POV Nadira
"Mau sate kelinci, nggak?"Aku mengerjap. Kami baru saja sampai di lereng Merapi, dan ia menawarkan sesuatu yang membuat perutku seperti digelitik puluhan kupu-kupu."Kelinci yang lucu itu, disate?" tanyaku, mengulang tawarannya. Lelaki berhidung bangir itu tertawa, lalu mengacak kerudung yang membungkus kepalaku."Iya. Mau nyobain, nggak? Enak, loh," tawarnya lagi.Aku menggeleng cepat, membuat ia kembali terkekeh. Aku jadi teringat obrolan Riana sebelum kami berangkat ke sini. Jadi, makanan itu beneran ada? Kasihan sekali kelinci itu.Hem, aku jadi ingat dengan kelinciku yang dulu hilang waktu dilepas di kebun belakang rumah ibu."Boleh pesen mi instan aja nggak, sih?" tawarku. Dingin begini, paling sedap nyerutup mi instan berkuah. Rasanya, itu lebih baik daripada menyantap menu yang ditawarkan barusan. Belum tentu juga aku bisa menelannya nanti. Nggak tega."Lah, sudah jauh ke sini masa makannyaMenghabiskan masa cuti dua Minggu, aku harus kembali ke Surabaya. Mas Fajar masih mengijinkan aku bekerja di sana meski dengan berat hati, karena kami harus terpisah oleh jarak.Aku sangat bersyukur ia menepati ucapannya untuk membiarkan aku bekerja seperti sedia kala. Rupanya jarak yang memisahkan, membuat kami semakin sayang satu sama lain, karena rindu juga semakin menggunung.Lelaki bertubuh tinggi tegap itu akan datang di akhir pekan ke kosku, melepas rindu, lalu mengajakku jalan-jalan di hari Minggu. Di lain waktu, gantian aku yang pulang, lalu ia sambut dengan sukacita.Sampai di bulan yang sama tahun berikutnya, waktu untuk bertemu semakin sedikit seiring bertambahnya pekerjaan yang harus diselesaikan.Aku memaklumi, pasti lelah menempuh perjalan semalaman bolak-balik. Belum lagi pekerjaan sepanjang Minggu yang menjadi tanggung jawabnya. Sampai kemudian, teguran kudapat dari ibu kosku."Masih penganten baru, mestinya lagi anget-an
Semua seperti mimpi. Wanita yang selama ini kukagumi, kucintai dalam diam, kini telah sah dan resmi sebagai istri.Ya, meski dengan acara yang sangat sederhana, nyatanya tak mengurangi kesakralan pernikahan ini.Sempat ada protes dari Bunda, sebab beliau menginginkan acara pernikahan yang megah untuk anak pertamanya ini. Akan tetapi, setelah kuberi penjelasan kalau Nadira tak suka keramaian, beliau mau memaklumi.Beliau pun setuju untuk mengalihkan dana yang semestinya untuk pesta menjadi beberapa pos yang lebih bermanfaat. Tak segan pula memuji sang menantu yang sederhana, tapi memiliki pandangan akan masa depan, bukan hanya mementingkan acara sehari."Kalau begitu, kita beri kejutan buat Nadira," pungkas Bunda dengan senyum lebarnya.Aku setuju saja. Bunda pasti tahu apa yang terbaik untuk anak-anaknya.Semua acara berjalan sebagaimana mestinya. Semua orang terlihat bahagia, terutama aku dan mempelai wanitaku. Sampai kemud
Hari-hari dijalani apa adanya. Diusahakan menyempatkan waktu bertukar kabar setiap hari. Akhir pekan adalah waktu yang selalu ditunggu, karena saat itulah, kami berdua terbebas dari rutinitas kerja yang seakan tak ada habisnya.Setiap ada kesempatan bertemu, kami akan melakukan hal konyol, bertukar pakaian yang terakhir dipakai, dan tak boleh dicuci sampai bertemu lagi. Ia akan menjadi obat rindu sampai kami kembali bertemu.Di lain kesempatan, berdua kami menghabiskan libur panjang dengan sepeda motor, lalu menjelajah ke tempat asing. Tak jarang juga bunda memprotes ketika anak dan menantunya pamit hendak pergi."Kenapa nggak bawa mobil aja, sih, Nak. Di jalan itu dingin, lho," ucap Bunda, selalu seperti itu. "Biar mesra, Bunda. Kan, kalau pakai motor bisa pelukan tuh, sepanjang jalan. Iya, kan, Sayang?" selorohku, lalu melabuhkan kecupan di kepala Nadira, membuat Nadira menarik diri sebab terkejut, lalu menunduk karena malu.Sementara
