"Bagaimana, Li?" tanyaku lagi.
"Maaf, Mas. Aku belum berpikir sampai ke situ. Aku belum berpikir untuk mencari pengganti suami aku. Jujur, aku masih trauma dengan apa yang sudah menimpa. Aku masih takut dikecewakan," jawab Azalia, sedikit menyentil hati ini.Wajar saja jika dia masih trauma dengan apa yang sudah aku lakukan dulu kepadanya. Aku bisa memaklumi itu. Tapi, untuk saat ini, benar-benar ingin memperbaiki diri dan serius menjadikan dia sebagai pendamping hidup."Apa kamu nggak percaya sama Mas, Li?" Menatap wajahnya yang terus saja menunduk.Hening. Azalia masih tetap berdiri dengan mode yang sama, tanpa menjawab pertanyaan yang aku lontarkan.Diam berarti iya."Kalau begitu, ayo kita pulang ke Tegal dan langsung menikah. Biar kamu percaya kalau saat ini Mas serius sama kamu!"Mendengar kata-kata yang keluar dari mulut ini, sontak membuat Azalia mengangkat wajahnya lalu menatapaku. Pendar bahagia terpancar jel***Malam kian beranjak larut. Hanya keheningan serta gelisah yang terus saja menyelimuti hati, begitu takut kehilangan wanita yang mulai aku cintai. Berkali-kali aku bermunajat kepada Sang Pencipta, meminta supaya didekatkan dengan Azalia serta bisa memilikinya. Mudah-mudahan kami berjodoh. Bisa menjalani biduk rumah tangga bersama dan memiliki keturunan yang shalih dan shalihah.Sepertinya kali ini hatiku sudah mantap. Ingin meminta Azalia kepada orang tuanya, mengkhitbahnya sekali lagi, merajut asa bersama, menyatukan harapan yang dulu sempat terberai karena keegoisanku.Ah, kenapa hasrat ingin memilikinya begitu menggebu. Bahkan menunggu esok untuk bertemu saja hati ini sudah gelisah. Aku begitu takut dia dimiliki orang lain, terlebih lagi sepertinya dokter Fatih memang menaruh rasa terhadapnya.Turun dari tempat peraduan. Mengambil wudhu kemudian menggelar sajadah dan lekas menjalani qiyamul lail, memita kepada Sang Pemilik Hati unt
"Waalaikumussalam. Mari, silahkan masuk!" Gus Fauzan akhirnya menjawab salam dari kami setelah cukup lama tercengang, dan mempersilahkan kami semua untuk segera masuk."Silahkan duduk, Wir, Mbak Efita, semuanya," ucapnya lagi.Kami segera duduk dan berbasa-basi sebentar, sebelum akhirnya Abi mengutarakan maksud kedatangan kami ke rumah Gus Fauzan."Bismillahirrahmanirrahim. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. maksud kedatangan saya kemari, saya mewakili putra saya Muhammad Salim Hafidz, ingin bersilaturahim supaya kita mengenal lebih dekat antara satu sama lainnya supaya terjalin ikatan hati yang lebih erat. Saya juga ingin menyampaikan hajat, bahwa putra saya Salim, ingin menjalin hubungan yang lebih serius dengan Ning Azalia. Jika Gus Fauzan dan keluarga berkenan, ananda ini ingin segera menghalalkan Nig Azalia.""Kenapa mendadak sekali seperti ini, Wir?" Laki-laki dengan wajah penuh kharisma serta seteduh taman surga itu tampak bingung
Dering ponsel Gus Fauzan yang terdengar begitu nyaring mampu membuatku terkesiap dan tersadar dari lamunan. Dia segera beranjak dari duduknya, meminta izin menjawab telepon yang sepertinya begitu penting. Sedang Ning Aisyah--istri Gus Fauzan. Terlihat sibuk menyuguhi kami berbagai macam hidangan. Aku terus meremas jemari merasa grogi sekaligus takut mendapat penolakan dari keluarga Azalia."Assalamualaikum!" Kami semua menoleh ke arah sumber suara, ketika mendengar Ummi Azalia mengucap salam, dan menjawab salam tersebut secara serempak.Wanita berparas ayu meski usianya sudah tidak lagi muda itu duduk di samping Ning Aisyah, mengulas senyum kepada kami dan mempersilahkan kami menikmati hidangan yang sudah terhidang di atas meja.Entah siapa yang sedang menghubungi Gus Fauzan, sebab aku lihat dari kejauhan raut wajah pria penuh wibawa tersebut terlihat begitu serius. Aku sangat khawatir kalau yang menghubungi dia justru dokter Fatih, dan
