Alva membuka helai demi helai pakaian Kevin yang lusuh. Darah yang mengering serta tanah bersatu dalam tiap benang pakaiannya. Bukan hanya bau keringat yang tercium, tetapi juga bau tidak enak dari debu dan kotoran yang menempel. Hal itu menunjukkan betapa pria itu tidak memedulikan keadaannya sekarang. Bahkan disaat Alva melepas pakaian pria itu, terlihatlah seluruh luka yang membuat kulit kuning langsat Kevin menjadi menyeramkan.
“Lebam dan luka di mana-mana. Sepertinya kejadian itu terjadi dalam pekan ini. Dia berjalan ke sana ke mari dengan keadaan seperti ini?” gerutu Alva.
Dia memeriksa sebuah luka yang tertutup kain di perut kiri Kevin. Saat ia mengangkat kain pembalut luka itu, terlihatlah sebuah jahitan pada luka tersebut.
“Siapa yang menjahitnya? Bagus juga. Sepertinya luka ini tidak perlu dikhawatirkan,” gerutu Alva lagi.
Drap!
Alva terkejut saat Bian sudah ada di depannya dengan barang bawaan yang lumayan banyak.
Langkah kaki tegas menapaki tanah yang masih berisi butiran pasir pantai. Alva berjalan mendekati seorang gadis yang sedang duduk di dahan pohon Ketapang yang berdiameter cukup besar.“Hei. Bisa kau turun?” tanya Alva.Drap!Spontan Bian melompat dan berdiri tegak di depan Alva.“Ayo istirahat di sana saja! Dia berjanji tidak akan mengganggumu,” bujuk Alva.“Tidak!”“Aku sudah memberinya obat tidur. Dia akan tidur semalaman ini. Itu karena dia butuh istirahat lebih, lihat saja kantong matanya yang hitam. Jadi dia tidak akan sempat mengganggumu. Ayolah!” bisik Alva.Tanpa menunggu jawaban, Alva menarik tangan kiri Bian dan membawanya ke tempat kemah mereka. Kevin terlihat sedang tertidur pulas di samping api unggun yang menyala. Tanpa dipinta, Bian duduk di samping kiri Alva tanpa mengalihkan pandangan matanya dari arah Kevin.“Sebenarnya apa yang terjadi? Kau bilang kau tida
Alva dan Kevin berjalan beriringan menelusuri jalan setapak di pedalaman hutan yang dipenuhi tumbuhan Kelapa dan Ketapang. Rasa canggung masih membuat mereka saling serba salah untuk memulai pembicaraan.“Apa ini tidak berlebihan? Dia … sampai harus menjaga jarak seperti ini.” Tanya Kevin memulai pembicaraan.“Itu keinginan dia. Tapi … yaa … aku malah terjebak berdua denganmu di sini,” jawab Alva.Bian yang benar-benar menjaga jarak dari Kevin, mengikuti mereka dari jarak yang sangat jauh.“Kau tidak takut dia diserang oleh orang lain atau apa pun itu?”“Kurasa tidak perlu walau terkadang aku tetap takut. Dia bisa melindungi dirinya sendiri.”“Kenapa dia memberimu kipas itu? Bukannya kau punya senjata sendiri? Untuk apa kipas itu?”“Kipas ini senjatanya! Untuk jaga-jaga jika kau berlaku tidak senonoh padaku.”“Kau pikir aku ini ap
