Bugh.. Dani tidak dapat lagi menahan amarahnya, ia melayangkan tinjunya ke wajah Darwin. "Kurang ajar kamu!" seru Dani. "Eh, apa-apaan kamu? Beraninya kamu berbuat seperti itu padaku. Aku tidak akan tinggal diam," kata Darwin sambil menyentuh wajahnya yang sakit. "Kamu harus bertanggung jawab dan menikahi Lily!" kata Dani dengan suara keras. "Siapa kamu? Kamu tidak berhak memerintah aku," kata Darwin. Darwin mendorong tubuh Dani, dan membuat Dani sempoyongan dan jatuh ke lantai. Annisa segera menolong Dani untuk bangkit berdiri. "Aku tidak akan menikahi kamu!" ujar Darwin sambil menunjuk Lily. Darwin berlari dan segera naik ke mobilnya. Dani tidak bisa mengejar Darwin dengan cepat. Namun Annisa sempat mencatat nomor plat mobil Darwin. Lily menangis dan meraung, ia sudah merasa putus asa karena tepat seperti dugaannya, pria itu tidak mau bertanggung jawab. Ibu berseru dan menangis histeris, "Apa yang harus kita lakukan sekarang?"Dani duduk di sofa dan meremas rambutnya sendi
Annisa, Dani, Lily, dan ibunya baru saja tiba di rumah. Ibu Dani langsung melampiaskan kekesalan dan amarahnya pada Lily. "Dasar anak bodoh! Perbuatanmu ini mempermalukan keluarga kita!" ucap Ibu Dani sambil memukuli Lily. "Bu, sabar. Marah-marah seperti ini tidak akan bisa menyelesaikan masalah," kata Annisa sambil berusaha menahan tangan ibu. "Itu sebabnya aku mau menggugurkan anak ini, Bu. Kalau aku tidak hamil, aku bisa kembali kuliah, semua orang juga tidak akan mengetahui tentang kehamilanku," ucap Lily. "Jangan lakukan itu, Li! Pasti ada solusi lain," kata Annisa. "Solusi apa Mbak? Aku tidak mau menanggung ini sendirian. Ada temanku yang pernah menggugurkan kandungan dan semuanya berjalan lancar, aku akan menanyakan padanya bagaimana caranya," ucap Lily. "Jangan membuat masalah lebih rumit, Li!" bentak Dani. "Mengapa aku punya anak-anak bodoh seperti kalian?" keluh Ibu Dani sambil berurai air mata. "Ini semua karena Ibu. Ibu selalu menekan kami untuk menghasilkan banyak
Ibu Dani terkejut melihat tingkah putrinya yang sudah di luar nalar. Ia akhirnya pasrah dan menuruti saran Dani dan Annisa. "Ibu gantikan pakaian Lily dulu, kami tunggu di luar," kata Dani. Dani dan Annisa melangkah keluar dari kamar itu dan akan menutup pintu. "Tunggu! Ibu tidak punya uang untuk biaya Lily berobat," ucap Ibu Dani dengan lirih. "Sudahlah, Bu. Biar kami yang tanggung biayanya, yang penting Lily bisa pulih kembali," jawab Annisa. Annisa dan Dani duduk di sofa menunggu ibu dan Lily bersiap-siap. Ibu keluar dari kamar sambil menggandeng tangan Lily. Tatapan mata Lily masih kosong, kini ia meracau tidak jelas, memaki Darwin dengan keras. Annisa membantu menggandeng Lily yang mulai memberontak. Akhirnya mereka berhasil membawa Lily masuk ke dalam mobil. "Mas, coba cari informasi mengenai tempat praktik dokter kejiwaan," kata Annisa pada suaminya. "Apa?! Lily tidak gila, Nis!" potong Ibu Dani. "Bu, Lily sepertinya mengalami depresi. Benar kata Annisa, kita harus mem
