'Brak!'
Suara pintu kamar terbuka lebar. Di ambang pintu, seseorang menatap mereka berdua dengan kemarahan yang luar biasa.Yuna buru-buru melilitkan tali kimono lagi. Untungnya, ia belum membuka kain itu sepenuhnya.Sementara itu, Aldo yang telah telanjang bulat, kalang kabut mencari jubah mandi yang ia lempar asal-asalan. Di lain pihak, wanita itu melesat masuk meskipun sekuriti mencoba mencegah."Lepaskan aku! Atau aku akan menuntut kalian semua!" ancam wanita itu."Sa-Sayang... Ini nggak seperti yang kamu kira." Suara Aldo bergetar.Setelah berhasil memakai jubah mandi, Aldo berlari memeluk kaki wanita itu. "Sayang, maafkan aku. Aku... Kami belum sempat berbuat apa-apa!"Wanita itu memandang tajam suaminya. Lalu beralih memandangi Yuna yang beringsut sembunyi di samping ranjang.Dada Yuna bergemuruh kencang. Tangan wanita itu dengan cepat menyambar rambut Yuna lalu menariknya dengan kuat."Pelacur! Berani-beraninya menyentuh suami orang!"Sekuriti ikut masuk dan berusaha memisahkan wanita itu dari Yuna. Sedangkan Aldo tidak memedulikan mereka. Ia hanya sibuk memasukkan barang bawaan yang berceceran ke dalam tas."Perempuan murahan!" Istri Aldo menampar keras wajah Yuna dengan berlinang air mata.Si sekuriti berhasil menangkap istri Aldo dengan bantuan rekan yang baru datang. Namun Yuna sudah babak belur dibuatnya.Di saat seperti ini, Mami Maria tidak datang membantu. Baru esok paginya, ia memanggil Yuna ke kantor."Nih, seratus juta.""Kok cuma seratus juta, Mi?""Tsk, nggak bisa baca surat kontrak? Pendapatanmu dibagi 50:50.""Oke, oke. Aku pamit dulu, Mi.""Yun!" panggil Mami Maria menghentikan langkahnya. "Semalam kalian nggak jadi melakukan hubungan badan, bukan?""Sudah, Mi." Yuna terpaksa bohong. Ia tidak mau Mami Maria menarik uangnya lagi."Nggak usah bohong. Aku nggak akan minta uangmu lagi.""Ma-maaf.""Nanti kalau ada yang mau perawan kan aku bisa panggil kamu lagi. Lumayan kalau ada pelanggan yang nggak jadi icip-icip kamu tapi tetap dapat uang banyak."Yuna tersenyum getir. Ia memang tidak kehilangan perawan, tapi seluruh badannya sakit semua karena ulah istri Aldo. Dan itulah pengalaman pertamanya menjadi kupu-kupu malam, yang juga menjadi awal dari kemalangannya.***Eric mendengar suara isak tangis dari kamar Emilia, kakaknya. Sejak pagi tadi, Emilia datang ke rumah orang tuanya dan diam di kamar seharian."Kenapa dia, Bi?" tanya Eric kepada Minah, asisten rumah tangga."Nggak tahu, Tuan. Tadi Tuan Aldo juga datang, tapi Nyonya Emil meminta semua orang untuk mengunci pintu gerbang. Lagi marahan mungkin."Hubungan Eric dan Emilia dekat sejak kecil. Namun setelah kakaknya menikah, mereka jadi jarang berkomunikasi. Eric merasa tidak nyaman jika harus masuk dan bertanya masalah kakaknya.Di lain sisi, ia penasaran. Sebab Emilia jarang sekali menangis. Bahkan ketika kakek yang sangat disayanginya meninggal baru-baru ini, Emilia mampu menahan kesedihan dengan baik.Sebelum Eric memejamkan mata di malam hari, Emilia datang ke kamarnya. Mata Emilia merah dan bengkak tapi Eric pura-pura tidak sadar."Kamu ada waktu, Dek?"Sudah lama sekali Eric tidak mendengar panggilan