Srak ...
Srak ...
Suara menggesek itu terdengar keras di antara keheningan yang tercipta. Tiga sosok kecil berjalan beriringan. Sosok yang lebih tinggi tengah membopong tubuh dewasa. Karena tinggi badannya, kaki remaja yang digendong terseret ke tanah dan membentuk suara gesekan yang mengganggu.
Namun gadis kecil itu terlihat tidak keberatan sama sekali. Seolah-olah ia hanya membawa kardus kosong, bukanlah tubuh manusia yang dua kali lebih besar darinya. Wajah yang lucu terlihat sangat panik, irisnya berkeliling menatap sekitar. Namun, ia tidak berani melangkah terlalu cepat. Kaki Tuannya terseret ke tanah, tindakannya yang terburu-buru takut akan menyakiti kaki yang tidak bisa ikut digendong.
"Ugh... ," mengerutkan alis, remaja yang digendong itu bergumam, merentangkan sebelah tangan dan menyentuh kepala yang terasa berdenyut. Gerakan tiba-tiba itu sukses membuat tiga kurcaci cilik membeku. Dua orang yang sejak tadi mengekori tercenga, sebelum akhirnya,
“Loh? Rin? Siapa mereka?”Pertanyaan yang terlontar begitu saja membuat Corin merasa canggung, tetapi ia benar-benar lelah. Menurunkan Al dari gendongannya, remaja itu tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia jatuh terduduk di tangga kereta, terengah-engah dan penuh dengan peluh.Gadis kecil yang sudah dilepaskan, tanpa menunggu Corin memperkenalkannya, dengan penuh percaya diri melompat-lompat untuk memperkenalkan dirinya sendiri. “Nama Pi adalah Piby! Dan ini adalah Al, sepupu Pi! Pi dan Al menemukan Kak Rin dan Kak Snow di hutan!”Joshu tertawa mendengarnya. “Oh, kalian menemukan mereka di hutan?” kekehnya geli. “Jadi kalian membawa Kak Rin dan Kak Snow kembali ke sini karena mereka tersesat di hutan?”Ekspresi gadis keci
Gulita bergelayut mesra saat sang bulan merangkak naik menggantikan matahari. Titik-titik cahaya kecil terlihat indah, saat cahaya redup pada bulan purnama mencoba menyingkirkan gelap yang mencengkram. Namun di tengah hutan yang sunyi dan penuh misteri, malam akan selalu menjadi sesuatu yang mencekam dan menakutkan. Kedua anak kecil yang masing-masing dipeluk Phoenix dan Snow, telah jatuh ke alam mimpi. Kedua sosok berbeda karakter itu sudah terlalu lelah untuk menikmati hari yang begitu panjang di dalam sebuah kereta yang berjalan. Namun, kenyamanan kedua bocah kecil itu berbanding terbalik dengan orang-orang yang masih terjaga di sekitar mereka. “Mereka adalah anak bangsawan.” Satu kalimat dari Joshua sukses membuat keheningan selama beberapa detik, sebelum akhirnya Lin bereaksi. Gadis itu tercengang, sebelum a
Angin dingin yang berhembus pada malam yang gulita membuat semua orang yang masih terbangun, tidak merasakan kantuk sama sekali. Bukan hanya karena beban masalah yang kian memberatkan bahu, tetapi juga karena malam adalah waktu yang paling berbahaya. Tidak akan ada yang bisa tidur dengan nyenyak kecuali kedua anak kecil yang tidak mengetahui apapun tentang kejamnya dunia.Bertopang dagu, sepasang iris gelap menatap ke luar jendela. Langit berbintang membentang di cakrawala. Canvas hitam tanpa adanya awan yang menutupi, terlihat indah dengan gemerlap bintang yang bersinar redup.Namun perasaan Corin tidak seindah langit malam yang tenang. Sebaliknya, semua hal negatif seolah mencengkram paru-parunya, membuat setiap tarikan napas, terasa sangat sulit dan menyakitkan.Marah, sedih, kesal, takut ... berbagai macam hal t
Semuanya terjadi begitu tiba-tiba hingga Corin tidak mampu untuk memikirkan apapun. Hanya ketakutan yang memuncak. Membuat jantungnya berdebar sangat keras hingga mengalirkan adrenalin ke seluruh tubuh. Namun, saat menyadari tubuhnya terseret menjauh dari kekacauan dan hanya menyisakan sepasang Partner yang mencoba melindungi mereka ...Sulung Yudhistira menyadari ada sesuatu yang salah.“Bagaimana dengan Lin,” suara kecil yang gemetar itu keluar—tenggelam di dalam ledakan besar di sekitarnya. Kaki yang sudah selembut jel tidak mampu benar-benar melangkah, membuat tubuh kecil Snow yang menyeret majikannya nyaris benar-benar menggendong tubuh yang jauh lebih besar di punggung kecilnya.“Apa?” Snow terengah-engah. “Nona, kita—“
Sepasang mata yang hitam itu terlihat dingin dan tajam. Setiap lirikannya mengandung pembunuhan, membuat siapa pun yang melihat akan merinding dan tanpa sadar ingin melarikan diri. Tekanan udara yang mendadak rendah sukses membuat suasana kian mencekam. Mendadak, seolah terjeda oleh tombol pause, tidak ada yang berani bergerak.Semua fokus hanya ke satu titik.Seorang remaja yang secara perlahan berdiri dari posisi duduknya. Dengan santai menepuk-nepuk bagian belakang dan beberapa tempat yang terasa kotor. Lalu, seolah tidak puas, jemari hitam yang tertutup tanah bergerak dan udara yang kuat menerpa.Dalam sedetik, semua kotoran menghilang di tubuh sang remaja. Setiap gerakan tubuhnya sangat santai, tidak terburu-buru sama sekali seolah-olah mereka bukan di medang perang, tetapi di sebuah taman wisata yang membuat semua orang akan terhibur.
