapan. Memintaku untuk membereskan pakaianku dan Aqilla.“Kamu di sini saja!” ujar ibu, saat aku akan keluar dari kamar dengan membawa tas kosong, karena bajuku ada di kamar di mana Mas Attar berada saat ini.“Kenapa, Bu?” tanyaku, tapi diabaikannya.“Naura!” teriak ibu, memanggil Mbak Naura yang masih saja memarahi Mas Attar. “Kamu saja yang membereskan dan membawa semua baju Yumna, dan Aqilla. Ibu langsung ngajak mereka ke rumah, biar anak enggak tahu diuntung itu bisa berpikir jernih!” lanjut ibu geram.Aku memang memilih diam, tidak ingin memperbesar masalah yang akan membakar diriku sendiri. Menunggu waktu yang tepat untuk berontak.“Kamu pegang! Pinnya tanggal lahir ibu,” Ibu mertua menyodorkan kartu debit gold padaku dan menyebutkan tanggal lahirnya lengkap.Aku menatap matanya yang mulai berkaca-kaca. Sepertinya sedang merasakan ulang, kepedihan dikhianati orang yang sangat dipercaya, ba
"Iya, sewaktu kamu ketiduran, karena memberi asi pada Aqilla. ibu menyeretnya menjauh dari rumah, agar bisa bebas memarahinya tanpa harus Aqilla mendengarnya, meski dia masih bayi!" ujar ibu.Aku tidak habis pikir dengan mertuaku, bisa-bisanya dia membelaku dari pada anak kandungnya yang sempat dia bangga-banggakan."Bu, ijinkan aku memperbaiki semua. Mungkin Mas Attar sedang khilaf ditambah dengan bumbu dukun, jadi dia lupa diri!" pintaku dengan sepenuh hati, aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya sebelum rumah tangga kami tidak dapat diselamatkan karena kata talak.Ibu memutar mata jengah dan berlalu dari hadapanku, mungkin dia merasa, jika menasehatiku tidak akan pernah aku dengarkan, padahal aku anya sedang mempertahankan rumah tangga yang kami bangun dari nol. Akan tetapi, aku tahu ibu pernah seperti diriku, yang yakin pada suaminya dan berharap semua akan baik-baik saja.[Hilman, apakah kita bisa bertemu?]Kukirimkan pesan pada Hilman untuk mencarikanku instruktur senam atau
Alisku naikkan, dan mata ini kembali fokus pada pesan yang kuterima. Tidak yakin, jika itu dari Mas Attar. Lalu, aku menarik sebelah sudut bibir. Mungkin orang iseng, batinku.Mbak Naura kembali memanggilku, membuatku melupakan pesan yang kuterima, entah dari siapa. berlari kecil mendekat ke arah ibu dan Mbak Naura yang sudah bersiap.Dalam perjalanan, aku hanya diam. Meski kami bertiga tertawa, tapi di dalam hati kami menyimpan luka tersendiri. terlihat dari sudut mata ibu yang terus berkaca-kaca dan sesekali mengusap matanya. Bukan karena tawa kami yang berlebihan."Mbak," tegurku, saat kupergoki dia meneteskan air mata."Tidak pernah terbayang. Kita bertiga akan menjadi janda," kekehnya dengan sesekali terisak. " Dan adikku sendiri yang menjandakan istrinya!" Terbit senyuman pahit di wajahnya yang teduh.Sesakit inikah yang mereka rasakan, melebihi sakit yang ada di hatiku. melihat mereka, hatiku malah teriris dalam dan terasa perih dan sakit."Bisa-bisanya Attar melakukan hal ini,
"Kamu itu laki-laki, tapi sangat kasar!" ardik Hilman yang entah sejak kapan sudah asa di dekatku.Dengan lembut, Hilman mengambil Aqila dan memberikannya pada Mbak Naura. Memintanya untuk menjaga anakku yang tadi hampir terjatuh bersamaan dengan diriku yang limbung, akibat Mas Attar menarikku."Tidak ada urusannya denganmu! Yumna istriku!" mas Attar teriak dan menghampiri Hilman.Dengan penuh emosi, dia menarik kerah baju Hilman dan menatapnya dengan sangat tajam. Mengulurkan tangannya yang sudah terkepal sempurna, ke wajah hilman yang terlihat sangat tenang."Mau masuk penjara, atau dihajar masa?" tanya Hilman dengan suara lirih, tapi mampu membuat Mas Attar melepaskan tangannya dari bajunya.Mas Attar mendorong Hilman dan berjalan mendekatiku, lalu mengajakku untuk mengambil uang yang sedang dia perlukan. Mas Attar, benar-benar terlihat tidak baik-baik saja."Mas, aku tidak membawa ATM-mu!" Aku menatap mata suami yang masih kurindukan.Wajah lelaki yang membersamaiku ini, sangat lu