Mobil segera kutepikan di parkiran rumah sakit. Rasanya sudah tidak sabar ingin bertemu dengan calon istri, karena semenjak lamaran belum pernah berjumpa dengan dia. "Assalamualaikum, Suster!" sapaku seraya menghampiri Azalia yang sedang asik berbincang dengan teman-teman seprofesinya."Waalaikumussalam!" Dia menoleh dan langsung menunduk malu ketika menyadari aku sudah berada di belakang. Wajahnya bersemu merah bak tomat ranum membuatku semakin gemas dibuatnya."Sudah pulang belum, Li?" "Su--sudah, Mas. Memangnya kita jadi pergi?" tanya wanita berparas ayu itu tanpa berani menatapku."Iya, dong. Masa nggak jadi. Suster Sarah juga sudah siap menemani 'kan?" Melirik perempuan bertubuh subur yang selalu menjadi teman curhat calon istri."Iya, Mas. Saya sudah diberi tahu sama Azalia kemarin." "Ya sudah! Kita jalan sekarang. Suapaya tidak kemalaman sampai di sananya."Lamat-lamat aku lihat Dokter Fatih berjalan hendak menghampiri, namun niatnya urung saat melihat diriku sedang berdiri d
Hari ini, aku berniat ingin datang ke Tegal, menyerahkan berkas syarat nikah di kantor urusan agama daerah sana sekaligus ingin menjenguk Safina di rumah sakit. Entah apa yang terjadi dengan mantan istriku itu, sehingga pihak rumah sakit menghubungi dan meminta diriku untuk datang. Semoga saja Safina tidak berbuat onar di sana.[Assalamualaikum, sayang. Mas mau ke Tegal hari ini, apa kamu mau nitip sesuatu?] 'Kukirimkan pesan kepada Azalia, siapa tahu dia ingin menitipkan barang atau oleh-oleh untuk ibu serta putranya.[Waalaikumussalam. Tidak, Mas. Barang-barang aku kemarin sudah aku titip travel. Kamu hati-hati di jalan, ya. Jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya.]Balas Azalia.[Siap, Sayang.][Ya sudah. Aku kerja dulu. Assalamualaikum.]Dia mengakhiri obrolan kami. Kebiasaan. Nggak tahu apa di sini ada yang sedang rindu?Memasang sabuk pengaman. Menyalakan mesin kendaraan dan segera pergi menyusuri jalan tol Cipali menuju kota kelahiran calon istri. Bunga-bunga di hati terus saja meka
Berjalan keluar dari rumah sakit, mampir ke sebuah minimarket untuk membeli susu ibu hamil serta vitamin untuk Safina. Aku tidak mau anak dalam kandungannya kurang gizi, atau sampai menuruni penyakit sang Ibu. Nauzubillah. Setelah selesai berbelanja segera kutitipkan barang-barang tersebut ke seorang perawat, sebelum akhirnya aku pulang kembali ke Jakarta untuk mengurus pekerjaan juga membeli segala keperluan untuk acara pernikahanku dengan Azalia nanti. Tidak mau ada satu pun yang terlewatkan, sebab ingin moment pernikahan kami menjadi yang paling spesial.***#AzaliaMengambil ponsel di saku seragam, sebab sejak tadi terus saja berdering. Ternyata ada beberapa panggilan masuk dari paman Fauzan. Ada apa? Kenapa ada banyak sekali panggilan tidak terjawab dari Paman?"Kenapa, Li? Kok wajah kamu tiba-tiba pucat seperti itu?" tanya Dokter Fatih yang kebetulan sedang berada satu ruangan denganku."Saya permisi sebentar, Dok. Soalnya ada banyak sekali panggilan masuk dari Paman saya. Si