Sore itu Dani dan Annisa mengajak Shafira berjalan-jalan ke sebuah pusat perbelanjaan. Shafira sangat bahagia karena bisa pergi bersama kedua orang tuanya, sebuah kejadian yang sangat langka dahulu."Pa, Ma, Shafira mau main di sana," kata Shafira sambil menunjuk ke sebuah ruangan bermain anak. "Ya sudah, kita beli tiketnya dulu, ya," jawab Annisa dengan lembut. Annisa membayar tiket untuk Shafira, lalu membantunya melepaskan sepatunya. Shafira bisa bermain selama tiga puluh menit di ruangan itu. Di dalam ruangan itu terdapat banyak permainan yang menarik dan aman untuk anak-anak. Shafira terlihat ceria, ia bermain bersama beberapa anak perempuan lainnya. Shafira cepat akrab dengan mereka. Annisa dan Dani menunggu di depan ruangan berdinding kaca itu. Dari luar mereka bisa melihat dan memantau segala aktivitas Shafira. Melihat Shafira bisa tertawa dan bermain sepuasnya membuat Annisa dan Dani sangat bahagia. "Nis, anak kita tumbuh sehat dan bahagia, dia sangat cantik dan pintar. S
Pagi itu Annisa mulai bekerja di kiosnya seperti biasa. Hari ini Annisa dan karyawannya sedikit lebih sibuk. Ada sebuah rumah sakit yang mencuci sprei dan handuk untuk pasien. Dulu Karina dan Annisa memang menawarkan jasa mereka di rumah sakit dan beberapa tempat lain. Beberapa saat setelah menerima penawaran itu, rumah sakit itu mulai menggunakan jasa mereka. Dua kali dalam satu minggu, Annisa mengambil sprei kotor dari rumah sakit tersebut dan langsung mencucinya. Setelah itu, Annisa akan mengantarkannya kembali ke rumah sakit tersebut. Annisa merasa senang karena usahanya mulai dikenal luas. Annisa dan para karyawannya mulai mencuci kain-kain kotor tersebut. Lalu mereka mulai mengeringkannya dan menyetrika. "Fira main dengan Papa dulu, ya," kata Annisa sambil menatap Shafira. "Ma, Fira mau main sepeda," kata Shafira. "Main sepedanya nanti sore saja sama Mama. Papa susah menemani Fira naik sepedanya," jawab Annisa. "Fira mau sekarang, Ma," rengek Shafira. Shafira memang seda
Sebagai ucapan terimakasih karena telah membantu menyelamatkan Shafira, Annisa mengajak Surya dan Karina untuk makan malam bersama. Annisa memeluk Shafira, seakan tidak mau melepaskannya, sampai akhirnya Shafira tertidur dengan lelap. Annisa tidak bisa membayangkan, seandainya Surya tidak menyelamatkan Shafira, mungkin kini ia tidak bisa memeluk Shafira lagi. Annisa tak berhenti mengucap syukur dan berterimakasih padanya. "Nis, mana suamimu?" tanya Karina. Dani memang menghindar dan tidak mau makan malam bersama mereka. "Mungkin Mas Dani masih terkejut dan merasa bersalah atas peristiwa tadi. Tidak apa-apa, nanti aku akan menenangkan dia," kata Annisa. "Bicaralah baik-baik dengan suamimu, Nis. Aku tidak ingin kalian bertengkar," kata Surya. "Iya, Mas. Oh iya, minggu depan acara ulang tahun Shafira, kalian datang, ya. Aku dan Mas Dani berencana membuat acara keluarga sederhana," kata Annisa. "Wah, hampir aku lupa kalau keponakanku akan berulang tahun. Kami pasti datang, iya kan
Acara ulang tahun Shafira sudah selesai digelar. Shafira sangat senang membuka banyak hadiah dari teman-temannya. Annisa duduk di samping Shafira dan tersenyum melihatnya. "Sayang, kamu senang hari ini?" tanya Annisa. "Iya, Ma. Fira senang berkumpul bersama banyak teman, ada Papa, Mama, Tante Karina, Om Surya, Nenek, Tante Lily. Lihat, Ma! Fira juga dapat banyak mainan," jawab Shafira. Annisa mengusap lembut rambut Shafira. Ini memang pertama kalinya ulang tahun Shafira dirayakan dengan cukup meriah. Tahun-tahun sebelumnya, Annisa tidak mempunyai cukup uang untuk merayakannya. Tahun lalu, ulang tahun Shafira hanya dirayakan bertiga. Hanya ada Shafira, Annisa, dan Karina, karena saat itu Dani dan Annisa masih pisah rumah. "Ma, Fira paling suka hadiah dari Om surya ini," kata Shafira sambil memamerkan mainannya pada Annisa. Annisa hanya menghela nafas panjang, ia melirik Dani yang berdiri sekitar dua meter dari mereka. Annisa yakin Dani juga mendengar perkataan Shafira itu. Dani
