Aku duduk di kursi panjang yang ada di koridor rumah sakit setelah melaksanakan salat isya di musala rumah sakit, memegangi kepala karena terasa agak sedikit pusing dan kliyengan. “Minum dulu!” Seseorang menyodorkan minuman sambil berdiri di hadapanku.Aku mendongak menatap wajah datarnya. Salim. Kenapa ekspresi bocah ini selalu datar, tidak seperti Salman yang ramah serta periang seperti Mas Kenzo. Apa dia bukan anak suamiku? Tapi, Mas Kenzo bilang kalau Salim anak kandungnya.“Terima kasih!” Mengambil botol air mineral tersebut, membuka tutupnya kemudian meneguk sedikit isinya.Salim duduk di sebelahku dengan jarak lima puluh centi.“Kenapa kamu mau menikah dengan ayah saya. Apa yang kamu inginkan dari dia?” Alisku bertaut, tidak percaya kalau Salim putra tiriku menyebut kamu kepadaku. Harusnya dia menyebutku dengan sebutan Bunda seperti yang lainnya.“Saya tahu kamu tidak mencintai ayah saya. Saya bisa baca dari sorot mata kamu. Lagian, kamu itu terlalu muda untuk ayah saya. Kamu
Membuka pintu mobil, lalu duduk di kursi belakang kemudi.“Ayah duduk di sebelah aku saja,” ucap Salim ketika Mas Kenzo sudah duduk di sisiku“Lah, emangnya kenapa kalau Ayah duduk di belakang?” tanya Mas Kenzo.“Kalau Ayah duduk di samping Kak Efita nanti ada adegan dewasanya!” pungkas laki-laki berusia dua puluh tahun itu.“Kamu pikirannya ngeres aja, Lim. Mana cewek kamu, kenalin sama Ayah, biar Ayah nikahkan kalian!” “Biar kita cepet punya cucu ya, Mas!” selorohku, akan tetapi langsung disambut tatapan tidak suka oleh Salim.Aku langsung membuang pandangan ke luar jendela. Lama-lama seram juga tatapan anak tiriku yang satu ini. Padahal dia ganteng kalau nggak jutek. Mobil yang kami tumpangi berhenti tepat di depan rumah kontrakan, karena Mas Kenzo meminta bermalam di rumah yang sudah aku sewa selama setahun itu.Salim memapah sang ayah masuk kemudian membantu membaringkannya di atas tempat tidur.“Makasih, Salim!” ucapku sambil duduk di sebelah Mas Kenzo.“Hmm ...!” Hanya itu ja
“Ya sudah, aku jalan dulu ya, Mas!” Meraih tangan Mas Kenzo, mencium punggung tangannya dengan takzim.Setelah itu aku berjalan mengekor di belakang Salim dan masuk ke dalam mobil.“Duduknya jangan di belakang dong. Emangnya saya sopir kamu!” ucapnya ketika aku sudah berada di dalam mobil.Ya Tuhan, aku ini ibunya loh. Kalau di sinetron-sinetron dan serial kartun kan ibu tiri yang jahat. Kenapa ini malah anak tirinya yang jahat seperti ini?Aku lalu pindah posisi duduk di sebelah kursi kemudi. Sepanjang perjalanan tidak satu patah kata pun yang keluar dari mulut kami. Aku dan Salim saling diam dengan pikiran masing-masing. Sesekali aku melirik Salim yang sedang fokus menyetir sambi menatap lurus jalanan yang lumayan cukup ramai. Hanya suara derum mobil yang terdengar, di iringi suara klakson yang saling bersahutan.“Lim, turun di depan pasar ya. Saya mau cari adik saya dulu!” ucapku memecah keheningan.Salim menoleh, menatap lekat wajah ini.“Kamu punya adik?!” tanya pria itu datar.“
