Aku mendengar suara mobil yang berhenti di depan halaman rumah. Ingin rasanya s aku melihat siapa yang pulang dan berharap sItu adalah suamiku karena ini sudah hampir jam 21.00 malam, Suamiku belum juga pulang ke rumahnya ini. Tentu saja sebagai seorang istri aku khawatir dan benar-benar tidak habis pikir Kenapa Mas Ahmad tidak memikirkan perasaanku dan pergi begitu saja. Kecewa tentu saja. Jika biasanya Mas Ahmad menanyakan pendapatku tentang kemanapun dia pergi, kali ini dia hanya mendengarkan ucapan ibunya yang memaksa untuk pergi begitu saja. Memang sih itu adalah suatu keharusan di mana anak laki-laki masih bertanggung jawab dan berkewajiban patuh terhadap ibunya meski sudah menikah tetapi rasanya sedih sekali ketika dia pergi begitu saja tanpa menanyakan Apa pendapatku.Aku mendengar suara mas Ahmad mengucapkan salam dari luar dan itu memang Mas Ahmad yang sudah pulang ke rumah. Lega rasanya sudah mengetahui suamiku sudah kembali tetapi aku masih merasa jengkel dan tidak menyam
Tetap saja aku memilih untuk tetap bungkem agar tidak dikira gampangan ketika dibujuk ini itu. Meskipun kesalahan Mas Ahmad tidak fatal Karena dia sudah berani jujur tanpa harus aku tanyain, tetap saja masih menyebalkan.Aku memilih beranjak dan memasak. Aku mengabaikan tangan jahil Mas Ahmad yang terus saja menggodaku agar mau memaafkan dia. Beberapa kali aku menyingkirkan tetapi lelaki itu tetap saja terus meminta maaf hingga Aku akhirnya tidak bisa lagi menahan mulutku untuk tidak berbicara."Mas, Aku mau masak dan nggak usah ganggu. Lebih baik Mas sekarang mandi sebelum jam 7. Pak Darmuji pasti bakalan kecewa kalau kita kerja juga bener dan tidak sesuai dengan jadwal. Nanti kita sarapan di rumah Pak Darmuji saja biar nggak mendadak selera makannya hilang lagi," ucapku ketus."Alhamdulillah, akhirnya Istriku mau berbicara lagi dengan aku. Baiklah, Mas mau siap-siap dulu. Masak yang enak, biar aku nggak pernah tergoda untuk memakan masakan di luar.""Mau makan makanan di luar juga n
Para pekerja sudah berdatangan dan mereka sangat senang saat aku datang dengan membawa kan berbagai macam cemilan yang enak-enak. Mereka saling bercanda gurau dan melemparkan pertanyaan pertanyaan konyol khas kaum bapak-bapak beranak banyak yang masih senang melihat wanita cantik. "Mad, Isteri kamu pandai sekali memasak semua makanan ini. Rasanya begitu enak dan lezat," Ucap salah 1 pegawai yang bekerja di sana bernama Santo."Tentu saja masakan yang enak makanya Ahmad betah tinggal bersama dengan Nina, isteri yang pandai memasak itu. Seharusnya mencari isteri itu yang seperti Nina. Jadinya kita anggap perlu makan diluar untuk bisa membuat perut kenyang," Ucap lelaki yang memakai baju hijau namanya Kino."Alhamdulillah kalau memang masakan istri saya cocok dengan lidah bapak-bapak semua. Setiap ada kekurangan pasti ada kelebihan, sebagai suami kita harus tetap menghargai apapun yang sudah istri kita suguhkan setiap hari," ucap Mas Ahmad yang terdengar sangat lembut dan menyejukkan ha
