Pov NinaIni adalah hari yang paling membahagiakan. Tak ada yang paling membuatku tersenyum selain hari ini. Bang Ashraf melamarku, bahkan akan menikahiku 1 bulan lagi sesuai dengan perjanjian para tetua. Aku tak pernah membayangkan akan menikah dengan lelaki yang dulu sangat aku cintai. Meskipun Mas Ahmad masih menjadi lelaki yang menempati posisi tersendiri di hati ini, hadirnya Bang Ashraf dengan janji janji manisnya, aku pun semakin yakin akan serius dalam jenjang yang lebih serius.“Abang harap ini adalah pernikah terakhirmu, Dek. Abang ingin kamu jaga diri dengan baik selama ikut suamimu nanti. Abang lihat calon mertuamu hanya yang laki laki saja yang respek, selebihnya semoga tak seperti yang Abang pikirkan,” ucap Bang Cakra.“Iya, Bang. Nina yakin, diawali dengan doa keluarga Nina ini, Nina bisa menemukan kebahagiaan lagi setelah ditinggal pergi Mas Ahmad. Ini semua tak luput dari restu dan dukungan Abang dan Ibu, makasih Abang.”Aku memeluk Bang Cakra, meneteskan air mata bah
"Abang sudah janji akan cerita sama Nina tentang masalah yang terjadi, kan? Nina janji nggak bakalan kepikiran dan nggak bakalan merubah apapun yang sudah diputuskan kemarin. Nina sayang Abang, makanya Nina ingin abang berbagi masalah yang terjadi saat ini agar kita bisa mencari solusi nya sama sama," ucapku.Bang Ashraf menatapku lalu menatap ke arah jalan. "Mama sakit," ucap Bang Ashraf membuatku kaget. "Innalillahi, sakit apa, Bang?""Mama itu punya riwayat penyakit darah tinggi dan kemarin sempat ada pertengkaran antara Papa dan Mama. Jadi Mama sempet drop dan akhirnya dilarikan ke rumah sakit. Mama bilang kalau pernikahan ini tidak usah dilanjutkan tetapi Papa mengatakan lebih baik dilanjut kan saja meski tanpa mama. Papa yakin semuanya akan baik-baik saja meskipun tetap saja sebagai seorang anak perasaan tidak tega untuk menjadi sandungan. Apa kamu tidak keberatan jika nanti di acara resepsi tidak ada mamaku?" tanya Bang Ashraf menatapku sedih."Bang, kalau memang pernikahan
"Mbak, Bang Ashraf belum datang ya?" tanyaku yang hampir saja menangis. Jika tidak teringat Hari ini adalah hari bahagiaku tentu aku sudah menangis karena lelah menunggu kabar dari calon suamiku."Mungkin sebentar lagi."Suara pemandu acara sudah terdengar. Rangakaian Acara demi acara sudah dibacakan dan saat pengenalan calon mempelai pria aku benar-benar merasa bersyukur karena terdengar suara Bang Ashraf yang sudah datang di tempat acara. Rasa cemas dan khawatir yang tadi sempat tersemat kini berubah menjadi bahagia. Mbak Amelia menunjukkan video ucapan ijab kabul yang dilakukan oleh Bang Ashraf di depan penghulu, membuat air mataku akhirnya jatuh juga."Duh, kok nangis? Tahan ya?" MUA pun panik melihatku menangis. Aku tidak bisa mendung rasa sedih ini sehingga akhirnya merepotkan para penata rias. Setelah reda aku pun mengucap rasa syukur, akhirnya ijab kabul terlaksana."Kita harus turun dan menemui para tamu. Semoga calon suamimu siap melihatmu yang cantik bak bidadari ini,"
