"Percuma kamu mengomel, Diana. Sekarang ini, kita harus cari solusi biar kamu bisa pulang," jawab suamiku yang bisanya buat aku sengsara. "Ya, terus gimana, Mas? mikir dong. Aku gak mau ditahan di sini. Dasar gak bertanggung jawab!" sentakku kesal. Emosi sudah membumbung tinggi di atas ubun-ubun. Menyesal menikah dengan Mas Adam. Bukan bahagia malah sengsara. Kalau tahu begini, tidak akan aku pertahankan kehamilan ini. Punya anak malah nambah susah. Aku tidak bisa ke mana-mana. Sulit kerja. Sementara keluargaku di kampung juga butuh suntikan dana dariku. "Mas mau cari pinjaman dulu. Kamu tunggu dulu.""Dih, enak aja. Aku gak mau disini berduaan sama anakku doang, Mas. Mana ibumu main pulang aja. Dasar mertua gak bener. Menantunya lahiran bukan dimanjain, malah tetep julid.""Sudahlah, Diana. Jangan berdebat. Aku pasti kembali. Tunggu."Aku hanya bisa memanyunkan bibir kesal. Ditambah lagi menahan malu. Bisa jadi, percakapanku di dengar pasien lainnya. Aku hanya bisa pasrah membia
"Diana, buka pintunya!" teriak Mas Adam lagi-lagi terdengar. Padahal, baru satu jam aku bisa terlelap. "Apa sih, Mas?""Kamu lagi apa sih?""Aku lagi tidur, Mas. Cape tahu, semalem kamu gak ada, ibumu gak ke rumah sakit. Aku begadang jagain anak kita.""Aku paham, Na, tapi susui dulu putri kita. Kasihan, dia belum mau minum susu formula.""Iya, nih, berisik terus bayinya nangis. Jadi ibu gak becus banget sih," ujar adik ipar tidak tahu diri. Aku juga terganggu kalau anakku terus menangis. Jadi, mau tak mau aku bawa dia ke kamar. Menidurkannya di dalam kamar. Tak lama kemudian, dia bisa terlelap. Syukurlah, anak ini bisa diajak kompromi. Bagus, dia paham kalau ibunya sedang cape fisik dan batin.*****Dua bulan berlalu. Sungguh tidak enak punya anak. Jam tidur berkurang. Wajah dan badanku tidak terurus. Aku tidak bisa begini terus. Biar Mas Adam saja yang mengurus anak kami. Sebagai pencari nafkah, dia tidak bisa mencukupi kebutuhanku. Menambah kepala makin pusing saja."Kamu mau ke
POV Adam "Dam, kasihan istrimu. Dia sudah cape kerja. Kamu malah mau nampar dia," ujar ibu membela.Semenjak Diana bekerja, ibu memang sering membelanya. Dia memperlakukan Diana layaknya mantan istriku dulu. Pasti ibu sudah diberi uang agar tidak mengusiknya. Perempuan yang melahirkanku ini, memang mudah sekali terpengaruh dengan uang. "Bu, dia sudah keterlaluan. Biar Adam beri dia pelajaran.""Sudah-sudah. Malu sama tetangga. Diana, sana kamu masuk. Biar Adam ibu yang menangani."Diana menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Dia berjalan angkuh menuju kamar. Merasa berkuasa. Sehingga, jadilah orang yang semena-mena. Aku tidak akan membiarkan demikian. Lihat saja, aku tak akan tinggal diam. Biar nanti bicarakan soal ini dengan sahabatnya, bos dia bekerja. Supaya, memecat Diana, karena aku tak merestui. "Bu, kenapa sih, ibu malah belain dia?""Biarin saja, Dam. Istrimu lagi banyak duit. Udah nikmati aja duitnya.""Arrgh!" aku mengerang kesal. Lalu duduk di sofa. Bingung harus baga
"Arrgh! Sialan. Dasar perempuan pelacur!" teriakku mengekspresikan kekesalan dalam hati sesampainya di rumah. Aku tendang sofa dengan keras. Tak peduli walaupun kaki terasa nyeri. Hatiku lebih terseset-seset rasanya. Perih, tak berdarah, tak terlihat, tapi nyata kepedihannya. Perempuan yang aku cinta, selalu berusaha memberikan yang terbaik untuknya, sampai mengorbankan sesuatu yang berharga, nyatanya dia berkhianat. Lebih memilih pria kaya yang baru dia kenal. Tega meninggalkan suami dan anaknya begitu saja, bak sampah yang sudah tak berguna. "Dam, kamu kenapa? kaya kesurupan setan saja. Duduk, Dam. Tenang," ujar ibu merangkulku. Refleks aku memeluknya. Menangis lirih dengan kondisi sakit hati, sampai membuat sesak dada ini. Ibu terus bertanya, pasti dia sangat bingung melihat tingkahku yang mendadak rapuh."Kamu kenapa, Dam? gak biasanya nangis sampai meluk ibu? udah puluhan tahun kamu gak kaya gini. Mendadak aneh. Kenapa?" cerocos ibu mencecarku dengan banyak pertanyaan. "Diana,
