Bu Ndari masih melanjutkan bicara, sesekali ditimpali ibu. Khas ketika dua perempuan bertemu, lantas saling bertukar kata. Sementara itu, Kak Dirga melirikku sambil mengulum senyum. Terlihat jelas dari kaca spion.Melihat kedekatan dua ibu, membuat aku berpikir lagi. Benarkah lelaki yang duduk di depanku ini jodohku? Ibu sendiri pernah menyampaikan kalau sudah merasa dekat dengan Bu Ndari, meski baru bertemu pertama kali. Adakah itu isyarat penyatuan dua hati wanita yang telah melahirkan anak-anaknya, yang kini sedang dalam masa penjajakan ulang?Ya, kusebut ini penjajakan ulang, karena aku sendiri masih meraba-raba, isi dan suara hati ini condong ke arah mana. Kak Dirga baik, sih, selama ini. Namun entah mengapa, aku kembali didera keraguan.Dua jam kemudian, aku telah berada di rumah dan berbaring di kamar. Lega sekali rasanya, saat kembali menginjakkan kaki di rumah ini. Rumah yang penuh cinta, tempat aku dibesarkan oleh kedua orang tua."Ibu t
Mobil Kak Dirga meluncur mulus di jalan raya yang ramai. Kami lebih banyak diam sepanjang perjalanan. Hanya lantunan lagu lawas yang diputar, memenuhi udara di dalam mobil yang kami naiki. Sesekali bibir ini menimpali, jika ada lagu yang dikenali.Hingga masih bisa kuraih dirimusosok yang mengisi kehampaan kalbukuBilakah diriku berucap maafmasa yang tlah kuingkari dan meninggalkanmuoh cintaTeman yang terhanyut arus waktumekar mendewasamasih kusimpan suara tawa kitakembalilah sahabat lawaskusemarakkan keheningan lubukKak Dirga mengikuti lagu Mbak Saras Dewi penuh penghayatan, membuat aku tersenyum dan mengalihkan pandang pada pemilik hidung bangir di sampingku."Kenapa, Na, kok nggak ada suaranya? Apa masih pusing?" tanya Kak Dirga."Eh, nggak apa-apa, Kak. Nggak dilanjut itu nyanyinya?""Enggaklah, didengerin ya, ternyata?" Ia bertanya sam
"Ya sudah, tidak apa-apa. Ayo, berangkat sekarang saja, biar pulangnya nggak kesorean," jawab ayah akhirnya, setelah terlihat berpikir sejenak.Begitulah, akhirnya kami berangkat berlima. Mas Dika duduk di samping Kak Dirga yang sedang menyetir, sementara aku, ibu, serta ayah, duduk di kursi belakang. Kedua lelaki berinisial D itu asyik berbincang. Ibu dan ayah sesekali menimpali, sementara aku lebih banyak memperhatikan pemandangan di sepanjang jalan yang dilalui."Benar di sini, kan, Mas, tempatnya?" tanya Kak Dirga begitu mobilnya memasuki halaman parkir di sekitar gedung Kartini."Iya, bener, kok. Ayo turun, yok," ajak Mas Dika kemudian.Kami baru saja melangkah ke luar, ketika suara ponsel Kak Dirga berbunyi. Hal ini membuat ia pamit, dan meminta kami masuk lebih dulu, sementara ia tampak bicara serius di bawah pohon yang ada di area parkir."Husna, kamu beneran nggak apa-apa, kan, datang ke sini?" tanya ibu memastikan, seb
"Dek, sudah belum, ayo ke sana," ajak Mas Dika, seraya menunjuk ke tempat duduk yang mulai kosong. Aku mengikuti langkah Mas Dika. "Ibu dan ayah mana, Mas?" "Itu, di sana, lagi nemuin Lek Sapto."Pandangan mataku mengikuti arah telunjuk Mas Dika. Benar saja, mereka bertiga sedang berbincang di sana."Nggak usah lama-lama, ya, habiskan ini, setelah itu kita pulang, ya," titah Mas Dika."Iya, Mas."Baiklah, habiskan dulu yang di piring ini, setelah itu bersiap meninggalkan tempat ini. Setidaknya aku sudah hadir, demi menghormati undangan yang telah disampaikan. Dan, lihat, Bu, aku masih baik-baik saja, bukan?Melihat sekeliling, aku mencari keberadaan Kak Dirga. Tak kutemukan juga, hingga aku baru menyadari, bahwa kami menghadiri acara yang berbeda. Namun, pemandangan di atas pelaminan, membuat aku tak mengalihkan pandang.Di sana, tepat di depan Flora, yang wajahnya berubah pucat, dan kedua mata membesar, Kak Dirga berdiri tegak. Isi kepala ini berpikir sejenak, kemudian muncul sebuah
