Akhir dari Segalanya
Roger terkekeh mesum saat menanggalkan satu per satu kancing Milly, sementara Milly terus berteriak walau suaranya teredam, meronta panik. “Mmm—hmpp…,” hingga dentingan borgol itu bergema lantang di ruangan itu. Air matanya terus berurai dan ia begitu ketakutan.
Namun baru dua kancing, ponsel Roger tiba-tiba berbunyi hingga ia menghentikan aktifitasnya.
“Oh, sepertinya aku baru mendapatkan satu pesan, manis. Dan mungkin, ini tentang pria pahlawanmu itu.” Roger tersenyum nakal dan meremas kecil payudara Milly membuat gadis itu meronta dan kembali berteriak yang berujung sia-sia.
“Mmm—hmmmp…,” dan lagi-lagi borgol itu hanya beradu menciptakan gema berulang tanpa bisa terlepas, sementara Roger tertawa keras saat membaca pesan dari Robby di ponsel.
Bos semua sudah beres. Aku sudah membunuhnya.
&
Menu Favorit AxtonSatu bulan kemudian telah berlalu sejak kejadian di rumah sakit itu dan kini di sinilah Milly sekarang, menunduk di wastafel dan memuntahkan sesuatu yang sia-sia, sementara Elena berdiri di sebelahnya mengusap punggungnya pelan dengan ekspresi cemas.“Apa seburuk itu?” tanyanya pada Milly yang kini menyalakan kran air untuk membasuh mulut.“Ya, dan aku ingin sekali mengugurkannya tapi…” Milly menyelipkan beberapa helai rambut ke telinga, mengangkat wajah lelahnya dan mematut dirinya di cermin sambil tersenyum getir.“Jika aku melakukannya, aku akan menjadi Ibu terburuk di dunia.”Lalu ia menoleh pada Elena yang tidak bisa menyembunyikan rasa harunya saat mendengar kalimat Milly berikutnya, “Seorang Ibu yang baik tidak akan pernah menyesal melahirkannya. Kurasa aku ingin ia bangga padaku suatu hari nanti.”Elena tidak bisa menyembunyikan rasa harunya.Milly pun pasra
Permintaan Maaf AxtonMilly membungkuk, memutar kran air di wastafel dapur, membiarkan air itu mengalir. Kepalanya terasa pusing. Entah tidak terhitung berapa kali ia mengalami hal seperti ini. Napasnya terengah-engah. Gejolak di perutnya yang terasa tidak nyaman dan begitu mendesak—minta dikeluarkan—membuat ia berada di sini, alih-alih kamar mandi.“Kau baik-baik saja?”Segera Milly berbalik dan mematikan kran air saat merasa suara itu berada di belakangnya. Ia terkejut melihat Axton berdiri di tengah ruangan. Wajah lelaki itu mengeras dengan bola mata yang memercikkan kecemasan.“Apa yang kaulakukan di sini?” ketus Milly yang justru balik bertanya.“Hanya ingin memandangmu lebih dekat.” Axton lalu berjalan ke arah gadis itu pelan, tidak menggubris sorot permusuhan yang kentara di mata Milly.“Berhenti di situ,”
Ungkapan Kebencian MillyMilly mendekat ke cermin di kamar, rambutnya tergerai dengan indah. Saat mematut dirinya dan memandang perutnya yang belum terlalu membesar, Milly bergumam,“Mommy janji akan menjagamu dengan baik. Dan di sini bukan tempat yang baik untukmu dan Mommy.”Ia tahu bahwa Axton telah pulih. Bahkan dua jam lalu, ia sempat melihat lelaki itu masuk ke mobil bersama Thomas dari jendela kamarnya. Entah pergi kemana, Milly merasa tidak perlu memikirkannya.Kepala Milly lalu menoleh ke segala arah, mengamati lekat setiap sudut di kamar ini.Sekarang, ia hanya perlu pergi dari rumah ini. Karena ia sudah tidak memiliki hutang budi apapun dengan lelaki itu.***Milly menggenakan atasan t-shirt lengan panjang berwarna kuning dan bawahan rok putih mekar sebatas lutut senada dengan flatshoesnya. Ia berusaha mengatur napasnya di ambang pintu rumah A
