Beberapa kali Mas Yoga keluar masuk ke kamar mandi, ada rasa kasihan sebenarnya, akan tetapi lebih baik mereka lah yang merasakan sakit perut daripada aku yang terkena jebakan mereka. "Ren, kamu ada obat mules? Perutku rasanya seperti dikuras habis-habisan. Baru juga keluar, ini rasanya udah melilit lagi," ucap Mas Yoga dengan wajah pucatnya. "Nggak ada, Mas. Mau aku belikan?" "Boleh. Buruan ya. Mas udah nggak tahan."Belum sempat aku bangkit dari tempat dudukku, Mas Yoga pun langsung berlari kembali masuk ke dalam kamar mandi. Aku pun bergegas keluar dari kamar. Saat baru saja sampai di ruang tamu, tiba-tiba suara ibu memanggilku. "Ren, kamu baik-baik saja?" tanya Ibu yang disampingnya berdiri seorang Mutia. "Seperti yang ibu lihat, Rena baik-baik saja," ucapku sesantai mungkin. Dua orang perempuan beda usia itu lantas saling berpandangan. Saling melempar pertanyaan melalui sorot matanya. "Rena mau belikan Mas Yoga obat sakit perut, Bu. Rena pergi dulu." "Eh, tunggu!""Kenapa
Pov Yoga**"Mas, kapan kamu akan mengatakan semuanya pada Mbak Rena kalau kamu akan menikahiku secara resmi?" tanya Mutiara yang saat ini sedang menemuiku di rumah makan milikku. Aku mengusap tengkuk leherku. Meskipun tanggal yang sudah kami sepakati untuk melangsungkan acara pernikahan sudah semakin dekat, aku tak kunjung mendapatkan keberanian untuk mengatakannya pada Rena– istriku. Novita Mutiara Absari– sosok perempuan yang merupakan cinta pertamaku. Sosok perempuan yang membuatku mengenal artinya cinta. Sosok perempuan yang sempat terpisah karena takdir yang tak berpihak pada kami. Ya, bertahun-tahun aku menjalin hubungan dengan Mutiara. Bahkan sejak sekolah SMA, hingga suatu ketika Mutiara dijodohkan oleh kedua orangtuanya dengan sosok lelaki kaya yang ternyata tak mampu membahagiakan Mutiara. Jangankan membahagiakan, lelaki tak bisa memperlakukan Mutia dengan selayaknya. Dia sosok lelaki yang kasar, perhitungan dan tempramental. Aku tahu semuanya. Dan Mutia lah yang mence
"Sayang!" "Eh, iya. Maaf ...." Panggilan dari Mutia mampu membuatku terkesiap. Suara itu mampu membuyarkan lamunan atas kejadian beberapa tahun yang lalu. "Jadi kapan kamu akan bicara sama istri kamu? Aku nggak mau lagi menunggu terlalu lama," ucap Mutia sembari wajah yang terlihat kusut. "Sebanarnya kita bisa menikah secepatnya, tapi siri." "Aku nggak mau kalau kamu nikahi secara siri, Mas! Kamu gimana sih, kemarin-kemarin kan kamu udah janji secepatnya akan membicarakan hal ini dengan istri tuamu, tapi kenapa sekarang kamu jadi ingkar seperti ini?!" Mutia berucap dengan nada tinggi. Terlihat dengan jelas raut ketidaksukaannya. Aku menghembuskan napas berat. "Kalau kamu tetap seperti ini, sepulang dari sini aku akan mengatakan semuanya pada istrimu itu!" ucap Mutia yang terkesan seperti suatu ancaman. Aku pun segera mencekal tangan Mutia agar tak berdiri dari tempat duduknya. "Iya-iya, Mas janji nanti malam akan mengatakan hal ini pada Rena. Tapi kamu jangan bicara apapun ya