"Nah, ini dia. Silakan duduk, Mbak Husna," sambut Bu Lia ramah.Aku menurut duduk di kursi yang ada di seberang meja Bu Lia. Meski berusaha bersikap santai, tetap saja degup jantung berpacu begitu saja."Bagaimana, sudah selesai ya, pekerjaannya?""Sudah, Bu.""Oke, jadi gini. Kemarin sudah dibicarakan, untuk Mbak Husna, nanti belajar sama Yoga, sama Doni di ruang desain, ya. Jadi Mbak Husna bisa fokus ke desain, nanti sedikit-sedikit belajar program. Bisa, ya?"Aduh, membayangkan programnya saja aku sudah merasa rumit. Tapi tak ada salahnya dicoba. Bismillah sajalah, bisa, pasti bisa."Baik, Bu.""Oke. Siap belajar ya, Mbak Husna.""Siap, Bu Lia."Aku menjawab dengan penuh keyakinan, meski belum pernah sekali pun mengoperasikan program untuk membuat desain."Bagus. Saya suka lihat semangat Mbak Husna. Ayo, saya antar ke ruang desain," ajak Bu Lia.Beriringan kami berdua menuju ruangan di mana Yoga dan Doni berada. Selama ini, mereka
"Gimana, Mbak Husna, sudah belajar sama Yoga sama Doni juga, ya, hari ini?""Oh, itu, iya, Pak.""Susah, nggak?"Aku harus menjawab apa atas pertanyaan ini? Kadang Pak Hanan ini memberikan pertanyaan yang menjebak."Sepertinya, agak rumit, Pak, tapi saya belum mencoba, jadi belum tau kesulitannya."Kujawab saja apa adanya. Pada kenyataannya memang aku belum mencoba sama sekali, kan?"Nah, itu. Bagus Mbak Husna, dari sini saja kamu sudah mengerti. Asal mau belajar, nanti bakal ketemu sendiri caranya. Sementara ini lihat mereka dulu, ya. Besok atau lusa, baru datang PC yang buat Mbak Husna belajar.Sekarang, mana desain kamu?"Map yang sejak tadi kupegang, kemudian kuserahkan beserta isinya. Semoga saja, kali ini desainku tak mengecewakan."Oke. Ini ditinggal dulu, ya? Nggak apa-apa, kan?"Diletakkannya kembali map tersebut di meja, tanpa dibuka terlebih dahulu."Iya, Pak.""Oke, kamu boleh kembali.""Terima kasih, Pak.""Mb
"Bapak aja yang ngajarin Mbak Husna," ujar Yoga. "Pak Hanan bisa, kok, iya kan, pewangi pakaian?""Pewangi-pewangi. Namaku Doni ya, bukan pewangi," ujar Doni, pura-pura mendelik sambil menyikut Yoga.Gelak tawa kembali memenuhi ruang ini."Ya udah, saya tinggal dulu, ya. Yo, ajarin," ujarnya seraya memberi kode pada Yoga."Siap, Pak.""Selamat belajar Mbak Husna, nanti kalau sudah agak-agak pusing, istirahat aja, oke. Biasa kalau pertama suka gitu. Mau bikin kopi biar melek, apa mau cemilan, boleh ke pantry. Oke, udah ya, saya pergi dulu."Detik berikutnya, derap langkah sepatunya bergerak menjauhi ruangan ini, hingga sosoknya tak terlihat lagi. Kembali Doni sama Yoga berbisik-bisik. Ah, sudahlah, lebih baik aku mulai mempraktekkan catatan-catatan kecilku sejak kemarin.Kedatangan Pak Hanan di ruang desain seperti menjadi aktivitas rutin. Hampir setiap hari, beliau mengunjungi kami bertiga di sini. Dengan telaten ia memeriksa hasil kerja, supaya hasi
