"Kok aku tadi malam gak pulang ke rumah Hanin?"
Aku menoleh. Mas Riky sedang mendumal sendirian. "Lupa ingatan kali kamu. Kamu ketiduran tadi malam."Mas Riky bersungut-sungut. Dia tampak sebal sekali. Berjalan meninggalkan dapur. "Ma, Papa mana?" "Udah kerja kayaknya, Sayang. Kamu duduk sini, sarapan." Adel mengangguk. Berjalan ke arahku. "Nanti Mama mau pergi lagi?" Aku terdiam mendengar pertanyaan Adel. Sebelum kasus perselingkuhan Mas Riky ini, aku memang jarang sekali keluar rumah. "Iya. Ada urusan sebentar. Nanti, Adel bareng Oma aja. Mama anterin nanti."Buru-buru aku mengambilkan Adel sarapan. Agar dia tidak banyak bertanya lagi. "Mama lagi ada masalah, ya? Atau berantem sama Papa?"Mendengar pertanyaan Adel, aku sedikit tersentak. Menggigit bibir, berusaha mencari jawaban yang tepat. "Enggak. Mama sama Papa lagi sibuk aja. Gak ada masalah apa-apa, kok."Adel masih menatapku tidak percaya. Dia mengambil piring yang aku sodorkan. Gantian aku menatap Adel. Anak perempuanku sudah dewasa. Ah, aku bingung kalau disuruh menjelaskan pada Adel. Tak henti aku menatap Adel yang sangat mirip dengan Mas Riky. Bibirnya, hidungnya. Aku sudah seperti melihat Mas Riky. Kalau bukan karena fisik Adel yang sedikit lemah, aku akan memberitahukan semuanya pada anakku ini. Sayang, itu tidak mungkin.Ah, maafkan Mama, Nak. ***Aku akan mengantarkan Adel dulu ke rumah Mama. Sebelum menemui Mama Mas Riky. "Assalammualaikum, Ma."Adel langsung salim pada Mama. "Waalaikumsalam. Adel, udah pulang kemping? Oma kangen banget.""Ma, aku mau nitipin Adel sebentar."Mama melepaskan pelukan dari Adel. Menatapku serius. "Mau kemana?" tanya Mama."Iya, Mama sering pergi terus akhir-akhir ini, Oma. Gak ada waktu buat Adel."Aku tersenyum, menyamakan tinggi dengan Adel. Dia masih kecil, masih belum paham soal masalah Mama dan Papanya. "Ada urusan sebentar, Ma."Di akhir kata, aku mengedipkan mata. Mengirim kode pada Mama. "Oke. Adel sama Oma dulu sebentar, ya. Mama ada urusan."Adel langsung cemberut. Dia kalah olehku dan Mama. Sebelum pergi, aku mencium kening Adel terlebih dahulu. Baru masuk kembali ke dalam mobil. Aku menghubungi Mama Mas Riky saat di perjalanan. "Assalammualaikum, Ma.""Waalaikumsalam. Ada apa, Ria?"Aduh, Mama Mas Riky sepertinya lupa dengan masalahku dan anaknya. "Mama ada di rumah? Ria mau ke rumah, nih.""Ada. Kamu kesini aja, kebetulan Mama lagi masak enak."Aku menganggukkan kepala. Berbicara beberapa kata lagi pada Mama, baru kemudian mematikan telepon. ***Mobil masuk ke halaman rumah Mama Mas Riky. Aku memarkirkan mobil. "Ria, apa kabar?""Sehat, Ma."Kami masuk ke dalam rumah. Aku menatap sekitar, lumayan sepi."Papa mana, Ma?" "Biasa, kerja."Oh. Aku mengangguk-angguk."Nah, kamu mau bicarain apa, nih?"Aku menghela napas pelan. Sedang menyiapkan kata-kata. "Ini soal Mas Riky yang berselingkuh, Ma."Mama tersenyum tipis. Seperti sudah menebak apa yang akan aku bicarakan."Kamu tenang aja. Soal warisan ini, nanti akan Mama sama