itu. Setelah mengenal Aldo, Emilia memangil Eric asal-asalan. Benar, orang itu yang telah mengubah dan menjauhkan Emilia darinya.'Aku tahu, Aldo pasti akan berulah suatu saat nanti,' batin Eric."Kenapa, Kak?"Emilia menyodorkan test pack dengan dua garis merah. "Kakak hamil, Dek.""Selamat, Kak. Bukankah kalian sudah mengharapkan anak sejak lama? Kenapa Kakak malah menangis?"Perasaan buruk mendatangi Eric. Mungkinkah itu bukan anak dari Aldo? Itu sebabnya, Emilia menangis seharian dan tidak mau menemui suaminya.Emilia melemparkan tubuhnya ke ranjang Eric dan mulai menangis. Ia meringkuk memeluk bantal, seperti kebiasaan masa kecil ketika dimarahi kakeknya."Kakak mau menangis atau cerita?"Emilia berbalik menghadap Eric lalu berkata, "Kakak ingin menggugurkan kandungan!"Eric terkesiap. Dugaannya mungkin saja benar!"Jangan macam-macam, Kak!""Kakak serius, Dek. Aku ingin kamu mencarikan dokter yang mau membantu tanpa ketahuan keluarga kita.""Kakak selingkuh?"Emilia terbelalak tidak percaya oleh tuduhan Eric. "Nggak mungkin kakak melakukan hal hina seperti itu! Justru kakak iparmu yang semalam ketahuan selingkuh!""A-Apa? Selingkuh dengan siapa bajingan itu?"Wajah Eric mengeras, seperti yang biasanya ia tunjukkan kepada orang-orang, bahkan orang tuanya sendiri. Hanya pada Emilia dan Bibi Minah saja Eric bersikap ramah.Dan sekarang, wajah ramah itu telah lenyap. "Siapa jalang yang berani merebut suami Kakak?"Emilia membuang muka. "Pelacur," gumamnya."Aku tanya namanya!" bentak Eric.Emilia balas berteriak, "Aku juga nggak tahu! Semalam aku hanya mengikuti lokasi suamiku. Aldo bertemu dengan pelacur itu di Hotel Laisa!"Eric menendang nakas dan menimbulkan suara keras. Lampu tidur di atasnya jatuh dan pecah seketika."Jadi, suamimu menyewa pelacur di sana?!"Emilia menjawab dengan anggukan."Tadi aku mengecek rekeningnya berkurang tiga ratus juta dalam waktu yang bersamaan. Yang dua ratus juta untuk Hotel Laisa dan seratus juta mungkin buat pelacur itu," terang Emilia."Tiga ratus juta cuma untuk tidur dengan pelacur murahan?!"Eric menginjak pecahan lampu dengan kaki telanjang. Emilia bergidik dan kembali memunggungi adiknya. Tiap kali Eric marah, Emilia selalu ketakutan. Bahkan sakit hatinya tertutup sementara."Aku pergi dulu."Eric menyalakan mesin mobil kemudian melesat ke arah Hotel Laisa. Dalam perjalanan, ia menghubungi anak buahnya untuk melacak kejadian malam itu. Tidak lebih dari lima menit, ia mendapat umpan balik dari informannya."Lakukan apa pun untuk menghancurkan Aldo dan jangan sampai Kakakku tahu," perintah Eric kepada anak buahnya di balik telepon."Aku yang akan mengurus pelacur itu sendiri," gumamnya.Aldo, semua uang yang ia punya berasal dari Emilia dan keluarga Volker. Darah Eric mendidih ketika tahu Aldo berani menghabiskan ratusan juta hanya untuk mencicipi perawan.Ban mobilnya berdecit tepat di depan pintu hotel. Tanpa menghiraukan sapaan orang-orang, ia langsung melesat ke lantai VVIP.Sampai di lantai atas, seorang wanita sengaja menubruk badannya. Minuman alkohol membasahi bajunya."Oh, maaf, Sayang," ujar wanita itu seraya membersihkan kemeja