Dayana masih terpaku melihat sosok yang berjarak 3 meter darinya. Wanita itu berdiri dengan wajah pucat. Dayana memalingkan wajahnya, seakan ia tak mau melihat sosok yang menjadi duri dalam rumah tangganya.
“Dayana,” lirihnya yang entah sejak kapan berada di belakang tubuh Dayana. “Dayana, aku ingin –“
“Mau apa? Gak perlu deh ganggu Dayana lagi, kamu itu sadar gak sih kalau sudah jadi pelakor!” Bukan itu bukan suara Dayana, melainkan suara Bella yang kini tengah berdiri dan menatap wanita di depannya tajam, aura peperangan yang ia tebarkan membuat suasana restaurant itu berubah menjadi tegang.
“Aku gak ada urusan sama kamu,” ujarnya datar.
“Iya memang, tetapi kamu sudah cari masalah sama Dayana yang artinya juga cari masalah sama aku. Aku gak akan biarin kamu nyakitin Dayana lagi! Apa sih kurangnya Dayana? Sampai kamu tega jadi duri di dalam
“Siapa yang tidak mengenal dia? Aidan terlalu sering mengenalkan wanita itu sebagai calon istrinya.” Dayana menoleh, menatap Sagara yang tengah fokus pada jalanan di depannya. “Calon istri?” “Sudah lupakan saja. Mau langsung pulang?” “Apa aku bisa mengajukan cerai? Dengan bukti visum?” Sagara menepikan mobilnya ia tahu pembicaraan kali ini terlalu serius. “Apa ada bukti cctv? Atau bukti lain?” Mendengar pertanyaan Sagara, Dayana pun menggeleng. Rumah yang ia tinggali tak tersedia cctv ia juga tak memiliki saksi mata lainnya. “Aku rasa akan sulit untuk menang jika hanya bukti visum. Bagaimana kalau alasan lain saja?” “Alasan lain?” tanya Dayana, Sagara pun mengangguk ia mengutarakan cara lain agar Dayana dapat terlepas dari jerat pria itu. Dayana mendengarkannya dengan seksama sesekali ia menunjukkan kerutan di kening sesekali ia tersenyum setuju. “Bagaimana?” tanya Sagara mengakhiri pemaparannya. “Bismillah.” Dayana mengangguk dengan senyum cerah. Ia harus bisa menjalankan misi
“Gue bisa memberimu uang? Atau saham diperusahaanku.”Sagara menatap Aidan datar. “Berapa persen?”“Berapapun yang Lu mau.”Sagara tampak berpikir sejenak ia lantas menyebutkan angka yang membuat Aidan membulatkan manik matanya. “Lu yakin?”“Terserah kalau mau ayo, gak ya gak masalah,” balas Sagara seraya menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.Di lain tempat, Dayana tengah mempersiapkan rumahnya ia mulai menata kamar dan ruang tamu mengingat besuk Bella dan Lala akan menginap di sana. Beruntung Dayana mendapatkan pesangon walau hanya separuh bagian. Dayana menggunakannya untuk membeli beberapa perabotan rumah seperti kasur tambahan, peralatan dapur dan juga fasilitas lain.Saat ini Dayana tengah menunggu pesanannya datang, ia memesan menggunakan market online yang terpercaya. Walau dengan sebela
Hari pun semakin larut, Dayana menyalakan laptop milik perusahaan baru tempatnya bekerja. Ia menyelesaikan bahan persentasi untuk meeting besuk pagi. Sebenarnya itu bukan tugas Dayana tetapi pemimpin divisinya meminta Dayana yang mengerjakan semua itu katanya sebagai salah satu test masa training. Dayana pun hanya bisa mengalah dan menerima tugas itu, beruntung ia tak terlalu bodoh untuk hal marketing karena dirinya pernah bekerja di divisi itu walau hanya beberapa bulan. Jam di dinding rumah Dayana menunjukkan