"Tunggu!" cegah ku."Aku merasa tidak pernah ikut arisan apapun dan tidak pernah memasukkan ke dalam kotak itu. Mungkin masnya salah orang," ucapku lagi."Alamat dan namanya betul sesuai dengan KTP." Petugas menjelaskan."Sudahlah Nina, rezeki jangan ditolak." Ibu terlihat tidak suka dengan caraku bertanya tentang mobil yang dijadikan hadiah itu."Iya, Mas. Kami merasa tidak pernah mengikuti arisan apapun dan mana mungkin mobil ini kamilah pemenang dari undian yang sama sekali tidak kami ikut sertakan," jawab Mas Ahmad."Ya kami hanya menyampaikan amanat saja, silakan tanda tangani dan saya akan laporkan ini pada atasan kami."Tetap saja rasanya masih janggal ketika mobil itu mentereng di depan rumah. Setelah kedua orang itu pergi aku dan yang lain pun melihat mobil yang baru dan masih dibungkus plastik semuanya. Mbak Mita begitu antusias mencobanya duduk di depan dan juga mengajak serta Minah untuk naik. "Kamu bisa memakainya nggak, Mad? Kalau nggak bisa kamu bisa belajar dari Mina
"Ini uang bayaran bebersih rumah saya, setelah ini datanglah tiga hari sekali saja untuk membersihkan rumput. Mbak Nina, bisa datang setiap hari untuk menyapu rumah anak saya ini. Saat ditempati nanti, silakan datang setiap hari. Anak saya yang akan menggajinya nanti," ucap Pak Darmuji.Proses renovasi sudah selesai dalam satu minggu ini dan rumah ini terlihat sangat mewah dan rapi setelah dicat ulang. "Mas Ahmad, setelah ini mau kerja di mana?" Tanya Pak Darmuji."Kalau nggak kerja di sini ya saya nganggur di rumah." Suamiku menjawabnya pelan, "Bagaimana kalau jadi kuli di toko bahan milik saya? ""Tokonya jauh nggak?" Tanyaku. Tentu aku harus memperhitungkan jarak karena suamiku tidak bisa kepergian jauh lantaran kakinya yang belum begitu pulih."Ya nggak begitu jauh, yang di dekat pasar Saliwangi itu."Saliwangi. Jarak dari desaku tentu harus memakan waktu 15 menit agar sampai di sana. Tentu saja, suamiku harus mengendarai sepeda motor agar bisa sampai di toko itu. "Sepertinya n
“Mas Ahmad, bisa kita bicara sebentar?” tanya Minah.“Nggak, ada sebentar sebentar. Jangankan sebentar, lama juga nggak boleh. Kamu ini udah aku kasih warning, jangan dekat dekat dengan suamiku. Apalagi ..”“Minah!” panggil Ibu dari depan.Aku menatap tajam wajah Minah, lalu membiarkan dia keluar dari dapur. Ibu tampak kembali dan menatap tajam padaku.“Kamu nggak izinkan Minah ngomong sama Ahmad, Nina? Dia itu mau pamitan.”“Pamitan? Udah akur lagi sama suaminya?” tanyaku senang.“Halah! Udah, kamu ke depan, Mad. Minah udah dijemput keluarganya. Ayamnya udah mateng belum?” tanya Ibu.“Udah, tuh!” Aku menunjuk ayam semur yang tadi dimasak.“Kok dimasak kecap? Digoreng, Nina. Allahu, kalau di semur basi kalau buat besok.”“Tinggal di angetin aja sih, memangnya mau buat siapa?”“Buat keluarga MInah. Kamu ini bikin malu saja! Ya sudah, kamu tempatkan di wadah kotak yang punya kamu itu, bawa ke depan.”“Yang tupperware itu, Bu? Nggak boleh. Itu Nina dapat dari kado teman pas nikahan Nina.