Papa berikan ke Adel. Tidak akan Mama sama Papa berikan ke Riky."Mendengar itu, senyumku merekah. "Nah, untuk fasilitas, Mama sama Papa udah sepakat untuk menghentikan semuanya. Jadi, Riky gak akan bergantung lagi sama Mama juga Papa."Ah, ingin rasanya aku memeluk Mama dan Papa Mas Riky. Benar-benar mengerti soal kondisi sekarang. "Jujur, Mama juga kecewa dengan Riky. Bisa-bisanya dia selingkuhin kamu. Pokoknya, kamu tenang aja."Mama mengajak makan setelah itu. Aku akhirnya bisa menghela napas lega sekarang. Mas Riky sudah tidak mempunyai apa pun. Dia harus bekerja keras sendiri. Kita lihat saja, sampai kapan Mas Riky akan bertahan. Memamerkan kekayaannya yang perlahan akan habis. "Kenapa Adel gak diajak kesini, Ria?""Lumayan jauh, Ma, perjalannya. Takut Adel sakit nanti."Mama menganggukkan kepala. "Coba Mama punya cucu laki-laki dari kamu. Pasti, Mama lebih bahagia lagi."Mendengar itu, aku menoleh ke Mama Mas Riky. Entahlah, aku merasa ada sesuatu di nada bicara Mama mertuaku. "Aku ke kamar mandi dulu, Ma."Mama mertuaku mengangguk. Mengizinkan. Tidak. Aku bukan ingin ke kamar mandi. Ada sesuatu yang ingin aku pastikan. Pandanganku terhenti ke arah ruang kamar Mama Mas Riky. Baiklah, saatnya mengecek semuanya. Pelan sekali aku membuka pintu kamar. Tidak ada siapa-siapa di sekitar sini. Tubuhku membeku melihat lukisan yang ada di dinding kamar. Aku menahan napas. Foto keluarga. Hanya saja, di samping Mas Riky bukan aku. Tetapi Hanin!***Jangan lupa like dan komen, yaa."Kamu ngapain di kamar Mama? Bukannya mau ke kamar mandi, ya?"Aku menoleh, menatap Mama mertua yang tampak panik sendiri. Mama Mas Riky langsung menutup pintu kamar. Menatapku sambil berkacak pinggang. "Gak sopan kamu itu masuk ke dalam kamar Mama. Pantas saja Riky suka sama wanita lain."Mendengar itu, aku tertawa pelan. Orang yang aku kira baik dari keluarga Mas Riky, ternyata jahat. Ah, sedikit menyakitkan dari kenyataan ini. "Ngapain ketawa-tawa? Riky memang gak pantas sama kamu lagi.""Riky yang gak pantas sama saya, Bu. Lalu Ibu? Dengan entengnya, Ibu membela saya di depan mata saya sendiri. Mengkhianati di belakang. Wow. Benar-benar keluarga yang kompak."Tidak ada lagi panggilan Mama untuk wanita di hadapanku ini. Mama Mas Riky tampak terkejut mendengar perkataanku barusan. "Saya memang diduakan, Bu. Saya dikhianati oleh anak Ibu. Tapi saya tidak bodoh."Aku membuka pintu kamar Mama Mas Riky. "Dengan senyum bahagia berdiri. Ah, saya tahu. Wanita itu telah memberikan Ib
"Mama mau pergi lagi?" tanya Adel ketika melihatku mengambil tas."Sebentar doang, Sayang. Kamu langsung makan, ya."Aku mencium kening Adel sebelum pergi. Aku ingin memastikan kebenaran anaknya Hanin. Sampai di rumah sakit, aku langsung turun. Ini rumah sakit yang dibilang tetangga tadi. Setelah bertanya pada suster, aku langsung berjalan ke ruangan anaknya Hanin. "Ngapain kamu disini?"Eh? Aku menoleh. Mendapati Mas Riky yang melihatku heran. "Mas sendiri ngapain?" "Anakku