"Aku tidak akan melepaskan dia! Dia istriku!" teriak Mas Attar.Pukulan demi pukulan saling beradu, membuat dadaku makin sesak. tamparan kuat yang kuterima dari mas Attar, masih sangat terasa. Bahkan sebelah telingaku masih berdengung, dan kepalaku masih pusing. Mas Attar benar-benar berubah 360 derajat, dia bukan lagi seperti suami yang selalu bersikaap baik dan hangat padaku. Dia seperti kembaali dari dunia lain, dunia yang tidak bisa menyatukan kami lagi."Kamu tidak bisa ikut campur Hilman!" maki Mas Attar dengan mendorong tubuh Hilman menjauh."Jika menyangkut Yumna, akuakan pasang badan!" balas Hilam."Brengsek kamu! Aku tidak akan melepaskannya, aku akan mempertahankan dia sampai kapan pun!" Dengan tegas Mas Attar mengatakannya, membuat hatiku sedikit berbunga. Namun, seketika terhempas saat mengingat perbuatannya baru saja."Untuk apa kamu mempertahankan dia, jika kamu terus menyakitinya. Apa kamu tahu saat ini dia rela diet dan olah raga demi membuat tubuhnya indah, semua dem
"Ayo, Hilman!" Mbak Naura, mengajak Hilman. "Aku adikmu, Mbak! Kenapa kamu malah membela lelaki sialan ini!" teriak Mas Attar. "Karena aku adalah kakakmu, maka aku tidak ingin kamu menyakiti Yumna lebih dari ini!" Mbak Naura berkata lirih, tapi cukup membuat hati terenyuh. "Lelaki sialan ini, lebih pantas menggantikanmu. Wanita memang bisa mengubah seorang pria, dari tidak punya apa-apap, hingga berjaya. Wanita pula yang menghancurkan kejayaan seorang lelaki, mengubah hidupnya bagai neraka!" MBak Naura benar-benar mengatakan hal-hal yang sebenarnya ingin aku utarakan, tapi masih tidak tega mengutarakannya. Mas Attar berteriak frustasi, dan tetap memintaku mengirimkan uang yang dia minta. Namun, lagi-lagi Mbak naura mengatakan hal yang luar biasa. "Kamu masih bekerja, dan seharusnya kamu masih menafkahi anak istrimu. Bukan malah meminta uang yang sudah berpindah tangan!" Dengan entengnya Mbak Naura mengatakan hal itu. "Sekarang pergi, sebelum kami meminta pihak lingkungan dan para k
Setelah satr tahun pertemuanku dengan Mas Attar, Aqila tidak lagi terlihat murung. Dia selalu memancarkan senyuman manis yang menenangkan, becanda dengan adik-adik dan sepupunya. Sungguh pemandangan yang selalu ingin kulihat sampai mataku tak mampu lagi terbuka.Radit dan istrinya benar-benar pindah, untuk menetap dan kembali memulai usahanya di sini. Kami bersama, mengurus semua hal yang ditinggalkan oleh suamiku tercinta. Si kembar pun sangat gembira, meski kehilangan sosok ayah, tapi mendapatkan banyak cinta yang tidak terduga. Ya, inilah buah kesabaran kami dan cinta yang datang terlambat. Rasanya, aku merindukan suamiku yang telah lama pergi meninggalkanku."Ma," Aqila memanggil dan langsung memelukku dari belakang.Gadis itu mengecup pundakku dan menangis, mengatakan kata maaf berulang kali dan makin mengeratkan pelukannya. Aku membelai kepalanya, dan memegang kedua tangannya. Merasakan kegelisahan yang dialaminya."Kenapa? Apa kamu enggak yakin dengan pernikahan ini?" tanyaku pa
Aku mengerjapkan mata berkali-kali, takut jika yang kulihat hanya khayalanku saja. Akan tetapi, orang itu tidak berubah sedikitpun, dia tersenyum dengan matanya yang memerah. Bukan marah, tapi seperti menahan kesedihannya yang membuat matanya seperti itu. "Ada apa, Mas?" tanyaku lirih. Radit memilih duduk menjauh, memberi ruang padaku dan Mas Attar. Aku yakin, ini pasti ada hubungannya dengan Aqilla. Membuat Mas Attar memberanikan diri datang ke rumahku, karena tidak mungkin dia akan datang dengan suka rela tanpa ada sesuatu yang mendesak. "Maaf, aku melukai anakmu lagi," ujarnya, dengan suara bergetar. Tubuhku pun ikut lemas dengan apa yang dia ucapkan, apa yang sebenarnya terjadi, sampai mereka berdua seperti ini dan kenapa Mas Attar tidak mau belajar dengan kesalahannya yang telah lalu. Terus saja menyakiti hati putri semata wayangnya. "Ada apa?" tanyaku lembut, tidak ingin merusak mood yang sudah terbangun dengan baik. "Aku meminta Aqilla menjauhi lelaki yang sedang dekat den