pukul 9 malam, wanita dengan sebelah tangan terpasang gips itu sudah berulang kali menguap. Dayana berjalan menuju dapur ia berniat menyeduh secangkir kopi untuk menghilagkan rasa kantuknya, saat ia tengah menunggu air matang. Terdengar teriakan dari arah depan rumahnya. Sebelum melangkah keluar, Dayana menyempatkan diri untuk mengecilkan api dan meraih cardigannya. Ia membuka kunci rumah dan berjalan menuju pagar. “Iya pak.” “Permisi dengan Mba Dayana? Saya dari NextFood mau
“Setahu gue ini tempat umum, siapa saja bisa kan ke hotel ini? Dan bukan berarti gue janjian.” Sagara menjawab dengan tenang dan datar. Aidan menatap Sagara penuh selidik. “Permisi, Tuan Sagara sudah datang? Mari saya antar ke ruangannya,” ujar salah seorang pegawai hotel. “See?” ujar Sagara menatap Aidan datar. Pria itu lantas meninggalkan Aidan dan Dayana, ia mengikuti langkah kaki pegawai hotel menuju lift. Melihat Sagara pergi, Dayana pun hendak mengambil langkah. “Dayana, apa kamu sudah sarapan? Jika belum bagaimana jika kita sarap –“ “Sudah,” potong Dayana ia lantas berjalan menjauhi Aidan. “Dayana, kembalilah. Aku akan menghidupi seluruh kebutuhanmu, berhentilah bekerja.” Dayana berbalik, ia menatap dengan senyum meremehkan. “Apa? Coba ulang sekali lagi, Mas?” Aidan menatapnya sedih. “Ke mana ssaja mas selama ini? Baru sekarang mas minta ak
Aidan pun segera berlari menuju lobby hotel ia bahkan rela menuruni setiap anak tangga karena tak mau mengantri bersama pengguna lift lainnya. Butuh waktu lima menit untuk Aidan turun dari lantai 4 ke lantai dasar. Ia mengedarkan manik matanya mencari di mana mobinya terparkir, karena sebelumnya Aidan hanya memberikan kunci mobil pada Valet Parking. Setelah menemukan lokasi mobilnya, Aidan segera berjalan dan membuka akses mobil pria itu. Aidan segera masuk ke dalam mobil, ia memakai seat belt dan bergegas menyalakan mesinnya. Wajah tegas pria itu terlihat begitu panik, ia bahkan beberapa kali menerobos traffic light yang akan berganti menjadi warna merah. Pria itu tak lagi memikirkan keselamatannya, pikirannya justru tertuju pada wanita yang sedang di rawat di ugd. Tak sampai 30 menit dari waktu yang seharusnya, Aidan telah tiba di pelataran rumah sakit. Ia memarkirkan mobilnya asal setelah itu berlari menuju meja resepsionis. “Pasien atas nama Ashana yang baru saja masuk ke ugd. D
“Sagara? Kamu di sini? Eh masih di sini?” tanya Dayana bingung ia pun menjaga suaranya agar tak banyak yang mendengar ucapannya.Pria itu tersenyum tipis, lengan kekarnya menarik kursi kosong di samping kiri Dayana. “Iya, kebetulan memang hari ini aku menginap di hotel ini.”“Karena?”Sagara mengendikkan bahunya. “Sedang ingin saja.” Dayana mengangguk ia pun membuka bekal makanannya.Bekal sederhana dengan masakan rumahan itu tampak menggiurkan. “Kamu gak pesan makan?”Sagara memalingkan perhatiannya dari ponsel, ia menoleh menatap Dayana tepat di manik mata hazel wanita itu. “Masih kenyang, nasi goreng tadi lezat sekali.”“Sungguh. Kamu menyukainya?”Sagara mengangguk. “Apa kamu membuka cattering?”Kening Dayana berkerut,