Eric dengan sentuhan menggoda."Minggir!" Eric menyingkirkan tangan wanita itu dengan kasar.Setelah beberapa lama mencari, ia akhirnya menemukan sosok itu. Gadis yang duduk menyilangkan kaki bergaya arogan di depan meja bar. Tepat seperti dalam foto yang dikirim bawahannya.Gadis itu mengisap rokok dengan sedikit mengangkat kepala. Seolah ia tengah merendahkan orang-orang yang ada di dekatnya."Itu pasti yang namanya Yuna." Eric menyeringai jahat. "Perempuan rendahan sepertimu harus diberi pelajaran."Mami Maria datang mendekat. Wanita itu berbisik padanya, "Dia cantik, bukan? Harganya sedikit mahal karena masih perawan."Eric tertawa dalam hati, hampir saja ia menyerukan sumpah serapah. Menurut informan, Aldo dan Yuna berada di kamar berjam-jam lamanya. Mana mungkin Eric termakan bualan si mucikari.'Nggak tahu malu, beraninya mau berbohong padaku,' cerca Eric dalam hati."Berapa harganya?" tanya Eric memasang tampang mesum."Dua ratus juta. Sudah plus kamar dan layanan hotel seharian.""Bawa dia ke mari," perintah Eric."Jangan di sini negonya. Mari saya antar ke kamar yang lain."Tidak lama menunggu, Mami Maria datang bersama Yuna. Mereka duduk saling berhadapan. Mami Maria mengenalkan Eric dan Yuna secara singkat lalu kembali berbisnis."Oke, gimana barang kami, Tuan Eric? Apa Anda suka?"Eric menyeringai melihat kegugupan yang dipancarkan mata Yuna. Seolah itu pertama kalinya Yuna bertemu dengan pelanggan yang ingin mencicipi tubuhnya."Aku akan membayar perempuan ini satu miliar!"Ucapan Eric membuat dua wanita di depannya membuka mata lebar-lebar. Eric yakin, mereka akan menerima tawarannya.'Benar, ayo cepat makan umpannya! Setelah aku membelimu, akan akan membuatmu hidup seperti di neraka!'Setelah operasi lima jam, Yuni akhirnya dibawa kembali ke bangsal. Dokter Darius sudah menjelaskan, Yuni belum tentu langsung sadarkan diri. Dan Yuni masih harus menggunakan alat-alat khusus untuk menunjang kesehatan.Uang dua ratus juta habis dalam sekejap mata. Semua Yuna gunakan untuk biaya pengobatan Yuni. Dan adiknya itu ternyata masih butuh biaya tambahan untuk rawat inap dan obat-obatan mahal.Pukul lima sore, Yuna berangkat ke Hotel Laisa. Sekarang, ia hanya perlu bekerja sampai pukul sembilan malam. Setelahnya naik ke atas dan menemani para tamu elit."Aku sudah tahu dari Ria kemarin. Kamu yakin tetap masih mau ke atas? Semalam kamu beruntung nggak jadi...." Rio menahan kalimatnya."Iya, lagian di atas cuma nemenin orang ngobrol. Paling cuma grepe grepe doang.""Jaga diri baik baik, Yun." Rio menatap Yuna prihatin.Belum lama Yuna duduk santai, Mami Maria sudah memanggil. Artinya akan ada pekerjaan baru lain. Yuna berharap hanya akan disuruh menemani pelanggan minum-minum, t
