"Syabil doakan Ayah terus ya. Salat yang rajin, supaya Ayah bangga dan tambah sayang sama Syabil." Mengulas senyum terpaksa seraya menahan air mata yang sudah menggelayut di kedua pelupuk.Mungkin kini saatnya memberi tahu Syabil pelan-pelan tentang Ayah, supaya dia tidak terus-menerus menunggu kepulangan lelaki tercintanya.Lamat-lamat terdengar suara sang Muazin mengumandangkan azan. Gegas masuk ke dalam mushalla, berdiri di belakang iman bersisian dengan Syabil dan beberapa jemaah lain. Selesai melaksanakan ibadah wajib dua rakaat tersebut aku sengaja mengajak Syabil jalan-jalan mengitari komplek, mencari sarapan untuknya hingga jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka enam pagi.***Kamis sore, aku berziarah ke makam Ayah, ingin menumpahkan rasa rindu yang sudah lama menyelimuti kalbu. Setelah lima belas menit menembus kemacetan jalan kota tempat tinggalku, akhirnya sampai juga di depan gapura pekuburan tempat dimana A
"Kamu duduk di belakang, ya. Soalnya kita pergi sama Abi juga," ujarku seraya membantu memasangkan sabuk pengaman di pinggang mantan istri."Kenapa aku harus duduk di belakang?" protes Safina. Dia mencoba melepas seat belt yang melilit namun aku segera mencegahnya."Fina sudah janji mau nurut sama Mas, 'kan?" Menatap iba wajah cantik Safina.Dia menjawab dengan menganggukan kepala dan tersenyum.Ya Allah... Semakin tersayat-sayat rasanya hati ini melihat ekspresi Safina. Merasa bersalah karena telah menjatuhi dia talak tiga. Andai saja dulu aku tahu dia memiliki kelainan jiwa, mungkin tidak akan berani mendekati, apalagi sampai melukai hatinya."Loh, Mas. Kok laki-laki ini ikut?" Safina menatap wajah Abi dengan mimik heran ketika suami ibuku ikut masuk ke dalam mobil."Buat gantiin Mas nyetir, Fin. Soalnya Mas capek!"Abi menoleh ke arah Safina dan berusaha melengkungkan bibir. Dari sorot mata lelaki berusia empat puluh
"Kenapa dulu njenengan nggak bilang sama saya kalau Safina punya penyakit seperti itu? Kenapa njenengan malah menikahkan saya dengan dia, Gus?" tanyaku penasaran. Ingin tahu maksud Gus Fauzan menikahkan aku dengan wanita itu, jika sebenarnya dia tahu kalau Safina memilki penyakit kelainan jiwa."Karena saya pikir kamu sudah tahu tentang Safina, Lim." Gus Fauzan mengambil napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Dia menatapku penuh dengan rasa penyesalan."Sebenarnya penyakit yang diderita Safina itu bukan aib atau penyakit menular. Tapi mungkin sebagian orang merasa malu jika memiliki anggota keluarga memiliki penyakit seperti Safina. Padahal, dukungan keluarga lah yang membuat si penderita bisa mengatasi masalah penyakitnya, meredam esmosinya jika sedang tidak terkendali sehingga dia tidak hilang akal dan berhalusinasi. Sedang Safina, dia justru selalu dipengaruhi hal-hal buruk oleh Tejo. Saya sudah berkali-kali menasihati tetapi Tejo malah marah
"Nama Ummi Faza siapa?" "Lia. Ummi Azalia, Om." Ya Allah. Jadi selama ini dia sudah menjadi orang tua tunggal. Suaminya sudah meninggal dan dia memiliki seorang putra?Kuangkat wajah balita berusia sekitar empat tahunan itu, membingkai wajahnya, menatap lekat-lekat setiap inci wajahnya. Tapi dia sama sekali tidak mirip Azalia. Mungkin mirip dengan almarhum suaminya."Faza. Ayo bobok. Sudah malam. Kenapa Faza malah ganggu Om?" Aku menoleh ke arah sumber suara. Ummi Azalia berdiri di dekat pintu, menatap kami berdua yang sedang dalam mode saling berpelukan."Faza maunya bobok sama Abi. Nggak mau sama jiddah!" Putra Azalia semakin mempererat pelukannya kepadaku."Nggak boleh begitu, anak sholeh. Yuk! Ikut Jiddah. Sudah malam, loh. Besok sore Ummi pulang." Faza mendongak menatap wajah neneknya. Raut kecewa tergambar jelas di wajah imut nan menggemaskan itu. Membuat diri ini tidak tega melihat ekspresi wajahnya."