Ternyata masih banyak hal yang belum aku tahu dari istri yang kucintai. Kejutan-kejutan kecil terus bermunculan seiring berjalannya waktu. Kadang aku berpikir kalau istriku terlalu sensitif. Tapi, aku sendiri memaklumi, mungkin cara terbaik untuk tak mengingat luka, ia lakukan dengan tak berhubungan dengan pemicunya. Hebat sekali dia, telah mengenal dirinya dengan begitu baik. Sejak saat itu, aku pun mengalah, tak lagi meminta ia memasak atau menghadirkan menu favoritku. Namun, saat aku menemukan menu tersebut menjadi sesuatu yang sepertinya sangat ia sukai hingga sering tersaji, bukankah wajar jika aku ingin tahu apa sebabnya?"Emm, maaf. Apa aku terlalu banyak membuat menu malam ini?" tanyanya, terlihat merasa bersalah, lantas menundukkan kepala.Aku tersenyum, lalu menggelengkan kepala. Kedua tangannya masih berada dalam genggaman."Setau Mas, kamu paling anti sama udang. Cium baunya aja langsung pusing. Tapi, sekarang, apa
POV DamarAku memandang foto-foto yang diunggah Nadira di akun facebooknya. Foto yang menampilkan hasil karyanya, bermacam rajutan yang terlihat elegan dan berkelas.Tentu aku tau kalau ia menguasai keterampilan yang satu itu. Hanya saja, dulu ia hanya membuat ikat rambut dan beberapa taplak meja, seperti yang pernah ia ceritakan padaku.Namun, beberapa waktu terakhir, sejak aku membuat akun palsu demi mengamati perkembangan kehidupan yang ia jalani setelah melepasku, kulihat hasil karyanya kian beragam. Jika dulu ia sering memposting bermacam masakan, maka kini akunnya dipenuhi oleh kerajinan tangan dan pernak-perniknya.Aku menghembuskan napas panjang, merasa ikut bahagia melihatnya. Kau telah bahagia Nadira, dengan kembali menjadi dirimu yang bebas berkarya tanpa dikte orang tua."Mas Damar, bantu jemur baju! Sahara rewel!"Seruan Lila membuyarkan ingatan tentang Nadira. Gegas menyimpan ponsel. Tak mau terlihat olehnya bahwa a
"Damar, lihatlah video di akun sosmed. Sekarang!"Sebuah pesan dari tetangga ibu, membuat kening ini mengernyit. Ada video apa sampai harus dilihat sekarang? Daripada penasaran, langsung saja kubuka akun berlogo huruf 'f' berwarna biru.Kedua mata ini membelalak lebar, melihat tampilan video yang beredar luas di beranda akun sosial media.'Perempuan aneh! Lihat seserahan mobil saja sampai heboh!' 'Ibu muda ini berteriak histeris di acara pernikahan.'"Ibu muda diamankan petugas, karena mengacau acara pernikahan.'Kalimat-kalimat serupa terus berjejalan ke ruang pandangku. Dan ketika salah satu videonya kuputar, aku terhenyak. Lila yang mengamuk seperti kesetanan dengan latar belakang rumah yang kukenal dengan baik.Lingkungan rumah Nadira, lengkap dengan tenda sederhana serta para tamu yang sedang menonton ulah Lila, istriku.Aku memegang kepala yang tiba-tiba saja terasa berat. Baru berapa hari aku meninggalka