“Kamu gila ya mas? Lagian kenapa harus bingung sih? Kamu ‘kan akan menikahiku 3 bulan lagi. Atau memang semua ucapan kamu itu palsu?” tanya Shana menyudutkan Aidan yang sedang dipenuhi amarah.“Ck, terserahlah.” Pria itu berjalan menuju pintu keluar kamar rawat Shana. Ia melangkahkan kaki menuju taman rumah sakit.Hatinya masih tak menerima kenyataan jika hubungan gelapnya dengan Shana berakhir serumit ini, belum lagi masalah harta warisan yang belum ia miliki sepenuhnya. Aidan menjatuhkan tubuhnya ke kursi taman, ia memejamkan mata seraya menengadahkan kepala ke arah langit.Saat sedang asyik dengan hembusan angin, ponsel pria itu berdering nyaring. Aidan mengeluarkan ponselnya dari dalam saku kemeja. Pria itu menggeser tombol hijau setelah itu ia menempelkan benda pipih berhargar puluhan juta itu ke telinganya. “Hallo,” sapa Aidan.“Selamat siang
“Tidak, ‘kan aku hanya bertanya. Aku sendiri tidak tahu kabar dia.”Bella menatapnya penuh selidik. “Sungguh? Kamu tak tahu beritanya? Atau kamu hanya pura-pura tidak mau tahu?”“Bukan begitu, aku sungguh tak tahu kebenarannya dan tak tahu apapun. Ah sudahlah tidak perlu dibahas.” Dayana pun mengalihkan perhatiannya dengan bermain ponsel. Ia membaca grup kerjanya dan membaca beberapa pesan yang masuk.Setelah perjalanan yang memakan waktu nyaris 20 menit itu, akhirnya mobil Bella berhenti di depan gerbang sebuah perusahaan dengan pagar khas berwarna hijau. Tak lama seorang wanita yang membawa paperbag datang mengetuk kaca mobil. Bella tersenyum, ia menurunkan kaca mobil dan membuka akses pintu mobil.Wanita muda itu masuk ke dalam. “Gila yah, di kantor viral banget ngomongin model yang diduga hamil,” gerutunya begitu duduk di jok mobil.
2 tahun kemudian“Lama banget sih Gar! Bini lo sudah jerit-jerit buk –““Berisik!” sahut Sagara berlari menuju pintu berkaca yang terdapat seorang wanita paruh baya tengah berdiri di sana. “Bu,” sapa Sagara mengecup punggung tangan ibu mertuanya.“Langsung masuk saja, Nak. Dayana sudah menunggumu.” Sagara mengangguk dan bergegas masuk bersama seorang perawat.Ia melihat seorang wanita tengah berbaring di atas ranjang dengan wajah penuh peluh. Pria itu segera melepas jasnya dan menggantikan dengan pakaian serba hijau. Ia mendekati wanita yang berbaring menatapnya dengan senyum dan mata yang sayu.“Sayang, maaf aku terlambat,” ujar Sagara penuh sesal. Pria itu bergerak mengusap kening Dayana yang banjir bulir keringat.Dayana hanya tersenyum lemah dan menggerakkan tangan
Hari terus berjalan, Aidan mulai mendengar kabar jika perusahaannya tengah didemo oleh karyawan yang tak kunjung mendapatkan gaji. Wajahnya terpampang di seluruh media massa, jika dulu ia diberitakan sebagai pengusaha termuda dan sukses, kini ia harus menerima kenyataan pahit jika pemberitaannya tentang kemunduran perusahaan serta kasus yang sedang dihadapinya.“Sepertinya aku tak punya pilihan lain,” ujar pria itu seraya menatap tisu yang tengah digenggamnya.Aidan segera bangkit dan memanggil petugas lapas. “Pak saya mau menghubungi pengacara saya.”Petugas lapas itu mengangguk dan membukakan pintu sel, ia lantas memerintah Aidan menggunakan telepon kantor dan tak boleh lebih dari sepuluh menit.Setelah menekan tuts angka pria itu segera meletakkan gagang telepon di telinganya. “Hallo, bisa kau datang ke mari?”“….”