Hari pernikahan yang sangat kacau karena di saat tamu-tamu berdatangan untuk memberikan selamat justru kita berdua meninggalkan tempat acara. Memang keadaan ibu mertua tidak bisa disalahkan karena sakit tidak bisa diprediksi sebelumnya ataupun dibiarkan jika memang sudah kenyataannya seperti itu. Bang Ashraf terlihat sangat tegang saat menyetir sedangkan aku mencoba untuk menguatkan dengan mengulurkan tangan dan menggenggam lembut."Sabar ya bang, Semoga Mama nggak papa dan baik-baik saja.""Terima kasih, Nina, kalau kamu sudah mau mengerti. Maaf kalau kamu sempat khawatir dan was was aku nggak ngabarin. Aku nggak menghubungi kamu karena kemarin Mama Memang benar-benar marah sampai mengancam nggak mau diperiksa di rumah sakit. Bahkan dia menolak untuk berbicara dengan siapa saja. Yang bikin aku gak bisa berkutik, mama mengurung diri di kamar. Makanya aku nggak berani menghubungi kamu dan hanya menghubungi Bang Hadi untuk memastikan acara nikah kita di hotel benar-benar terlaksana. Mu
**Tentu saja aku kaget mendengar ibu mertuaku mengusirku. Aku menjadi sangat sedih dan kecewa, aku pun mundur setelah tangan yang tadinya aku ulurkan di kibaskan oleh Mama. Mama mertua terdengar kesulitan bicara, tapi dari tangannya aku tahu kalau Mama mertua tak suka denganku.“Sudahlah Ellena, mau kamu sebenci apapun sama Nina, dia sudah jadi istrinya Ashraf. Ingatlah kondisi kamu sekarang. Apa kamu nggak kasihan sama Bisma? Dia sampai menangisimu dan menemanimu sampai siuman. DIa suamimu dan dia yang akan selalu berada di sisi kamu, bukan anak anakmu yang akan sibuk dengan anak dan istrinya. Kalian sudah tak lagi muda, mau sengotot apapun menjodohkan kalau anaknya gak cinta mau apa?” tanya Pakde yang membuatku berkaca kaca. Tak menyangka Om Yudistira membelaku dan Bang Ashraf. Bahkan terlihat merestui pernikahanku.“Iya Mbak Ellena, yang kita butuhkan di usia sekarang adalah sehat dan umur panjang agar kita bisa selalu bersama dengan suami kita. Perihal anak anak yang sudah ingi
"Altaf biar Aminah ajak pulang aja Bu. Siapa tahu Ashraf sama Nina mau menginap di rumah sakit," ucap Mbak Aminah saat mereka hendak pulang."Nina gak enak merepotkan Mbak Aminah terus. Altaf biar sama aku aja nggak papa," ucapku. "Memangnya masih di hotel?""Masih, soalnya kan di rumah sakit riskan bawa anak-anak. Jadi aku tinggal sama Karina tadi.""Ya Allah."Aku sampai meninggalkan anakku cukup lama dengan orang lain dan aku merasa bersalah untuk hal itu. "Kita balik ke hotel dulu ya pah? Soalnya anaknya Nina ada di hotel dan nggak enak sama yang ditinggalin kalau terlalu lama," ucap bang Ashraf.Aku lega ternyata Bang Ashraf sangat peka dengan perasaanku dan akhirnya ayah mertua menyetujui kami untuk pulang terlebih dahulu . Bagaimanapun aku tidak boleh lupa kalau aku adalah seorang istri yang mempunyai satu anak yang masih bayi dan aku tinggalkan bersama dengan orang lain.Kami sampai di hotel pukul jam 20.00 malam dan langsung menuju ke kamar di mana ada ditinggalkan. Di sana
Aku mendapat kabar jika Mama mertua sudah bisa dibawa pulang. Setelah satu minggu lebih dirawat, akhirnya kabar bahagia itu membuat semua keluarga besar Bang Ashraf bahagia. Untuk pertama kalinya aku datang ke rumah Bang Ashraf dan diminta menunggu mama di rumah. Bang Ashraf menjemput mamanya bersama dengan Fadil sedangkan papa di rumah juga menunggu.“Bi, aku bantu ya?” Aku tak enak jika hanya duduk saja. Altaf sedang tidur, aku pun bangkit untuk membantu asisten rumah tangga membuat makanan."Nggak usah, Non. Lebih baik jagain Dede Altaf aja. Nanti Mas Ashraf marah kalau sampai tangan Non Nina kotor.""Gak apa apa."Aku pun membantu memasak, Altaf aku letakan di dalam box bayi dan aku bawa ke dapur. Tentu agar bisa memastikan jika anakku itu tertidur dengan lelap dan bisa menemaniku di dapur. Sampai hampir selesai memasak, Altaf tertidur. Bahkan, saat suara salam terdengar dari luar pun Altaf masih anteng tidur.Aku langsung mencuci tangan, lalu mendekat pada Bang Ashraf yang s