"Bu, Bagaimana kondisi Salma, Bu?" tanyaku panik sesampainya di rumah sakit. "Gak tahu, Dam. Dari tadi dokternya belum keluar juga."Aku menunggu di depan UGD dengan cemas. Entah bagaimana cara ibu mengurus anakku. Bisa-bisanya jatuh dari kasur. "Bu, sebenarnya apa yang terjadi? ibu ke mana aja, kenapa Salma bisa jatuh?""I-itu, Dam, I-ibu la-""Keluarga bayi bernama Salma?" tanya dokter memotong pembicaraan ibu. "Saya ayahnya, Dok.""Pak, anak bapak sudah tidak menangis lagi. Kelihatannya, anak bapak tidak kenapa-kenapa, hanya memar saja di bagian kepala. Namun, untuk memastikan lebih jelas, kita harus melakukan rongsen di bagian kepala.""Iya, Dok, lakukan saja. Pastikan anak saya baik-baik saja.""Baik, Pak, silakan kalau bertemu anaknya."Aku dan ibu bergegas masuk ke dalam ruang UGD. Anakku sedang dijaga suster. Dia sudah terlihat baik-baik saja. Aku langsung menggendongnya. Memeluknya penuh cinta. bersyukur tidak sampai terjadi hal yang tidak diinginkan. Senyuman putri kecilk
POV Mira"Anak pintar. Minum susu yang banyak, yah."Hatiku ngilu, melihat Mas Adam kerja membawa anak. Entah ke mana ibunya. Aku tidak terlalu kaget dengan sikap Diana yang tega menyuruh suaminya mengurus anak sekaligus bekerja. Mungkin, terjadi gesekan di ruang tangga mereka. Bukankah sudah biasa, kalau perempuan perebut suami orang hanya menginginkan hartanya saja? jika pria itu jatuh miskin, maka dia akan pergi atau kehilangan kasih sayangnya. Namun, hatiku berdenyut kesakitan, melihat bayi kecil ini harus menjadi korban sikap yang tidak baik dari ibunya. Tidak seharusnya dia ada di bengkel yang notabene tempat yang kotor. Tidak baik untuk kesehatannya. "Terima kasih, Mir.""Gak usah bilang makasih, Mas. Aku kaya gini, biar kamu fokus memperbaiki mobilku. Waktuku dan Tiara tidak lama. Kita harus segera ke kantor.""Iya, Mir. Aku akan membereskan kerusakan mobil ini secepatnya." Aku hanya mengangguk. Hanya fokus melihat bayi mungil yang sedang aku gendong.Ada rasa sedih yang men
"Bumi, maksudnya apa?""Aku sayang sama kamu, Mir. Aku mau kita menikah. Agar aku bisa selalu bersamamu."Senyum mengembang bagaikan bunga matahari. Aku tersipu malu. Kami memang sering membicarakan soal perasaan. Seringnya aku menanggapinya dengan tawa tanpa memikirkannya lebih serius. Namun, jika sikap Bumi seperti ini, aku paham kalau dia benar-benar serius padaku. "Mi, terlalu cepat kalau kita bahas soal pernikahan.""Bukankah niat baik memang harus dipercepat?"“Iya, tapi….”"Apa yang kamu ragukan dariku, Mir?" tanya Bumi menangkupkan wajahku dengan kedua tangannya. Mata kami bertatapan dengan jarak dekat. Jantung berdegup tak karuan. Suasana terasa manis. Bagaikan dihujani kelopak bunga mawar. "Aku mencintaimu, Mir? apa kamu tidak merasakan hal yang sama?""A-aku menyukaimu, Bumi. Siapa yang tidak menyukai pria yang sempurna sepertimu. Tapi, soal menikah, aku butuh waktu untuk memikirkannya.""Soal itu aku paham. Berapa lama pun kamu meminta waktu untuk memantapkan hati, pasti