Pagi itu Karina memulai hari dengan semangat baru. Setelah mendapat restu dan dukungan dari Dahlia, ia semakin yakin untuk menyatakan perasaan pada Surya. Karina belum pernah menyatakan cinta terlebih dahulu pada seorang pria. Ia seorang gadis yang memegang teguh harga diri dan merasa tabu jika ada wanita yang terang-terangan menunjukkan perasaannya atau mengejar pria. Namun di usia yang tidak lagi belia, kali ini Karina harus berani bertaruh. Ia harus mengungkapkan perasaannya dan mendengar jawaban dari Surya. Entah seperti apa jawaban Surya nanti, tapi akan lebih baik jika Karina lekas mengetahuinya. Daripada ia harus memendam perasaannya dan terus merasa penasaran. Jika nanti ia harus merasa kecewa, setidaknya Karina sudah tidak merasa penasaran. Ia bisa segera bangkit dan melanjutkan hidupnya. Karina sudah tidak takut terluka, karena ia pernah merasakan hal yang lebih buruk sebelumnya. Selama mengenal Surya, pria itu juga selalu memperlakukan Karina dengan baik. Surya sangat p
Lily sempat mengunjungi Annisa dan ingin mengambil Bagas kembali. Namun tentu saja Bagas yang tidak pernah mengenal Lily langsung menolak. Bagas menangis dan berteriak, lalu bersembunyi di balik pintu.Lily menatap Bagas yang kini sudah bertumbuh menjadi anak yang sehat dan pintar. "Mbak Nisa, aku kangen sama Bagas. Aku ingin menebus kesalahanku dan merawatnya," kata Lily. "Kalau kamu menyayangi Bagas, biarkan dia tinggal bersamaku, Li. Aku gak akan mengijinkan kamu membawanya, karena itu hanya akan membuatnya terluka. Dia bahkan gak mengenal kamu, Li," ujar Annisa. Lily memejamkan matanya dan diam beberapa saat. "Dulu kamu pergi begitu saja, tanpa memikirkan bagaimana Bagas bisa hidup. Kamu asyik dengan duniamu sendiri dan gak pernah menanyakan kabarnya. Sekarang kamu kembali dan mengatakan ingin membawanya? Aku akan berjuang untuk mempertahankan Bagas tetap bersamaku. Saat ini dia sudah menjadi anakku, adiknya Shafira," kata Annisa dengan tegas. "Bagas, ini mama kandungmu, Saya
Pagi itu Dani kembali melangkahkan kakinya ke minimarket tempat ia menjadi tukang parkir. Ia berusaha tetap bersemangat, sekalipun kondisi ini bertentangan dengan harapannya. Sebentar lagi Winda akan melahirkan dan membutuhkan biaya. Dani biasa bekerja dari pagi sampai sore. Sekalipun ia memakai topi dan masker agar wajahnya tidak mudah dikenali, tetapi akhirnya beberapa tetangga melihat dirinya saat sedang bekerja. Namun kini Dani pasrah, ia tidak peduli lagi dengan ucapan orang-orang. Bahkan ada yang mengedarkan berita bahwa Dani, papa Shafira bekerja sebagai tukang parkir. Selama Shafira ada di rumah Ibu Dani, rumah itu lebih ramai dari biasanya. Beberapa tetangga datang untuk berfoto bersama Shafira. Hari-hari Shafira menjadi sangat melelahkan. Menjelang siang, Ibu Dani mendengar suara ketukan di pintu depan. Ia segera membukakan pintu dan melihat punggung seorang gadis yang membelakanginya. "Cari siapa?" tanya Ibu Dani. Wanita berambut panjang dan pirang itu berbalik badan.