“Ehh iya? Kenapa sayang?” tanya Sagara menyimpan ponselnya cepat.Dayana mengulas senyum dan mengusap bahu pria yang kemarin meminangnya. “Mas kenapa? Ada masalah?”Sagara membalas senyuman Dayana, ia merengkuh bahu istrinya lantas mengajak wanita itu masuk ke dalam rumah. Menapaki lantai granit menuju ke lantai dua, ia lantas menuntun sang Istri masuk ke dalam kamar utama yang sudah berganti nuansa berwarna peach.“Mas mau ngomong serius sama kamu.” Ucapan pria itu membuat detak jantung Dayana berhenti berdetak, ia bahkan kesulitan menelan salivanya sendiri. “Ini bukan tentang kita kok, bernapaslah sayang.”Dayana menghela napas hingga bahunya bergerak turun. Sagara tertawa kecil melihat sikap istrinya yang terlihat menggemaskan. Ia melepas dekapannya dan berlutut di depan sang Istri yang duduk di tepi ranjang.“Sayang, maaf
“Mas aku yakin!” ujar Dayana dengan penuh keyakinan. Ia memberanikan diri untuk menyerahkan segenap dirinya pada pria yang meminangnya hari kemarin. Sagara hanya tersenyum, ia kembali mengecup bibir Dayana dengan lembut dan penuh kasih sayang. Satu persatu pakaian wanita itu mulai terlucuti begitu juga dengan sarung yang dipakai Sagara. Di pagi yang indah nan cerah itu, sepasang suami istri menunaikan nafkah batin. Suara desahan dan lenguhan tertahan menggema ke seluruh penjuru kamar, tanpa paksaan namun penuh dengan cinta dan kasih sayang. “Aaahh‼” lenguh panjang keduanya menandakan jika mereka sudah mencapai puncak kenikmatan. Tepat pukul 7 pagi, sepasang pengantin yang baru saja menunaikan nafkah batin itu selesai membasuh diri di dalam kamar mandi. Seperti pasangan pengantin sewajarnya, merkea masih asik menikmati hari-hari setelah melepas status lajangnya. Dayana dan Sagara menapaki anak tangga turun menuju ke ruang keluarga. Di sana ternyata masih ramai berkumpul keluarga Day
“Insya allah mas, aku pengin dia bertanggung jawab dan tahu konsekuensinya. Kalau dia terus menerus bebas dan ditolong mungkin ke depannya dia akan melakukan hal yang sama lagi, bahkan mungkin lebih parah.”Sagara mengangguk, ia lantas merengkuh tubuh istrinya. “Sudah sah, ‘kan?”Dayana tersenyum dan membalas pelukan hangat sang Suami. “Mandi mas, sudah mau malam. Gak bagus buat kesehatan loh.” Dayana menguraikan dekapannya dan bergerak mendekati almari pakaian.Sagara tertawa dan berjalan menuju kamar mandi dengan membawa sebuah handuk. Tak lama, Dayana mulai mendengar suara gemercik air yang berpadu dengan aroma sabun khas dirinya.Dayana bergegas mengganti pakaian tidurnya, ia terlihat gelisah di atas kasur. Duh kenapa jadi kepikiran malam pertama sih, lirih Dayana dalam hati seraya memikirkan cara untuk menghindar dari kegiatan malam pertama.Dayana pun bergegas membaringkan tubuhnya di atas kasur dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebal. Dayana mencoba memejamkan mata ra
