"Kamu tidak usah mengikuti kami, Sena. Sudah cukup pramuniaga-pramuniaga pakaian itu saja yang memelototi kami berdua. Kami tidak perlu kamu mandori lagi."
Mitha menegur Sena yang terus mengekorinya dan Mayang selama berbelanja. Setelah menjalani sesi terapi di rumah sakit tadi, ia memang langsung minta diantar ke mall. Ia punya satu misi yang ingin ia tunaikan. Dengan adanya Sena terus memandori mereka berdua, ia jadi merasa tidak leluasa bertindak.
"Saya hanya berjaga-jaga, kalau-kalau Ibu memerlukan bantuan. Tapi kalau Ibu merasa tidak nyaman, saya akan menunggu di tempat lain saja. Kalau Ibu memerlukan saya, telepon saja ya, Bu?"
"Iya... iya... " Mitha mengibaskan tangan. Membuat gerakan mengusir pada Sena. Setelah Sena menjauh, Mitha meminta Mayang mendorong kursi rodanya keluar dari gerai pakaian berlogo huruf X berwarna merah ini. Berbelanja di tempat pilihan Mayang ini sungguh tidak menyenangkan
"Saya tahu pekerjaan utama kamu itu apa. Tapi tolong sedikit bermorallah. Kamu sedang bekerja saat ini. Tahan dulu hasratmu!"Tanpa melihat pun, Mayang sudah tau siapa orang yang membekap sekaligus menyeretnya masuk ke dalam kamar ini. Sena!Mayang berusaha memberontak. Tetapi Sena tetap membekap mulutnya erat. Sena kemudian memaku tubuhnya di belakang pintu kamar. Menatap wajahnya dengan pandangan merendahkan terang-terangan."Dengar, saya tidak peduli kamu mau berjualan di mana dan dengan siapa saja. Tetapi tidak saat kamu masih berada di rumah ini. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Pahami itu!" desis Sena geram. Seiring emosinya suara Sena, diikuti dengan menguatnya bekapan tangan di mulutnya.Mayang tidak bisa menjawab, karena Sena belum melepaskan bekapannya. Mayang mulai megap-megap kehabisan udara. Paru-parunya serasa terbakar. Tidak kuat menahan sesak, Mayang menggigit telapak t
"Jangan begini, Mas. Yang Mas butuhkan itu psikiater, istri atau minimal pasangan. Bukan saya, Mas." Mayang mundur-mundur saat Sena kian mendekatinya."Psikiater, sudah. Istri? Pasangan? Dari mana saya bisa mendapatkannya kalau berdekatan dengan perempuan saja saya sudah berkeringat dingin?" Sena memajukan langkahnya lagi. Mayang terus mundur dan mundur, hingga kakinya menyentuh sudut ranjang. Karena gugup Mayang malah terjengkang di atasnya. Sejurus kemudian Mayang merasa ranjang melesak, karena ada beban lain di atasnya. Sena menyusul dan kini telah berada di atas tubuhnya. Memaku kedua lengannya di sisi kiri dan kanan kepalanya."Lepaskan, Mas. Jangan begini. Jangan membuat sesuatu yang akan kita berdua sesali nantinya," desis Mayang dengan suara terengah."Kamu terlalu banyak bicara. Yang saya pinta hanya janjimu tadi, bukan siraman rohani. Saya ulangi, bersediakah kamu memperbaiki kerusakan yang telah kamu bua
Mayang memandang pantulannya sendiri di depan cermin. Secara keseluruhan penampilan cukup rapi dan sopan. Ia mengenakan rok pensil hitam sebetis yang dipadukan dengan blazer putih gading berbahan tweed. Blazer bermerek chane* itu adalah hadiah dari Bu Mitha. Mayang menggelung rambutnya menjadi sanggul kecil yang anggun. Setelah memulas bibirnya dengan lipstick merah muda, ia merasa penampilannya cukup sempurna. Ia memang tidak menyukai tampil habis-habisan pada acara orang. Istimewa saat menghadiri acara pernikahan. Jangan sampai penampilannya melebihi keglamouran sang pengantin. Rasanya sangat egois jika dirinya merampas perhatian yang seharusnya menjadi milik sang ratu sehari. Setelah menyemprotkan parfum kesayangannya yang masih tersisa, Mayang meraih tas tangan dan membuka pintu kamar. Malam ini ia akan menghadiri pernikahan Seruni dan Antonio. Ia ingin menjadi saksi atas kebahagiaan teman sekampungnya itu. Seruni telah berhasil menemukan pangeran berbaju zirahnya. Sementara dir