sakit. Mana Adel?"Ah, aku punya ide bagus. Tanpa harus bertanya pada Hanin sendirian. "Jawab dulu, anak kamu sakit apa?"Demi mengecek semuanya, aku harus bertanya pada Mas Riky. Ini benar-benar menyebalkan. "Cuma demam. Mana Adel?" Kelihatan sekali, Mas Riky saya pada Adel. Berkali-kali dia bertanya mengenai Adel. "Di rumah. Yaudah, aku duluan."Aku berlalu dari hadapan Mas Riky. Tidak ke pintu keluar, tapi muter-muter dulu. Ini rumah sakit yang sama dengan aku melakukan tes DNA. Aku melirik ruangan la
"Mas Riky udah pergi, ya, Bi?" tanyaku sambil membuka pintu kamar pembantuku. "Udah, Bu. Barusan saja tadi."Aku mengangguk-anggukkan kepala. Kembali menutup pintu kamar Bibi. Dengan langkah pelan, aku menuju kamar Adel. Menatap anak perempuanku itu. Dia sudah tidur. Aku mengulas senyum. Berjalan mendekat. "Adel apa kabar?" tanyaku pelan. Akhir-akhir ini, aku jarang sekali memperhatikan Adel. Terlalu sibuk mengurus urusan rumah tanggaku. Lupa, kalau Adel juga butuh kasih sayang. Aku mengusap kepala Adel. Mencium keningnya. "Gimana sekolah, Adel? Maaf, ya, Mama baru bisa sapa Adel sekarang. Baru bisa tanya kabar Adel sekarang."Maaf, Adel. Mama sudah tidak bisa lagi mempertahankan keluarga kita. Mama sudah memutuskan untuk berpisah dari Papa. Mataku sudah berkaca-kaca. Menggigit bibir, berusaha agar tidak menangis. "Mama sayang sama Adel. Selalu."***Aku menelepon Mas Riky. Tidak diangkat. Rencananya, hari ini aku akan memperlihatkan hasil rekaman CCTV di restoran. Kalau foto
"Hasil yang menarik."Aku menyunggingkan senyum. Menyimpan kertas hasil laboratorium itu ke dalam tas."Makasih, Pak. Saya permisi."Tanpa menoleh ke dokter yang menyebalkan itu, aku langsung keluar dari ruang laboratorium."Eh, tunggu."Baru saja satu langkah keluar dari ruangan. Aku sudah dipanggil lagi. Mau apa, sih, dokter ini?"Nama saya Putra. Semoga kita bisa bertemu kembali di masa depan."Dia mengulurkan tangan. Mengajakku untuk bersalaman. Beberapa detik aku menatap tangannya, aku langsung pergi begitu saja. Tidak peduli.Di dalam mobil, aku kembali menatap hasil tes DNA. Hasilnya adalah negatif. Struktur DNA 98% struktur berbeda.Benar dugaanku. Bayi itu bukan anak Mas Riky. Hanin hanya memanfaatkan Mas Riky saja."Kalian sama-sama kura
"Apa ini, Ria?" tanya Mama Mas Riky sambil menatapku."Sesuatu, Ma. Bisa dilihat dulu."Meskipun sedang kesal pada anaknya, Mama Mas Riky tetap mengangguk. Dia berjalan masuk ke dalam rumah."Apa itu isinya?" tanya Mas Riky sambil menghadangku.Aku mengangkat bahu. Pura-pura tidak peduli dengan pertanyaan Mas Riky barusan."Kamu mau lihat isinya apa, Mas? Yaudah, kita lihat di dalam nanti.""Awas aja kalo di dalamnya isinya aneh-aneh."Mas Riky langsung masuk, mengabaikanku yang masih berdiri di depan pintu."Betul kata Mas Riky. Kalau kamu aneh-aneh, aku gak akan pernah memaafkan kamu."Hanin berkacak pinggang di depanku. Menatap kesal."Lihatlah, dia yang membuat masalah duluan, dia yang mengancam."Mama tertawa pelan.