Jarum jam di dinding sudah menunjukkan pukul empat sore. Bergegas aku pun memasukkan ponsel itu ke dalam tas kerja milikku, lalu meraih tas tersebut. Aku pun lantas melangkah keluar ruanganku dan menuju ke arah di mana mobilku terparkir.Belasan menit kendaraan roda empatku menyusuri jalanan beraspal, hingga akhirnya kendaraanku masuk ke dalam halaman. Saat baru saja aku keluar dari mobil, tiba-tiba Mutia datang menyambut dan melangkah mendekat ke arahku. Cepat mataku menyusuri ke segala penjuru, takut jika Rena akan melihat kejadian ini. "Mas, jangan lupa kamu hari ini harus bilang sama istri tuamu itu ya," ucap Mutia mengingatkanku atas janji yang kuucapkan tadi padanya. "Kan masih ada waktu sampai besok malam," lirihku. "Ya usahakan malam ini, Mas! Jangan lama-lama, pernikahan kita tinggal menghitung hari!" pekik Mutia sembari melotot ke arahku. "Iya, iya. Nanti akan aku bicarakan dengan Rena. Sekarang kamu masuk, jangan sampai Rena melihat ini," pintaku."Halah, Mas. Orang be
"Kenapa kamu baru membahasnya sekarang? Dulu kamu tak pernah membahas perihal anak. Tapi kenapa kamu tiba-tiba meminta izin untuk menikah lagi dengan alasan karena aku tak kunjung memberikan keturunan untukmu? Bukankah kamu sendiri yang bilang kalau kehadiran anak itu mutlak kuasa Allah? Bukankah kamu sudah bilang kalau pernikahan itu tak melulu soal anak? Bahkan, kamu mengatakannya belum ada sebulan yang lalu loh. Apa kamu sudah amnesia?!"Aku menelan saliva dengan susah payah. Yang dikatakan oleh Rena memang benar adanya. Dulu aku selalu mengatakan hal itu jika Rena gelisah karena tak kunjung hadirnya janin di dalam rahimnya. "Tapi sekarang berbeda, Ren! Ibuku sudah semakin tua. Ibu juga menginginkan cucu dari anak lelaki semata wayangnya," ucapku tak mau kalah. Jangan sampai Rena membuatku mati kutu. Bagaimana pun caranya aku harus membuatnya memberikan izin untukku menikahi Mutia. Walau dengan ucapan paling menyakitkan sekalipun.Terlihat Rena mengusap lelehan air mata itu denga
"Sayang ...."Aku pun langsung memeluk tubuh Mutia dari belakang, tentu membuat tubuh yang sedikit berisi itu tersentak kaget. "Kamu apa-apaan sih, Mas! Bikin kaget saja," gerutu Mutia. Aku hanya tersenyum, lantas ia pun langsung mengurai pelukanku lalu memutar tubuh, hingga akhirnya pandangan kami pun saling bertemu. "Ibu kemana? Kok nggak sama kamu?" tanyaku yang saat berjalan menemui Mutia, taku kulihat Ibu sama sekali. Aku hanya melihat Mutia yang sedang berdiri di ruang tamu sembari memainkan ponsel dengan posisi membelakangiku. "Ibu tadi katanya mau ke kamar mandi sih," jelas Mutia yang kubalas dengan anggukan sembari mengulas senyum. Akan tetapi, Mutia tiba-tiba menatapku dengan kening yang berkerut tajam. "Mas ....""Ya?" "Sepertinya kamu sedang bahagia, ya kan?!" tebak Mutia menelisik wajahku dengan seksama. Aku tersenyum lalu mengangguk cepat. "Aha ... aku bisa menebaknya, pasti kamu sudah membicarakan pernikahan kita dengan istri tuamu itu ya?!"Lagi, aku hanya meng
"Apa yang kalian lakukan di rumah ini?! Jangan macam-macam kamu, Yog! Ingat, kalian itu belum menikah!" pekik Ibu dengan suara tertahan. Ibu pun melangkah ke arahku sembari memasang raut wajah yang ... entah. "Apa sih, Bu. Jangan berpikiran yang tidak-tidak. Gil* apa kalau Yoga mau macam-macam di rumah ini," seruku tak terima. Aku tahu apa yang ada di pikiran Ibu, pasti ia menganggap kalau kami tadi sempat menyelami lautan b*rahi. "Terus kamu ngapain di sini? Mana pintu dikunci segala!" Akhirnya aku pun mulai menceritakan semuanya pada Ibu. Termasuk Rena yang akan memberikan syarat kepadaku. ****Pov Author**Setelah kepergian sang suami, Rena pun mengusap wajahnya dengan kasar. Perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu pun lantas berjalan menuju ke arah kamar mandi setelah ia mengunci pintu kamar. Rena membasuh wajahnya. Setelahnya ia pun menatap cermin yang terpasang di dinding kamar mandi. Ada rasa tak percaya pada diri Rena saat mendengar kejujuran yang dikatakan ole