"Mbak?" Radit bertanya, tapi hanya menyebutku namaku saja. Sekarang semua mata menatapku, tatapan penuh tanya. Catra menuntunku untuk duduk dan memijat bahuku, mengecup ubun-ubunku penuh kasih sayang dan aku menggenggam tangannya yang masih berada di pundakku. "Ada apa, Ma?" tanya Candra lembut dan tangannya mengengam tangaku dan Catra. "Mama hanya mencicipi nasi goreng buatan Aqila, dan mama menggunakan sendok dan hanya sekali tanpa mengaduk-ngaduk," jawabku apa adanya. "Keterlaluan kakak!" Candra yang memang lebi emosian berjalan menuju kamar Aqila, mengetuk pintu itu dengan sangat kasar. Namun, Aqila tidak membukanya. Candra yang sedang terbalut emosi, terus memanggil kakaknya, berharap mendapatkan jawaban yang lebih baik dari pernyataanku. "Kenapa kakak tiba-tiba menjadi kasar?" tanya Catra, tepatnya seperti gumaman untuknya sendiri. "Mungkin kakak sedang banyak pekerjaan dan sedang kelelahan," ujarku menenangkan. Perubahan-perubahan inilah yang membuatku takut, apakah semu
Siang ini, aku berencana ke cafe untuk mencocokkan data-data yang sudah masuk ke emailku. Tidak semua cafe dapat kukontrol, hanya ada dua saja. Bukannya tidak ingin melihat semua progres cafe yang sudah berjalan, tapi keterbatasan waktu dan tempat membuatku harus tetap memperhatikan kesehatanku sendiri. Ada rasa tidak nyaman dalam tubuku dan entah itu apa, aku tidak ingin periksa ke dokter. Bukan apa-apa, aku hanya takut, jika diagnosanya tidak baik dan membuat semua menjadi khawatir padaku. Membuat peraturan-peraturan yang akan membatasi ruang gerakku."Mama mau pergi?" tanya Aqila yang baru keluar dari dalam kamarnya."Loh, kamu enggak kerja?" Aku balik bertanya padanya tanpa menjawab pertanyaannya terlebih dulu."Mama kebiasaan, ditanya malan nanya!" gerutu Aqila, dan aku hanya tersenyum mendengarnya. "Hari ini jadwalku padat untuk keluargaku, Ma. Aku berharap, mama tidak terlalu lelah. Mama terliat pucat dan lemah," Aqila memperhatikanku dari ujung kaki hingga ujung kepala.Helaan
Pagi ini begitu cerah, secerah hati dan wajah Aqilla. Suaranya yang bersenandung, dan tangannya yang cekatan mengerjakan pekerjaan rumah. Tidak ada satu pun yang diperbolehkan membantunya, dia membersihkan ruma dan membuat sarapan seorang diri. Aku tau, ini pasti karena dia telah mengetahui keberadaan ayahnya dan juga memastikan ijin yang telah kuberikan. "Mama ini teh hangatnya," ujar Aqila, dan wajanya selalu dihiasi dengan senyuman hangat. Setelah meletakkan cangkir te itu, Aqila berlalu pergi. Enta apa saja yang dia lakukan di dalam rumah, bahkan adik kembarnya langsung disuruh jogging, saat berniat membantu. Aku hanya bisa tertawa geli melihat tinkah putriku, memang cukup ajaib saat dia mengetahui keberadaan sang ayah. "Mbak, aku mau jalan pagi saja. Anakmu sepertinya memiliki tenaga samson hari ini, semuanya ingin dia kerjakan, termasuk merawat Nita. Semuanya deh!" Radit berpamitan. Aku hanya bisa mengangguk, dan menikmati udara pagi di depan teras. Melihat bunga-bunga yang b