Pagi ini senyum bang Ashraf mengembang sempurna. Bagaimana tidak, semalam dia menikmati sekali bagaimana permainan di atas ran-jang, tanpa terganggu suara Altaf atau tangisannya.Ya, entah kenapa bocah itu semalam anteng. Sepertinya tahu, ayah angkatnya butuh ibunya untuk malam ini. Aku pun tersenyum dan meletakkan baju yang akan digunakan untuk bekerja Bang Ashraf pagi ini. Dia mendekat dan mengecupku pelan."Kerja kan?" tanyaku."Maunya yang semalam diulang," kekeh Bang Ashraf. "Cuma tadi ada panggilan dari rumah sakit. Nanti malam lagi ya?" Dia berkedip genit sambil meraih kemejanya."Kalau Altaf bisa diajak kerjasama, nggak ada masalah bagi Nina. Kewajiban yang gak bisa ditolak karena sama sama senang," kekehku. "Aku udah siapkan sarapan di bawah tadi, buat mama juga. Tapi aku nggak berani ke kamarnya, takut mood sarapan mama rusak. Abang aja ya, yang anter ke kamar mama?"Bang Ashraf mengangguk, lalu aku membantunya mengancingkan baju."Kalau mama udah agak sehat, kita pindah bi
Aku baru tahu ternyata papa sengaja mengundang keluarga besar. Papa merencanakan untuk menghadiahkan kami tiket liburan bersama dengan keluarga besar. Kali ini liburan kami bukan kaleng kaleng. Selain ke tanah suci untuk umrah bersama, Papa juga memberikan liburan ke Dubai dan juga perjalanan wisata keluarga ke kota kota wisata di sekitarnya. Keluarga besar Papa diajak untuk ikut dan niatnya kami akan seminggu di luar negeri untuk menghabiskan waktu bersama-sama. Semua sengaja mengosongkan waktu bahkan yang membuatku bahagia adalah Papa dan keluarga mama papa yang patungan membiayai semua perjalanan bulan madu ini."Di mana-mana Kalau bulan madu itu ya hanya berdua. Kok bisa-bisanya satu keluarga diikutkan semua?" Tanya Cinta."Emang elo aja yang pengin have fun?" Tanya Fildan. "Memangnya nggak mau ngintip pengantin baru belah duren? Kalau gue sih, hayo aja!" kekeh Fildan."Huu …." Om Yudistira melempar kulit kacang pada Fildan yang jadi sponsor rencana papa liburan bersama."Berhu
Sejak Mama menampakkan penerimaannya terhadap keberadaanku, aku dan Mama sudah tak lagi seperti air dan minyak. Mama mulai perlahan mau mengajakku mengobrol. Dari hal yang sepele, sampai hal yang cukup pribadi seperti sekarang.“Papa mertua kamu itu, sibuknya minta ampun akhir akhir ini. Mama jadi kesepian dan sebal sama dia,” ucap Mama.“Sabar ya, Ma. Namanya juga aki aki, kalau nggak lambat kerjanya ya … lambat pekanya,” kekehku.“Iya juga ya?”“Huum, kan memang begitu. Mama harus sering doakan Papa, semoga sehat dan bisa selalu ada di sampung kita. Mama nggak mau kan papa kenapa napa?”“Kadang kalau sibuk begini suka kasihan, semua anak anaknya sibuk juga. Untung ada Ashraf yang juga bantu usaha papanya,” ucap Mama.“Bang Ashraf nguli juga?” tanyaku.“Kok nguli?”“Lah, kerja sama Papa namanya nguli lah. Kalau buka usaha sendiri, baru namanya bos,” jawabku.Mama tersenyum, meski hanya sekilas. “Itu juga setelah menikahi kamu, Ashraf mau bantuin Ppaa.”“Eh,, gitu?”“Iya, dari dulu an