Setelah acara sarapan itu, Rena memutuskan masuk ke dalam kamar, meninggalkan Yoga beserta ibu dan calon madunya. Rena menghempaskan tubuhnya di ranjang sembari memainkan ponsel, berbeda dengan keadaan di ruang makan. Terjadi perdebatan di antara mereka. "Kamu ini apa-apaan, Yog?" sungut sang Ibu kepada Yoga."Iya, Mas? Kenapa kamu menyanggupi permintaan istri tuamu itu?!" Mutia pun tak kalah terheran-heran. Bagaimana tidak, syarat yang diberikan oleh Rena baru diberikan dan tanpa berpikir panjang Yoga langsung memberikannya keputusan. Bahkan, tanpa merundingkannya terlebih dahulu dengan ibu beserta calon istri keduanya itu. "Sudahlah, Bu ... ibu tenang saja," ucap Yoga dengan santai. Tanpa merasa bersalah sedikit pun. Ucapan Yoga tentu membuat kedua bola mata Mirna–ibunda dari Yoga itu mendelik dengan sempurna. "Tenang kamu bilang?! Duit darimana sebanyak itu?!" pekik Mirna yang tak habis pikir dengan keputusan sang putra. "Iya ih, Mas. Kan uang kamu di rekening tinggal lima pu
Rasanya masih seperti mimpi melihat makam Yoga. Rasanya suara hinaan, cacian, dan bentakan itu masih terdengar nyata di telinga Mutia. Tapi kini seseorang yang sudah menghina, menzolimi dirinya sudah tidak ada lagi. Entah Mutia harus merasa lega atau tidak. Mutia tidak tau. Sekarang yang terasa hanya ruang hampa.***Tak terasa 1 Minggu telah berlalu. Setiap harinya kesehatan ibu mertua Mutia berangsur membaik. Bahkan kata dokter, Ia sudah bisa pulang besok siang.…Keesokan harinya,Mutia tengah melipat pakaian dan memasukkannya ke dalam tas, ketika Ibu mertuanya membuka mata setelah tertidur cukup lama. Mutia yang menyadari ibu mertuanya telah sadar langsung menghampiri ibu mertuanya tersebut.“Bu, ibu sudah sadar?” tanya Mutia lembut.Sang ibu mertua hanya bisa menatap Mutia nanar, mulutnya yang setenga miring itu, hanya bisa terbuka tertutup tanpa mengeluarkan kata. Hanya sebuah suara samar yang menunjukkan penyakitnya.“Bu, makan dulu, ya, Mutia suapi Ibu,” ucap Mutia lembah lemb
Setelah melakukan serangkaian keagamaan, akhirnya Yoga pun dibawa ke liang kuburnya.Melihat Yoga dikubur, membuat perasaan Mutia sedikit tidak karuan. Tidak ada air mata, tapi tidak ada juga rasa bahagia suka cita.Mutia merasa mungkin ini pembalasan dari Tuhan, untuk semua kesakitan dan penderitaan yang telah ia terima dari suaminya yang selalu menyakiti dirinya. Tapi di satu sisi, Mutia juga kembali teringat akan masa lalunya, yang sempat bahagia bersama Yoga. Bagaimanapun juga Yoga pernah menjadi hal yang paling membuat Mutia bahagia dalam hidupnya.***Kabar Yoga sudah tidak ada akhirnya sampai ke telinga sang mantan istri, Rena. “Apa, Mas Yoga? … Innalilahi wa innalilahi rojiun,” ucap Rena yang masih tak percaya dengan kabar yang baru ia dengar.Ternyata seorang kerabat yang ikut hadir dalam pemakaman Yoga, mengetahui keberadaan Rena, dan memberitahukan kepada Rena tentang kondisi Yoga.“Terima kasih sudah memberitahu.” Rena menutup telepon nya.“Ada apa Ren,?” tanya Ibunya Re