Alva memilih sebuah pakaian berwarna biru muda dengan tudung berbentuk kepala kucing. Kevin memilih sebuah pakaian berwarna abu-abu dengan tudung berbentuk kepala kelinci. Sedangkan Bian memilih sebuah kostum berwarna hijau dengan dua antena pada tudung kepalanya.“Maaf Bian, kenapa kau tidak pilih tudung lain? Apa kostum ulat itu sesuai seleramu?” Tanya Alva sambil menahan geli dihatinya.Dengan wajah tak bersalah, Bian hanya memandangi Alva dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dia mencoba menebak kostum yang digunakan oleh pemuda itu.“Tidak apa-apa sih, justru kau terlihat imut dengan pakaian itu pfftt … maaf. Aku tidak bisa menahan tawaku. Aku tidak mengejek … hanya saja … ini yang terjadi jika aku melihat sesuatu yang menggemaskan dan aku menahannya,” ucap Alva.“Kenapa semakin lama melihatnya, dia seperti kucing sih. Pfft … aku ingin sekali mencubit wajah datarnya itu. Tapi bisa-bisa dia mele
Kevin menatap mata Alva dengan tajam. Dimalam yang berterangkan rembulan dan lampu yang cukup remang, seorang pria tiba-tiba meminta bayaran atas usaha yang belum tuntas dilakukan.“Aku tidak punya uang saat ini! Tunggulah sesudah masalah ini selesai. Aku pasti akan membayarnya!” jawab Kevin.“Aku tidak meminta bayaran uang!”“Lalu apa? Jangan-jangan … aku belum siap!” Ucap Kevin sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.“Kau ini! Jangan bercanda terus!” jawab Alva kesal.“Pfft … maaf … aku hanya bercanda. Kau ingin aku bercerita soal hubunganku dengan Ariana’kan? Kalau begitu … dengarkan baik-baik!”**Empat tahun yang lalu. Tepat ketika Pasukan Fajar mendapat sebuah tawaran untuk berperang di daerah perbatasan Kerajaan Amara. Sebuah tawaran yang tidak mungkin ditolak, terlebih ketika Kevin menyadari jika itulah kesempatannya
Kevin seketika menutup bukunya dan memandangi Tara dengan intens.“Wanita itu terlihat mirip dengan putri mahkota Kerajaan Amara, Putri Anindira.”“Tetapi?”“Ada beberapa bukti yang menunjukkan jika dia bukanlah Putri Anindira. Pertama, dari segi fisik menunjukkan jika dia bukanlah orang ist
“Menarik … sekarang jelaskan padaku kenapa namamu Ariana? Kau sudah mendengar sendiri jika hanya ada satu nama Ariana. Apa kerajaan meloloskan namamu begitu saja?”Ariana tidak menjawab pertanyaan yang tidak bisa dia mengerti. Kevin meletakkan kertas informasi itu di atas meja.“Sekarang baca semua informasi ini. Katakan padaku apa itu benar dirimu!”“Tuan, saya takut kita ditipu. Bisa saja dia disewa jadinya kita tidak bisa menukarnya. Atau saya takut ini jebakan untuk kita,” bisik Tara.“Aku juga memikirkan hal itu. Tapi tetap kencangkan pengawalan, jangan sampai lengah. Kita tidak tahu kapan musuh menyerang,” balas Kevin.“Ada apa? Kau tidak bisa membaca? Padahal kau bilang kau tinggal di istana Rubi. Sudah ketahuan sekali jika kau pembohong. Daripada wajahmu semakin hancur, lebih baik katakan siapa dirimu yang sebenarnya, darimana asalmu dan ada rencana apa kalian?” tanya Kevin.