"Tapi, Mas—"Mas Riky tidak peduli. Dia tetap menyeret Hanin dan bayinya keluar dari rumah. Aku dan Mama ikut ke depan. Memperhatikan Mas Riky yang memarahi Hanin. Pria itu bilang dia menyesal sekali sudah menikahi Hanin. Namun, sampai di depan rumah, terdengar suara piring dan gelas jatuh. Mas Riky meninggalkan Hanin sendirian, berlari masuk ke dalam rumah. "Semuanya gara-gara kamu, Ria! Awas aja kamu!"Hanin mengusap pipinya. Dia terlihat kacau sekali. "Salah kamu sendiri. Jangan pernah menyalahkan orang lain. Karena pada intinya, semua rahasia akan terbongkar."Ah, senang sekali melihat Hanin seperti ini. Juga Mas Riky yang terlihat kecewa sekali. "Cucu laki-lakiku. Jangan pergi."Eh? Aku mengernyit menatap Mama mertua yang berlari memeluk bayi Hanin. Apa yang terjadi? Rambut Mama Mas Riky juga terlihat kacau sekali. Dia meraung-raung. Membuat Hanin kebingungan sendiri. Hanin tidak mau menyerahkan bayinya. Dia menoleh ke Mas Riky, kebingungan. "Cucuku. Jangan pergi, Sayang
"Kembali lagi saja dengan Riky. Aku mengalah untuk kamu."Penuh drama. Aku benar-benar muak melihatnya."Mau kalian memaksaku dengan harta, tidak akan pernah."Aku tersenyum tipis. Mengambil amplop di dalam tas. Kemudian menyodorkannya ke Mas Riky."Silakan datang ke sidang perceraian kita, Mas."Setelah mengatakan itu, aku beranjak. Tersenyum tipis ketika melihat wajah mereka yang kebingungan."Kamu serius menceraikanku, Ria?""Lalu, kamu bilang aku ini bercanda? Kamu bilang aku ini hanya menggertakmu? Kamu akan bilang aku masih berharap? Ah, tidak Mas."Aku meletakkan uang berwarna merah. "Lain kali, kamu ingat, Mas. Aku tidak pernah bermain-main dalam perkataan. Bukan kamu, labil."Setelah itu, aku berjalan pergi. Menunggu Mama di dalam mobil."Bagus, Sayang. Mama suka sama gaya kamu."Mobil mulai meninggalkan rumah makan. Aku mengembuskan napas pelan. Menyenderkan punggung ke sandaran kursi."Mamanya Mas Riky sakit jiwa, Ma.""Eh? Serius? Gara-gara cucu?"Aku mengangguk kecil."Ma
"Gak tahu malu. Kalo saya jadi Bu Ria, udah saya tendang orang kayak gitu sampai ke luar angkasa.""Eh, Ibu-ibu jangan banyak nyinyir, ya. Berita itu semua bohong. Dia cuma nyari pembelaan aja."Aku menatap tajam Hanin. Kalau ini buka di luar, sudah aku terkam dia. "Bohong gimana ceritanya, Bu Hanin? Setiap malam, saya itu lihat istrinya Bu Ria masuk ke rumah Bu Hanin. Jadi perempuan kok gitu."Untung saja Ibu-ibu perumahan tidak percaya dengan perkataan Hanin. "Ih, bukan saya yang rebut, Pak Riky yang mau sama saya. Ibu-ibu jangan bicara kayak gitu, dong."Hanin balik kanan. Dia sepertinya sudah kesal menanggapi perkataan ibu-ibu perumahan. "Ternyata, Bu Hanin selain perebut, juga penakut."Aku menggelengkan kepala. Tersenyum tipis. Benar-benar solidaritas tanpa batas. ***Ada yang mengetuk pintu rumah. Aku berdiri. Adel sedang makan malam. Entah siapa yang bertamu jam segini. "Mana Adel, Ria?" Aku menatap Mas Riky datar. Di belakangnya ada Hanin. Mereka sudah terang-terangan r