Kamar Eric memiliki ruang tamu dan kamar mandi sendiri. Perabotan pun tidak sedikit.Yuna tiduran di sofa setelah menyelesaikan semua pekerjaan. "Gila, capek sekali! Kenapa kamarnya sangat besar?" dengusnya.Ia hanya mengenakan pakaian dalam karena tidak punya baju ganti. Sementara kaos yang ia kenakan tadi digunakan untuk membersihkan seluruh kamar dan masih dijemur.Tidak sekali pun Yuna pernah membayangkan jika harus melakukan pekerjaan rumah tangga. 'Pantas saja Eric membayarku mahal,' batin Yuna.Yuna meraih ponsel lalu menelepon dokter adiknya. "Dok, adik saya sudah siuman?""Belum, Mbak. Hari ini nggak datang ya?""Iya Dok, saya sibuk bekerja. Kalau saya nggak bisa datang tolong jagain adik saya baik-baik ya, Dok.""Tentu saja. Nanti saya kabari kalau ada perkembangan baru."Yuna membuka mata setelah beberapa jam ketiduran. Waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam dan Eric masih belum pulang.Setelah mandi, perutnya keroncongan. Ia terpaksa meneguk air minum satu botol. Sebab
Yuna berulang kali mengambil napas panjang. Punggungnya terasa seperti terbakar setelah menunduk sekian lama. Di malam yang dingin, peluh membanjiri tiap inci kulitnya.'Tinggal satu sisi lagi selesai.' Yuna bersorak dalam hati.Yuna sebenarnya kesal oleh perintah Eric. Bagaimana tidak? Yuna harus membersihkan kolam lima belas kali tujuh meter sendirian di saat hampir tengah malam. Namun Yuna tidak kuasa menolak."Satu miliar sebanding dengan ini," gumamnya, 'Dan lebih baik dari pada harus memberikan perawanku.'Yuna mendongak setelah mendengar suara langkah kaki. Ia merapikan diri, bersiap bertemu tuannya."Tuan," sapanya."Tuan?" Emilia bertanya."Oh, maaf saya kira Tuan Eric yang datang.""Kamu siapa?""Saya Yuna, asisten pribadi Tuan Eric yang baru." Yuna menunduk hormat."Ngapain kamu malam-malam begini di kolam? Kenapa airnya dikosongkan?" Emilia keheranan."Tuan Eric yang menyuruh saya membersihkan kolam. Nanti saya akan isi lagi, Nona.""Astaga! Cepat naik ke atas!" perintah E
"Nggak dengar perintahku, hah?"Dalam dada Yuna terbakar amarah. Semakin lama, Eric kian kasar padanya. Bicara saja selalu ketus, tidak pernah tersenyum sekali pun. Memerintah seenak hati tanpa peduli situasi dan kondisi.'Masa dia sungguhan mau melakukan ini di sini?' batinnya."Kamu tuli?""Maaf, Tuan. Tapi ini di luar. Gimana kalau ada yang lihat?""Terus kenapa? Cepat lakukan perintahku!"Yuna tidak bisa tidak menuruti Eric. Meskipun ia ingin sekali menampar pria itu sekarang tapi ia tetap mematuhi ucapannya.Di malam yang semakin dingin dan di luar ruangan yang terbuka, Yuna meloloskan gaun dari tubuhnya tanpa menanggalkan dalaman. Ia mendekat ke arah Eric kemudian berjongkok.Yuna siap melorotkan celana kain yang dikenakan Eric. Namun, Eric justru menampar tangannya dengan kasar."Aaw! Sakit!" pekik Yuna."Mau apa?""Katanya suruh buka baju," ucap Yuna dengan nada jengkel."Terus tanganmu mau apa barusan?""Melakukan tugasku. Mau apa lagi?""Kamu bodoh ya? Aku suruh kamu lepas
"Siapa bilang aku menyukaimu? Dasar pelacur menjijikkan. Jalan pikirannya saja sudah bikin mual pagi-pagi," gumam Eric menanggapi ucapan Yuna dari depan layar komputer.'Nggak, itu malah bagus. Kalau dia jatuh cinta padaku, lebih mudah untuk menghancurkannya,' pikir Eric.Eric menimbang-nimbang pemikirannya. Ide yang baru saja ia dapatkan tidak terlalu buruk."Oh, itu dia!" Eric berseru tatkala Emilia memasuki kamar.Eric tidak bisa menahan senyuman ketika melihat wajah Yuna pucat pasi. Terang saja Emilia marah besar, sebab pakaian-pakaian itu hadiah terakhir dari Thomas Volker, sang kakek, untuk Emilia.Semalam ia sadar jika Yuna dan Emilia mungkin tidak mengingat satu sama lain karena pencahayaan redup di kamar hotel malam itu. Eric tidak mungkin membiarkan kedua perempuan itu menjadi akrab."Hahaha. Lucu sekali! Menyenangkan!" Eric menyandarkan kepala di kursi kerja dengan santai."Apanya yang menyenangkan?"Eric melongok ke arah suara berat di belakangnya. "Oh, aku nggak tahu kamu