"Mir, tenang, Mir," ujar Tiara mengelus pundakku. Dia menyuruhku tenang, padahal matanya juga dihiasi butiran kristal bening yang tak kalah banyak dibanding diriku. "Ra, hiks, hiks." Aku peluk sahabatku sangat erat. Meluapkan kesedihan yang sangat mendalam. Sebelumnya, sambungan telepon telah dimatikan. Aku tak mau ibu dan bapak terangsang semakin bersedih, mendengar isak tangis yang keluar dari bibirku. "Nyebut, Mir. Istigfar. Lu harus tenang. Luapkan saja harus kesedihannya. Setelah lu kuat, pulang, dan kuatkan orang tua lu." Aku mengangguk dalam dekapan Tiara. Semua rasa sedih, aku tuangkan di dalam kantor. Suasana di sini, seperti hujan badai. Tubuhku rasanya terbang di atas udara. Tak bisa berpijak. Masih belum membayangkan kenyataan buruk ini. Penyakit ginjal, bukanlah penyakit biasa. Sangat mengancam nyawa. Orang-orang yang mengidapnya harus bergantung dengan cuci darah agar bisa menyambung nafas setiap harinya. Kenapa keluargaku sama sekali tak ada yang curiga? seharusnya,
"Mas, ko, datang ke sini?" tanya Alina merangkul pria itu.Kami semua langsung bengong. Kecuali ibu mertua, sepertinya dia sudah tahu. Siapa pria itu? kelihatan sangat dekat dengan Alina."Kalian kenapa pada bengong?""Hehehe, enggak, Tante. Dia siapa Tante, kayanya Kahfi pernah ketemu.""Itu Wendi, Kahfi.""Om Wendi siapa, Mbah?""Kenalkan saya calon suaminya Alina." Pria itu menyalami kami semua. Aku cukup kaget saat dia mengenalkan diri sebagai calon suami Alina. Tapi, kabar ini cukup baik."Biasa aja dong, Mbak Mira. Jangan bengong. Katanya aku gak boleh jadi perebut suami orang terus. Ya udah, nih, aku buktiin cari pria lajang. Ya, walaupun duda anak satu. Setidaknya aku gak merebut punya orang.""Bagus dong. Mas mendukung kamu, Alina. Segeralah menikah, tak usah acara yang mewah, asal segera sah.""Iya Mas Hafidz tenang saja.""Mira, maafkan ibu kalau selana ini sering menyakiti hati kamu. Ternyata kamu ini memang perempuan yang sangat dicintai Hafidz. Ibu gak bakal tega memisa
"Ma-maksudnya Diana sudah meninggal?""Sesuai yang kalian lihat. Dia meninggal karena terkena penyakit paru-paru. Perempuan itu emang aneh, dia sendiri yang menyerahkan Salma pada kalian, tapi dia yang terus menerus meratapi anaknya.""Semua ini terjadi karena kesalahanmu juga, Max. Diana pernah datang padaku dengan kondisi banyak luka. Jangan-jangan dia meninggal karena kamu juga bersikap kasar sama dia.""Hahahaha, iya betul. Aku memang tidak suka dengan perempuan itu. Sudah aku bilang jangan mengurus bayi sialan. Dia malah berani membawanya. Bayi itu sama mengesalkan dengan Diana, berkali-kali aku coba membunuhnya tetap saja tidak berhasil. Ini semua karena kalian, orang asing yang malah ikut campur.""Ja-jadi semua ini ulah Om Max? kemarin Om bilang ibu meninggal hanya karena sakit. Ternyata ... Om jahat. Om mau membunuhku, dan juga sudah berhasil membunuh ibuku.""Kamu salah, anak cantik. Bukan hanya ibumu yang aku bunuh, bapakmu juga. Dia aku beri racun saat di penjara.""Astaga
"Kamu anak laki-laki yang bisa ayah andalkan, jaga Mamah di sini, biar Ayah yang datangi diskotik itu.""Ya elah, Yah, emang kenapa kalau Kahfi ikut. Kalau ada Kahfi bisa makin kuat ngelawan musuhnya, Kahfi ini pinter bela diri, ayah 'kan tahu Kahfi juga pernah juara di bidang pencak silat.""Bukan waktunya berdebat, Kahfi."Mas Hafidz masuk ke kamar Heri. Mereka berdua mengobrol di sana untuk membahas rencana penggerebekan. Zea harus secepatnya diselamatkan. Aku temui Kahfi di kamar tamu. Dia tampak jengkel, mukanya ditekuk, sambil murung."Ikuti kata Ayah, Kahfi Sayang. Bukan waktunya buat ngambek. Kita ada dikondisi genting.""Iya, Mah," jawab Kahfi malas. Aku tinggalkan saja dia di kamar agar bisa istirahat. ***Keesokan malamnya, Mas Hafidz dan Heri sudah mendapat informasi terkait Max. Meliputi latar belakangnya, sekilas tentang bisnis ilegalnya, dan tempat persembunyian. Menyewa detektif memang lebih cepat mendapat banyak informasi.Kami juga bersekongkol dengan pihak polisi.