POV Hanin. ***"Mas, kayaknya aku udah telat satu bulan, deh."Mas Riky yang sedang memeras kelapa langsung menoleh. Matanya melebar, dia seolah tidak percaya dengan perkataanku barusan. "Serius? Mau periksa sekarang? Biar aku beliin alat tesnya." Dia langsung berdiri, membuatku tersenyum. Ikut duduk di lantai. "Gak harus sekarang. Siapa yang nyuruh? Selesaiin marut kelapa dulu. Nanti, kita beli bareng-bareng."Senyum Mas Riky mengembang. Dia mengangguk mantap, buru-buru melakukan tugasnya kembali. Beberapa hari yang lalu, Ria dan Putra sudah pamit. Aku selalu mendoakannya agar cepat hamil. Doa yang sama untukku, aku berharap agar cepat memberikan keturunan pada Mas Riky. Jujur saja, rasa bersalah itu masih ada di hati dan pikiranku. Di mana Mas Riky harus kehilangan anak kami. Ya, bayi itu sebenarnya bukan anak Mas Riky, tapi dia tetap menyayangi sepenuh hati. Tidak peduli dengan omongan orang. "Aku aja yang masak. Kamu istirahat."Aku menggigit bibir, ketika melihat Mas Riky
POV Riky"Aku capek gini terus, Mas. Aku mau pisah aja dari kamu!"Bagaikan petir di siang bolong, aku melotot, menatap Hanin. Mulutnya benar-benar tidak bisa dikontrol."Jangan bicara sembarangan, Hanin! Mas gak suka!"Setiap hari kami mempermasalahkan ini. Aku pusing membahasnya. Tidakkah ada yang lain?Apalagi bayi kami sedang di rumah sakit. Butuh biaya banyak. Aku mengusap dagu, pusing dengan omelan Hanin setiap hari. Pembicaraan kami berakhir dengan Hanin yang pergi dari rumah. Aku mengembuskan napas pelan. "Kamu itu kenapa lagi sama Hanin? Berantem terus, gak pernah mau ngalah satu orang.""Kenapa, Ma? Mama yang gak mau minjamin uang ke aku."Ya, Mama tidak pernah mau meminjamkan uangnya. Padahal, aku sedang butuh sekali. Benar-benar menyebalkan. "Loh, kok jadi Mama yang disalahin? Kamu itu yang gimana. Gak becus jadi suami."Tanpa pamit, aku menutup telepon. Pusing berbicara dengan Mama. Sebenarnya, ini salahku. Memilih untuk hidup dengan Hanin, sepertinya adalah pilihan y
"Mas, kita ke tempat Hanin sama Riky lagi, yuk. Main ke rumah mereka."Mas Putra yang baru saja duduk di pinggir tempat tidur menoleh. Ini bulan madu kami hari kedua. Hamir memasuki siang hari. "Besok-besok aja, Sayang. Masa selama kita bulan madu ke sana terus, sih? Gak ada waktu berdua, dong.""Ya, gak gitu juga, Mas. Tapi kita bisa mengenal kembali Hanin dan Riky. Ini kesempatan emas, lho, Mas, untuk berbuat kebaikan ama orang lain."Suamiku itu tidak menanggapi. Dia memilih untuk tiduran, memeluk guling. Tidak menanggapi perkataanku. Tidak biasanya. Mas Putra malas-malasan begini. Apalagi, ini menyangkut masa laluku. Aku mengembuskan napas pelan. Mungkin, Mas Putra sedang lelah. Baiklah, tidak perlu memaksanya. "Kamu kayak gitu bukan karena masih sayang sama Riky lagi, 'kan?"Eh? Langkahku terhenti mendengar pertanyaan Mas Putra. Batal sudah aku mau ke kamar mandi sekarang. Aku tersenyum, jadi ini alasan dia malas-malasan?"Kamu tau, Mas. Meskipun ada orang yang lebih ganteng,