Entah perdebatan apa yang terjadi malam itu karena aku memutuskan untuk pergi ke kamar dan menyetel musik sedikit keras biar tidak mendengar percakapan mereka. Aku heran dengan keluarga ini yang justru membela sesuatu yang salah dan memperjuangkan mati-matian yang tidak sesuai dengan moral yang ada. Jika saja bukan karena mas Ahmad yang begitu sayang padaku tanpa aku menyayangiku meninggalkan rumah ini.Pintu terdengar dibuka dan suara musik nampak dipelankan, mungkin oleh Mas Ahmad. Aku masih berpura-pura tidur dengan selimut yang membungkus tubuh. “Aku tahu kamu pasti hanya berpura-pura tidur saja,” ucap Mas Ahmad.Aku bergeming. Aku tetap sedang malas berbicara apapun dan memilih untuk tiduran saja.“Minah sudah pergi, kamu tidak perlu khawatir lagi.”Aku membuka selimut dan menatap wajah suamiku. “Yakin?”“Ya. Tadi sempat terjadi bersitegang antara aku dan keluarga Minah bahkan ibu dan Mbak Mita pun kesal karena aku meminta Minah untuk ikut pulang bersama dengan mereka. Jadi, ka
"Bu, Tahu masak dua.""Dua? Dimakan sini?""Iya, Bu.""Duh, nggak salah, Mbak Nin?""Enggak, Bu. Mode laper belum sarapan, sudah harus kenyang makan kenyataan. Jadinya selera makan awut awutan," jawabku membuat Bu Hartati terkekeh."Mbak Nin ini, bisa aja. Pedes nggak nih?""Nggak usah, Bu. Nanti bukanya kenyang malah mencret. Juga minumnya yang anget ya, Mbak. Soalnya kalau dingin, cuma mertuaku."Lagi lagi mbak Hartati tertawa. Entah apa yang lucu, tapi yang jelas aku sedang dongkol. Rasanya malah sekali aku pulang ke rumah karena harus bertemu dengan ibu dan yang lain. Jika biasanya aku bersemangat karena ada mas Ahmad di rumah tetapi kali ini aku sedang kesal kepadanya sehingga rasanya pulang ke rumah pun kaki terasa tidak berdaya."Kenapa toh mbak Nin, mukanya kusut amat?" tanya Bu Hartati."Biasa, Bu, belum beli Kispray. Jadi masih kusut," jawabku asal."Loh? Itu muka atau gosokan baju," kekehnya. "Saya tanya serius Mbak Nina jawabnya selalu saja bikin saya sakit perut.""Habis
Aku baru tahu ternyata papa sengaja mengundang keluarga besar. Papa merencanakan untuk menghadiahkan kami tiket liburan bersama dengan keluarga besar. Kali ini liburan kami bukan kaleng kaleng. Selain ke tanah suci untuk umrah bersama, Papa juga memberikan liburan ke Dubai dan juga perjalanan wisata keluarga ke kota kota wisata di sekitarnya. Keluarga besar Papa diajak untuk ikut dan niatnya kami akan seminggu di luar negeri untuk menghabiskan waktu bersama-sama. Semua sengaja mengosongkan waktu bahkan yang membuatku bahagia adalah Papa dan keluarga mama papa yang patungan membiayai semua perjalanan bulan madu ini."Di mana-mana Kalau bulan madu itu ya hanya berdua. Kok bisa-bisanya satu keluarga diikutkan semua?" Tanya Cinta."Emang elo aja yang pengin have fun?" Tanya Fildan. "Memangnya nggak mau ngintip pengantin baru belah duren? Kalau gue sih, hayo aja!" kekeh Fildan."Huu …." Om Yudistira melempar kulit kacang pada Fildan yang jadi sponsor rencana papa liburan bersama."Berhu
Sejak Mama menampakkan penerimaannya terhadap keberadaanku, aku dan Mama sudah tak lagi seperti air dan minyak. Mama mulai perlahan mau mengajakku mengobrol. Dari hal yang sepele, sampai hal yang cukup pribadi seperti sekarang.“Papa mertua kamu itu, sibuknya minta ampun akhir akhir ini. Mama jadi kesepian dan sebal sama dia,” ucap Mama.“Sabar ya, Ma. Namanya juga aki aki, kalau nggak lambat kerjanya ya … lambat pekanya,” kekehku.“Iya juga ya?”“Huum, kan memang begitu. Mama harus sering doakan Papa, semoga sehat dan bisa selalu ada di sampung kita. Mama nggak mau kan papa kenapa napa?”“Kadang kalau sibuk begini suka kasihan, semua anak anaknya sibuk juga. Untung ada Ashraf yang juga bantu usaha papanya,” ucap Mama.“Bang Ashraf nguli juga?” tanyaku.“Kok nguli?”“Lah, kerja sama Papa namanya nguli lah. Kalau buka usaha sendiri, baru namanya bos,” jawabku.Mama tersenyum, meski hanya sekilas. “Itu juga setelah menikahi kamu, Ashraf mau bantuin Ppaa.”“Eh,, gitu?”“Iya, dari dulu an