Cara Kerja WaktuAxton setengah berlutut di pemakaman Wella, satu tangannya memegang sebuket mawar merah. Sendu ia memandang nisan yang bertuliskan nama serta tanggal wafat Ibunya.“Apa yang harus kulakukan Mom? Aku sudah berbuat banyak kesalahan dengannya,” gumam Axton, mencurahkan rasa frustrasinya namun hanya dibalas oleh kesunyian di siang hari.“Milly… gadis yang kukenalkan padamu… ia adalah Eve, Mom.”Axton lalu meletakkan sebuket bunga mawar di dekat nisan Wella. “Sekarang, ia sangat membenciku.”Lagi-lagi sunyi. Namun hembusan angin mulai menerpa rambut Axton. Menelan ludah kasar, Axton kembali berbicara pada makam Wella, suaranya berbisik lirih.“Maafkan aku Mom. Jika saja, aku tidak terlambat menolongmu, kau takkan berada di sini. Aku sangat menyayangimu Mom. Selalu.”Setelah itu A
Pangeran Tampan7 tahun kemudian…Suara musik berdentum keras di sekeliling. Lampu yang menyerupai bola besar berputar, memancarkan cahaya warna-warni, makin menambah suasana hingar-bingar di Club itu. Axton mengambil kursi di sisi Fernandez.Ia memandang Bartender di depannya dengan datar, dan sang Bartender langsung memberikan minuman biasa yang dikonsumsi Axton. Bahkan Axton tidak perlu membayar karena ini adalah Club miliknya.“Jadi kau sudah bertemu dengannya?” Fernandez melirik Axton di tengah menenggak minumannya.“Aku masih belum yakin.”Fernandez mendengkus dan meletakkan gelas sloki ke meja yang langsung diisi oleh bartender dengan yang baru.“Lalu untuk apa kau menyuruhku kemari.”“Sengaja agar kau tidak terus berduaan dengan istrimu.”Fernandez
Princess Yang Membenci Sang Pangeran TampanMilly menatap Simon yang berdiri di depannya. Lelaki itu tidak lagi memakai kacamata seperti dulu. Simon tampak menawan sekarang dengan kaos hitam yang dilapisi setelan jas senada. Rambut lelaki itu ditata rapi dengan pomade. Senyumnya terlihat sangat manis.Tentu lelaki itu tidak tahu bahwa Milly dan Evelyn adalah orang yang sama, meski bentuk wajahnya berbeda.Mungkin terkesan klise, pertemuan pertama mereka terjadi satu tahun lalu karena Simon adalah pelanggan tetap di Restoran tempat Milly bekerja. Milly tidak lagi bekerja di kedai kopi, sebab ia tahu dari Elena bahwa entah bagaimana kedai kopi itu sudah lama menjadi lahan bisnis Fernandez.Lewat pertemuan satu tahun itu pula, hubungannya dengan Simon terjalin dan mengalir begitu saja sampai mencapai ke tahap sekarang. Terbilang cepat memang. Meski awalnya, Simon yang mendekatinya lebih dulu.“Simon… maafkan aku. Seharusnya nanti malam ak