"Kok begitu, Mi?"Mami Maria merogoh laci, mencari salinan kontrak dari Eric. Setelah menemukannya, ia memberikan kertas itu kepada Yuna.Mata Yuna berkedut-kedut ketika membaca halaman terakhir dari surat kontrak yang belum sempat dibacanya waktu itu. Rupanya Mami Maria tidak bohong.Uang satu miliar bukanlah dibayar untuknya. Yuna akan mendapatkan gaji bulanan dari Eric setiap minggu.Dalam kontrak disebutkan, jumlah bayaran yang diterima Yuna tergantung oleh kepuasan pelanggan. Jika sang kupu-kupu malam terbukti tidak perawan lagi, maka tarifnya boleh dianggap nol alias gratis. 'Dan jika aku melanggar aturan sebelum kontrak berakhir, aku harus membayar sejumlah dua kali lipat dari harga pembelian pertama yaitu dua miliar rupiah! Termasuk kalau aku lari dari tanggung jawab.'Yuna membaca satu persatu aturan yang dimaksud. Ia telah melakukan sebagian besarnya. Melayani kebutuhan seksual Eric dan juga melakukan apa pun yang disuruh pria itu, tanpa terkecuali apa pun perintahnya.Satu
Bukannya marah, Yuna justru semakin tersenyum lebar sambil berjalan ke arahnya. Dan itu membuat Eric semakin tidak suka."Kamu mau menggangguku kerja?""Hah? Nggak. Aku diam saja dari tadi.""Aku nggak suka mendongak waktu bicara dengan orang. Berlutut!"Eric menarik dagu Yuna sampai menghadap tepat ke wajahnya. Gadis itu merona ketika embusan napas Eric mengenai dirinya. Eric semakin merasa jijik oleh sikap Yuna.'Nggak, aku nggak bisa berpura-pura menyukainya! Ini terlalu menjijikkan. Aku bahkan hampir muntah sekarang!'"K-Kenapa, Tuan?" Yuna melirik ke arah lain, menghindari tatapan Eric.Eric melepaskan dagu Yuna dengan kasar. "Jangan senyum-senyum kalau tahu ada orang lagi kerja! Itu sangat menggangguku! Kamu nggak lihat, pekerjaanku masih sangat banyak?"'Dasar, ganteng tapi aneh! Apa hubungannya coba, aku senyum sama kerjaannya?' cerca Yuna dalam hati."Kembali ke tempatmu! Awas, kalau senyum-senyum lagi, aku akan menghukummu.""Kalau begitu, hukum aku sekarang aja, Tuan."Yuna
"Matamu..." Pria yang tadinya ingin membentak itu bersuara pelan ketika melihat gadis di hadapannya. "Di mana....""Y-Yuna?""Ed?" Yuna terkejut sesaat oleh pria yang lama tidak dijumpainya itu, kemudian menatap berkas yang berserakan di lantai. "Astaga, maafin aku. Tadi agak melamun."Edward bergegas membantu Yuna memungut semua bawaannya yang terjatuh."Apa kabar, Yuna?""B-Baik. Kamu?" Yuna melirik sekilas."Baik juga."Suasana sedikit canggung di antara mereka. Yuna sendiri tidak menyangka bisa bertemu dengan Edward di tempat ini."Kamu sedang apa di sini?""Aku ada urusan dengan Eric."Edward sontak berhenti membereskan barangnya ketika mendengar Yuna menyebut nama sang direktur."Eric siapa? Bukan Eric Volker, kan?""Benar, aku mau ke kantornya." Yuna menyerahkan tumpukan kertas kepada Edward. "Sekali lagi, aku minta maaf. Aku pergi dulu. Nanti diomelin."Yuna berlari kecil meninggalkan Edward. Tidak sanggup lagi berlama-lama dengan pria yang pernah menjadi kekasihnya dua tahun