Seketika suasana warung menjadi lebih ramai dan kacau akibat perkelahian Yoga dan Tono. Tapi jujur saja, walaupun keduanya sama-sama mabuk, tetap saja Yoga tampak jauh lebih unggul untuk memberikan hantaman demi hantaman kepada Tono. Tono semakin kehilangan kesadaran.Walaupun sudah mendapatkan serangan bertubi-tubi dari Yoga, tidak lantas membuat Tono menyerah dari Yoga. Tono justru semakin berniat untuk menghabisi Yoga. Dilihatnya oleh Tono sebuah pisau tergeletak bebas di atas meja, entah habis digunakan untuk apa, tapi ada pisau di sana. Tanpa ragu Tono segera meraih pisau tersebut.Dengan gelap mata, semuanya pun terjadi dengan cepat.JLEB!Pisau tersebut berpindah posisi. Tono berhasil menusukkan pisau tersebut menembus tubuh Yoga.Tidak puas dengan satu kali tusukan, Tono menusuk beberapa kali tubuh Yoga hingga Yoga akhirnya tak sadarkan diri.Suara teriakan para wanita yang melihat kejadian tersebut sontak membuat para warga sekitar yang berada di sana langsung berdatangan mel
“Apa, Stroke?” Mutia begitu terkejut setelah mendengar diagnosa dokter terhadap ibu mertuanya.“Iya, kemungkinan itu yang terjadi setelah kami memeriksa kesehatan Pasien tadi,” ucap sang dokter. “Tapi untuk mengetahui lebih dalam apa penyakitnya, kita memerlukan waktu lebih.”Mutia mulai tampak kebingungan. Kabar tidak enak ini terlalu mendadak untuk ia tanggung sendiri. “Tapi ibu mertua saya akan sembuh kan, Dokter?” tanya Mutia penuh harap.“Kemungkinan sembuh ada, tapi mungkin tidak sesehat sebelumnya,” jawab sang dokter. “Sebaiknya kita berdoa saja semoga Bu Leha cepat sadar dan pulih kembali.”Sudah kurang lebih dua jam Mutia menunggu mertua kejamnya itu di rumah sakit. Sudah berulang kali Mutia mencoba menghubungi suami dan iparnya, tapi tetap tidak ada yang menjawab. Lelah, capek, sakit hati, semua Mutia rasakan saat ini. Ingin rasanya Mutia berteriak sekencang mungkin mengeluarkan semua beban yang terasa di dalam dada. Tapi apa daya, Mutia tidak bisa melakukan semua itu. Mut
"Sialan! Kau sembunyikan dimana uangku, Mutia!" pekik wanita paruh baya itu saat tak menemukan apa yang ia cari di segala tempat. "Mutia nggak ambil uang milik Ibu ....""Halah! Nggak usah bohong kamu! Balikin uangku!" Sang ibu mertua melangkah mendekat ke arahnya dengan tatapan tajam. Seketika perasaan Mutia menjadi tak enak. Hingga jantung pun terasa seperti berdegup lebih kencang.Rasanya ingin melawan, tapi entah mengapa tenaga seperti sudah hilang. Apa ini karena Mutia masih menghormati orang tua suaminya itu? ataukah Mutia hanya berlarut dalam rasa bersalah, dan ini harga yang harus ia bayar?Mutia hanya bisa terus berusaha memberontak tanpa melawan. Air mata yang menetes pun seperti tidak akan membuat Ibu mertuanya iba akan kesakitannya. Kini semakin jelas Mutia merasa sebegitu hina dirinya di mata mertuanya, padahal setiap hari Mutia rasanya sudah cukup berkorban menahan hati melayani keluarga ini. Apa tidak sudah ada rasa kasihan, atau rasa iba kepada dirinya?“Bu, sakit Bu
Kedua telapak tangan Mutia terbuka dan terangkat sebatas dada. Dengan bibir bergetar, ia ucapkan permohonan ampun pada Sang Pemilik Kehidupan setelah ia lakukan beberapa rakaat shalat taubat. "Ampuni hamba, Ya Allah. Ampuni Hamba ...." Suara itu bergetar dengan tubuh yang terguncang. Air mata terus bergulir dengan begitu derasnya. Hingga menciptakan jejak-jejak air mata di wajahnya. Air mata itu terus keluar, sebagai bentuk penyesalan yang teramat dalam. Belasan menit ia memohon ampun, ada rasa kelegaan tersendiri yang dirasakan oleh Mutia."Ha ha ha, apa yang kau lakukan, Mutia?" Suara tawa terdengar begitu menggema. Suara yang berasal dari Yoga yang baru saja membuka pintu kamar lalu melihat sang istri sedang bersujud dengan balutan mukena di tubuhnya. Mutia langsung mengangkat kepalanya. Ia duduk lalu menolehkan kepala ke arah sang suami yang terus tertawa. Mutia tau, dia telah ditertawakan oleh sang suami. "Tumben sekali kau sholat? Apa kau sadar jika dirimu penuh dengan dos