Ponsel yang tergeletak itu segera diambil alih. Detik kemudian, tawanya kembali meledak. Entah hal lucu apa yang ditemukan di sana."Ponselnya aku bawa!" seru Lila masih mengotak-atik ponsel.Apa?"Aku nggak mau suamiku memandangi foto mantan, apalagi sampai ngajak balikan!" desis Lila, tepat di dekat telingaku. Tengkuk leherku langsung merinding.Senyumnya menyeringai saat akhirnya ia menjauhkan wajah. Baru kuperhatikan kalau penampilannya sudah rapi, seakan bersiap pergi."Jaga Sahara. Aku ada acara sampai nanti malam!" serunya lalu berbalik badan.Perempuan itu menuju ke pintu tanpa meminta persetujuan. Aku masih mematung di sisi ranjang, memperhatikan punggungnya yang perlahan menghilang di balik pintu..Beberapa Minggu berlalu. Aku masih berkutat dengan lahan dan tanaman bawang, serta mencoba keberuntungan pada ternak bebek. Gaya hidup istriku, membuat lelaki yang pernah bangkrut ini harus berusaha lebih keras
POV FajarIa masih terpekur di depan layar laptop saat aku tiba, menyelesaikan desain sambil sesekali menimpali alunan lagu lawas yang terdengar.Aku memperhatikan gerak-geriknya, berjaga kalau ia terlihat lelah, atau butuh sesuatu, meski ia mengatakan kalau ia akan baik saja dan menyelesaikan pekerjaan paling lama setengah jam."Tinggal revisi sedikit. Tunggu ya, Mas. Habis itu kita jalan," ucapnya tadi, lalu memberi kecupan singkat di pipi.Lima belas menit berlalu. Ia melepas kacamata yang bertengger di pangkal hidung, lalu memejamkan mata sambil menghirup udara dalam-dalam.Detik kemudian, kepala yang ditumbuhi rambut ikal dan lebat itu menoleh, melengkungkan senyum."Mas, coba lihat ini," pintanya dengan suara lembut. Aku mendekat, melihat tampilan layar 21 inchi di depan kami.Sebuah mug, dengan banyak simbol yang asing sama sekali bagiku. Ia menggeser tombol play, hingga terlihat keseluruhan sisi mug tersebut."Bagus, nggak?""Bagus. Tapi, ini simbol apa?" "Simbol crochet. Aku
"Aduh, nyumbang kok, terus!"Zahra meletakkan tas yang tadi dibawa ke rumah tetangga yang punya hajat menikahkan anaknya. Melepaskan kerudung, menyalakan kipas angin, Zahra merebahkan badan sambil memejamkan mata."Besok masih ada Aji, khitanan dia, sama Bulek Rumi nikahkan anaknya. Beras kayaknya tinggal sedikit, ya, Mas?" tanya Zahra yang kembali membuka mata.Rudy menatap karung beras yang isinya tinggal satu takaran untuk memasak nasi. Lelaki itu menghela napas lelah. Belum satu Minggu beras seberat dua puluh lima kilo itu dibeli untuk konsumsi sendiri. Namun, banyaknya hajatan di desa tersebut, membuat stok beras yang cukup untuk satu bulan itu hanya bertahan beberapa hari.Melihat toko sembako yang dirintis sejak lima tahun yang lalu, hati lelaki itu kian nelangsa. Tidak ada perkembangan berarti pada toko tersebut. Pembeli memang ada, tapi pengeluaran tidak sebanding dengan besarnya pemasukan.Lelaki itu tidak habis mengerti, ke man
Lila tidak pernah menyangka bahwa keputusan orang tuanya adalah mutlak. Nama orang tua yang tercoreng akibat perbuatannya yang viral di sosial media, membuat semua fasilitas dicabut paksa.Wanita itu mulai kelimpungan sebab tak biasa hidup sederhana. Jatah uang jajan yang berkurang drastis, tak mampu menyokong gaya hidupnya. Beberapa barang mewah yang pernah didapat dari Rendi berusaha dia jual. Namun, lagi-lagi kecewa harus dirasakan. Perhiasan bertabur berlian, tas mewah, sepatu bermerk, semua adalah barang KW. Otomatis tidak bisa dijual dengan harga tinggi.Kata makian kembali terlontar berulang kali. Namun, hal itu tidak bisa mengubah apa pun. Terlebih ketika dia akhirnya menemui Rendi, lelaki itu justru mengatakan kalau Lila bisa mendapatkan semua barang branded yang dipilih dari outlet resmi sesukanya, yakni dengan menukar Sahara untuk dirawat dan dibesarkan bersama kekasihnya di luar negeri."Masa depan anak itu akan terjamin. Kamu bebas menjadi wan