Pukul tujuh pagi. Aku lihat Faza putra Azalia sedang berlari-lari di halaman rumah Ummi ditemani dua orang santriwati. Cepat-cepat menghapiri lelaki kecil yang sudah berhasil mencuri hatiku itu dan melambai memanggilnya."Abi...," teriaknya kegirangan, merentangkan tangan langsung memeluk tubuhku."Sudah maem?" Berjongkok menyeimbangkan tubuhku yang jangkung ini dengan tubuhnya."Belum." "Kenapa?" "Ndak mau!" Dia menggeleng pelan."Harus makan biar cepat besar. Abi suapin mau?" "Hu'um!""Mbak. Tolong ambilkan makanan buat Faza. Biar saya yang suapin!" perintahku kepada salah seorang santriwati dan langsung dijawab dengan anggukan sopan olehnya.Semangkuk nasi beserta ikan tongkol suir dan sayur bayam sudah ada di tangan. Aku menyuruh Faza membaca doa sebelum makan lalu menyuapinya perlahan. "Loh, Mas. Kok jadi kamu yang suapin Adek?" Azalia sudah berdiri di sampingku membawa botol air miner
Prang!! Prang!!Terdengar suara pecahan kaca di dalam ruangan. Teriakkan Paklik pun semakin keras terdengar. Aku dan Gus Fauzan segera berlari menghampiri, dan ternyata Safina sedang menyerang Paklik tejo membabi buta. Entah mendapat kekuatan dari mana, tenaga wanita yang telah kujatuhi talak tiga itu terlihat begitu kuat, melebihi tenaga laki-laki."Fina. Istighfar, Nduk. Istighfar! Jangan menyakiti orang terus. Kasihan Paklikmu!" Gus Fauzan dan beberapa santri berusaha memegangi, namun Safina begitu perkasa layaknya seorang Srikandi yang tidak tertandingi."Dia yang sudah membuat saya hancur, Gus. Dia yang telah membuat Mas Salim meninggalkan saya. Saya marah! Saya benci sama orang jelek itu!" Kaki Safina terus saja berusaha menendang tubuh Paklik Tejo.Sedang diriku. Hanya bisa melihat dari jarak beberapa puluh meter, karena Gus Fauzan melarangku untuk mendekat. Takut Safina kembali menyerangku seperti tempo hari.Setelah kea
"Kenapa kamu tidak menikah lagi, Li? Supaya ada yang menanggung hidup kalian berdua, dan kamu tidak perlu bekerja keras seperti ini. Kasihan Faza jika terlalu sering ditinggal oleh ibunya. Anak segini itu sangat membutuhkan figur seorang ibu." Aku menelan saliva mendengar ucapan yang terlontar dari mulut Mas Salim.Memang benar juga apa yang dia katakan. Faza sangat membutuhkan figur seorang ibu. Dia membutuhkan aku untuk selalu berada di sisinya, menemani hari-harinya, mengajarkan dia segala rupa seperti ibu-ibu yang lain.Tetapi, tuntutan hidup mengharuskan aku untuk bekerja mencari nafkah untuk menutupi segala kebutuhan putraku. Tidak mungkin terus menerus hidup bergantung kepada Ummi, sebab dia juga hanya seorang janda yang tidak memiliki penghasilan. Untuk kebutuhan dia sendiri saja masih kekurangan, apalagi jika ditambahi beban kebutuhanku.Bukannya aku tidak mau menikah lagi. Tetapi luka yang suami serta Mas Salim toreh terlalu dalam hingga ke dasar sanubari. Aku hanya seorang