Mayang menyisir rambutnya perlahan. Mengurai gelombang-gelomang ikal yang terbentuk karena gelungan rambutnya. Resepsi pernikahan Seruni dan Antonio telah usai. Kini ia telah berada di kamarnya. Iseng Mayang membuka ponsel. Ia ingin melihat sekali lagi photo-photonya dengan Seruni. Khusus hari ini hingga seminggu ke depan, ia mempunyai banyak waktu sendiri di malam hari. Pak Candra telah kembali dari luar kota. Dengan begitu ia tidak perlu terus mengecek keadaan Bu Mitha dari pintu penghubung. Ada Pak Candra yang menjaganya. Pintu penghubung telah ditutup oleh Pak Candra.Mayang membuka galeri. Ia memperhatikan sekali lagi ekspresi kebahagiaan Seruni, saat berphoto dengannya. Senyum Seruni merekah secerah mentari pagi. Ia juga tersenyum tak kalah lebar. Bibir bahkan nyaris membelah wajahnya menjadi dua bagian. Tetapi jelas terlihat perbedaan dalam senyum lebar mereka. Seruni tersenyum sepenuh hati. Sementara dirinya sendiri tersenyum menutupi kegundahan hati. Li
Sehari sebelumnya."Gue bukannya nggak mau memprospek lo, Dam. Walaupun udah berkecukupan, tapi mata gue masih tetep ijo kalo ngeliat duit. Cuma masalahnya, gue kesian ngeliat nasib anak buah gue. Gue terus terang aja sama lo. Anak buah gue ini dulunya mantan PSK. Tapi dia jadi PSK karena terjebak keadaan. Lo bayangin aja anak 17 taon dari Banjarnegara sono nyari-nyari orang ke Jakarta. Ujung-ujungnya ia malah terjebak di dunia hitam. Sekarang dia mau mencoba merubah diri. Makanya gue support dia habis-habisan. Dia mengingatkan gue pada diri gue sendiri bertahun lalu. Lo bersedia kan membuka jalan baginya untuk pekerjaan halal?""Gue sih mau-mau aja, Fir. Cuma masalahnya dia ini mantan PSK. Gawat ini, Fir. Mana Dewi besok ikut lagi. Lo tahu sendiri 'kan kalo bini gue itu cemburuan. Bakalan ngamuk dia kalo liat cewek seksi jalan tek tok tek tok pake high heels ketemuan sama gue. Bubar jalan ntar acara prospekannya, Fir."
Mayang membiarkan Bu Zainab menjambak rambutnya. Sungguh ia rela diperlakukan seperti ini, jika itu membuat Bu Zainab lega. Dengan Bu Zainab mengenalinya saja, itu merupakan satu pertanda baik.Artinya ingatan Bu Zainab tidak semuanya hilang. Saat Sena ingin mendekat, Mayang menggeleng cepat. Isyarat kalau ia tidak ingin diganggu."Apa Ibu mengenal saya?" Walau Mayang merasa kulit kepalanya seakan-akan terlepas, tapi ia berusaha terlihat santai saja. Ia ingin membuat Bu Zainab berbicara lebih banyak."Tentu saja saya kenal! Kamu adalah penyebab utama kekalahan saya. Kalau saja kamu tidak hadir dalam kehidupan anak saya, saya tidak akan kalah darinya. Makanya rasakan pembalasanku setan betina muda. Rasakan!" Kuatnya jambakan pada rambutnya, membuat Mayang terhuyung-huyung. Detik berikutnya ia tersungkur ke tanah lapang, karena Bu Zainab mendorongnya."Hahahaha... bagaimana rasanya? Sakit tidak? Sakit 'kan? Sakitmu in
Mayang mondar mandir di taman belakang. Tidak jauh dari tempatnya mondar mandir, Bu Mitha tengah menikmati paparan sinar matahari pagi. Mayang gelisah. Sesungguhnya ia mempunyai janji dengan Pak Adam hari ini. Janjinya tentu saja berhubungan dengan prospekannya kemarin. Pak Adam setuju untuk membeli asuransinya. Dan hari ini jadwalnya closing dengan Pak Adam. Itu artinya ia harus menemui Pak Adam untuk menandatangani perjanjian asuransi, sebagai bentuk persetujuan perjanjian pertanggungan.Masalahnya, kemarin ia baru saja libur. Dan ia segan untuk meminta izin keluar. Ia takut kalau Bu Mitha tidak mengizinkannya. Namun ia harus bukan? Sayang sekali komisinya kalau ia melewatkan kesempatan baik ini."Kamu kenapa, Mayang? Dari tadi saya perhatikan kamu gelisah sekali. Mondar-mandir terus. Ada hal yang ingin kamu bicarakan pada saya atau bagaimana? Bilang saja. Saya pusing melihatmu berputar-putar saja seperti gasing di sini."