Aku menggigit bibir sambil menahan perih di dada. Air mata berbondong-bondong jatuh dari sudut netraku, membasahi pipi ini."Ayo pulang. Ayah udah neleponin mulu dari tadi," ucap Salim sembari berjalan mendahuluiku.Aku masih tetap saja berdiri mematung, memandangi Dewi yang sedang bergelyut manja di bahu laki-laki hidung belang itu."Ayo, lelet banget sih!" Salim menarik tanganku hingga aku hampir terjatuh."Ya Allah, Salim. Saya ini bukan anak kecil yang bisa kamu perlakukan seenaknya begitu. Tolong hargai saya sedikit karena saya itu ibu kamu sekarang!" Menyingkirkan tangan Salim kemudian berjalan menuju parkiran.Salim melipat tangan di depan dada sambil menatapku. Benar-benar sudah kelewatan anak itu. Makin lama semakin dibuat jengah aku dengan perlakuannya.Aku membuka pintu mobil dan duduk di belakang kursi kemudi, tidak memedulikan ocehan Salim yang terus memintaku untuk duduk di sebelahnya."Kamu itu sebenarnya anak kandungnya Mas Kenzo apa bukan sih? Selain wajah kamu nggak
"Ya sudah, ayo kita tidur. Sudah malam!" Mas Kenzo beranjak dari tempat duduknya lalu masuk ke dalam kamar. "Ayo, Dek," ajaknya lagi."Aku nggak akan tidur kalau Mas belum makan dan minum obat!" Mas Kenzo menghela nafas berat kemudian kembali ke meja makan. Aku menggigit bibir ketika melihat wajah teduh suamiku berubah menjadi datar. Apa kata-kataku telah menyinggung perasaannya. Salahkah jika aku menginginkan seorang anak yang sudah aku damba selama bertahun-tahun lamanya."Mas, aku minta maaf." Pelan aku berucap, laksana angin yang sedang berembus."Kamu nggak salah, Dek. Sudah jangan dibahas lagi. Kita makan lalu istirahat. Besok Mas sudah mulai masuk kerja."Mas Kenzo mulai menyuap nasinya tanpa lagi menawariku seperti tadi. Padahal, aku berharap dia menyuapiku dan kita makan sepiring berdua seperti biasanya.Setelah selesai Makan Mas Kenzo langsung mencuci piring dan meminum obat yang sudah aku sediakan. Aku langsung mengikuti suamiku masuk ke dalam kamar, lalu duduk sebentar u
“Loh, kamu kenapa, Fit. Kok muntah-muntah?” Tanya Ibu seraya menghampiriku.“Nggak tau, Bu. Tiba-tiba Efita mual cium bau masakan Ibu,” jawabku jujur.“Loh, ibu kan goreng ikan gurame, dan baunya biasa saja kalau menurut ibu!” “Entahlah, Bu. Efita tiba-tiba mual seperti ini. Mungkin Efita masuk angin.”“Hayo, jangan-jangan ....?” Ibu melengkungkan bibirnya menatapku.“Jangan-jangan apa, Bu?” “Kamu lagi isi kali, Fit!”Mulutku menganga mendengar ucapan Ibu. Masa iya aku sudah isi, sedang usia pernikahanku dan Mas Kenzo saja baru berusia dua minggu?“Aamiin saja deh, Bu. Aku memang pengen banget cepet punya anak dari Mas Kenzo.”Aku mengambil segelas air dan meneguknya perlahan. Setelah membantu ibu membereskan rumah, aku pamit pulang karena kepalaku terasa berat dan tubuhku mulai gemetaran.Sepanjang perjalanan menuju rumah, aku terus saja tersenyum membayangkan jika aku benar-benar hamil. ‘Apa aku beli alat tes kehamilan saja ya?’ batinku sambil mengelus perut datarku.Aku segera m