"Sayang! Kamu ngapain, sih, lama banget. Nanti ketinggalan pesawat, lho." Aku sejak tadi berteriak, menyuruh Mas Putra cepat-cepat. Dia mandi saja lama sekali. Tanganku cekatan memasukkan barang-barang Mas Putra ke dalam tas. "Santai, Sayang. Kalau telat, kita booking lagi." Dasar. Dia sukanya menghamburkan uang. Kalau bisa, aku cubit dia sekarang. Terdengar ketukan pintu di depan. Aku menyuruh Mas Putra membukakan, tapi dia malah tiduran di kasur. Seperti tidak peduli. "Buka pintunya sana." Aku memukul kaki Mas Putra pelan. Dia nyengir, kemudian beranjak."Aduh, menantu Mama yang cantik ini lagi siap-siap, ya. Kalian kayaknya heboh dari tadi."Aku tersenyum menoleh ke arah Mamanya Mas Putra. Hari ini, kami akan bulan madu ke Bali. Aku sudah menentukan tempatnya. Mas Putra hanya mengangguk-angguk setuju. Lalu menghubungi pihak sana. "Udah selesai, Mas."Mas Putra mengangguk. Dia membawakan beberapa koper ke depan. Saat perjalanan ke bandara, aku teringat sesuatu. Aduh, lupa dib
"Nih, siap-siap." Eh? Aku yang sedang melipat pakaian langsung menoleh, mataku tak lepas menatap kotak berwarna biru yang diletakkan Bang Ridwan di atas kasur. Bang Ridwan mengambilkan handuk, melemparnya padaku. Dia mau ngapain, sih? "Cepetan mandi. Pakai gaun yang ada di dalam kotak ini, terus dandan. Keluar kamar. Oke?" Aku tidak menanggapi, kembali sibuk dengan pakaian. Memangnya mau kemana, sih? Pakai gaun segala. Aneh banget. "Kamu denger, gak, Ria?" Bang Ridwan melemparku dengan tutup kotak. Untung tidak kena. Aku melotot padanya, mengusap lengan yang kemerahan. "Nyebelin banget, sih. Memangnya mau ngapain lagi? Males banget disuruh-suruh." "Cepat mandi. Jam tujuh harus udah selesai." Pandanganku berpindah ke jam weker. Sudah pukul setengah tujuh malam. Aku langsung melotot. "Kok Abang nyebelin banget, sih?!" Saat aku menoleh kembali, Bang Ridwan sudah tidak ada. Aku mendengkus pelan, sebal dengannya. *** Selesai berdandan, aku keluar dari kamar. Terdengar sua
"Heh, udah nyampe. Malah tidur lagi. Keenakan banget kayaknya tidur di mobil ini."Aku mengerjapkan mata. Hampir berteriak, ketika melihat wajah Putra dari dekat. Kenapa dia dekat sekali, sih? Aku memundurkan wajahnya dengan telunjuk."Udah sampai rumah, ya?""Belum. Kita sampai di rumah makan. Cepetan turun, ini udah malam. Aku mau pulang, tidur. Capek.""Kok tega banget nurunin di rumah makan, sih? Aku mau pulang, cepet turunin.""Ini orang buat emosi terus kayaknya. Turun gak? Ini udah di rumah kamu. Sana."Aku mengernyit. Putra tahu darimana rumahku? Setelah nyawaku terkumpul semua dan kantuk ini hilang. Ternyata memang benar, sudah sampai di rumahku."Kamu tahu darimana rumahku?" tanyaku di kaca mobil yang terbuka.Putra melirikku. "Sejak kamu pindah aku udah tahu. Mau kamu pergi ke ujung dunia juga, aku tahu alamat lengkap kamu."Wajahku memerah mendengarnya. Putra langsung mengendarai mobil, meninggalkanku sendiri.Entah perasaan apa ini. Aku seperti merasa ada yang berbeda."L