Ancaman Sialan AxtonSaat berada di dalam, Axton duduk di sofa dengan kaki terbuka. Kedua siku tangannya bertumpu pada kedua lutut, sementara kesepuluh jemarinya saling bertautan. Axton menatap Milly lekat.Milly juga duduk di sofa berhadapan dengan Axton. Balas menatap lelaki itu dan mengabaikan aura dominan Axton serta aroma parfum maskulin lelaki itu yang menelusup di indera penciumannya. Sebuah meja persegi panjang berada di tengah mereka, menjadi pemisah jarak.“Kebetulan kau ada di sini. Bibi sudah menceritakan padaku segalanya.”Milly meletakkan amplop coklat ke atas meja.“Ini adalah semua uang milikmu. Juga uang cicilan renovasi rumah. Aku baru menambahkan untuk bulan ini. Aku tahu jumlahnya masih kurang, tapi—”“Kau akan menikah dengan Simon?” sela Axton dengan suara berat dan dalam.4Mi
Sebuah Hasutan HalusDi tempat lain, Michelle mengeluarkan ponsel dari kantong kecil di ransel ungunya. Ia sudah berpikir cukup lama sebelum mengambil keputusan ini. Keputusan untuk menghubungi Axton.Bahkan ia terpaksa mengambil ponsel ini di laci kamar Rachel secara diam-diam. Ia tahu, tidak seharusnya ia melakukan hal itu. Tapi jika ia meminta ijin, semua akan sia-sia. Ponsel itu takkan pernah bisa ia bawa. Sebab kelonggaran memegang benda pipih itu hanya berlaku di rumah saja, tidak dengan di sekolah.Kedua orang dewasa itu kompak mendidiknya demikian. Semata-mata tidak ingin kegiatan belajar di sekolah terganggu.“Sudahlah kau tidak perlu memaksakan memiliki Ayah jika nyatanya kau memang tak punya,” hina Sarah sambil mengibaskan tangan sekilas ke udara dan didukung senyum sinis oleh kedua temannya.Kata-kata Sarah itu menohok Michelle, membuat Michelle menjadi sangat geram. Apalagi saat ia melihat Sarah menjulurkan lidahnya yang sere
Gila kamu, Indira! protes Ava begitu Pak De tak terlihat lagi.Indira hanya menunduk dengan wajah merah padam, menahan malu dan jengah yang menerpa begitu birahinya mereda. Ava sadar, dirinyapun ikut bersalah dalam hal ini, terbawa suasana hingga terlarut dalam persetubuhan yang beresiko itu, tapi tetap saja…Kalau ketahuan Pak De gimana?! kalau kamu hamil?Aku suruh pacarku tanggung jawab, sahut Indira, lalu memalingkan muka.Angin berhembus masuk ke dalam studio, menghembuskan suatu perasaan yang aneh di dada Ava. Seharusnya ia merasa lega, namun perkataan Indira yang terakhir itu seperti seserpih perih yang menari pelan di permukaan hatinya.Ava, maaf… nggak seharusnya aku ngelakuin ini sama kamu… dan… umm… Indira terdiam, seperti hendak tak jadi melanjutkan kata-katanya.Terus apa?Yang tad
Apa istimewanya seorang mas-mas brewokan bernama Mustava Ibrahim? batin Indira berusaha memungkiri. Dewa dan mantan-mantannya yang lain jauh lebih tampan daripada pemuda itu!7 hari sudah berlalu, tapi Indira terus mencoba memahami teka-teki di hatinya sendiri, pun demikian hati wanita memang sulit dimengerti. Tidak hanya bagi laki-laki, tapi juga si wanita itu sendiri. Kehadiran Ava dalam hidupnya benar-benar mengubah tone hidup-nya menjadi lebih berwarna. Berwarna seperti pelangi! Berwarna seperti lukisan! Marah, sedih, benci, bahagia, bercampur seperti palet-palet warna cat minyak yang dibaurkan ke dalam sanubarinya!Indira tertawa mengingat bagaimana ia pertama berjumpa Ava di air terjun, betapa tengik dan menyebalkannya anak itu! Huh! Tapi juga… remaja itu tersipu sendiri hingga pipinya perlahan bersemu.Dalam keheningan malam, Benak Indira kembali mengenang. Bagaimana saat Ava membelanya di Pub minggu lalu. Bagaimana saat Ava menampung isak tangisny