Mendengar berita tentang Lily, Surya segera pulang dan menjemput Annisa. Mereka langsung menuju ke rumah sakit dengan perasaan yang tak menentu. Geram, kesal, cemas, dan amarah memenuhi hati Annisa dalam perjalanan ke rumah sakit itu. "Mengapa mereka gak memberi tahu keadaan Shafira pada kita, Mas?" tanya Annisa dalam kegeraman. "Tenang, Sayang, beruntungnya jaman sekarang berita cepat menyebar melalui media sosial, sehingga kita bisa mengetahui keadaan Shafira dan dimana dia sekarang," jawab Surya sambil tetap fokus mengemudi."Aku gak akan pernah mengijinkan Mas Dani dan ibunya untuk menyentuh Shafira lagi!" ucap Annisa. Surya sangat memaklumi rasa sakit dan kemarahan yang sedang melanda Annisa. Annisa adalah wanita yang mengandung dan membesarkan Shafira dengan penuh cinta, sehingga wajar ia merasa marah ketika melihat anaknya sakit dan menderita seperti itu. Annisa dan Surya akhirnya tiba di rumah sakit Permata. Annisa sudah tidak sabar, ia ingin segera berlari menuju kamar p
Dani sangat terkejut ketika melihat Shafira ada di rumah ibunya. Ia langsung memeluk Shafira dan menumpahkan rasa rindu yang sudah lama terpendam dalam hatinya. "Fira, Papa kangen sekali," ucap Dani. "Pa, Fira mau pulang ke rumah Mama," jawab Shafira sambil menangis. "Bu, kenapa Fira bisa ada di sini?" tanya Dani."Memangnya kenapa? Itu yang kamu mau, kan? Ibu menjemputnya tadi, karena kamu gak punya usaha dan inisiatif untuk mengambil anakmu kembali," jawab ibu. Shafira terus menangis tanpa henti sejak tiba di rumah itu. Berbagai cara sudah Dani lakukan untuk menenangkan Shafira, tetapi ia tetap rewel dan memanggil-manggil nama Annisa. Dani memberi isyarat pada Winda untuk mengajak Shafira ke kamar, karena ia ingin lebih banyak berbincang dengan ibunya. Winda menggandeng tangan Shafira dan membujuknya masuk ke dalam kamar. Dani mulai beralih menatap ibunya dan berbicara dengan volume suara yang tidak terlalu keras. "Bu, apa Ibu mengambil Shafira dengan paksa? Kasihan Annisa dan
"Apa?! Kamu jadi tukang parkir? Memalukan! Apa gak ada pekerjaan lain?" seru Ibu Dani. "Kalau ada pekerjaan lain yang lebih baik, aku pasti mau, Bu. Masalahnya aku sudah mencoba melamar pekerjaan ke banyak tempat lain, tapi sampai sekarang gak ada jawaban. Aku rasa sementara gak masalah kalau aku menjadi tukang parkir, yang terpenting itu halal dan kita bisa makan," jawab Dani. "Ibu gak mau! Apa kata orang lain? Keluarga kita ini terhormat, kamu juga sudah Ibu sekolahkan tinggi, masa hanya menjadi tukang parkir?" oceh Ibu Dani. Winda berusaha memberanikan diri untuk bicara, menengahi keributan itu. "Bu, ini hanya untuk sementara. Kita doakan saja Mas Dani cepat mendapat pekerjaan yang lebih baik. Aku setuju pendapat Mas Dani, yang penting sekarang kita bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari,""Siapa yang minta pendapatmu? Pokoknya Ibu mau kamu mengerjakan pekerjaan lain, bekerja di kantor dan punya gaji tetap!" Winda tersentak dan langsung kembali bungkam. Sementara itu Dani hanya