Aku menyender di tembok sambil memegangi kepala.“Kalau pusing, tiduran saja di pangkuan saya. ‘Kan saya anaknya Bunda.” Salim mengulangi perkataannya.Aku menghela nafas berat menatap putra sulungku. Sepertinya tidak mungkin aku menyandarkan kepala di pahanya, walaupun dia anak dari suamiku. Takut menjadi fitnah jika ada tetangga atau teman Mas Kenzo yang melihatnya.“Mau nelepon siapa?” tanya Salim ketika aku mengambil gawai di dalam tas.“Ayah kamu!” sahutku.“Ngapain harus menghubungi Ayah. Kan ada saya di sini. Emang apa-apa harus sama Ayah. Kan bisa minta tolong sama saya!” protesnya.“Saya mau minta dijemput, soalnya kepala saya pusing banget, Salim. Sudah nggak kuat!”“Sini saya pijetin, pijetan saya juga enak loh. Nggak kalah sama Ayah.”“Kamu itu sudah dewasa, Salim. Jadi kalau saya bersandar di paha kamu, dipijat sama kamu, nanti timbul fitnah, paham?!”Salim mendengus kesal.“Lagian, ayah sudah tua, bukannya nyariin mantu buat anaknya malah nyari istri. Nyarinya yang muda
“Dek, kamu kenapa?” Mas Kenzo berlari ke arahku dan langsung merengkuh tubuh ini.Aku mengusap air mataku dengan punggung tangan. Memutar badan, lalu membenamkan wajahku yang sudah sembab dan kuyu di dalam pelukan suamiku. Kuletakkan testpack bergaris satu itu di lantai.“Ya Allah, Dek. Kamu yang sabar dong. Kita baru menikah dua mingguan loh. Masa iya sudah ketahuan hamil atau tidaknya.” Hibur Mas Kenzo sambil mengusap lembut kepalaku.“Bismillah!” Tiba-tiba Mas Kenzo membopong tubuhku dan membawanya keluar dari kamar mandi.“Aku bisa jalan sendiri loh, Mas!” ujarku sambil menyusut air mata yang terus saja mengalir bagai sungai.“Jangan sedih lagi dong sayang, kalau kamu sedih Mas juga ikut sedih jadinya.”“Maaf!” “Untuk apa?” Mas Kenzo merebahkan tubuhku di atas sofa.“Karena sudah bikin Mas sedih.” Aku menahan tubuh suamiku ketika ia hendak bangun. “Aku mau dipeluk, jangan ditinggal. Pokoknya maunya berdua terus sama kamu.” Rengekku manja.“Ya sudah kalau begitu kita pindah ke kam
Pukul tujuh malam, selepas melaksanakan shalat isya, Ridwan kembali datang dan meminta Dewi untuk menjadi pendamping hidupnya. Kali ini dia meminta wanita tersebut kepada sang kakak, dan Efita tetap saja menyerahkan semuanya kepada Dewi. "Sudah aku bilang kan, Mas. Aku ini bukan wanita sempurna. Kamu akan menyesal jika menikah denganku nanti. Apa kamu tidak berpikir sampai kesitu, Mas?" Dewi membuang muka menghindari tatapan Ridwan yang begitu menghanyutkan."Saya akan menerima segala kekurangan serta kelebihan kamu, Wi. Lillahi taala. Menikah itu ibadah. Kebahagiaan sepasang suami istri itu bukan hanya karena adanya anak. Tapi dengan saling percaya serta melengkapi, kita akan merasa hidup bahagia selamanya. Apalagi sudah ada Arjuna. Dia juga butuh figur seorang ayah, Wi. Kamu jangan egois!" desak Ridwan memberi keyakinan kepada wanita yang dia kagumi."Justru karena aku tidak mau dianggap egois, makanya menolak kamu, Mas." "Wi, tolong pertimban
Keluarga besar Efita sudah bersiap-siap pergi ke kota Tegal untuk melangsungkan pernikahan Salman dengan putri sulung Gus Fauzan. Pernikahan yang rencananya akan diselenggarakan awal tahun, akan tetapi harus ditunda beberapa bulan karena Salman belum bisa mengambil cuti dan Nabila mendapat tugas dari kampusnya untuk melakukan kuliah kerja nyata di luar kota. Hal itulah yang membuat acara harus ditunda sementara, dan hari ini, dua insan manusia yang saling mencintai itu akan mengucap janji suci di depan Allah, menjadikan hubungan mereka menjadi halal serta diridhai Tuhan."Santai saja, nggak usah gemetar!" bisik Salim kepada sang adik ketika mereka sudah berada di masjid pesantren menunggu ijab qobul dimulai.Salman menerbitkan senyuman. Rasa grogi terlihat jelas di wajah pria berusia sudah genap dua puluh empat tahun itu, apalagi ketika pembawa acara memulai susunan acara.Keringat dingin terus saja membanjiri tubuhnya walaupun ruangan tempat dia akan meng