"Mas!" Aku memanggil pelan seraya menghapiri.Wajah Mas Fahri terlihat pias saat menyadari aku sudah berdiri di belakangnya. Dengan segera ia menyimpan ponsel ke dalam saku celana, berjalan masuk melewatiku tanpa berkata apa-apa. Pun ketika kami berdua sedang berada di dalam kamar. Dia hanya diam membisu, tanpa sekali pun menoleh ke arahku. Dia tidur menghadap tembok, memeluk guling memunggungiku.*Entah berapa lama aku terlelap dengan mode saling diam, sebab Mas Fahri sama sekali tidak mau bercengkrama dengan diriku yang saat ini sudah menyandang gelar sebagai seorang istri. Telingaku kembali menajam ketika mendengar lelaki di sebelahku sedang berbicara dengan seseorang di ujung sambungan telepon."Demi Allah, Dek. Mas tidak menyentuhnya. Mas tidak akan menyentuhnya jika kamu tidak ridho!" Kata itu begitu pelan dia ucapkan, akan tetapi bagai sebuah guntur yang menggelegar yang mampu meluluhlantakkan semua yang ada di muka bumi.
Pukul tujuh malam, selepas melaksanakan shalat isya, Ridwan kembali datang dan meminta Dewi untuk menjadi pendamping hidupnya. Kali ini dia meminta wanita tersebut kepada sang kakak, dan Efita tetap saja menyerahkan semuanya kepada Dewi. "Sudah aku bilang kan, Mas. Aku ini bukan wanita sempurna. Kamu akan menyesal jika menikah denganku nanti. Apa kamu tidak berpikir sampai kesitu, Mas?" Dewi membuang muka menghindari tatapan Ridwan yang begitu menghanyutkan."Saya akan menerima segala kekurangan serta kelebihan kamu, Wi. Lillahi taala. Menikah itu ibadah. Kebahagiaan sepasang suami istri itu bukan hanya karena adanya anak. Tapi dengan saling percaya serta melengkapi, kita akan merasa hidup bahagia selamanya. Apalagi sudah ada Arjuna. Dia juga butuh figur seorang ayah, Wi. Kamu jangan egois!" desak Ridwan memberi keyakinan kepada wanita yang dia kagumi."Justru karena aku tidak mau dianggap egois, makanya menolak kamu, Mas." "Wi, tolong pertimban
Keluarga besar Efita sudah bersiap-siap pergi ke kota Tegal untuk melangsungkan pernikahan Salman dengan putri sulung Gus Fauzan. Pernikahan yang rencananya akan diselenggarakan awal tahun, akan tetapi harus ditunda beberapa bulan karena Salman belum bisa mengambil cuti dan Nabila mendapat tugas dari kampusnya untuk melakukan kuliah kerja nyata di luar kota. Hal itulah yang membuat acara harus ditunda sementara, dan hari ini, dua insan manusia yang saling mencintai itu akan mengucap janji suci di depan Allah, menjadikan hubungan mereka menjadi halal serta diridhai Tuhan."Santai saja, nggak usah gemetar!" bisik Salim kepada sang adik ketika mereka sudah berada di masjid pesantren menunggu ijab qobul dimulai.Salman menerbitkan senyuman. Rasa grogi terlihat jelas di wajah pria berusia sudah genap dua puluh empat tahun itu, apalagi ketika pembawa acara memulai susunan acara.Keringat dingin terus saja membanjiri tubuhnya walaupun ruangan tempat dia akan meng
"Maaf, Wi. Kamu yang tenang. Kalau kamu tidak mau menyerahkan Arjuna tidak apa-apa. Mas tidak memaksa. Tapi kalau suatu saat Mas ingin mengajaknya bermalam di rumah, tolong kamu izinkan ya? Biar dia juga deket dengan Papa Surya."Mendengar nama Surya, entah mengapa ada rasa seperti termas-remas di dada Dewi. Dia ingat betul ketika pria paruh baya itu merenggut dengan paksa kehormatannya, melakukannya berkali-kali hingga akhirnya dia mengandung dan kehilangan masa depan. Selain itu, dia juga harus menjadi duri dalam daging di kehidupan rumah tangga Efita, merobohkan benteng yang telah dibangun dengan kokoh hingga hancur lebur serta rata dengan tanah.Tanpa terasa dua bulir air bening lolos begitu saja dari sudut netra perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu. Walaupun rasa benci terhadap Surya mendominasi di hati, akan tetapi dia begitu mencintai Arjuna. Apalagi Efita selalu memberinya wejangan, kalau anak adalah masa depan yang akan menjamin masa tua kita, j