Kevin beranjak pergi. Setiap harinya dia selalu sibuk, ia hanya menerima laporan tahanan dari para penjaga dan tangan kanannya saja. Hingga suatu ketika, dia mendapat kabar jika tahanan spesialnya itu sudah mulai berbuat hal gila. Tanpa membuang-buang waktu, dia mempercepat langkah untuk melihat kejadian itu.“Dia mencakar tangannya sendiri secara berulang-ulang Tuan,” lapor seorang penjaga.Kevin mencengkram tangan kiri Ariana dengan keras. Pandangan kosong gadis itu sontak membuatnya terkejut.“Aku memang suka melihatmu menderita. Tetapi … jika kau benar-benar menjadi gila, maka urusanku bisa kacau. Baru tujuh hari, kau sudah menjadi seperti ini? lemah!” hardik Kevin.Setelah diobati, bola besi berantai dipasang ke kedua tangan Ariana untuk menghindari agar kejadian yang sama tidak terulang kembali.“Beberapa kali dia tidak memakan makanannya Tuan. Sepertinya dia memang berusaha membunuh dirinya sendiri. Apa s
“Tuan, sudah dua hari berlalu sejak dia masuk ke ruang darurat. Ryan sudah harus kembali ke pasukan yang bertugas. Karena itu pasti tidak ada yang akan menjaga dia, jadi … apa tidak apa-apa menyerahkan dia pada dua perawat muda itu?” tanya Ryan.“Bukannya mereka bertugas untuk memantau penjaga tahanan?” Ryan mengangguk.“Begini saja … berhubung aku sedang libur bertugas keluar. Aku yang akan menjaganya, hanya saja … karena aku harus mengurus semua surat masuk aku tidak bisa ke sana. Bagaimana kalau dia dibawa ke sini?”“Bukannya itu bahaya Tuan?”“Aku yakin kau sudah tahu apa yang harus dilakukan. Lakukan saja!”Ryan mengangguk dan kembali ke tempat kerjanya. Tak berlangsung lama, Tara masuk ke dalam ruangan.“Apa saya tidak salah dengar? Bukannya Tuan membenci orang istana? Ada niat apa?” tanya Tara.“Lalu aku harus menyerahkannya padam
Syuut!Trang!Bian berhasil menangkis satu peluru yang hampir mengenainya. Ruangan itu tampak hening meskipun pasukan profesor telah bersiap-siap untuk pergi.“Dua? Tiga? Mereka hanya sedikit namun mereka menyebar dalam ruangan ini. Aku tidak tahu pasti di mana mereka. Yang bisa kulakukan adalah menunggu mereka menyerang,” pikir Bian.Profesor dan yang lain mulai bergerak.Trang!“Ketemu!”Wuush!Ngiiing!“Arrrgh!”Teriakan itu pun seketika berhenti.“Dia berniat mengejar mereka. Setidaknya itu bisa memperingatkan yang lain jika mereka lebih aman jika diam di tempat!”Syyut!Trang!“Arrgh!” Bian terduduk ketika salah satu peluru mengenai perut bagian bawahnya. Darahnya mulai mengalir deras.“Setidaknya aku menemukan satu dari mereka!”Wuush!“Arrrgh!”“Tinggal satu lagi. Aku harus mencarinya sebelum aku kehabisan darah. Di mana kau?” gerutunya. “Perasaanku mulai tidak tenang! Aku harap dia baik-baik saja!” pikir Alva.“Alva! Jangan melamun!” sorak Kevin.Dor!Suara pistol mulai kemba
Pulau Gati telah terlihat. Mereka mulai memenuhi pelabuhan yang tetap ramai seperti biasa.“Prof. Pulau ini memang memiliki banyak pelabuhan. Tetapi … melihat mereka yang sudah tahu dengan kedatangan kita. Bukannya hal yang mungkin jika mereka sudah melarikan diri atau pun mereka membunuh kita saat tiba?” bisik Alva.“Benar. Tetapi … lihatlah sekitar laut! Kapal-kapal itu bukan berlayar tanpa alasan. Mereka berpatroli dan mengepung pulau ini agar tidak ada yang melarikan diri.”“Lalu … kenapa mereka bisa menyerang kita kemaren?”“Itu karena kita sudah masuk wilayah dalam penjagaan. Maksudnya kita sudah masuk dalam sarang mereka, sedangkan para kapal hanya berjaga dalam jarak tertentu agar mereka tidak keluar. Mereka harus menjaga jarak agar tidak mudah diserang musuh. Kemungkinan besar, kemaren mereka masuk melalui penyusupan.”“Apa kalian semua tahu soal kapal penjaga itu?”“Tidak. Aku tidak percaya dengan anak buahku sekarang. Aku merasa salah satu dari teman-temanmu itu ada yang me