"Untuk apa Mas mau tau saja semua urusan saya?""Saya 'kan cuma bertanya. Kalau kamu tidak mau menjawab, ya sudah.""Baik. Sebelum saya menjawab pertanyaan Mas, bolehkan saya mengajukan satu pertanyaan dulu?""Silakan,""Untuk apa Mas ingin tau segala hal tentang saya? Padahal Mas bilang, Mas sangat membenci saya bukan?"Saya penasaran saja.""Penasaran soal apa?""Soal jati diri laki-laki dari masa lalumu. Saya ingin tahu seperti apa dirinya. Dan kalau memungkinkan saya juga ingin menemuinya.""Menemuinya untuk apa, Mas?""Untuk bertanya apakah ia sudah bahagia karena melepasmu dengan keji dulu."Sembari menyusun pakaian-pakaian Bu Mitha yang sudah disetrika rapi ke dalam lemari, pikiran Mayang terus mengembara. Sungguh, ia sulit untuk memahami
"Para hadirin yang berbahagia. Pembangunan suatu negara hakikatnya adalah bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat dan pertumbuhan ekonomi agar stabil. Dan goalsnya adalah menunjukkan grafik yang terus naik. Oleh karena itu, target utama yang menjadi landasan munculnya program-program nasional adalah pengentasan kemiskinan dan pengurangan pengangguran."Mayang membuka pidato seminar kewirausahawan mandiri yang diselenggarakan oleh Dewan Pengurus Cabang Himpunan Penyelenggara Pelatihan dan Kursus Indonesia. DPCHPPKI ini secara khusus mengundangnya untuk memberikan pidato singkat tentang pengembangan Sumber Daya Manusia.Walaupun tengah hamil besar, Mayang tetap menerima undangan ini. Ia paling semangat jika diminta untuk memotivasi orang-orang. Ia ingin memberikan sedikit ilmu, namun banyak semangat kepada para generasi muda. Sudah saatnya kaum milenial ini berwiraswasta dan membuka lapangan pekerjaan. Daripada mereka ha
Enam bulan kemudian.Mayang memandangi rumahnya, yang kini telah menjadi rumah produksi usaha kecilnya. Kesibukan para teman-teman lamanya, yang dulu merupakan mantan PSK, membuatnya tersenyum haru.Sarah, Tikah, Yayuk, sibuk mengemas pakaian-pakaian yang telah selesai dijahit oleh Bu Nania dan Bu Syukri. Sementara Rita, Bu Renny dan Maria tengah asyik mencetak kue-kue. Bu Renny dan Bu Warsih sibuk memanggang. Beberapa mantan PSK yang dibawa oleh Sarah dan Tikah, terlihat dengan teliti menyusun kue-kue ke dalam toples. Mereka yang terakhir bergabung ini, memang belum mempunyai keahlian apa-apa. Yang mereka bawa hanyalah niat dan semangat untuk mengubah jalan hidup. Mayang sangat bangga dengan tekad kuat mereka semua.Mayang masih ingat, enam bulan lalu, ia memulai usaha kecil-kecilannya ini dengan Firdha. Ajang coba-coba kalau menurut istilah Firdha. Ia memulai bisnis dengan bakal kain tidak terpakai Fi