#POV AuthorEfita sedang duduk di teras sambil mengawasi Arjuna, Syabil dan Faza bermain pasir di taman depan rumah. Dia segera menoleh ke arah pintu ketika mendengar seseorang mengucap salam. Seulas senyum tergambar di bibir Akmal, sambil menatap wajah Efita yang tertutup cadar. Ada rasa rindu yang kian menggebu di dalam kalbu, karena sampai saat ini dia belum benar-benar bisa melupakan sang mantan. Cinta yang ditancapkan Efita di dinding hatinya terlalu dalam dan tidak mudah terhapuskan.Semakin dia mencoba, maka rasa itu kian terasa serta menyiksa."Kamu apa kabar, Fit?" tanya Akmal setelah dia dipersilahkan masuk oleh mantan istrinya."Alhamdulillah aku sehat. Mas Akmal sendiri bagaimana kabarnya, tumben mampir ke rumah, setelah beberapa tahun tidak pernah keliatan batang hidungnya?" "Aku pengen ketemu Juna, Fit."Efita menanggapi dengan ber oh ria. Dia kemudian memanggil keponakan kesayangannya itu dan menyuruh pr
Setelah selesai memberikan keterangan kepada penyidik. Perawat serta polisi wanita yang mendampingi segera membawa Safina keluar dari ruangan tersebut karena harus segera kembali ke rumah sakit."Apa saya bisa bicara dengan Safina sebentar, Bu?" Ragu aku mengatakan hal itu, karena takut Safina kembali mengamuk jika aku mengajaknya berbicara."Silahkan, Pak." Kami pun berjalan menuju kursi panjang yang ada di teras kantor polisi, duduk di tempat tersebut dengan perasaan bersalah menyelimuti hati."Fin," panggilku pelan."Aku tahu apa yang ingin Mas Salim katakan sama aku," sahut Safina dengan suara parau. "Mas nggak usah khawatir. Aku tidak akan lagi mengganggu atau merepotkan Mas. Aku juga sudah ikhlas dengan pernikahan Mas dan Ning Azalia. Aku doakan, semoga kalian berdua hidup bahagia hingga maut yang memisahkan." Seulas senyum tercetak di bibir merah muda Safina walaupun aku lihat ada kabut di kedua sudut netranya.
"Kenapa liatin saya seperti itu?" tanya Fahri seraya menatap menghunus ke arahku.Aku mengangkat satu ujung bibir. Sepertinya Tejo dan Fahri begitu membenci diriku, padahal antara aku dan mereka berdua tidak pernah ada urusan apa-apa. Kenal saja baru-baru ini setelah aku menikah dengan Safina dan Azalia. Tapi, entah mengapa tatapan mereka terlihat penuh dengan kebencian kepadaku.Petugas menyuruh Fahri untuk duduk, menginterogasi dia menanyakan hubungan laki-laki tersebut dengan mantan istri, walaupun Fahri terus saja berbelit-belit memberikan keterangan, malah cenderung mengelak kalau dia tidak pernah melakukan pelecehan seksual terhadap SafinaHingga akhirnya seorang wanita berhijab ungu ditemani oleh seorang perawat juga dua orang polisi wanita datang, membuat Fahri serta Tejo tercengang. Gurat ketakutan tergambar jelas di wajah keduanya."Sa--Safina?" Bahkan Tejo sampai tergagap melihat kehadiran wanita yang sudah dia nodai tersebut.