Sinar matahari menerobos masuk melalui celah-celah jendela. Lelaki yang masih terbuai dengan mimpi itu menggeliat pelan, mengusap wajahnya lalu mengangkat kedua tangannya ke atas. Guna merenggangkan otot-otot di tubuhnya yang terasa begitu kaku. Setelahnya, pandangan Yoga beralih pada jam yang menggantung di dinding kamar, yang saat ini sedang menunjukkan pukul sembilan pagi. Wajar saja jika jam sembilan Yoga baru terbangun, sebab hampir setiap malam ia pulang dari warung janda genit hingga sampai pukul satu larut malam. Yoga melangkah menuju ke pintu. Meraih gagang pintu lalu menekannya dengan malas lalu mendorongnya perlahan. Lelaki itu melangkah menuju ke dapur tanpa ke kamar mandi terlebih dahulu. Walau hanya sekedar mencuci muka, Yoga enggan melakukannya. Dibukanya tudung saji. "Makanan macam apa ini?!" Yoga menghempaskan tudung saji dengan kasar. Hingga terpental di atas meja lalu terjatuh. Yoga merasa kesal, sebab hanya ada tempe goreng dan juga sambal bawang. Ya, hanya
KUGADAI HARTA SUAMI YANG BERSELINGKUHBAB 70Yoga mencebik tapi kemudian pria itu memberikan selembar uang berwarna hijau dengan nominal 20.000 rupiah pada Mutia. "Udah itu aja cukup. Jangan banyak-banyak kamu pegang duit biar gak ngelunjak!" Setelahnya, Yoga pun pergi meninggalkan Mutia yang sudah lemas karena di tangannya kini hanya tersisa uang dua puluh ribu saja. "Ya Allah, uang segini dapet apaan? Untuk beli beras buat makan orang satu rumah aja kurang," gumam Mutia yang menatap perih uang berwarna hijau di tangannya itu. Ia merutuki kebodohannya kenapa uang itu tidak ia masukkan saja ke dalam pakaian dalamnya atau seperti yang dikatakan Ira kalau ia meminta pak Sodik untuk menunda memberikan uang gajinya. Ah, tiba-tiba Mutia muncul sebuah ide. Dalam benaknya terlintas kalau dia akan meminta pak Sodik untuk mengurangi jumlah uang yang pak Sodik berikan padanya. Dan dari situ nanti Mutia akan mengaku saja dia sekarang hanya dibayar sebanyak tiga puluh ribu saja. Mau percay
KUGADAI HARTA SUAMI YANG BERSELINGKUHBAB 129Mutia memandang Ira dengan nanar. Bibirnya lantas kembali berkata, "Tapi kita kan gajiannya perhari gimana caranya aku kumpulin uang buat bayar kos kalau setiap aku pulang suamiku selalu nanya mana uang hasil kerja hari ini?"Senyuman pun terbit di kedua sudut bibir Ira. "Aku tahu caranya. Sini aku bisikin." "T-tapi gimana kalau Mas Yoga menanyakan soal uang gajiku yang setiap harinya diberikan sama Pak Sodik? Belum lagi sama Ibu mertua dan Kakak ipar pasti mereka semakin menyudutkanku." "Haduh Mutia ayolah, kalau bukan kamu yang merubah kondisimu lalu siapa lagi? Kamu harus keluar dari keluarga toxic seperti itu. Tidak mungkin kamu terus-terusan berada di sana yang ada mereka. Bukan semakin menghargaimu tapi malah semakin menginjak-injakmu." "Tapi, Ir, aku takut kalau Mas Yoga berlaku kasar padaku lagi." "Astaga Mutia. Kenapa mesti takut sih. Bukankah kamu ini orang kota? Seharusnya cara berpikirmu jauh lebih maju dong daripada aku.