"Hallo, Pa. Kabar Nia baik. Papa tidak usah khawatir," getaran dalam suara Nia membuat hati Sena ikut bergetar. Ia sadar kalau ia sudah berlaku tidak adil pada Nia. Karena kisruhnya hubungan para orang-orang dewasa, hak-hak Nia hampir saja ia rampas."Iya, Pa. Nia juga kangen. Nia ngerti kok, Pa. Papa harus mencari uang yang banyak demi masa depan Nia. Nia sudah sudah besar sekarang. Jadi Nia sudah tahu kesulitan orang-orang dewasa. Hehehe." Sena membuang muka saat melihat Nia berusaha tertawa di tengah derai air matanya."Nggak apa-apa, Pa. Rindunya akan Nia tabung dulu biar banyak. Nanti kalau kita sudah boleh bertemu, akan Nia keluarkan semua rindu yang Nia kumpulkan. Papa tidak usah sedih. Perasaan Nia pada Papa tidak akan berubah di mana pun Papa berada. Di dunia ini, Nia cuma punya Papa. Mama kan sudah meninggalkan Nia lebih dulu. Jadi, Papa jangan lupa kalau ada Nia di sini ya, Pa?" pinta Nia dengan suara memelas.&
"Harus bisa, Mbak. Kita sudah terlalu lama memupuk dendam untuk hal yang sebenarnya bisa kita bicarakan. Mulai saat ini kita membahas hal yang ringan-ringan saja ya, Mbak? Coba Mbak yang mulai dulu. Cari topik pembicaraan yang menarik."Bu Mitha memutuskan untuk mengubah topik pembicaraan. Dirinya kan baru saja baikan dengan Zainab sekarang. Masa ia mereka berdua sudah ribut lagi saja?"Oke. Mari kita membahas hal yang ringan-ringan saja. Sekarang Mbak tanya, kenapa kamu tidak menyemir rambutmu, Mitha? Lihat itu, ubanmu sudah piknik ke mana-mana. Membuat penglihatan Mbak tercemar saja, sebagai sesama perempuan. Ke salon dong, Mitha. Jangan seperti orang susah," cibir Zainab.Bu Mitha memutar bola mata. Waktu berlalu, masa berganti. Namun Zainab ini tetap saja menempatkan penampilan di atas segala-galanya."Aku sedang malas ke salon, Mbak. Karena salon adalah tempat kumpulan kelompok ghiba
"Coba buka pintu gudang ini, Nani. Kalau agak susah membukanya karena lama tidak diminyaki, panggil saja Mang Ujang."Bu Mitha meminta suster Nani membuka gudang yang sudah lama sekali tidak pernah ia kunjungi. Ia ingat ada beberapa barang yang dulu sengaja ia sembunyikan di sana. Dan sore ini tiba-tiba saja ia ingin membongkarnya."Akan saya coba membukanya sendiri dulu ya, Bu? Kalau nanti tidak bisa, baru saya akan memanggil Mang Ujang," tukas suster Nani. Ia tidak mau menyusahkan Mang Ujang."Terserah kamu saja. Yang penting saya bisa masuk ke sana," ujar Bu Mitha datar. Benaknya saat ini dipenuhi dengan kenangan-kenangan masa lalu. Setelah Sena dan Mayang berpamitan, semua kejadian di waktu lalu seperti saling berdesakan ingin keluar. Daripada ia pusing sendiri, ia bermaksud membaginya dengan Zainab. Siapa tahu dengan begitu bebannya akan berkurang. Bonus rasa penasarannya akan terjawab. Karena menurut Sena, keadaan
Mayang termangu. Ia sama sekali tidak menduga kalau Bu Zainab adalah kakak seayah dengan Bu Mitha. Karena Sumitro Iskandar itu adalah ayah kandung Bu Mitha. Pantas saya Bu Zainab kerap menceracau kalau ia adalah anak buangan. Ibu kandung tidak menginginkan keberadaannya. Sementara ayah kandungnya tidak mengetahui kalau ia ada. Kasihan sekali Bu Zainab."Saya lanjutkan ya?!" Suara keras Nek Tinah membuat lamunan Mayang buyar seketika."Silakan, Nek!" sahut Mayang tak kalah keras."Aini sudah lama menyukai Pak Sumitro, anak majikannya. Namun sayangnya Pak Sumitro sudah menikah dengan Widya. Hanya saja mereka belum dikaruniai momongan. Makanya Pak Broto, ayah Sumitro kerap bertengkar dengan Sumitro, karena Widya tidak kunjung hamil. Maklum saja, Sumitro itu anak tunggal. Tentu saja Pak Broto mengharapkan ada yang meneruskan silsilah keluarga.Suatu hari Sumitro yang dipaksa menikah lagi oleh