Aqilla mendekatiku dan duduk di sampingku, menatapku dengan tatapan sayunya. Matanya sudah mulai berkaca-kaca, bibirnya bergetar tanpa suara. Aku tahu, rindunya pada Mas Attar sangatlah besar. Sejak kecil dia selalu menanyakan Hilman yang sudah dikebumikan, lalu beralih bertanya mengenai Mas Attar karena tetangga julid yang mempengaruhinya."Iya," Mau tidak mau, aku memberitau kenyataan ini pada Aqilla.Rasanya sudah lelah untuk menyembunyikan hal yang seharusnya memang diketahui oleh anak itu. Meski ada rasa tidak nyaman dalam sudut hatiku yang terdalam, tidak ingin keegoisan ini menyelimuti hati dan membuat anak-anak malah menjauhiku."Mama rela aku menemuinya?" tanya Aqilla dengan suaranya yang lirih."Kenapa kamu bertanya seperti itu pada mamamu?!" tanya Radit dengan ekspresi yang datar.Aqila menegakkan tubuhnya dan menatap ke arah pamannya dengan tatapan yang entahlah, aku pun menatap Radit dengan kesal. Bagaimana lelaki itu bisa berucap seperti itu, tapi aku tahu dia hanya meng
"Emang apa yang aku lakukan?" tanyanya dengan pongah dan menaikkan dagunya. Aku tidak menyangka, wanita ini sama dengan ibunya dulu, yang sering sekali menggangguku. Bagaimana aku bisa bertahan dengan mereka sebagai tetanggaku. "Baiklah, dari pada kita ribut dan cari pembenaran sendiri, maka lebih baik kita bawa masalah ini ke ranah hukum. Ini sudah perbuatan yang sangat tidak manusiawi, dan mengancam nyawa. Juga nanti akan ketahuan saya selingkuh dengan Radit atau tidak!" Kembali, aku menekankan setiap kata-kata yang keluar. Bisik-bisik kembali terdengar, aku bukan merasa sok atau apalah, cuma menghindari hal yang paling menakutkan dikemudian hari. Belum apa-apa, sudah ada yang berani melakukan hal keji seperti ini. Apa lagi jika aku hanya diam dan menerima semua gosip murahan yang mereka lakukan. Bisa saja mereka berbuat seenaknya. "Lebih baik kalian bubar, dan biarkan ini ditangani oleh polisi,' ujarku dengan tatapan sinis. Satu persatu mereka pergi dengan wajah pias, ini sudah
Aku dan Radit. tentu saja panik mendengar Nita yang terjatuh entah di mana dan aku yakin ini ada campur tangan orang lain, karena setahuku, Nita adalah wanita yang sangat hati-hati dalam segala hal. Tidak mungkin pula dia terjatuh karena terpleset, saat ini bukan musim hujan."Tenang, Dit. Jangan sampai kita juga ikut celak," Aku memperingatkan Radit yang mengemudi terlalu cepat. "Pasti ada yang menolongnya, tidak mungkin dia sendirian di jalan! Mbak tahu kamu khawatir, tapi kamu juga harus bisa menguasai diri kamu untuk saat ini!" imbuhku, karena Radit semakin terlihat gugup.Radit tidak menjawab pertanyaanku, atau pun melihat ke arahku. Pandangannya terlalu fokus ke depan. Hingga kami kembali ke rumah dan dengan cepat dia turun untuk mencari Nita. Aku sedikit aneh, karena melihat beberapa orang ada di teras rumah dan sebagian ada di halamn rumah. Seperti sedang membicarakan sesuatu, aku yakin ini mengenai kejadian Nita yang terjatuh."Permisi, Bu," sapaku seramah mungkin.Namun, aku
Aku menoleh ke arah radit, dan tertawa dengan sangat lepas, menertawakan pertanyaan konyol dari lelaki yang selalu ada saat aku butuhkan sejak dulu. Dia-lah adik sepupu, rasa adik kandung."Kamu tahu usia mbak berapa?" tanyaku dan Radit mengangguk. "Wanita seusiaku, tidak ada yang memikirkan untuk menikah lagi, sudah memikirkan bagaimana untuk bekal akhirat dan melihat anak-anak bahagia. Jadi buang pikiranmu yang ane itu!" ujarku dengan gelengan kepala.Tidak habis pikir, kenapa bisa ada kata-kata seperti itu yang muncul darinya. Apakah ini yang membuatnya tidak semangat hari ini. Aku tidak ingin bertanya lebih jauh padanya, takut dia malah bertanya hal-hal aneh lagi. Diam ... diam lebih baik, untuk saat ini.Sesekali aku melirik ke arah radit yang tidak nyaman dengan posisinya, apakah dia sedang sakit atau sedang menahan sesuatu. Namun, aku juga mendengar beberapa kali dia menghela napas berat, adakah kaitannya dengan pertanyaannya tentang kesendirianku. Lama-lama aku juga kesal meli