Pov Mira"Mas, mana Zea katanya di hotel ini?" tanyaku mengedarkan pandangan ke seluruh area hotel. Mas Hafidz mengajakku bertanya pada resepsionis. "Maaf Mbak, lihat anak perempuan sekitar kelas dua SMA, pakai hijab, kulit sawo matang, namanya Zea.""Oh, Adek bernama Zea. Tadi ada di sini, Pak, katanya dia menunggu keluarganya datang. Tapi, terkahir saya lihat dia keluar dan gak balik lagi. Saya pikir sudah dijemput orang tuanya.""Astagfirulloh, jangan-jangan ada yang berbuat jahat sama Zea, Mas.""Tenang, Sayang. Kita telpon Kahfi lagi.""Hallo, Kahfi?""Iya, Yah, udah ketemu Kak Zea?""Dia gak ada di sini. Apa kamu tahu ke mana kira-kira dia pergi?""Gak ada di situ? Kahfi udah nyuruh Kakak nunggu di situ aja. Pasti ada yang culik Kakak Zea. Soalnya pas telpon dia bilang udah berhasil ngelawan orang jahat. Pasti ada yang yang gak beres, Yah.""Astagfirulloh."Persendianku semakin lemas. Baru dapat kabar bahagia, sudah dihujam kenyataan pahit. Mungkin bahaya sedang mengincar anakk
"Ini uang buat bekal kamu di Jakarta. Kamu pergi ke alamat yang sudah Tante tulis, yah.""Beneran gak Tante ini alamat ibu kandung aku?""Iya, cari aja pria bernama Max, itu suami Ibu kamu saat ini."Sebenarnya aku ragu dengan informasi yang diberikan Tante Alina. Secara selama ini perempuan itu judes dan malah suka menjelek-jelekkanku di depan Mbah. Namun, aku juga penasaran. Mamah juga pernah bilang kalau dia dulunya tinggal di Jakarta. Jadi, bisa saja ucapan Tante Alina benar. "Ya udah, Zea pamit dulu, Tante. Nanti bilang aja sama Mamah kalah Zea ke alamat ini.""Iya, gampang. Kamu matiin aja hapenya, jangan dulu di aktifin."Aku mengangguk. Kebetulan ponselku memang sedang lowbet. Aku nekat ke Jakarta naik bis tanpa sepengetahuan Mamah dan Ayah. Kalau mereka tahu, tentu tak akan setuju. Aku memang bahagia diasuh mereka. Sama sekali tidak kekurangan kasih sayang. Tetapi, aku juga ingin bertemu orang tua kandungku. ***"Ini alamatnya?" tanyaku heran. "Ponsel? arrgh, ke mana ponse
"Zea buka pintunya, Sayang.""Kak Zea buka pintunya. Kita semua sayang sama Kak Zea. Jangan dengerin nenek."Berkali-kali mengetuk pintu tak ada jawaban. Aku paham, perasaan Zea pasti sangat hancur. Meski aku bukan ibu kandungnya, tetapi perasaanku juga ikut terluka. Zea sudah seperti anakku sendiri. Kenapa semuanya terbongkar dengan cara seperti ini?"Zea ... maafin Mamah, yah, Sayang," ujarku menangis. "Mah, kita biarkan Kak Zea menenangkan diri dulu, Mah. Dia pasti butuh waktu menerima semua ini."Aku hanya mengangguk lemas. Biar zea tenang dulu. Aku melangkah menjauh dari kamarnya. Ibu mertua ternyata masih menunggu untuk berdebat lagi denganku."Duduk, aku mau bicara.""Bu, pergi saja dari sini.""Kamu ngusir mertuamu sendiri?""Mira, kamu ini emang sudah gila. Terlalu membela anak pungut dibandingkan mertuamu sendiri. Akui saja kesalahanmu, dan kembalikan anak itu ke asalnya. Jangan mempersulit hidup."Aku melangkah mendekati Alina. Menjambak rambutnya. Mata melotot menatap per