"Maaf, Wi. Kamu yang tenang. Kalau kamu tidak mau menyerahkan Arjuna tidak apa-apa. Mas tidak memaksa. Tapi kalau suatu saat Mas ingin mengajaknya bermalam di rumah, tolong kamu izinkan ya? Biar dia juga deket dengan Papa Surya."Mendengar nama Surya, entah mengapa ada rasa seperti termas-remas di dada Dewi. Dia ingat betul ketika pria paruh baya itu merenggut dengan paksa kehormatannya, melakukannya berkali-kali hingga akhirnya dia mengandung dan kehilangan masa depan. Selain itu, dia juga harus menjadi duri dalam daging di kehidupan rumah tangga Efita, merobohkan benteng yang telah dibangun dengan kokoh hingga hancur lebur serta rata dengan tanah.Tanpa terasa dua bulir air bening lolos begitu saja dari sudut netra perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu. Walaupun rasa benci terhadap Surya mendominasi di hati, akan tetapi dia begitu mencintai Arjuna. Apalagi Efita selalu memberinya wejangan, kalau anak adalah masa depan yang akan menjamin masa tua kita, j
#POV AuthorEfita sedang duduk di teras sambil mengawasi Arjuna, Syabil dan Faza bermain pasir di taman depan rumah. Dia segera menoleh ke arah pintu ketika mendengar seseorang mengucap salam. Seulas senyum tergambar di bibir Akmal, sambil menatap wajah Efita yang tertutup cadar. Ada rasa rindu yang kian menggebu di dalam kalbu, karena sampai saat ini dia belum benar-benar bisa melupakan sang mantan. Cinta yang ditancapkan Efita di dinding hatinya terlalu dalam dan tidak mudah terhapuskan.Semakin dia mencoba, maka rasa itu kian terasa serta menyiksa."Kamu apa kabar, Fit?" tanya Akmal setelah dia dipersilahkan masuk oleh mantan istrinya."Alhamdulillah aku sehat. Mas Akmal sendiri bagaimana kabarnya, tumben mampir ke rumah, setelah beberapa tahun tidak pernah keliatan batang hidungnya?" "Aku pengen ketemu Juna, Fit."Efita menanggapi dengan ber oh ria. Dia kemudian memanggil keponakan kesayangannya itu dan menyuruh pr
Setelah selesai memberikan keterangan kepada penyidik. Perawat serta polisi wanita yang mendampingi segera membawa Safina keluar dari ruangan tersebut karena harus segera kembali ke rumah sakit."Apa saya bisa bicara dengan Safina sebentar, Bu?" Ragu aku mengatakan hal itu, karena takut Safina kembali mengamuk jika aku mengajaknya berbicara."Silahkan, Pak." Kami pun berjalan menuju kursi panjang yang ada di teras kantor polisi, duduk di tempat tersebut dengan perasaan bersalah menyelimuti hati."Fin," panggilku pelan."Aku tahu apa yang ingin Mas Salim katakan sama aku," sahut Safina dengan suara parau. "Mas nggak usah khawatir. Aku tidak akan lagi mengganggu atau merepotkan Mas. Aku juga sudah ikhlas dengan pernikahan Mas dan Ning Azalia. Aku doakan, semoga kalian berdua hidup bahagia hingga maut yang memisahkan." Seulas senyum tercetak di bibir merah muda Safina walaupun aku lihat ada kabut di kedua sudut netranya.