Taksi yang ditumpangi Ava dan Indira melaju di sepanjang Jl. By Pass, jalan besar yang sekilas mengingatkan Ava pada Ringroad di Jogja. Cahaya lampu jalan yang berwarna jingga berpendar di wajah Indira yang duduk di sampingnya.“Ava,” Indira memecah kebisuan.“Ya?”Gadis itu memandangi pipi Ava yang membiru terkena bogem. “Aku beneran nggak nyangka semuanya jadi kaya gini.”Ava tak langsung menjawab.“Yang tadi pagi juga…” Indira menyebut peristiwa di air terjun tadi pagi, di mana ia telah mengata-ngatai Ava sebagai teroris.Bisu menyelinap lagi di antara jarak yang memisahkan tempat duduk mereka. Ava menarik nafas panjang. “Kenapa sih, kamu?” tanya Ava.“Nggak tahu,” jawab Indira pelan. Sungguh, dirinya sendiri pun tidak tahu kenapa ia bisa membenci pemuda itu.Ava mendengus, nafasnya mengembun pada kaca mobil yang dingin. “Pasti gara-gara nam
Senja datang menjelang di Kuta yang semakin temaram. Matahari sudah menyembunyikan diri di balik horizon, menyisakan gradasi berwarna biru keunguan yang menyemburat dari balik kaki langit. Jalanan yang tadinya terik segera digantikan dengan riuh rendah dunia malam yang memenuhi setiap sudut jalan. Arus lalu lintas semakin padat merayap, dan trotoar mulai dipenuhi wisatawan asing yang baru pulang berselancar atau hendak keluar mengisi perut.Jalan Legian. Jika kalian kebetulan melancong ke Bali, sempatkanlah mengunjungi tempat ini. Lewat tengah malam, niscaya engkau akan mendapati klub-klub yang menyesaki kiri-dan kanan jalan seolah saling berlomba dan tak mau kalah dalam menarik perhatian setiap calon pengunjung, maka didentamkanlah musik sekeras-kerasnya dan dinyalakan lampu sorot sekilau-kilaunya. Jangan heran jika nanti engkau melihat bule-bule yang berjoget hingga trotoar di antara kemacetan yang berarak-arak.Seorang wanita dengan danda
Siang itu jalan menuju pantai tampak tidak sanggup lagi menampung volume kendaraan berplat luar kota yang semakin padat dari tahun ke tahun. Beberapa wisatawan asing melintas buru-buru di atas trotoar di kiri dan kanan jalan, menghindari panas matahari di balik baju-baju dan cinderamata yang dipajang bergantung-gantung pada art shop di pinggir jalan.Indira meliuk-liuk dengan skuter matic di antara kemacetan itu. Wajah blasterannya tampak berkerut-kerut melawan terik matahari. Siang itu benar-benar panas, angin yang berhembus juga angin yang benar-benar gersang, mengibarkan dress putih sepaha dan cardigans hitam yang dikenakannya untuk melawan terik.Indira melengguh kesal. Ia benar-benar kesal hari ini. Kesal kepada kemacetan ini, kesal kepada ayahnya, kesal pada Dewa, pacarnya yang tidak bisa dihubungi, kesal kepada semua! Terlebih lebih kepada mas-mas brewokan yang bernama Mustava Ibrahim itu.Sungguh, udara yang panas itu membuat kemarahan di dada Indira men