"Mama kok bisa kepikiran nyusul ke sini?" tanyaku saat kami sudah kembali dari sawah."Pengin," jawab mama singkat.Aku tersenyum saja. Padahal saat di sawah tadi Mama begitu menikmati pemandangan bahkan bertepuk tangan Saat melihatku mencari banyak Tutut di tengah-tengah sawah yang sedang dipanen padinya. Mama bahkan menggendong Altaf yang saat aku tinggalkan untuk mencari tutut dan memanen genjer yang ada di sekitar tanaman-tanaman padi."Ma, aku harus balik ke rumah sakit. Fildan bilang, dokter yang piket malam mendadak minta libur karena istrinya meninggal.""Innalillahi, kasihan sekali. Iya, ayo! Kita pulang sekarang!" ajak Mama. "Altaf gendong, Ash," perintah mama sembari memberikan Altaf pada Bang Ashraf. Aku tersenyum, perilaku mama yang seperti ini aku anggap menggemaskan karena secara tidak sengaja memintaku untuk pulang dan ikut dengan Mama."Bang," panggilku."Altaf nggak bisa jauh dari ibunya jadi lebih baik kamu berkemas dan ikut Abang pulang. Lain kali kita main lagi
Abang abangku sudah kembali ke tempat mereka bekerja karena aja tahu libur mereka sudah habis. Kini tinggallah Aku di rumah ini bersama dengan anakku dan juga Ibu serta Abang Hadi dan istrinya.Pagi ini aku membantu ibu menyiapkan bekal menuju ke sawah. Bang Hadi sedang panen dan aku ingin melihat mereka memanen padi di sawah."Nina ikut ya, Bang," ucapku."Kamu di rumah saja sama Altaf. Di sawah itu panas dan nanti kulit kamu jadi gosong dan jelek. Bisa-bisa nanti suamimu ala pangling saat tahu kamu berubah jadi item dan dekil," balas Bang Hadi."Mana ada seharian di bawah sinar matahari langsung hitam? Lagian dari awal juga udah sama matang. Bosen banget di rumah kalau nggak ada temen ngobrol, Mbak Aminah juga ikut ke pasar sama Nisa. Nina ikut ya, Bang?" rengekku."Udah, Hadi. Biarkan saja adikmu itu. Barangkali dia pengen nyicipin air sawah," sahut Ibu.Ye, akhirnya aku diperbolehkan untuk ikut ke sawah setelah hampir satu minggu aku di rumah ibu. Aku mengajak Altaf dan menggendon
Ternyata aku yang sudah menikah ini masih diperlakukan seperti bayi oleh Abang abangku. Mereka menanyakan apakah aku bahagia menikah dengan Bang Ashraf, apa aku tercukupi kebutuhannya, apa aku diterima keluarga suamiku. Mereka layaknya ayah yang terlahir kembali dalam hidupku. Malam ini Abang Abangku mengadakan syukuran. Ibu bilang, Bang Cakra naik jabatan dan akan dipindah tugaskan ke luar kota. Ibu tak menangisi atau sedih akan hal ini. Bahkan, Ibu begitu senang dan malah mendoakan agar Bang Cakra bisa sukses dan kembali dengan kabar bahagia.“Bu, Cakra sekalian mau minta izin lamar anak orang tahun ini. Bukan apa, Cakra udah nggak muda. Takutnya ketuaan kalau nunggu sukses dulu. Boleh, Bu?” tanya Bang Cakra di sela sela kami mengemasi sisa sisa makanan di ruang tamu.“Ya Allah, tentu boleh, Nak. Ibu sedang menunggu anak anak ibu ini laku, tapi kalau mau jadi bujang lama juga gak apa apa. Ibu gak pernah melarang anak anak Ibu menikah. Siapa aja, boleh. Asal bisa menerima anak Ib
Aku sampai terbengong saat bangun tidur dan duduk begitu lama di sisi tempat tidur. Hingga suara pintu terbuka dan panggilan kakak ipar mengagetkanku."Aku kira kamu belum bangun, Nin. Ibu tadi berpesan kalau kamu bangun suruh langsung mandi. Tadi ibu udah masakin air anget.""Memang udah sore?""Tadi kan kamu tidur siang lama banget sekarang udah sore."Aku melirik ke arah jam dinding yang ada di sisi lemari dan ternyata memang sudah jam setengah lima. Altaf terlihat sudah tidak ada di sisiku."Altaf ke mana, Mbak?""Tadi dibawa ibu ke warung depan. Kamu tidurnya pules banget sampai nggak denger anaknya nangis."Aku tersenyum dan bangkit dari tempat tidur. Aku langsung mandi terlebih dahulu.Selesai mandi aku langsung shalat ashar dan menyusul ibu yang ternyata sudah pulang dari warung bersama dengan Altaf. Altaf juga sudah mandi dan wangi sepertinya karena sudah berganti pakaian."Anak mama udah ganteng, tadi mandi sama siapa nih?" Tanyaku sambil menciumi pipi Altaf."Tadi nangis ka