"Maaf, Dokter. Saya tidak bisa!" Aku menyahut sambil menunduk."Kenapa? Apa karena laki-laki yang bersama kamu kemarin?" "Dia calon suami saya, Dok. Seminggu lagi kami akan melangsungkan pernikahan!""Oh...Jadi kamu sudah mau menikah? Selamat ya, Li. Tolong lupakan ucapan saya barusan. Saya tidak serius." Aku hanya menjawab dengan menganggukan kepala. Setelah itu gegas pergi menuju kamar pasien, mengecek keadaan mereka satu persatu seperti hari-hari biasanya. Namun ada yang berbeda hari ini. Setiap kali hampir berpapasan denganku, Dokter Fatih terlihat sengaja menghindar, bahkan memilih jalan lainnya supaya tidak bersitatap denganku. Apa dia marah? Atau, ah sudahlah. Tidak mau berparasangka buruk terhadap orang lain, sebab itu akan menambah catatan perbuatan dosa.***Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Berkali-kali kucubit lenganku, memastikan kalau semua ini bukanlah mimpi. Mas Salim, pria yang pernah meng
"Ada apa sih, Ummi. Tangan aku sakit ditarik-tarik seperti ini?" protesku akan tetapi Ummi tidak menggubris. Dia terus saja menarik paksa diriku dan membawa masuk ke dalam kamarnya."Kamu diam di sini dulu, Li. Di luar ada Fahri sedang ngamuk-ngamuk. Ummi takut dia masuk ke dalam kamar dan menyakiti kamu. Makanya Ummi bawa kamu ke sini!" terang Ummi panjang lebar."Astaghfirullahaladzim....Mau apa lagi sih dia? Nggak ada bosan-bosannya mengganggu hidup aku. Apa belum cukup dia mempermalukan aku dulu!" sungutku kesal.Ummi segera mengunci pintu dan duduk di sebelahku sambil menggenggam jemariku. Aku yang sudah begitu lelah menyandarkan kepala di bahu Ummi sambil memejamkan mata, karena jujur sudah mengantuk luar biasa."Kalau kamu ngantuk tidur saja di sebelah Faza. Pokoknya jangan keluar kalau Fauzan atau suami kamu memanggil!" titah Ummi."Iya, Ummi."Segera merebahkan bobot perlahan, memejamkan mata yang sudah terasa berat sambil memeluk tubuh gembul putraku.Namun baru beberapa men
Pukul tujuh malam, selepas melaksanakan shalat isya, Ridwan kembali datang dan meminta Dewi untuk menjadi pendamping hidupnya. Kali ini dia meminta wanita tersebut kepada sang kakak, dan Efita tetap saja menyerahkan semuanya kepada Dewi. "Sudah aku bilang kan, Mas. Aku ini bukan wanita sempurna. Kamu akan menyesal jika menikah denganku nanti. Apa kamu tidak berpikir sampai kesitu, Mas?" Dewi membuang muka menghindari tatapan Ridwan yang begitu menghanyutkan."Saya akan menerima segala kekurangan serta kelebihan kamu, Wi. Lillahi taala. Menikah itu ibadah. Kebahagiaan sepasang suami istri itu bukan hanya karena adanya anak. Tapi dengan saling percaya serta melengkapi, kita akan merasa hidup bahagia selamanya. Apalagi sudah ada Arjuna. Dia juga butuh figur seorang ayah, Wi. Kamu jangan egois!" desak Ridwan memberi keyakinan kepada wanita yang dia kagumi."Justru karena aku tidak mau dianggap egois, makanya menolak kamu, Mas." "Wi, tolong pertimban