"Mah, Ayah apa benar?""Enggak, Sayang. Mbah lagi sakit, jadi kaya gitu.""Jangan bohong. Selama ini Zea merasa diperlakukan berbeda. Mbah selalu pilih kasih. Mbah hanya baik sama Ka Nayla, dan Kahfi. Apa mungkin Zea emang anak pungut?" Ibu mertuaku hanya diam. Wajahnya ketus tak acuh. Ini yang selalu aku takutkan. Kalau aku dan Mas Hafidz tidak ada di sini, mungkin ibu sudah membongkar semuanya. Selama ini, ibu sering keceplosan."Hust, Zea jangan berpikir yang enggak-enggak. Kita keluar aja. Kesian nenek lagi sakit.""Anak itu emang gak tahu diuntung. Aku sedang sakit, malah dia emosi. Heran. Bawa saja anak itu keluar.""Bu, jangan bicara begitu. Ibu memang sedang sakit, tapi tetap jaga perasaan cucu ibu. Jangan bicara seenaknya.""Kalian keluar saja. Biar Kahfi yang di sini. Ibu pusing liat kalian.""Kahfi, jaga nenek kamu. Mamah, Ayah, sama Kak Zea nunggu di luar."Kahfi mengangguk. Meski anak itu suka ribut dengan kakaknya, tetap saja dia sangat menyayangi Zea. Kahfi tidak ikut
"Kahfi ... Ya Allah!" teriakku emosi dengan kelakuan anak bungsu. Kahfi dan Zea mirip ton dan jerry. Setiap hari selalu bercanda keterlaluan. Kejar-kejaran ke sana ke sini. Seperti hari ini, Kahfi menendang ember yang berisi pakaian yang akan di jemur. Lalu lari terbirit-birit karena di kejar kakaknya."Zea, cukup, Sayang. Kalian ini kenapa, sih. Sehari saja jangan ribut.""Hahaha, sini maju kalau berani. Ah, kakak payah.""Dasar adik durhaka. Kamu yang salah, malah berani-beraninya nantangin.""Emangnya ada apa sih?""Itu, Mah, Adek liat video mesum.""Bohong, Mah. Wah, Kakak suka membalikan fakta. Yang ada, kakak tuh, ketahuan mojok di sekolah sama cowok berandalan.""Namanya Rey, enak aja kamu sebut cowok berandalan.""Emang dia cowok berandalan. Kakak aja yang mau dibego-begoin.""Wah, mulutnya minta digeplak sendal swallow, sini kamu."Dua anak itu tidak kapok mendengar teriakanku. Terus berlarian ke sana ke mari. Aku kejar mereka, lalu menjewer kuping keduanya."Kalian ini.""A
"Mas, ibu gak dikejar?""Gak usah, besok Mas bicara lagi sama ibu. Gak biasanya ibu kaya gitu. Semoga perlahan ibu bisa menerima.""Aamiin. Maaf yah, Mas.""Kenapa minta maaf, Sayang?" "Ya, kamu sama ibu jadi ribut gara-gara aku.""Bukan gara-gara kamu, Sayang. Kita hadapi bersama yah. Apapun sekuensi mengadopsi Zea. Toh, niat kita baik. Allah maha tahu."Aku peluk suamiku. Mencium pipinya tanda cinta. Bahagianya punya suami sangat bijaksana. Karunia terindah yang pernah aku miliki. Setiap rumah tangga pasti ada badainya. Tidak ada yang baik-baik saja. Jika ada keluarga yang terlihat sangat harmonis, itu tandanya komunikasi antar anggota keluarga berjalan baik. Adanya komunikasi, bisa membuat kita saling memahami, dan menghargai. *****"Sayang, bentar liatin adek Kahfi dulu yah.""Siap, Mah."Aku kebelet ke toilet. Nikmat sekali punya anak bayi dan balita. Padahal, Salwa sudah diurusi pembantu rumah ini. Tetap saja aku kewalahan. Makan tidak tenang, mau mandi saja kerepotan. Masih