Setiap Penyihir yang terlahir, tidak mungkin untuk mampu mengendalikan energi sihirnya. Namun, beberapa anak yang berbakat tidak akan memberikan efek yang terlalu signifikan selain sesekali, mereka akan mampu untuk mengeluarkan sihir mereka sendiri tanpa alat perantara.Salah satu hal yang paling mempengaruhi energi sihir di dalam tubuh yang tidak memiliki perantara adalah emosi. Semakin kuat emosinya, semakin kuat sihir yang akan meletus. Karena itulah, ketika remaja itu mengatakan bahwa mereka mempercepat peledakan tubuh Corin Yudhistira ... Caroline memucat.Mendadak, ia teringat dengan telinga Snow yang mendadak keluar ... sungguh, bukankah tanda-tanda itu sangat jelas? Energi di tubuh Corin berfluktasi dan hal ini tentu saja akan mempengaruhi Snow! Tidak mungkin untuk Kucing Hitam dengan mudah mengubah wujud mereka bila bukan dengan sihir.
“SNOW SUDAH SADAR!” teriakan melengking yang mendadak sukses membuat tubuh yang baru terbangun, tersentak kaget. Jantung Corin terasa mencelos. Ia refleks menoleh—mencoba mencari sumber suara. “KAK CORIN JUGA SUDAH BANGUN!” Teriakan kedua terdengar lebih dekat dan Corin langsung tahu dari mana sumbernya. Tawa anak kecil mengalun diiringi dengan tubuh mungil yang berlari keluar dari balik pohon besar. Gadis kecil itu seolah mendapatkan mainan kesukaan, dengan tawa yang menyenangkan berlari mendekati Corin. Namun dalam seketika, gadis Yudhistira menyadari bahwa anak itu tidak sendiri. Ia turut membawa sepupu yang sejak tadi mengekorinya. Oh, ini Piby dan Al. Sepasang saudara yang ditinggalkan di tengah hutan. Piby terkekeh. Gadis kecil berkuncir dua itu berlari mendekati Corin, senyuman lima jariny
Pertanyaan yang dilontarkan Caroline Weish benar-benar membuat Corin bingung. Sungguh, bukankah seharusnya ia yang bertanya? Jelas dirinya pingsan sebelum ikut bertarung ... memikirkan hal ini, membuat sulung Yudhistira malu. Uh ... bukankah ia begitu menyusahkan semua orang? Jangankan berpikir untuk melarikan diri dan mengurangi beban kerja, Corin justru yakin dirinya sudah menghambat perlindungan yang dilakukan Caroline dan Joshua.“Yah ... ,” wajah Corin memanas—mendadak ia benar-benar merasa malu. “Setelah melihat Snow terluka, bukankah aku ... pingsan?” menelan liur paksa. Kata-kata terakhir benar-benar terdengar canggung.Sulung Weish mengerutkan alis. “Hanya itu?”Sepasang mata hitam berkedip. Apa maksudnya dengan Hanya itu? Bukankah memang ... hanya itu? Corin bingung bukan main. Sepasang kelereng hi
Sebuah meja kayu panjang yang dikelilingi oleh banyak kursi tersedia di tengah-tengah ruangan besar. Lampu gantung kristal dimatikan, hanya menyediakan penerangan dari jendela prancis yang terbuka lebar. Suasana pagi yang langsung menghadap ke arah taman penuh bunga membuat Ruang Makan terasa sangat artistik dan indah.Saat Corin akhirnya turun dari kamar tamu dan memasuki Ruang Makan, gambar indah dari ruangan yang seharusnya menjadi pencuci mata, tidak terlihat seperti itu sama sekali. Mungkin karena tidak ada yang memulai makan atau mungkin karena orang-orang yang duduk di kursi memiliki ekspresi yang begitu suram, Corin benar-benar merasa salah memasuki ruangan.Sungguh, ini bukan ruang rapat kan?Makanan hangat telah tersedia di atas meja, tetapi karena menjadi yang terakhir, kedatangan remaja itu mengundang ba