"Mohon maaf, Mbak. Apa ada kartu yang lain? Kartu ini tidak dapat digunakan," ucap petugas kasir membuat Lila melotot."Masa nggak bisa, sih? Saldonya masih banyak, loh?" jawab Lila mulai gusar. Diberikan sebuah kartu lain, hasilnya sama saja."Atau bisa dibayar dengan uang cash saja," pinta petugas kasih dengan sopan. Meskipun demikian, perempuan muda itu merasa tak enak hati saat melihat antrian yang masih mengular."Saya nggak bawa uang cash, Mbak," jawab Lila mulai kesal. "Sebentar saya telpon dulu, ya," ijinnya yang diiyakan oleh wanita dengan name tag Almira."Biar saya yang bayar."Sebuah suara yang dirasa tak asing, membuat Lila mengurungkan niat menelpon orang tuanya. Kedua matanya melotot melihat lelaki yang tempo hari mengaku istri kekasihnya.."Gue nggak butuh dikasihani!" seru Lila dengan ketus, saat Audrey memaksa membayar dan membawa belanjaannya. "Kau akan menyusahkan kasir kalau sampai batal membeli. Dia harus bayar itu semua yang sudah discan. Iya kalau dia punya du
Beberapa saat sebelumnya ...."Kamu apa nggak kangen anakmu, Nang?" tanya Bu Astuti pada Rudy yang duduk di teras ditemani rokok dan segelas kopi pahit."Kangen, Bu," jawab Rudy tanpa menoleh pada sang ibu. Asap kembali ia kepulkan ke udara.Bu Astuti menatap anaknya dengan pandangan iba. Semenjak tinggal berdua dengan ibunya saja, Rudy lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah. Toko sembako yang baru dirintis itu, hanya dibuka saat malam, tepatnya lewat Magrib hingga kantuk datang. Tidak menentu.Seperti sekarang, Rudy istirahat dari lelahnya beraktivitas di sawah sambil menunggu pembeli. Bu Astuti ikut duduk di samping anaknya yang terlihat lelah. "Kenapa, Bu? Ibu mau ketemu cucu ibu?" tanya Rudy kemudian. Bu Astuti ingin mengangguk, tapi, kepalanya justru menggeleng. Rasa rindu itu sudah demikian besar. Pun ingin tahu bagaimana kabar sang cucu pasca cedera tulang ekor hari itu. Hanya saja, melihat Rudy yang nyaris tak pernah membahas istri dan anaknya, membuat wanita paruh bay
Zahra terus menyalahkan Nadira atas sakit yang diderita anaknya. Jatuh dengan posisi terduduk itu rupanya membuat cedera pada tulang ekor Rayyan. Meskipun tidak sampai patah seperti yang dikhawatirkan sebelumnya, tetap saja membatasi kegiatan Rayyan, hingga bocah itu kerap rewel jika merasa bosan, sebab tidak bisa bebas beraktivitas seperti sediakala.Kedua orang tua Zahra ikut menyalahkan Nadira atas kejadian yang membuat cucunya cedera. Menurut mereka, kejadian itu tidak pernah terjadi sebelumnya, baik di rumah orang tua Rudy, maupun di rumah mereka saat Rayyan berkunjung.Sebagai cucu pertama dan kesayangan, nyaris semua perhatian tertumpah ruah pada anak itu. Nadira tidak heran sebab sudah berulang kali terjadi, jika ada sesuatu yang terjadi pada Rayyan, maka orang lain lah yang akan dikambinghitamkan, sementara Rayyan tersenyum penuh kemenangan.Tidak tahan lagi dengan makian yang didapat dari keluarga kakak iparnya, maka Nadira sepakat dengan Fajar untuk menunjukkan bukti rekama