"Buat apa kamu ke sini? Mau mengganggu Yuna lagi, hah?" bentak Diana sambil berkacak pinggang menghalangi pintu rumah."Bukan, Ma. Saya bukan mau bertemu Yuna.""Ma? Jangan memanggilku seolah-olah kamu itu anakku!" cerca Diana. Mata Diana melotot tajam kepada Aldo."Maaf, Bu- Nyonya. Saya mau bertemu dengan Pak Herman, sekalian Anda," kata Aldo sopan.Herman yang mendengar suara kencang besannya pun keluar dari dalam kamar. "Ada apa?" Ia memicingkan mata ke arah Aldo."Boleh saya bicara sebentar dengan Anda? Lima menit saja," pinta Aldo.Herman akhirnya mengizinkan Aldo masuk. Meskipun Diana masih menggerutu terus-menerus. Bahkan, ketika Bi Jumi mau menyiapkan minuman, Diana dengan tegas melarangnya.Yudha dan Eric datang setelahnya. Mereka ikut duduk karena ingin tahu apa yang akan Aldo katakan."Bapak mungkin sudah tahu siapa saya," kata Aldo kepada Herman."Ya, saya tahu," jawab Herman datar.Aldo tiba-tiba bersimpuh di depan kaki Herman. Namun, Herman langsung mencegahnya. Aldo te
"Nggak mau," tolak Eric sambil menggeleng-geleng tidak percaya dengan permintaan aneh sepupunya."Kembalilah ke kota, Kak. Kamu bisa kembali menjadi Presiden Direktur Volker Corp. Aku cuma mau Yuriana, nggak ingin kekuasan yang seharusnya jadi hakmu," lanjutnya.Billy mendesah lelah. "Kamu pulang besok. Sekarang sudah hampir malam. Dan Yuriana pergi pakai jalur laut, jangan naik helikopter, suaranya berisik.""Baik, Kak. Berikan dulu Yuriana. Aku ingin menggendongnya."Billy menyerahkan Yuriana setelah bayi itu puas meminum susunya dan Eric selesai mencuci tangan. Eric langsung memeluk erat Yuriana ke dalam pelukan.Tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata bagaimana lega dan bahagia dirinya sekarang. Sampai air mata haru meleleh di pipinya. Eric juga tidak bisa berhenti menciumi seluruh wajah Yuriana.Billy menghela napas, lalu berdecak-decak masuk ke dalam rumah. Entah sudah berapa kali, sejak kedatangan Eric menjemput Yuriana, Billy selalu menghela napas. Suasana hatinya jadi memburuk
"Kita bicarakan masalah ini nanti, setelah Yuriana pulang."Eric tentunya senang oleh permintaan maaf Yuna, tetapi ia masih ingin mengamati perubahan Yuna. Eric tidak ingin lagi ada masalah di kemudian hari dengan persoalan yang sama. Cukup sekali Eric merasakan kesal, marah, dan sedih karena tidak dipercaya dan tidak dihargai istrinya sendiri. Bagaimanapun juga, semua yang ia lakukan demi masa depan keluarganya. "Baiklah. Lalu, berapa lama Mas Eric pergi?""Belum tahu. Aku berangkat dulu, ya. Jangan lemah, Yuna. Kamu sudah menjadi ibu sekarang. Pikirkan Yuriana nanti kalau pulang. Kamu tidak boleh sakit."Hanya mendengar kata-kata perhatian dari Eric saja, Yuna sudah tahu jika Eric telah memaafkan dirinya. Sebelum Eric berbalik, Yuna meraih pundaknya."Ada apa lagi, Yuna?"Yuna mengecup bibir Eric begitu lembut. Sejuta kerinduan yang tertutupi akibat kesedihan dan pikiran negatifnya, akhirnya dapat ia salurkan.Yuna melepaskan ciuman itu, tetapi tangan Eric sudah lebih dulu mendara