Hembusan lembut udara terasa membelai kulit. Namun cahaya yang hangat menerpa, menyentuh dan membuat Corin tidak bisa begitu saja menutup mata–bagaimana pun, kesadarannya telah kembali. Perlahan, kelopak mata itu bergerak sebelum akhirnya membuka. Silau. Alis Corin terpaut. Matanya terasa tersengat. Berkedip beberapa kali, akhirnya ia bisa menyesuaikan diri. Namun, saat Corin menyadari dimana dirinya berdiri, ekspresi wajah remaja yang semula linglung, berubah menjadi tercenga. Sepasang kelerengnya membola sempurna, menatap tidak percaya apa yang tercemin di matanya. Sebuah padang rumput yang hijau membentang. Ia berdiri di bawah bukit, tepat bermandikan cahaya matahari yang hangat. Hembusan angin menerpa tubuh, menerbangkan dedaunan yang dengan mudah berguguran di tanah. Menyipitkan mata, sebuah pohon besar berd
Suhu udara mendadak berubah rendah. Kabut tipis menyelimuti semua orang. Seolah merasakan de javu, Caroline dan Joshua sama-sama memandang tidak percaya ke arah Corin semula berjongkok dan melindungi dirinya bersama Piby.Suara yang mengalun di antara kabut terdengar dengan jelas. Suara yang familier, tetapi entah bagaimana begitu asing. Nadanya sangat tenang, seolah tidak peduli dengan ancaman nyawa yang berada di sekitarnya.Kabut dingin hanya bertahan selama beberapa detik, lalu menghilang dan memperlihatkan sosok remaja yang menggendong seorang gadis kecil. Wajah pucat itu tanpa ekspresi tetapi sepasang iris menatap sekitarnya dengan pandangan jijik yang terlalu kentara.Berbeda dengan melawan para Penyihir, kali ini, arwah asing yang kembali menguasai tubuh Corin memasang ekspresi jijik. Terlihat sangat tidak berminat untuk melawan Manusia Serigala.“Kaing!"Dengkingan Manusia Serigala terdengar—sukses membuat semua orang tersentak
Manusia Serigala merupakan nama sebuah penyakit. Penyakit sihir yang disebabkan oleh kutukan. Konon, semuanya berasal saat zaman peperangan. Saat itu, seorang Penyihir membuat sihir terbaru, bermaksud membuat eksperimen manusia kuat yang mampu dikendalikan dan mengalahkan banyak musuh. Memiliki fisik yang kuat, kelincahan, juga tahan dengan serangan Sihir.Namun siapa sangka bahwa eksperimen ini akan gagal, menciptakan makhluk yang bukan manusia atau hewan. Hanya Monster yang haus darah, agresif, tidak mampu untuk dikendalikan. Perpaduan dari Manusia dan juga gen Serigala.Sayangnya, peperangan menghalalkan segala cara untuk menang. Manusia serigala dibebaskan untuk menyerang musuh. Sungguh, tidak ada yang menyangka bahwa orang-orang yang selamat dari serangan Manusia Serigala ... akan tertular. Mereka yang digigit, akan berubah menjadi Monster. Rasionalitas mereka menghilang, hanya digantikan insting selayaknya hewan dan agresifitas yang tidak mampu dikendalikan siapa
Pertanyaan tidak berhenti sampai di situ saja. Mereka dibebaskan untuk bertanya apa pun dan Kucing Hitam Perempuan bisa memilih untuk menjawabnya. Selain Corin, semua orang mencoba mengorek informasi apa pun dari mulut remaja berpakaian Maid.“Berapa umurmu?”“Umur yang mana?” Miaw balas bertanya. “Umur saya yang sekarang atau kah umur sesudah kontrak?”Edita yang melontarkan pertanyaan, mendadak diberikan umpan balik pertanyaan. Namun remaja itu tanpa ragu membalas. “Keduanya.”Miaw tersenyum lembut. Kegelapan malam dengan cahaya redup dari bola api yang melayang-layang diudara membuat wajah cantiknya terlihat menyeramkan. “Umur Kucing Saya adalah 1 tahun sementara Umur setelah mengikat kontrak adalah 3 bulan.”Hening.Mendadak, tidak ada lagi yang melontarkan pertanyaan.Corin yang dirundung perasaan bersalah, bahkan menyadari suasana yang mendadak terasa berbeda. kepala hi