Angin laut mulai berhembus kencang. Dua kamar yang dipesan, satu untuk Bian dan satu untuk Alva dan Kevin secara bergantian. Cara terbaik untuk lebih menghemat uang, mengingat mereka masih harus menyewa satu kapal lagi. Namun, sebuah pertemuan yang tidak diduga. Alva kembali bertemu dengan rombongan sang profesor.“Kau … masih hidup?” tanya profesor yang melihat Bian diantara mereka.“Umurnya lebih panjang dari dugaan. Kenapa? Kalian hendak membunuhnya lagi? Jika iya, maka langkahi dulu mayatku!” terang Kevin memasang badan dengan nada tegasnya.“Kau … siapa?” tanya anggota yang lain.“Aku adalah orang yang mengobatinya setelah terjatuh dari tebing itu. Karena itu … aku tidak akan terima jika ada orang yang akan melukainya lagi!”Deg!“Sudahlah … kita tidak ada urusan lagi dengan Lingkar Hitam. Sekarang misi kita hanyalah Regu Venom,” terang profesor.“Kebetulan sekali Prof! Kami memang hendak ikut membantu penyerangan itu!” ucap Alva.“Dari mana kau tahu soal penyerangan itu?”“Seseo
Alva sedikit menenggak ludah lantaran jendral membicarakan soal Lingkar Hijau.“Tuan … apa anda mengetahui semua urusan istana?” tanya Kevin.“Beberapa. Terkadang mereka merahasiakannya dariku!”“Apa Tuan … tahu soal Ariana?” sambung Alva.“Tentu saja. Aku sangat kecewa pada diriku sendiri yang tidak bisa ada untuknya. Saat pemindahan ke Rubi bahkan saat pengirimannya ke perbatasan … aku tidak tahu soal kebijakan itu karena aku sibuk mengurus daerah Timur. Tahu-tahu … dia sudah tidak ada di tempat. Saat aku ingin menjenguknya di Istana Rubi … aku dilarang keras oleh Petinggi. Karena itu … aku hanya bisa mengirim sedikit hadiah dariku melalui pelayan untuknya. Aku pun tidak tahu apa itu benar – benar tersampaikan padanya atau tidak.”“Bahkan anda tidak mengetahui soal pemindahan itu?”“Iya. Rasanya sedih, aku tidak tahu kenapa. Sepertinya mereka berniat menjauhkanku darinya. Padahal aku sangat menyayanginya. Meskipun banyak muncul gosip yang tidak mengenakkan, bagiku … aku sudah menga
Ting!Bian berhasil menangkis pedang yang hampir memenggal leher pangeran.Buk!Penyusup itu tertatih – tatih lantaran kakinya yang terasa amat nyeri. Alva dan Kevin pun segera keluar dan membantu mereka.“Alva! Anak itu!” panggil Bian.Alva menoleh dan melihat pangeran yang mulai memucat. Dia mendekat dan mengecek keadaannya.Sreet!Dia pun menyobek lengan baju pangeran yang telah berlumuran darah.“Membiru!” batinnya.Dia pun menoleh kesekitaran yang terlihat sepi.“Ck … keadaan seperti ini pun tidak ada medis yang berjaga?” gumamnya.“Aku harus memberikan pertolongan pertama padanya!” sambungnya.“Arrgh!”Anindira pun mulai terkena sayatan pedang.“Mereka hanya bertiga … tetapi menjadi sulit karena mereka pengguna racun meskipun memang satu lawan satu,” batin kevin.Dengan matanya yang mulai berkunang-kunang, Anindira tetap berusaha melihat pertarungan di sekitarnya. Musuh yang mulai mengabaikannya mulai mengambil ancang-ancang untuk menyerang yang lain.Matanya terbelalak saat mel