"Tuan, sebaiknya kita mengembalikan anak ini kepada orang tuanya." Suara Lima begitu lemah karena seharian kecapekan mengurus Yuriana.Di pulau pribadi Billy Volker, tidak ada satu pun pelayan, hanya ada lusinan bodyguard dan semuanya pria. Lima merasa kesulitan karena tidak terbiasa menggendong bayi.Sejak kemarin, Billy sendiri yang mengasuh Yuriana. Tetapi, hari ini, Billy sedang ingin santai-santai dan tidak ingin diganggu oleh siapa pun."Malas. Kamu saja yang mengembalikan kalau mau.""Bagaimana saya pergi dari pulau ini kalau cuma Tuan yang bisa menerbangkan helikopter," gerutu Lima."Jangan berisik di dekatku kalau nggak mau aku hukum," ancam Billy.Billy berbaring santai sambil menikmati jus buah segar yang dipetik Lima beberapa saat lalu. Matanya terlihat hampir terpejam karena angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah tampannya.Suara Yuriana menangis membuat Billy melompat dari kursi santai. Dadanya naik turun dengan cepat karena sangat terkejut."Lima!! Kamu ini nggak becus se
"Lepaskan aku!" Emilia meronta-ronta ketika dua petugas polisi mencekal lengannya. "Brengsek! Aku akan membunuh kalian semua! Siapa yang berani melaporkan aku?!"Eric terdiam. Keputusan memenjarakan Emilia juga sangat berat baginya. Yudha dan Diana awalnya juga menentang, tetapi tidak ada cara lain untuk menghentikan kegilaan Emilia.Untung saja, penangkapan Emilia terjadi di tempat terpencil. Mereka masih bisa menyembunyikan kasus itu dari media.Setelah Emilia pergi, beberapa petugas kesehatan yang berjaga-jaga sebelumnya masuk dan memeriksa semua orang. Aldo yang paling parah lukanya. Hampir semua jahitan di perut Aldo terlepas. Ia cukup beruntung karena organ dalam yang tadinya terluka masih baik-baik saja.Rombongan Yuna dan Eric bersama-sama menuju ke kantor polisi terdekat untuk menginterogasi Emilia. Selama berjam-jam, Emilia hanya mengamuk dan mengucap sumpah serapah.Akhirnya, Emilia lelah dan mulai mengakui perbuatannya. Selama berjam-jam tadi, Emilia sengaja mengulur wakt
"Jangan bohong! Cepat katakan di mana anakku!" pekik Yuna sambil berurai air mata.Aldo mendekati Emilia. "Sayang, ayolah, kita jemput Yuriana, lalu pulang ke rumah kita. Atau ... kita tinggal di sini saja berdua. Nggak akan ada yang mengganggu kita. Kita bisa punya anak sendiri. Sekarang, kembalikan dulu Yuriana."Iris mata Emilia berpindah ke arah pintu. Dua pria lain menerobos masuk ke dalam rumahnya. Eric dan Rendra akhirnya sampai, setelah berlarian ke tempat itu.Tanpa memedulikan apa yang baru terjadi, Eric langsung menarik kemeja Aldo dan memutar badan Aldo ke arahnya. Ia langsung meninju wajah Aldo sampai Aldo tersungkur jatuh."Brengsek!" umpat Eric."Kenapa kamu memukul Aldo, Mas?!" Yuna menarik lengan Eric yang bersiap memukul Aldo sekali lagi. "Dia membantuku mencari Yuriana, nggak seperti kamu yang nggak peduli sama sekali!""Kamu membelanya?!" bentak Eric. "Aku nggak membelanya. Kamu datang-datang cuma mau cemburu? Yang ada di pikiran kamu itu apa sebenarnya? Kamu ngga