Malam kembali menyapa. Tidak seperti malam sebelumnya yang penuh dengan gemerlap bintang, kali ini langit ditutupi oleh awan. Namun tidak peduli seberapa indah malam sebelumnya atau seberapa suram kali ini, perjalanan yang dilakukan di malam hari merupakan perjalanan yang mencekam.Beberapa bola api melayang-layang mengikuti pergerakan empat ekor kuda yang berlari cepat. Cahaya yang justru cenderung redup, tidak bisa benar-benar memberikan penerangan malam. Namun karena cahaya redup inilah mereka sedikit lebih aman. Bagaimana pun, cahaya di tengah kegelapan merupakan hal yang mencolok dan cenderung mengundang bahaya.Merasakan sakit pinggang, punggung dan bahunya, Corin benar-benar bisa merasa bersyukur akan kenikmatan duduk manis di dalam kereta. Oh, sungguh, ia tidak menyangka akan semenderita ini menunggangi kuda!Hanya ada empat kuda yang tersedia untuk mereka tunggangi. Joshua tentu saja bersama Caroline, Roni dan Eka juga harus bersama. Kedua pasangan ini
Cring ... cring ...Suara bel yang jernih dan merdu terdengar. Halus di antara keheningan yang tercipta. Semua pasang mata memandang sosok remaja yang mengenakan pakaian Maid, membungkuk ke arah seorang batita kecil dengan sepasang mata hijau yang seolah siap untuk menangis ...Remaja itu sangat cantik. Dengan helai hitam panjang yang diurai, rambut ikalnya mencapai pinggang. Kulitnya seputih pualam, sangat kontras dengan warna helai rambut yang gelap. Ditambah sepasang iris hijau keemasan yang indah ...Kucing.Satu kata muncul di kepala Corin saat memandang remaja itu. Dalam sekali pandang, entah bagaimana ia menebak identitas remaja ini. Oh, bukan hanya Corin. Bahkan semua orang yang melihatnya, entah bagaimana mengetahui identitas Remaja yang mendadak muncul di udara kosong.
Ketika pertanyaan Bungsu Weish terlontar memecahkan keheningan, Corin dapat merasakan jantungnya mencelos. Pertanyaan itu menohoknya. Bagaimanapun, ia adalah penyebab kedua anak kecil datang dan mengikuti mereka.Menatap wajah serius tetapi galak remaja yang sedikit lebih pendek, Corin menelan liur paksa. Jantungnya berdebar-debar tidak tenang. Panik sekali, membuatnya tanpa sadar menatap sekitar—mencoba mencari pertolongan. Bagaimana pun, harus ada yang menjelaskan. Namun sulung Yudhistira bukan orang yang tepat untuk buka suara.Lin menghela napas. Remaja itu tidak terpengaruh dengan tatapan mengintimidasi adiknya sendiri.“Kami menemukannya,” Lin menjawab jujur. “Di tengah hutan ... bila bukan karena mereka, Snow dan Rin akan mati.”“Mati?” Roni kali ini buka suara. Kat
Chapter 39: Pergi (I)Perjanjian Pedang Suci adalah sebuah perjanjian antara Penyihir dengan budaknya. Perjanjian yang terikat antara kedua jiwa, perjanjian yang memaksa untuk salah satu pihak untuk tunduk dan taat dengan pihak lainnya.Saat benar-benar mengetahui bahwa satu-satunya cara terbaik sekarang bukanlah memiliki cincin sihir tetapi melakukan Perjanjian Pedang Suci ... Corin sungguh tidak tahu harus mengatakan apa. Semua hal terasa sia-sia. Pada akhirnya, ia tetap akan didorong dan dipaksa untuk melakukan hal-hal yang tidak ingin dilakukannya kembali.“2 hari ... kita hanya punya waktu 2 hari .... ,” Corin bergumam kosong. Menatap meja makan begitu saja. Ia ... sungguh, tidak bisa memikirkan apapun kembali. Semuanya terasa tidak nyata. Terlebih eksekusi mati yang akan jatuh ke atas kepalanya.“Mereka pasti berbohong,” Edle mendengus. “Tujuan mereka adalah Kucing milik Kak Corin. Mereka tidak bi