Sebenarnya, perasaan ini masih sama, seperti dulu saat awal aku mengaguminya, aku merasa kalau ia terlalu tinggi untuk kuraih. Kulihat lagi nama dan nomer ponselnya, hendak menghubungi, tapi ragu. Akhirnya kuletakkan lagi, seperti halnya kemarin.Lelah mulai menyapa. Kuputuskan ikut berbaring di samping Ibu, setelah mengadu pada Sang Pencipta Jagat Raya.Keesokan harinya, secara tiba-tiba, ia yang semalam menjadi bahan pembicaraan ibu dan aku, muncul di depan pintu, dengan banyak oleh-oleh, dan dengan senyum khasnya, tanpa berkabar lebih dulu.Memang uniklah Kak Dirga ini. Suka pergi dan datang tiba-tiba. Membuat hati berdebar-debar, sebab mendapatkan banyak kejutan."Alhamdulillah, anak lelaki ibu sudah pulang," sambut ibu dengan semangatnya."Yah, ini lho, anaknya sudah pulang," ujar ibu, memanggil ayah yang masih bersandar di teras belakang.Ya, Allah, sebahagia itu ibuku menyambut kedatangan Kak Dirga. Beliau bahkan tak segan menyebut sebagai anak le
Aku dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar, serta memiliki peralatan yang lengkap. Di sana aku mendapat perawatan yang lebih baik."Aku akan cacat, Dam!" raungku, lalu suaraku menggema di ruang pemeriksaan."Kamu pergilah, aku sudah tak pantas lagi untukmu. Sudahlah nggak kunjung hamil, sekarang harapan mata kiriku … ."Ia telah melintangkan telunjuknya di bibirku."Sudah, jangan diteruskan. Aku tak akan ke mana-mana, Mei. Kamu istriku, apa pun kondisimu, aku akan tetap di sisimu. Tetap semangat, ya, nanti aku usahakan cari pengobatan yang terbaik. Kalau perlu kita cari donor mata buat kamu."Tergugu aku dalam dekapannya. Aku hampir putus asa, sebab harapan untuk pulih hanya sedikit. Hal ini tentu berpengaruh besar pada penampilanku nanti.Aku terus bertanya-tanya, kenapa harus menerima ini? Aku menolak takdir, bahwa mata kiriku tak bisa pulih seperti sedia kala.Sementara itu, Husna dan Hanan justru memberikan dukungan
Masih jam sepuluh pagi, saat kuselesaikan laporan penjualan bulan ini.Seorang office boy memasuki ruanganku dengan membawa kotak nasi. "Dari siapa," tanyaku saat kotak tersebut diletakkan di meja sesuai titahku."Dari Pak Hanan, Bu," jawabnya, lalu pamit ke luar.Dahiku mengernyit, lalu menghirup aroma ayam bakar yang menguar.Kedua mataku membola saat membaca nama yang tertera pada selembar kertas yang menyertai nasi kotak tersebut.Yang berbahagia, Rashida Husna dan Hanan Wijaya.Tanganku meremas kertas tersebut hingga tak berbentuk. Terbayang senyuman Husna atas kelahiran buah hati yang mereka nantikan. Sekali lagi aku kalah olehnya. .Hanan semakin mempesona di mataku, terlebih ia telah memiliki seorang bayi yang lucu. Meski cemburu pada Husna, aku tetap menyapa anak itu setiap kali bertemu.Bagaimana aku bisa melewatkannya, anak itu sungguh menggemaskan. Lehernya hampir tak te
Hanan kian sering memuji desainnya, serta hasil jadi berupa perhiasan siap pakai yang memang laku keras di pasaran.Kulihat matanya selalu berbinar setiap menyebut nama itu. Karir Husna pun kian bersinar. Hatiku dibakar cemburu. Hanan tak pernah seperti ini sebelumnya. Namun, jauh di lubuk hati, aku tak mengingkari peran Husna di sini. Siapa sangka, perempuan biasa itu memiliki kecerdasan luar biasa, hingga dapat membaca selera pasar dalam waktu singkat. Tak jarang kudapati ia mengenakan beberapa hasil desainnya meski hanya sebentar. Memang dasar mis kin. Kalau pengen kan tinggal beli, ngapain dipakai lalu dilepas lagi.Kesejahteraan karyawan kian ditambah. Setelah kenaikan gaji, kini ganti uang makan yang dinaikkan, bahkan nasi bungkus serta nasi kotak pun sering datang lebih awal, hingga para karyawan tak perlu jauh ke luar saat istirahat.Itu semua imbas dari omset penjualan yang melejit berkat desain Husna, sebab peranku d