"Insya Allah saya bersedia, Mas," jawab si wanita dengan intonasi sangat lembut serta gemetar, dan semua orang yang ada ramai gemuruh mengucap hamdalah."Alhamdulillah, berarti Bunda mau nambah mantu lagi!" seloroh Bunda Efita terdengar bahagia."Ini kenapa ujung-ujungnya jadi kaya lamaran begini?" Azalia ikut menimpali. "Cie...Bila, akhirnya bisa menikah dengan sang pujaan hati!" ledek istriku seraya memeluk adik sepupunya."Jangan ledekin aku terus dong, Mbak Lia. Aku 'kan jadi malu!" Nabila memonyongkan bibir manja. Dia persis seperti istriku ketika sedang merajuk. Semoga saja sifatnya juga sama seperti Azalia. Penyayang, bijaksana dan menghormati serta menyangi Bunda Efita tentunya."Kapan akan diadakan lamaran secara resmi, Gus. Biar saya siapkan segala keperluannya?" Bunda Efita terlihat begitu bersemangat."Tidak usah ada acara lamaran lagi, Mbak Fita. Sebaiknya langsung dinikahkan saja. Toh, mereka sudah sama-sama d
#Part menuju ending"Astaghfirullahaladzim!" teriak kami ketika tubuh Bu Veronika ambruk ke lantai.Kepanikan mulai terlihat di wajah Dokter Fatih ketika melihat sang ibu tidak sadarkan diri. Kedua mata laki-laki itu sudah dipenuhi kabut dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening mulai meluncur dari balik kelopaknya meninggalkan jejak lurus di pipi."Ibu, bangun, Bu. Ya Allah. Kenapa Ibu malah pingsan seperti ini, Bu?" Dia menepuk-nepuk pelan pipi ibunya."Angkat ibu kamu, Mas. Bawa dia ke kamar tamu atau direbahkan di sofa!" perintah bunda Efita dan segera dikerjakan oleh dokter berkacamata tebal tersebut.Azalia yang sejak tadi berdiri di ambang pintu berinisiatif mengambil minyak kayu putih lalu menggosokkannya ke pelipis serta dekat hidungnya.Tidak lama kemudian mata Bu Veronika terbuka. Dia memalingkan wajah ketika melihat sang anak yang sedang duduk di sebelahnya sambil menggenggam erat jari keriputnya. "
"Assalamualaikum!" Kami yang sedang duduk santai di teras menoleh secara serempak ketika mendengar suara Bu Veronika mengucap salam."Waalaikumussalam!" Ummi segera beranjak dari duduknya, berjalan menuju pintu garasi dan mempersilahkan ibunya Dokter Fatih untuk masuk.Kali ini Bu Veronika datang tidak hanya sendiri, tapi bersama anaknya yang meresahkan itu. Sepertinya dia menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Berpura-pura ingin mengenal lebih jauh keluarga besarku, padahal sebenarnya ingin melihat istriku yang memang begitu cantik memesona dan siapa pun yang melihatnya pasti akan jatuh cinta.Dari balik kacamata tebalnya, terlihat sekali kedua bola mata Dokter Fatih membulat tanpa berkedip menatap ke dalam rumah. Aku menoleh berniat menyuruh Azalia masuk, tapi mataku dibuat memicing olehnya sebab yang sedang dia pandangi malah bukan istri, melainkan Bunda Efita. Sepertinya dokter genit tersebut terpesona dengan kecantikan wajah bunda yang tertutup niqo