Semuanya langsung terfokus pada suara yang berasal dari tempat duduk sekitaran ratu. Pedang Ro telah menancap di langit-langit setelah dihadang oleh kipas Bian. Alva yang merupakan sasaran pedang itu seketika menjadi panas dingin setelah melihat kipas Bian yang menancap pada dinding batu. “Cerdik sekali Tuan Puteri! Sebaiknya jangan lakukan itu lagi! Jangan sembrono! Semua tempat ini dalam jangkauan kami!” gertak Kevin yang sebenarnya terkejut dengan kejadian itu. “Itu … karena kemampuannya! Kau sudah membunuhnya tadi! Dia menggunakan semacam sugesti pada Yang Mulia Ratu! Kami memang merubah sistem kerajaan semenjak pemerintahan Ratu Indriana. Kami memang mengasingkan Puteri Ariana karena kami takut ramalan itu benar. Kami hanya melakukan tugas kami untuk melindungi kerajaan!” “Ramalan ya! Sepertinya ramalan itu benar! Sebuah kebetulan! Dia datang kembali setelah enam tahun lamanya dengan kemampuannya yang tidak bisa dinalar oleh otak. Bagaimana menurutmu? Dia benar-benar datang unt
Srak!Drap!Dua ekor kuda kembali berpacu. Bedanya kini Bian menunggangi kuda yang sama bersama Kevin. Alva yang telah kembali normal telah mendengar semua cerita beberapa hari yang lalu. Malu dan bersalah, setidaknya itulah yang dia rasakan saat menatap mata Bian.“Maaf, aku tidak pernah tahu apa yang terjadi ketika tubuhku berusaha melawan racun!”Itulah pembelaan yang dia katakan ketika tangan Bian mendadak dingin saat ia tarik agar mau mendengarnya berbicara. Sesudah itu, mereka masih belum ada bicara hingga saat ini.Canggung!“Aku penasaran siapa yang menyerang kita kemaren!” ucap Alva.“Sepertinya hanya perampok! Aku tidak menemukan apapun yang mencurigakan dari salah satu anggota mereka.”“Hmm … mereka hebat juga!”“Kuakui itu. Mungkin mereka mantan dari suatu perkumpulan!”“Ngomong-ngomong … kita akan masuk dari mana? Penjagaan di istana itu pasti sangat ketat!”“Aku sudah tahu jalan masuknya. Kita akan masuk dari Istana Rubi. Tempat itu sangat dekat dengan ruang kerja peting
Drap!Srak!Dua ekor kuda berlari dengan kencang ke arah ibu kota Kerajaan Amara. Tempat yang harus di tempuh selama tiga hari dengan berkuda tanpa halangan.“Kau benar – benar sudah tidak apa-apa?” tanya Alva.“Tentu saja, aku baik-baik saja. Perasaanku jauh lebih baik setelah memukulmu!”“Haa? Tidak terdengar seperti pujian untukku!” jawab Alva.“Yaa … setidaknya kau harus meningkatkan bentuk tubuhmu agar bisa bertahan dengan serangan mendadakku. Kulihat tanganmu membiru!”“Tak bisakah sedikit saja kau merasa berdosa padaku setelah melakukan hal itu?”“Kenapa? Kau sendiri yang memanasiku! Kau harus terima resikonya!”Alva hanya bisa tersenyum mengiyakan pernyataan Kevin yang benar.“Pinggangmu tidak sakit duduk menyamping begitu?” tanya Alva pada Bian.“Ini lebih baik!”“Alva, awas!” teriak Kevin.“Ngiiik!” Kuda yang mereka tunggangi sontak menukik. Dengan sigap Alva memeluk Bian dan memposisikannya agar tidak langsung terjatuh ke tanah.Trak!Kevin melepas anak panahnya ke tempat k
“Ternyata begini caramu memandangi nasib ya?” ejek Alva.Kevin hanya berdecak dan mengabaikannya.“Aku kira kau akan memilih balas dendam seperti sebelumnya!”Pria itu tampak terkejut dan memandangi Alva yang telah duduk di sampingnya.“Tidak ada yang memberitahuku. Aku hanya menebak ke mana kau pergi selama dua tahunan itu. ““Kenapa aku harus mencari jauh-jauh jika orang yang kucari ada di depan mata?” tanya Kevin dengan tatapannya yang tajam.“K-kau bercanda’kan?”Srak!Brak!“Uggh!” Alva terhempas jauh setelah berhasil menangkis serangan Kevin yang mendadak.“Sebaiknya kau jangan ikut campur!” gertak Kevin pada Bian yang hendak mendekat.“Sialan. Ternyata kau serius … baiklah jika itu maumu! Akan aku layani dengan serius!” ucap Alva riang.Syuut!Trak!Bian hanya bisa diam memandangi Alva dan Kevin saling beradu pukulan. Beberapa kali mereka saling terhempas akibat serangan bertenaga mereka. Dia pun berpindah ke atas pohon yang lebih teduh.Setelah tiga puluh menit berlalu, pertar