Mayang baru saja ingin memejamkan mata, saat terdengar suara-suara bernada tinggi dari luar kamar. Mayang seketika menegakkan tubuh. Sepertinya suara-suara itu berasal dari ruang tamu. Malam ini ia dan Sena memang menginap di rumah mertuanya. Bu Mitha dan Pak Candra beralasan sudah terlalu malam bagi mereka untuk pulang. Menurut mereka sebaiknya ia dan Sena menginap saja. Tidak baik kalau wanita yang tengah hamil muda pulang malam-malam.Demi menghormati kedua mertuanya, ia dan Sena memutuskan untuk menuruti keinginan Bu Mitha dan Pak Candra. Makanya malam ini ia pun tidur di kamar Sena dulu.Ketika suara-suara itu makin lama makin meninggi, Mayang bermaksud memeriksa keadaan. Siapa yang bertengkar saat tengah malam begini? Di rumah ini hanya ada Pak Candra, Bu Mitha, Manda, Nia dan Suster Nani. Sementara Ceu Esih, dan Mang Ujang, tidur di paviliun belakang. Berarti yang saat ini ribut-ribut adalah antara mereka semua. Mayang men
"Kamu kenapa tegang sekali, Mayang? Kita akan menghadiri acara makan malam keluarga. Bukannya menghadiri sidang. Jangan tegang begitu. Ayo tarik napas dulu."Di antara langkah-langkah kecil dirinya dan Sena, yang tengah memasuki rumah keluarga Dananjaya, Sena menghentikan langkahnya. Mayang yang berjalan di sisi Sena, refleks ikut berhenti juga. Sena benar. Malam ini Mayang memang sangat tegang hingga ia merasa mual.Ini adalah kali pertamanya memasuki rumah keluarga Dananjaya dengan status yang berbeda. Yaitu sebagai menantu. Bukan lagi sebagai perawat Bu Mitha, yang kini sudah berstatus sebagai ibu mertuanya. Walau bagaimanapun Sena dibuahi, ia adalah anak dari dari Pak Candra. Otomatis secara hukum, Sena adalah anak Bu Mitha juga. Bagaimana ia tidak tegang karenanya?"Ayo, tarik napas panjang dulu," Sena mengulangi kalimatnya. Mayang segera menarik napas panjang, dan menghembuskannya perlahan sebanyak tiga
"Kita sudah sampai, Bu." Teguran supir taksi online memutus lamunan Mayang. Mayang memandang sekeliling. Ternyata ia berada di pintu gerbangsebuah Rumah Sakit Jiwa. Mayang tertegun. Dalam kekalutannya, ternyata ia menekan alamat Rumah Sakit Jiwa baru, tempat Bu Zainab dirawat pada aplikasi taksi onlinenya.Sepeninggal taksi online Mayang berjalan ke pintu gerbang. Sudah kadung berada di sini, sekalian saja ia menjenguk ibu mertuanya. Walau ia tidak yakin apakah akan diizinkan menjenguk. Mengingat jam besuk telah lewat.Syukurnya ia diperbolehkan menjenguk karena dianggap sebagai penanggung jawab keluarga. Bukan tamu biasa. Hanya saja ia diperingatkan untuk menjenguk pada jam-jam yang sudah ditentukan, apabila tidak ada hal-hal yang bersifat urgensi. Rumah Sakit Jiwa ini ternyata jauh lebih flexible dari Rumah Sakit Jiwa Bu Zainab yang lama.Mayang segera mengganti pakaiannya dengan seragam perawat, dan