Emilia membawa Yuriana ke praktik dokter terdekat. Dokter mengatakan jika Yuriana harus dirujuk ke rumah sakit untuk pemeriksaan penunjang."Sakit apa anak saya, Dok?" tanya Emilia panik. Emilia khawatir jika dokter itu akan membawa Yuriana ke rumah sakit. Keberadaan mereka bisa langsung ditemukan oleh keluarganya."Dari gejala yang Ibu sebutkan, putri Ibu kemungkinan mengalami intolerasi laktosa. Jadi, sebaiknya Ibu memeriksakan putri Ibu ke rumah sakit yang memiliki fasilitas lengkap," kata sang dokter."Apa tidak bisa di sini saja, Dok?""Maaf, Bu. Seperti yang bisa Anda lihat, kami hanya datang sesekali melakukan pemeriksaan umum gratis dan tidak memiliki peralatan memadai untuk pemeriksaan lengkap. Tetapi, kami bisa membantu Ibu untuk merujuk putri Ibu ke rumah sakit."Emilia melihat sekeliling ruangan. Hanya ada dua kamar saja di tempat itu. Satu untuk mendaftar, kamar lain untuk memeriksa. Hanya ada beberapa alat medis minim di sana."Saya ke rumah sakit sendiri saja, Dok. Ter
"Bukankah Mas Eric nggak peduli dengan kami lagi? Urusi saja pekerjaan dan sekretaris Mas Eric itu," ujar Yuna dengan suara lirih.'Yuna! Pulang sekarang! Kamu benar-benar nggak bisa mematuhi aku, hah?!' bentak Eric."Nggak, aku mau mencari Yuriana!" Yuna balas membentak Eric.Yuna mematikan ponsel Hilman supaya Eric tidak dapat menghubungi. Ia juga tidak mau Eric melacak lokasinya saat ini. Ia hanya ingin Eric melihat, dirinya tidak butuh bantuan Eric untuk menemukan Yuriana."Nyonya ... Bagaimana kalau kita kembali dulu? Saya takut ...."Yuna memotong ucapan Hilman, "Kalau kamu nggak mau mengantar aku, biar aku pergi ke sana dengan orang ini."Hilman tidak berani memprotes lagi. Lebih baik ia menurut daripada meninggalkan Yuna sendirian. Pulang-pulang, ia pasti akan kehilangan kepala jika sampai terjadi sesuatu pada Yuna.Aldo yang tadinya juga ingin membujuk Yuna agar mereka memutar mobil untuk kembali, urung mengatakannya. Aldo juga ingin segera menemukan anak Yuna. Jika terjadi ap
"Mas Eric ... malas denganku?" Air mata mulai menetes di wajah cantik Yuna. "Karena itu, Mas Eric cuma sibuk di sini, bukan malah mencari Yuriana ....""Aku juga mencari Yuriana, Yuna! Jangan sembarangan bicara! Pulanglah! Di sini kantor, bukan untuk bicara masalah pribadi," tegas Eric.Yuna menggeleng-geleng pelan. Ia tidak percaya jika Eric tega membentak dan mengusirnya. Prasangka buruk Yuna bertambah ketika melihat kehadiran Dina tadi. Dan sekarang makin menjadi-jadi.Karena Yuna tak kunjung pergi, Eric yang memilih keluar dari ruangan, meninggalkan Yuna seorang diri. Eric harus cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan supaya bisa menyusul Rendra untuk mencari Yuriana.Eric sepenuhnya mengabaikan Yuna yang terluka oleh kata-katanya. Yuna mengusap air mata, lalu berbalik pergi. Langkah Yuna terhenti ketika melihat sosok Dina. Yuna mendatangi Dina, tetapi Dina cepat-cepat memalingkan muka dan pergi menjauh. "Mbak Dina!!"Namun, Yuna malah memanggil Dina dengan suara lantang. Seperti k