Aku disambut baik oleh Bang Hadi dan juga Ibu. Mereka sangat senang melihatku pulang bersama dengan Bang Ashraf. Kami juga membawa banyak oleh-oleh yang sengaja dibeli di jalan untuk orang tuaku dan keluarga abangku."Mau pulang ke rumah nggak ngomong-ngomong," sambut Ibu sambil berpelukan denganku dan bersalaman dengan Bang Ashraf."Ini juga nggak sengaja karena kebetulan Bang Ashraf lagi nggak kerja pagi ini. Dia piket malam jadi bisa nganter Nina pulang pagi ini," jawabku sambil memberikan Altaf pada ibu yang sudah mengulurkan tangannya dan meminta Altaf untuk digendong oleh beliau."Kangen sekali sama cucu nenek, tambah gemuk saja tinggal sama papanya," ucap Ibu sambil mencium kedua pipi Altaf."Kalian sehat?" Tanya Bang Hadi."Alhamdulillah Bang. Mbak Mel, ada hadiah di Bagasi buat Mbak Mel. Mbak Mel mau?" tanyaku."Mau dong, masa dikasih hadiah nggak mau."Bang Ashraf dan Bang Hadi masuk ke dalam membawa Altaf dan ibu sedangkan aku dan Mbak Amelia membongkar oleh-oleh yang sudah
"Baru bangun, ya?" tanyaku. "Biasa, bujang mah tidurnya bebas apalagi kalau hari libur. Dari mana gendut?" tanya Fildan sambil mencubit pipi anakku dan akhirnya anakku menangis karena cubitan Fildan pastilah keras dan sakit. "Aduh, Omnya pagi-pagi udah bikin anak orang nangis," sahut Papa yang juga sudah siap dengan pakaian olahraganya. "Hehehe, Papa nih. Mau ke mana, Pa?" tanya Fildan sambil menggaruk kepalanya tidak kasar karena ketahuan mencubit Altaf. "Olahraga lah, mumpung anak-anak semuanya di rumah. Nin, olahraga yuk!" ajak Papa. "Tadi Nina udah olahraga, Pa. Altaf juga udah keringetan dan pengen mandi. Mama dan Bang Ashraf masih di depan kok, lagi minum susu sama makan camilan," jawabku. "Weh, udah akur tah?" tanya Fildan. "Emangnya dari kemarin kita nggak akur? Kita kan Besti," kekehku yang langsung berjalan membawa Altaf masuk ke dalam kamar. Terlihat keduanya saling melirik saat aku hendak pergi tadi. Semudah itu mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Meskipun ke
Saat aku bangun ternyata Bang Ashraf sudah pulang. Entah jam berapa suamiku sampai di rumah yang jelas aku sangat gelap malam ini hingga tidak sadar jika suamiku sudah pulang pagi-pagi buta.Aku tersenyum saat melihat wajah polos Bang Ashraf yang terlihat sangat kelelahan. Dia sudah memakai piyamanya saat tidur dan itu menambah kesan menggemaskan brondong yang aku nikahi saat ini.Berondong? Bahkan umur dia lebih tua dariku tetapi karena aku yang lebih dulu menikah jadinya aku merasa lebih tua darinya. Aku sama sekali tidak kelihatan jika harus mengalah dalam segala hal termasuk Jika dia mendadak seperti anak kecil seperti sekarang. Tidur dengan memelukku dan menaikkan satu kakinya di atas pinggul.Aku angkat kakinya perlahan agar dia tidak terbangun tetapi rupanya dia sengaja malah menghukum tubuhku agar tidak bangkit."Sudah jam 04.40 lah, Bang. Nanti keburu Altaf bangun aku belum setting sarapan," ucapku sambil berbalik dan menatap wajahnya yang tersenyum meskipun masih memejamkan