Di tempat lain ….Damar memandangi layar ponselnya dengan jengah. Rentetan pesan dan panggilan dari Lila sengaja ia abaikan. Dari sekilas pesan yang terbaca saat muncul di pop up, ia tahu kalau Lila kalang kabut sebab kepergiannya dengan Sahara. Tentu saja Damar mengerti kegelisahan wanita yang telah empat tahun terakhir membersamai hidupnya.Lila pernah bercerita, bahwa hibah harta dari Pak Wirya dan Bu Marta kemungkinan besar akan ditunda, atau justru dibatalkan, jika sampai terjadi hal buruk dalam pernikahannya. Damar tidak peduli sama sekali. Baginya, jika itu berkaitan dengan harta orang tua Lila, dia tidak mau ikut campur. Toh, selama ini dia juga terus menerus disebut tidak berguna sebagai seorang suami, meski telah berusaha maksimal untuk mengelola lahan yang menghasilkan puluhan kwintal bawang merah.Sempat terlintas keinginan untuk menggugat Lila dengan tuduhan penipuan pernikahan. Namun, dirasa hanya buang waktu dan tenaga, i
"Itu bukannya si Rendi ya, Lil?"Mendengar nama kekasihnya disebut, Lila menghentikan mengunyah permen karet. Mengikuti arah telunjuk Marsha, tatapannya terhenti pada sosok lelaki yang tengah bergandengan tangan sambil tertawa-tawa bersama seorang lelaki berpakaian casual."Itu memang dia," gumam Lila tak yakin.Tatapannya masih menyorot dua pria yang memasuki kafe di sayap kiri, bersebelahan dari tempat Lila berada. Meski terhalang beberapa meja, Lila dan Marsha masih dapat melihat dan memperhatikan dengan jelas.Kedua lelaki itu duduk bersebelahan, nyaris tak berjarak. Mereka terus berbincang dengan seru diiringi tawa. Sesekali saling tatap penuh arti. Sampai kemudian datang pramusaji membawa buku menu, keduanya tidak mengubah posisi."Lila!" seru Marsha, menepuk-nepuk punggung tangan sahabatnya, sementara pandangan matanya masih menyorot lelaki yang ia kenal sebagai kekasih perempuan yang duduk di depannya."Apaan?" tanya Lila, menolehkan kepala, menemukan wajah sahabatnya yang terl
"Mama! Sakit, Maa … !"Tangis Rayyan melengking di langit-langit ruang tamu Nadira. Wajah Zahra pucat pasi. Tubuhnya membeku di tempat. Sementara Nadira kepayahan hendak jongkok sebab terhalang oleh perut besarnya.Nadira berniat menolong keponakannya yang terus menjerit kesakitan. Tangannya baru saja terulur ketika akhirnya ia berhasil melipat kedua kaki, menumpukan kedua lutut di lantai. Namun, sebuah suara menghentikan gerakannya."Jangan sentuh anakku!"Zahra.Wanita itu bergegas menghampiri anaknya, memeriksa beberapa bagian tubuh kecil anaknya dengan perasaan was-was. Sementara Nadira, langsung beringsut mundur, tidak mengerti kenapa kakak iparnya bersuara sekeras itu, melarang menyentuh Rayyan. 'Kenapa? Bukankah hal wajar jika aku ingin melihat kondisi keponakanku yang jatuh?' Nadira bermonolog dalam diam."Kamu sengaja, ya, mau celakain anakku?!" sentak Zahra, menatap sengit pada adik iparnya dengan napas memburu. Nadira semakin tidak mengerti, kenapa mendapat tuduhan seperti
Nadira duduk termenung di depan kolam kecil berisi ikan koi yang berebut makanan. Bibir tipisnya sesekali melengkungkan senyum melihat gerakan mereka yang dirasa lucu. Berada di rumah seorang diri, membuat ia lebih suka menghabiskan waktu di tempat ini, menikmati gemericik air dan kecipak ikan yang sesekali melompat naik.Suara ponsel di atas meja, membuat ia bergegas meraih benda canggih itu. Melihat nama Rudy tertera di sana, membuat Nadira menarik kedua sudut bibirnya."Assalamu'alaikum, Ra, kamu di rumah, kan?" sapa Rudy begitu sambungan telepon terhubung."Wa'alaikumsalam. Iya, Mas. Aku di rumah. Gimana? Ibu nggak kenapa-kenapa, kan?" "Enggak, kok. Ini ada syukuran kecil-kecilan. Mau bagi ke kamu juga. Masa tetangga dikasih malah kamu enggak. Ini lagi istirahat dulu. Paling sepuluh menitan lagi sampai.""Lah, udah deket ternyata. Ya udah, hati-hati ya, Mas.""Oke, sampai ketemu," pamit Rudy, lantas mengakhiri panggilan.Melihat Rudy yang sedang berbicara di telepon, Zahra memand