"Kenapa liatin saya seperti itu?" tanya Fahri seraya menatap menghunus ke arahku.Aku mengangkat satu ujung bibir. Sepertinya Tejo dan Fahri begitu membenci diriku, padahal antara aku dan mereka berdua tidak pernah ada urusan apa-apa. Kenal saja baru-baru ini setelah aku menikah dengan Safina dan Azalia. Tapi, entah mengapa tatapan mereka terlihat penuh dengan kebencian kepadaku.Petugas menyuruh Fahri untuk duduk, menginterogasi dia menanyakan hubungan laki-laki tersebut dengan mantan istri, walaupun Fahri terus saja berbelit-belit memberikan keterangan, malah cenderung mengelak kalau dia tidak pernah melakukan pelecehan seksual terhadap SafinaHingga akhirnya seorang wanita berhijab ungu ditemani oleh seorang perawat juga dua orang polisi wanita datang, membuat Fahri serta Tejo tercengang. Gurat ketakutan tergambar jelas di wajah keduanya."Sa--Safina?" Bahkan Tejo sampai tergagap melihat kehadiran wanita yang sudah dia nodai tersebut.
"Insya Allah saya bersedia, Mas," jawab si wanita dengan intonasi sangat lembut serta gemetar, dan semua orang yang ada ramai gemuruh mengucap hamdalah."Alhamdulillah, berarti Bunda mau nambah mantu lagi!" seloroh Bunda Efita terdengar bahagia."Ini kenapa ujung-ujungnya jadi kaya lamaran begini?" Azalia ikut menimpali. "Cie...Bila, akhirnya bisa menikah dengan sang pujaan hati!" ledek istriku seraya memeluk adik sepupunya."Jangan ledekin aku terus dong, Mbak Lia. Aku 'kan jadi malu!" Nabila memonyongkan bibir manja. Dia persis seperti istriku ketika sedang merajuk. Semoga saja sifatnya juga sama seperti Azalia. Penyayang, bijaksana dan menghormati serta menyangi Bunda Efita tentunya."Kapan akan diadakan lamaran secara resmi, Gus. Biar saya siapkan segala keperluannya?" Bunda Efita terlihat begitu bersemangat."Tidak usah ada acara lamaran lagi, Mbak Fita. Sebaiknya langsung dinikahkan saja. Toh, mereka sudah sama-sama d
#Part menuju ending"Astaghfirullahaladzim!" teriak kami ketika tubuh Bu Veronika ambruk ke lantai.Kepanikan mulai terlihat di wajah Dokter Fatih ketika melihat sang ibu tidak sadarkan diri. Kedua mata laki-laki itu sudah dipenuhi kabut dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening mulai meluncur dari balik kelopaknya meninggalkan jejak lurus di pipi."Ibu, bangun, Bu. Ya Allah. Kenapa Ibu malah pingsan seperti ini, Bu?" Dia menepuk-nepuk pelan pipi ibunya."Angkat ibu kamu, Mas. Bawa dia ke kamar tamu atau direbahkan di sofa!" perintah bunda Efita dan segera dikerjakan oleh dokter berkacamata tebal tersebut.Azalia yang sejak tadi berdiri di ambang pintu berinisiatif mengambil minyak kayu putih lalu menggosokkannya ke pelipis serta dekat hidungnya.Tidak lama kemudian mata Bu Veronika terbuka. Dia memalingkan wajah ketika melihat sang anak yang sedang duduk di sebelahnya sambil menggenggam erat jari keriputnya. "
"Assalamualaikum!" Kami yang sedang duduk santai di teras menoleh secara serempak ketika mendengar suara Bu Veronika mengucap salam."Waalaikumussalam!" Ummi segera beranjak dari duduknya, berjalan menuju pintu garasi dan mempersilahkan ibunya Dokter Fatih untuk masuk.Kali ini Bu Veronika datang tidak hanya sendiri, tapi bersama anaknya yang meresahkan itu. Sepertinya dia menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Berpura-pura ingin mengenal lebih jauh keluarga besarku, padahal sebenarnya ingin melihat istriku yang memang begitu cantik memesona dan siapa pun yang melihatnya pasti akan jatuh cinta.Dari balik kacamata tebalnya, terlihat sekali kedua bola mata Dokter Fatih membulat tanpa berkedip menatap ke dalam rumah. Aku menoleh berniat menyuruh Azalia masuk, tapi mataku dibuat memicing olehnya sebab yang sedang dia pandangi malah bukan istri, melainkan Bunda Efita. Sepertinya dokter genit tersebut terpesona dengan kecantikan wajah bunda yang tertutup niqo