Keluarga besar Efita sudah bersiap-siap pergi ke kota Tegal untuk melangsungkan pernikahan Salman dengan putri sulung Gus Fauzan. Pernikahan yang rencananya akan diselenggarakan awal tahun, akan tetapi harus ditunda beberapa bulan karena Salman belum bisa mengambil cuti dan Nabila mendapat tugas dari kampusnya untuk melakukan kuliah kerja nyata di luar kota. Hal itulah yang membuat acara harus ditunda sementara, dan hari ini, dua insan manusia yang saling mencintai itu akan mengucap janji suci di depan Allah, menjadikan hubungan mereka menjadi halal serta diridhai Tuhan."Santai saja, nggak usah gemetar!" bisik Salim kepada sang adik ketika mereka sudah berada di masjid pesantren menunggu ijab qobul dimulai.Salman menerbitkan senyuman. Rasa grogi terlihat jelas di wajah pria berusia sudah genap dua puluh empat tahun itu, apalagi ketika pembawa acara memulai susunan acara.Keringat dingin terus saja membanjiri tubuhnya walaupun ruangan tempat dia akan meng
"Maaf, Wi. Kamu yang tenang. Kalau kamu tidak mau menyerahkan Arjuna tidak apa-apa. Mas tidak memaksa. Tapi kalau suatu saat Mas ingin mengajaknya bermalam di rumah, tolong kamu izinkan ya? Biar dia juga deket dengan Papa Surya."Mendengar nama Surya, entah mengapa ada rasa seperti termas-remas di dada Dewi. Dia ingat betul ketika pria paruh baya itu merenggut dengan paksa kehormatannya, melakukannya berkali-kali hingga akhirnya dia mengandung dan kehilangan masa depan. Selain itu, dia juga harus menjadi duri dalam daging di kehidupan rumah tangga Efita, merobohkan benteng yang telah dibangun dengan kokoh hingga hancur lebur serta rata dengan tanah.Tanpa terasa dua bulir air bening lolos begitu saja dari sudut netra perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu. Walaupun rasa benci terhadap Surya mendominasi di hati, akan tetapi dia begitu mencintai Arjuna. Apalagi Efita selalu memberinya wejangan, kalau anak adalah masa depan yang akan menjamin masa tua kita, j
#POV AuthorEfita sedang duduk di teras sambil mengawasi Arjuna, Syabil dan Faza bermain pasir di taman depan rumah. Dia segera menoleh ke arah pintu ketika mendengar seseorang mengucap salam. Seulas senyum tergambar di bibir Akmal, sambil menatap wajah Efita yang tertutup cadar. Ada rasa rindu yang kian menggebu di dalam kalbu, karena sampai saat ini dia belum benar-benar bisa melupakan sang mantan. Cinta yang ditancapkan Efita di dinding hatinya terlalu dalam dan tidak mudah terhapuskan.Semakin dia mencoba, maka rasa itu kian terasa serta menyiksa."Kamu apa kabar, Fit?" tanya Akmal setelah dia dipersilahkan masuk oleh mantan istrinya."Alhamdulillah aku sehat. Mas Akmal sendiri bagaimana kabarnya, tumben mampir ke rumah, setelah beberapa tahun tidak pernah keliatan batang hidungnya?" "Aku pengen ketemu Juna, Fit."Efita menanggapi dengan ber oh ria. Dia kemudian memanggil keponakan kesayangannya itu dan menyuruh pr
Setelah selesai memberikan keterangan kepada penyidik. Perawat serta polisi wanita yang mendampingi segera membawa Safina keluar dari ruangan tersebut karena harus segera kembali ke rumah sakit."Apa saya bisa bicara dengan Safina sebentar, Bu?" Ragu aku mengatakan hal itu, karena takut Safina kembali mengamuk jika aku mengajaknya berbicara."Silahkan, Pak." Kami pun berjalan menuju kursi panjang yang ada di teras kantor polisi, duduk di tempat tersebut dengan perasaan bersalah menyelimuti hati."Fin," panggilku pelan."Aku tahu apa yang ingin Mas Salim katakan sama aku," sahut Safina dengan suara parau. "Mas nggak usah khawatir. Aku tidak akan lagi mengganggu atau merepotkan Mas. Aku juga sudah ikhlas dengan pernikahan Mas dan Ning Azalia. Aku doakan, semoga kalian berdua hidup bahagia hingga maut yang memisahkan." Seulas senyum tercetak di bibir merah muda Safina walaupun aku lihat ada kabut di kedua sudut netranya.