“Datang‼! Pak Sagara datang‼” pekik Diyas yang mengintip dari jendela kamar Dayana.“Alhamdullillah,” ujar mereka menghela napas lega. Dayana memejamkan mata seraya mengucap syukur dan berterima kasih karena pria itu benar-benar membuktikan ucapannya.Dayana berdiri, ia merapikan pakaian dan melihat sekali lagi wajahnya. Terdengar bunyi ketukan di pintu kamar wanita itu. “Mba, mari turun,” ujar seorang wanita paruh baya yang biasa disebut sebagai dukun manten alias orang yang memang mengerti tata cara pernikahan adat jawa.Dayana turun dibantu Lala dan Bella di samping kanan kiri, sedangkan di depannya berjalan ibu Dayana didampingi Diyas dan Nabila, di barisan paling depan Rai dan Rara berjalan membawa buket bunga. Seluruh pandangan tamu undangan menatap Dayana dengan sorot kagum.Riasan dan tata rambutnya membuat dirinya terlihat berbeda, dibalut dengan kebaya hitam berbahan beludru menambah kecantikan dan pesona wanita itu. Langkahnya berhenti di depan meja akad, ia lantas berdiri
Aidan semakin tak berkutik, ia memikirkan jawaban apa yang sekiranya tak memberatkan posisinya. “Ganeswari Rahayu, putri dari Brahma Setyawijaya. Apa anda mengenalnya?”“Iya saya mengenalnya.”“Apa hubungan anda dengan korban?” tanya petugas itu lagi.Aidan berpikir sejenak lantas mengatakan, “Kami pernah menjalin hubungan saat Sma dulu, setelah itu kami berpisah.”“Kapan terakhir kali anda bertemy dengan Korban?”“Pagi tadi.” Petugas yang sedang mengetik di laptop pun menganggukkan kepala. “Maaf kalau boleh tahu apa kaitannya ya?”“Ganeswari Rahayu hilang sejak pagi tadi, pihak keluarga sudah mencoba menghubunginya tetapi ponsel korban tidak aktif. Beberapa jam yang lalu, petugas menemukan mobil korban di tepi jurang.”“Jurang?”
“Aku itu gak kenal sama Mba Dayana, cuman salah satu teman kosku satu kerjaan dengan Mba Dayana, ya aku tahu cerita itu dari dia. Sudah malah bahas Mba Dayana, ayo mas makan,” bujuk Tasha dengan nada manja dan menarik lengan Aidan menggeretnya ke arah meja makan.Aidan pun duduk di kursi makan, wanita berusia 20an tahun itu bergerak menyendokkan nasi dan lauk pauk ke dalam sebuah piring. Aroma makanan yang lezat menggoda Aidan. Mirip masakan Dayana, batin pria itu. Dari aroma yang ia hirup Aidan tentu sudah tahu jika masakan wanita itu memang mirip dengan masakan Dayana yang tak pernah ia sentuh. “Mas kok melamun?” tanya Tasha duduk di kursi depannya.“Ah tidak.” Pria itu bergegas menyuapkan sendok demi sendok ke dalam mulutnya. Mereka berdua menikmati makan siangnya dengan hening hanya suara denting sendok dan garpu yang beradu mengisi rumah berukuran besar itu.Tingg nongg … tingg nonggg!Tak lama Mang Ujang masuk ke dalam rumah dan menghampiri Aidan dari arah belakang. “Siapa Pak?
“Meminta maaf mungkin, meminta maaf bukan berarti kita kalah kok Mas, hal itu justru menunjukkan jika kita jauh lebih baik dari ia.” Aidan terdiam mendengar usulannya. “Mas gengsi gak selamanya baik kok.”“Tidurlah, hari sudah malam,” ujar Aidan tak menanggapi usulan Tasha, ia merapatkan tubuhnya pada wanita itu dan mendekapnya erat-erat.Kicau burung dan sinar matahari menghiasi pagi di sebuah komplek, Dayana sudah bangun sejak subuh tadi. Ia sibuk membantu persiapan pengajian 100 hari mendiang ayahnya dan juga pengajian menyambut hari h pernikahannya yang akan diadakan besuk siang.“Mba gak usah capek-capek, biar ibu saja. Ini ‘kan sudah banyak bantuan. Kamu istirahat saja nggih.” Dayana mengangguk dan berjalan menuju ruang keluarga, ia melihat beberapa souvernir belum selesai dikemas. Wanita itu bergerak mengemasi souvernir untuk pengajian esok.Saat sedang asyik mengemasi souvernir terdengar bunyi klakson di depan rumahnya, Dayana pun bangkit dari posisinya berjalan ke arah teras