Hanyalah sesosok pohon beringin yang berdiri angkuh bak raksasa hijau di sekian sisa aroma kematian. Daunnya demikian merimbun, bertumpuk-tumpuk menghalangi jatuh cahaya ke puluhan orang yang berlalu di bawahnya. Ava berjalan dengan takut-takut, menghindari akar gantung yang menjuntai ke sampai tanah. Pohon Beringin itu nampak benar-benar wingit, apalagi dengan kain kotak-kotak hitam-putih yang dilingkarkan di sekelilingnya.Pagi itu hari Minggu, Galeri Pakde tentu tidak buka di hari Minggu. Maka Ava dan Kadek menyanggupi untuk menggantikan Pak De kerja bakti membersihkan areal Pura Dalem, yakni tempat peribadatan yang terletak di sekitar pekuburan untuk pemujaan alam kosmis demi menetralisir kekuatan positif dan negatif.Pekuburan itu nyaris tanpa nisan, karena prosesi pemakaman di tempat ini mengharuskan jenazah si Mati di lebur dalam api pralina [SUP](1)[/SUP] -dilebur oleh Sang Siwa, sehingga menyisakan bade [SUP](2)[/SUP] -sarkofagus w
The Lost AngelUfuk timur sudah benderang ketika Ava terbangun enggan dari tidurnya. Udara masih dingin dan kabut tipis masih melayang-layang di atas sawah. Ava menuruni tangga kayu di depan kamarnya dengan malas sambil merenggangkan tubuh.Pemandangan menakjubkan kemarin sore masih saja terbayang-bayang di kepala Ava. Hari sudah berganti, namun pemuda itu tak bisa berhenti tersenyum membayangkan apa lagi petualangan yang menantinya di tempat ini.Sepasang mata Ava tertuju pada Pura kecil di pojok belakang rumah. Di sampingnya berdiri pohon kamboja, dahannya menjuntai ke udara serupa tangan seorang Pandhita Ratu, menebarkan taksu ke sekujur bangunan batu bata merah di bawahnya.Ava melihat seorang bidadari sedang memegang dupa, menghaturkan doa dan sesaji sambil memejam khusyuk.Indira; Ava tahu nama bidadari itu dari Kadek. “Wuih, aslinya cantik dah pokoknya, bro!” p
Ubud, 2012…Hanyalah pemadangan sawah bertingkat-tingkat yang indah, dan deru skuter tua yang seolah tak mau lagi hidup yang menyusur di tengahnya. Matahari bersinar tinggi di langit biru tanpa awan, menyisakan silau di balik kacamata hitam Ava yang bundar besar.Skuter yang ditumpangi Ava berjalan perlahan melewati jalan kecil berkelok di tengah persawahan, mereka sedikit melambat saat melewati sekumpulan orang berpakaian hitam-hitam di jalan itu.Bli, Bli Kadek, ada apa ini ramai-ramai? Pemuda dengan brewok tebal itu menepuk pundak orang yang duduk di depannya.Kadek namanya, ia adalah kakak kelas Ava waktu kuliah di Institut Seni di Jogja. Kadek ini pula yang menawari Ava pekerjaan di tempat seorang seniman terkenal di kampungnya, setelah Ava lulus bulan lalu.Oh, ini ada pengabenan[SUP](1)[/SUP][SUP],[/SUP] Kadek menyahut tanpa menoleh.(1) Upa
Selamanya BersamaEmpat Bulan Kemudian…Milly telah menghabiskan banyak waktu bersama Axton, dan sekarang ia sedang merealisasikan rencana yang telah mereka susun bersama.Tepatnya di sini.Pada outdoor salah satu hotel Axton di Los Angeles yang sukses diubah menjadi begitu indah. Halaman itu telah dihiasi berikat-ikat bunga.Dalam gaun putih pengantin yang elegan, Milly berjalan pelan didampingi Thomas menelusuri karpet putih yang tergelar di tengah, sementara di sekelilingnya terdapat beragam meja yang dilapisi kain putih beserta kursi berjejer rapi. Semua terisi penuh oleh para tamu yang hadir.Michelle juga memakai gaun berwarna putih. Rambutnya tergerai indah dan ditata bergelombang. Gadis kecil itu terlihat bahagia berdiri bersama Rachel yang diikuti oleh para tamu menyambut kedatangan Milly.Rachel tersenyum lebar, matanya berpendar haru