"Kenapa liatin saya seperti itu?" tanya Fahri seraya menatap menghunus ke arahku.Aku mengangkat satu ujung bibir. Sepertinya Tejo dan Fahri begitu membenci diriku, padahal antara aku dan mereka berdua tidak pernah ada urusan apa-apa. Kenal saja baru-baru ini setelah aku menikah dengan Safina dan Azalia. Tapi, entah mengapa tatapan mereka terlihat penuh dengan kebencian kepadaku.Petugas menyuruh Fahri untuk duduk, menginterogasi dia menanyakan hubungan laki-laki tersebut dengan mantan istri, walaupun Fahri terus saja berbelit-belit memberikan keterangan, malah cenderung mengelak kalau dia tidak pernah melakukan pelecehan seksual terhadap SafinaHingga akhirnya seorang wanita berhijab ungu ditemani oleh seorang perawat juga dua orang polisi wanita datang, membuat Fahri serta Tejo tercengang. Gurat ketakutan tergambar jelas di wajah keduanya."Sa--Safina?" Bahkan Tejo sampai tergagap melihat kehadiran wanita yang sudah dia nodai tersebut.
"Insya Allah saya bersedia, Mas," jawab si wanita dengan intonasi sangat lembut serta gemetar, dan semua orang yang ada ramai gemuruh mengucap hamdalah."Alhamdulillah, berarti Bunda mau nambah mantu lagi!" seloroh Bunda Efita terdengar bahagia."Ini kenapa ujung-ujungnya jadi kaya lamaran begini?" Azalia ikut menimpali. "Cie...Bila, akhirnya bisa menikah dengan sang pujaan hati!" ledek istriku seraya memeluk adik sepupunya."Jangan ledekin aku terus dong, Mbak Lia. Aku 'kan jadi malu!" Nabila memonyongkan bibir manja. Dia persis seperti istriku ketika sedang merajuk. Semoga saja sifatnya juga sama seperti Azalia. Penyayang, bijaksana dan menghormati serta menyangi Bunda Efita tentunya."Kapan akan diadakan lamaran secara resmi, Gus. Biar saya siapkan segala keperluannya?" Bunda Efita terlihat begitu bersemangat."Tidak usah ada acara lamaran lagi, Mbak Fita. Sebaiknya langsung dinikahkan saja. Toh, mereka sudah sama-sama d
#Part menuju ending"Astaghfirullahaladzim!" teriak kami ketika tubuh Bu Veronika ambruk ke lantai.Kepanikan mulai terlihat di wajah Dokter Fatih ketika melihat sang ibu tidak sadarkan diri. Kedua mata laki-laki itu sudah dipenuhi kabut dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening mulai meluncur dari balik kelopaknya meninggalkan jejak lurus di pipi."Ibu, bangun, Bu. Ya Allah. Kenapa Ibu malah pingsan seperti ini, Bu?" Dia menepuk-nepuk pelan pipi ibunya."Angkat ibu kamu, Mas. Bawa dia ke kamar tamu atau direbahkan di sofa!" perintah bunda Efita dan segera dikerjakan oleh dokter berkacamata tebal tersebut.Azalia yang sejak tadi berdiri di ambang pintu berinisiatif mengambil minyak kayu putih lalu menggosokkannya ke pelipis serta dekat hidungnya.Tidak lama kemudian mata Bu Veronika terbuka. Dia memalingkan wajah ketika melihat sang anak yang sedang duduk di sebelahnya sambil menggenggam erat jari keriputnya. "
"Assalamualaikum!" Kami yang sedang duduk santai di teras menoleh secara serempak ketika mendengar suara Bu Veronika mengucap salam."Waalaikumussalam!" Ummi segera beranjak dari duduknya, berjalan menuju pintu garasi dan mempersilahkan ibunya Dokter Fatih untuk masuk.Kali ini Bu Veronika datang tidak hanya sendiri, tapi bersama anaknya yang meresahkan itu. Sepertinya dia menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Berpura-pura ingin mengenal lebih jauh keluarga besarku, padahal sebenarnya ingin melihat istriku yang memang begitu cantik memesona dan siapa pun yang melihatnya pasti akan jatuh cinta.Dari balik kacamata tebalnya, terlihat sekali kedua bola mata Dokter Fatih membulat tanpa berkedip menatap ke dalam rumah. Aku menoleh berniat menyuruh Azalia masuk, tapi mataku dibuat memicing olehnya sebab yang sedang dia pandangi malah bukan istri, melainkan Bunda Efita. Sepertinya dokter genit tersebut terpesona dengan kecantikan wajah bunda yang tertutup niqo