POV MeisyaAku telah sangat percaya diri, bahwa mudah bagiku menaklukan seorang Hanan. Desakan sebab usia menjadi salah satu sebabnya.Akulah perempuan di ambang usia tiga puluh. Usia yang menjadi momok bagi perempuan untuk segera mengakhiri masa lajang.Demikian halnya dengan aku. Orang tuaku telah semakin gelisah memikirkan jodoh untukku. Sementara aku tak ambil pusing, kecuali saat satu kata dilontarkan, yakni perjodohan.Aku mulai mencari seseorang yang tepat, setidaknya, sebelum usiaku genap tiga puluh, aku telah memiliki calon ke jenjang pernikahan. Karirku bagus, penjualan tak pernah turun sejak kupegang. Wajahku pun terhitung menarik, tubuhku juga ramping. Tak ada yang kurang di hidupku, kecuali satu, pasangan hidup. Bukan karena aku tak laku, hanya saja aku pemilih. Beberapa kali aku menjalin hubungan, sebanyak itu pula harus kuakhiri sebab aku merasa lebih tinggi.Berbeda dengan Hanan. Ia tak seperti lelaki k
Ia menepati ucapannya untuk membawa kami jalan-jalan, tepat setelah bukan kembar pulang sekolah.Ia membayar waktunya dengan membawa aku ke salon untuk perawatan seluruh badan. Sementara itu, anak-anak ia bawa ke arena bermain, tak jauh dari salon ini berada. Aku segera menyusul begitu selesai dan kembali merasa rileks."Masya Allah, cantiknya istriku," sambutnya, begitu aku telah sampai. Aku tersipu, lantas mengucapkan terima kasih. Si bungsu segera kuambil alih, untuk kuberi ASI. Kedua kakaknya melanjutkan bermain.Setelah menghabiskan waktu seharian, kami dibawa ke rumah orang tuaku. Rumah ibu kian riuh dengan suara anak-anakku, juga anak-anak Mas Dika.Wahyu dan Fajar terlihat antusias saat Mas Dika mengajari gerakan membela diri. Ya, meski mereka telah dimasukkan ke kegiatan yang sama di dekat tempat kami tinggal, tetap saja mereka terkesan dengan gerakan baru dari Mas Dika."Na, mumpung kamu di sini, ibu mau kasih kabar," ujar Ibu, saat aku s
Tangan kecil itu membingkai wajahku, lalu menghujani wajah dengan kecupan tanpa henti."Aku sayang Ibu. I love you, Ibu," cetusnya lagi.Mata kukerjapkan beberapa kali, saat kurasai telapak tangan yang menempel di pundak."Mbak Husna, bangun, Mbak."Suara Bu Ratna mengiringi gerakan tangannya yang terhenti.Terlihat di depanku, Fajar yang sedang terlelap. Sebuah buku yang terbuka di atas selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, menandakan aktifitas sebelum ia benar-benar memejamkan mata.Jika ia sedang terlelap sedamai ini, lalu ulah siapa beberapa saat tadi?"Mbak, pindah ke kamar, ya. Tidur sambil duduk begini, Mbak Husna bisa capek, nanti," ujar Bu Ratna lagi.Kuamati diri sendiri. Duduk bertumpu di lantai, dengan tangan bersandar pada sisi ranjang di samping Fajar. Kurasai kalau lututku mulai terasa sulit digerakkan.Di seberang tempatku duduk, Wahyu pun terlihat tak jauh berbeda dengan sang kakak.