Sambil mengemudi mobil, Surya melirik Annisa yang banyak diam sejak pertemuan dengan Dani dan istrinya tadi. Annisa terlihat melamun dan berpikir, sesekali ia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya kembali. "Sayang, ada apa? Apa kamu masih merasa sakit hati melihat Dani bersama wanita lain?" tanya Dani. "Ah, bukan begitu, Mas. Aku hanya sedikit terkejut tadi. Tapi aku bersyukur, karena aku dan Mas Dani sudah menemukan pasangan baru dan kebahagiaan masing-masing," jawab Annisa. "Kalau kamu masih merasa aneh, aku memakluminya. Kamu dan Dani cukup lama menikah, jadi wajar jika tetap ada kenangan di antara kalian berdua," ujar Surya. Annisa mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Surya. Ia berkata lembut, "Mas Dani adalah bagian dari masa laluku. Sekarang aku punya kamu, Mas. Kebahagiaanku sempurna karena ada kamu dan anak-anak kita,""Terimakasih, Sayang. Kamu juga harus tahu, bahwa aku sangat bahagia memiliki kalian," ujar Surya. "Oh ya, bagaimana kalau kita percepat saja
Dani mengakhiri panggilan telepon itu dan terdiam beberapa saat. Setelah kembali menguasai dirinya, ia berkata pada Winda, "Win, kita ke rumah sakit sekarang. Aku sudah mendapatkan pinjaman uang,""Uang dari mana, Mas? Apa kamu meminjamnya?" tanya Winda. "Iya, terpaksa aku meminjam pada mantan istriku. Sudahlah, yang terpenting kamu bisa dirawat di rumah sakit," jawab Dani. Dani mengantarkan Winda ke rumah sakit, mengurus semua proses administrasi dan menemaninya sampai masuk ke kamar perawatan. Setelah itu Dani berpamitan untuk mengambil pakaian Winda di rumah dan mengembalikan mobil yang ia pinjam pada Pak Imron. Ibu Dani melihat Dani memasukkan beberapa pakaian Winda ke dalam tas ranselnya. Ia bertanya, "Dan, apa Winda jadi dirawat di rumah sakit?""Iya, Bu," jawab Dani. "Dari mana kamu mendapatkan uang?" tanya Ibu Dani lagi. "Aku terpaksa meminjam pada Annisa, Bu. Aku gak tahu bisa mendapatkan uang dari mana lagi," jawab Dani. Ibu Dani duduk di tempat tidur di dalam kamar it
"Bu Winda harus dirawat di rumah sakit, Pak. Ini demi keselamatan ibu dan bayinya," kata dokter setelah memeriksa Winda. "Apa?! Memangnya istri saya kenapa, Dok? Apa tidak bisa dirawat di rumah saja?" tanya Dani. "Bu Winda sepertinya mengalami kontraksi dan harus beristirahat total di tempat tidur. Dia saat ini tidak boleh terlalu lelah dan memaksakan diri. Jika tidak, bisa berbahaya untuk bayi yang sedang dikandungnya. Janin Ibu bisa gugur nantinya. Kita juga harus memeriksa Bu Winda lebih mendetail, dan peralatan di rumah sakit pastinya lebih memadai. Secara fisik, sepertinya Bu Winda kurang mendapatkan asupan atau gizi yang diperlukan, apalagi dalam kondisi hamil seperti ini," beber dokter muda itu. "Dasar merepotkan! Ibu sudah sering mengingatkan kamu, jangan malas makan! Kalau sudah begini bagaimana? Dari mana kita mendapat uang untuk biaya rumah sakit?" seru Ibu Dani sambil menoyor kepala Winda. Dokter yang memeriksa sempat terkejut melihat Ibu Dani tak segan mengoceh dan me
"Nis, bukankah itu Dani?" tanya Surya. "Iya, Mas," jawab Annisa sambil melihat ke arah mantan suaminya yang berlari menjauh. Surya bertanya lagi, "Apa yang terjadi padanya? Apa sekarang dia menjadi tukang parkir?" "Aku juga gak tahu, Mas. Sejak kami berpisah, aku sudah gak mendengar kabarnya lagi," Annisa juga hampir tidak mempercayai apa yang dilihatnya, ia tidak habis pikir, apa yang sudah terjadi pada Dani dan keluarganya. Namun Annisa tidak terlalu peduli lagi, baginya Dani adalah bagian dari masa lalunya. Annisa sudah menutup lembaran kelam masa lalunya itu. Kini Annisa sudah membuka lembaran baru, memiliki jalan hidupnya sendiri bersama Surya dan anak-anaknya. ---Dani terengah-engah dan berhenti di bawah sebuah pohon rindang. Ia tidak menyangka akan bertemu kembali dengan mantan istrinya dalam kondisi seperti ini. Dani merasa malu karena hidupnya berubah total sejak Annisa meninggalkan dirinya. 'Nis, apa kamu sudah menikah dengan Surya? Sekarang aku sudah menikah dengan W