"Mama kok bisa kepikiran nyusul ke sini?" tanyaku saat kami sudah kembali dari sawah."Pengin," jawab mama singkat.Aku tersenyum saja. Padahal saat di sawah tadi Mama begitu menikmati pemandangan bahkan bertepuk tangan Saat melihatku mencari banyak Tutut di tengah-tengah sawah yang sedang dipanen padinya. Mama bahkan menggendong Altaf yang saat aku tinggalkan untuk mencari tutut dan memanen genjer yang ada di sekitar tanaman-tanaman padi."Ma, aku harus balik ke rumah sakit. Fildan bilang, dokter yang piket malam mendadak minta libur karena istrinya meninggal.""Innalillahi, kasihan sekali. Iya, ayo! Kita pulang sekarang!" ajak Mama. "Altaf gendong, Ash," perintah mama sembari memberikan Altaf pada Bang Ashraf. Aku tersenyum, perilaku mama yang seperti ini aku anggap menggemaskan karena secara tidak sengaja memintaku untuk pulang dan ikut dengan Mama."Bang," panggilku."Altaf nggak bisa jauh dari ibunya jadi lebih baik kamu berkemas dan ikut Abang pulang. Lain kali kita main lagi
Abang abangku sudah kembali ke tempat mereka bekerja karena aja tahu libur mereka sudah habis. Kini tinggallah Aku di rumah ini bersama dengan anakku dan juga Ibu serta Abang Hadi dan istrinya.Pagi ini aku membantu ibu menyiapkan bekal menuju ke sawah. Bang Hadi sedang panen dan aku ingin melihat mereka memanen padi di sawah."Nina ikut ya, Bang," ucapku."Kamu di rumah saja sama Altaf. Di sawah itu panas dan nanti kulit kamu jadi gosong dan jelek. Bisa-bisa nanti suamimu ala pangling saat tahu kamu berubah jadi item dan dekil," balas Bang Hadi."Mana ada seharian di bawah sinar matahari langsung hitam? Lagian dari awal juga udah sama matang. Bosen banget di rumah kalau nggak ada temen ngobrol, Mbak Aminah juga ikut ke pasar sama Nisa. Nina ikut ya, Bang?" rengekku."Udah, Hadi. Biarkan saja adikmu itu. Barangkali dia pengen nyicipin air sawah," sahut Ibu.Ye, akhirnya aku diperbolehkan untuk ikut ke sawah setelah hampir satu minggu aku di rumah ibu. Aku mengajak Altaf dan menggendon
Ternyata aku yang sudah menikah ini masih diperlakukan seperti bayi oleh Abang abangku. Mereka menanyakan apakah aku bahagia menikah dengan Bang Ashraf, apa aku tercukupi kebutuhannya, apa aku diterima keluarga suamiku. Mereka layaknya ayah yang terlahir kembali dalam hidupku. Malam ini Abang Abangku mengadakan syukuran. Ibu bilang, Bang Cakra naik jabatan dan akan dipindah tugaskan ke luar kota. Ibu tak menangisi atau sedih akan hal ini. Bahkan, Ibu begitu senang dan malah mendoakan agar Bang Cakra bisa sukses dan kembali dengan kabar bahagia.“Bu, Cakra sekalian mau minta izin lamar anak orang tahun ini. Bukan apa, Cakra udah nggak muda. Takutnya ketuaan kalau nunggu sukses dulu. Boleh, Bu?” tanya Bang Cakra di sela sela kami mengemasi sisa sisa makanan di ruang tamu.“Ya Allah, tentu boleh, Nak. Ibu sedang menunggu anak anak ibu ini laku, tapi kalau mau jadi bujang lama juga gak apa apa. Ibu gak pernah melarang anak anak Ibu menikah. Siapa aja, boleh. Asal bisa menerima anak Ib