"Ibu, gendong."Semakin dekat dengan hari persalinan, semakin bertambah juga kemanjaan kedua anakku.Bergantian mereka berdua mengulurkan kedua tangan meminta aku menggendongnya.Aku pun tak bisa menolak, selain menuruti keinginan mereka. Kapan lagi bisa kugendong, sedangkan mereka sudah tumbuh semakin besar."Gendong sama ayah, ya, Nak, kasihan dong, adik kegencet, kamu kan sudah besar sekarang," tawar sang ayah, jika kebetulan melihat dan mendengar permintaan sang anak."Nggak mau, mau sama ibu aja," jawabnya selalu. "Nggak papa, Yah," jawabku, mencoba menenangkan. Mereka baru mau lepas setelah lama dibujuk.Pagi selepas Subuh, persis seperti saat kelahiran Fajar, bayi itu lahir dengan persalinan normal.Ia bergegas mengadzankan anak itu, dengan suara parau. Lantas kecupan penuh cinta ia labuhkan di kening bayi suci tersebut, sebelum akhirnya diletakkan di dadaku, untuk menikmati ASI pertama."Alhamd
Berkunjung ke rumah Mama, artinya membuka kenangan lama. Tiba-tiba saja aku rindu, melihat kelebat kenangan yang hadir tanpa permisi.Foto pernikahanku terdahulu, bahkan masih terpajang di ruang keluarga rumah ini."Tante kecil," ujar Wahyu. Tangannya telah mulai beraksi, hendak menyentuh pipi dan hidung bayi mungil itu.Melihat bayi Mama yang tengah terlelap, justru menghadirkan kenangan saat Fajar baru hadir di kehidupan kami.Ia telah melakukan banyak sekali hal baik selama hidup bersamaku, tapi, kenapa kenangan buruk itu yang justru muncul di sini?Kutepis pikiran yang hadir, dengan ikut membaur pada kedua anakku yang sibuk dengan Tante barunya. "Iya, Sayang. Hati-hati pegangnya, ya. Coba tanya Oma, siapa nama Tante yang cantik ini?" "Oma, siapa nama Tante kecil ini?" tanyanya patuh."Tante Hapsari, Sayang," jawab Mama, lalu dielus-elusnya kepala Wahyu.Nama yang cantik, untuk bayi dengan wajah bu
"Heh? Serius ngidam pizzanya Bu Lisa?" tanyaku tak percaya.Bukannya apa, selama ini ia paling anti makanan dari olahan tepung. Banyak sekali alasannya, yang susah dicerna lah, yang bikin perut begah lah, dan masih banyak lagi.Sampai kucoret daftar rerotian dari daftar belanja kalau kami sedang ke luar. Semua itu menjadi pengecualian kalau si kembar minta, baru ada menu roti, itu pun tak boleh banyak."Iya, dua rius, Kak. Ada cabangnya yang deket sini apa nggak, ya?"Melihat raut serius di wajahnya, membuat aku mengambil ponsel, lantas menghubungi nomer Bu Lisa."Waduh, maaf belum sampai sana Mas Dirga," jawab Mbak Lisa dari seberang telepon. Kulihat wajah ratuku, ia terlihat tak sabar menunggu jawaban."Ya udah, makasih ya, Mbak. Nggak papa, ada yang ngidam ini."Dan akhirnya sambungan telepon itu pun terputus, sebab ada suara yang memanggil Mbak Lisa."Gimana, Kak?"Tuh, kan, nggak sabar dia. Ba