"Calon istri Putra, kenapa manggilnya saya, Pak?" Aku tertawa kecil. "Bapak salah orang, nih."Masa aku harus ikut menilai calon istrinya Putra. Apa-apaan ini? Aku tidak terima sama sekali, apalagi ada banyak orang. Ada Mama dan Papa Putra juga. Baru saja bertemu, sudah menyebalkan. Putra menatapku aneh, kemudian terdengar tawa. Kali ini, aku menatap keluarga Putra aneh. Mereka baru saja tertawa. Ada apa? "Calon istrimu benar-benar lucu, Put. Gemes Mama jadinya."Eh? Aku mengerjap-ngerjap. Aku? Calon istri Putra? "Jangan terlalu tegang, Ria. Tante sama Om cuma mau kenalan sama kamu, biar kita semakin dekat. Ah, atau kita mau sekalian bicarain pernikahan kalian?"Aku menggigit bibir, masih belum mengerti dengan makan malam ini. Putra mendekatkan kepalanya ke telingaku. "Iyain aja, biar cepat. Kamu mau kejebak terus-terusan di sini?"Tentu saja tidak mau. Putra kembali menjauh dariku. Kalau saja ini bukan restoran atau tempat umum, sudah pasti aku menimpuk Putra. Kami baru ketemu sa
"Terus, mau cari rumah dimana?" tanya Bang Ridwan sambil menahan tanganku. "Terserah cari dimana, yang penting gak di sini atau di dekat sini." Aku langsung menarik tangan Bang Ridwan. Kami meninggalkan tempat ini. Huh, dasar si Putra. Datang-datang, menyebalkannya kembali. Bang Ridwan menyetir mobil, sesekali dia tersenyum jahil. "Kamu beneran marah sama si Putra?" Pertanyaannya itu tidak aku jawab. Kalau dia tahu, kenapa pakai bertanya? Kayaknya, Bang Ridwan juga ketularan menyebalkan. "Kamu sebenarnya mau beli rumah itu, gak, Ri?" Sebenarnya iya, tapi kalau sudah dibeli oleh Putra, untuk apa lagi? Mendingan cari rumah baru, deh."Pengen, suka banget sama desainnya, Bang. Tapi gak jadi, deh. Gak pengen lagi.""Oh." Bang Ridwan mengangguk, tapi matanya terus menatapku jahil. Ada apa dengannya, sih? Kenapa dia seolah-olah menggodaku barusan? ***"Adel! Bangun! Siang.""Iya, Ma. Ini udah, kok. Adel langsung berangkat ke kampus aja. Udah telat."Eh? Aku menatapnya aneh. Tidak bi
"Gak semua orang yang membantu kamu bisa dibilang baik, Nin. Semoga kamu dan Riky dikasih kesabaran, ya."Pandanganku teralih ke Mamanya Mas Riky yang sedang menangis sendirian di pojok ruangan. Aku menghela napas pelan. "Aku ke tempat Mama dulu, ya. Abang di sini aja." Bang Ridwan mengangguk. Meskipun masih ada tatapan kebencian di mata Abangku itu, tapi dia tidak mau membuat gaduh. Itu yang aku suka dari Bang Ridwan. Langkahku terhenti di depan Mama Mas Riky. Aku menghela napas pelan, kemudia duduk di karpet. Menatap orang yang pernah menjadi mertuaku ini. Setelah diam beberapa detik, aku akhirnya mengangkat tangan, mengusap lengan Mamanya Mas Riky. Awalnya, Mama Mas Riky menunduk, sibuk mengusap air mata. Kemudian dia mengangkat wajah. Menatapku. "Ri—Ria."Terdengar histeris. Aku mengerjapkan mata, ketika Mama Mas Riky memelukku. Sama terkejutnya ketika Hanin memelukku tadi. Ini benar-benar di luar dugaan. Beberapa tetangga yang baru masuk langsung menoleh ke kami. Aku menge