Aku sampai terbengong saat bangun tidur dan duduk begitu lama di sisi tempat tidur. Hingga suara pintu terbuka dan panggilan kakak ipar mengagetkanku."Aku kira kamu belum bangun, Nin. Ibu tadi berpesan kalau kamu bangun suruh langsung mandi. Tadi ibu udah masakin air anget.""Memang udah sore?""Tadi kan kamu tidur siang lama banget sekarang udah sore."Aku melirik ke arah jam dinding yang ada di sisi lemari dan ternyata memang sudah jam setengah lima. Altaf terlihat sudah tidak ada di sisiku."Altaf ke mana, Mbak?""Tadi dibawa ibu ke warung depan. Kamu tidurnya pules banget sampai nggak denger anaknya nangis."Aku tersenyum dan bangkit dari tempat tidur. Aku langsung mandi terlebih dahulu.Selesai mandi aku langsung shalat ashar dan menyusul ibu yang ternyata sudah pulang dari warung bersama dengan Altaf. Altaf juga sudah mandi dan wangi sepertinya karena sudah berganti pakaian."Anak mama udah ganteng, tadi mandi sama siapa nih?" Tanyaku sambil menciumi pipi Altaf."Tadi nangis ka
Aku disambut baik oleh Bang Hadi dan juga Ibu. Mereka sangat senang melihatku pulang bersama dengan Bang Ashraf. Kami juga membawa banyak oleh-oleh yang sengaja dibeli di jalan untuk orang tuaku dan keluarga abangku."Mau pulang ke rumah nggak ngomong-ngomong," sambut Ibu sambil berpelukan denganku dan bersalaman dengan Bang Ashraf."Ini juga nggak sengaja karena kebetulan Bang Ashraf lagi nggak kerja pagi ini. Dia piket malam jadi bisa nganter Nina pulang pagi ini," jawabku sambil memberikan Altaf pada ibu yang sudah mengulurkan tangannya dan meminta Altaf untuk digendong oleh beliau."Kangen sekali sama cucu nenek, tambah gemuk saja tinggal sama papanya," ucap Ibu sambil mencium kedua pipi Altaf."Kalian sehat?" Tanya Bang Hadi."Alhamdulillah Bang. Mbak Mel, ada hadiah di Bagasi buat Mbak Mel. Mbak Mel mau?" tanyaku."Mau dong, masa dikasih hadiah nggak mau."Bang Ashraf dan Bang Hadi masuk ke dalam membawa Altaf dan ibu sedangkan aku dan Mbak Amelia membongkar oleh-oleh yang sudah
"Baru bangun, ya?" tanyaku. "Biasa, bujang mah tidurnya bebas apalagi kalau hari libur. Dari mana gendut?" tanya Fildan sambil mencubit pipi anakku dan akhirnya anakku menangis karena cubitan Fildan pastilah keras dan sakit. "Aduh, Omnya pagi-pagi udah bikin anak orang nangis," sahut Papa yang juga sudah siap dengan pakaian olahraganya. "Hehehe, Papa nih. Mau ke mana, Pa?" tanya Fildan sambil menggaruk kepalanya tidak kasar karena ketahuan mencubit Altaf. "Olahraga lah, mumpung anak-anak semuanya di rumah. Nin, olahraga yuk!" ajak Papa. "Tadi Nina udah olahraga, Pa. Altaf juga udah keringetan dan pengen mandi. Mama dan Bang Ashraf masih di depan kok, lagi minum susu sama makan camilan," jawabku. "Weh, udah akur tah?" tanya Fildan. "Emangnya dari kemarin kita nggak akur? Kita kan Besti," kekehku yang langsung berjalan membawa Altaf masuk ke dalam kamar. Terlihat keduanya saling melirik saat aku hendak pergi tadi. Semudah itu mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Meskipun ke
Saat aku bangun ternyata Bang Ashraf sudah pulang. Entah jam berapa suamiku sampai di rumah yang jelas aku sangat gelap malam ini hingga tidak sadar jika suamiku sudah pulang pagi-pagi buta.Aku tersenyum saat melihat wajah polos Bang Ashraf yang terlihat sangat kelelahan. Dia sudah memakai piyamanya saat tidur dan itu menambah kesan menggemaskan brondong yang aku nikahi saat ini.Berondong? Bahkan umur dia lebih tua dariku tetapi karena aku yang lebih dulu menikah jadinya aku merasa lebih tua darinya. Aku sama sekali tidak kelihatan jika harus mengalah dalam segala hal termasuk Jika dia mendadak seperti anak kecil seperti sekarang. Tidur dengan memelukku dan menaikkan satu kakinya di atas pinggul.Aku angkat kakinya perlahan agar dia tidak terbangun tetapi rupanya dia sengaja malah menghukum tubuhku agar tidak bangkit."Sudah jam 04.40 lah, Bang. Nanti keburu Altaf bangun aku belum setting sarapan," ucapku sambil berbalik dan menatap wajahnya yang tersenyum meskipun masih memejamkan