“Maaf karena saya datang terlambat.” Rena memasuki apartemennya dengan gerak tubuh sedikit membungkuk sebagai bentuk permintaan maaf. Seharusnya ia datang lebih cepat dan dapat memberikan pelayanan yang terbaik untuk tamu-tamunya. Tapi untung saja ia gemar memasak sehingga cookies yang berada di atas meja makan bisa kakaknya sajikan untuk tamu-tamu mereka.
“Tidak apa-apa. Nak, ayo bergabung bersama kami.” Sebuah suara yang lembut menyambutnya. Rena segera mengangkat wajahnya dan menemukan wanita paruh baya asing yang berwajah ramah.
Rena segera tersenyum dan wanita itu juga menyahutnya dengan senyum yang lembut. Rena dengan cepat meletakkan bokongnya di sebuah kursi di dekat kakaknya saat menemukan seorang pria paruh baya menatap arlojinya beberapa kali. Sepertinya mereka memiliki pekerjaan yang penting.
“Kami tidak akan lama karena pekerjaan menuntut kami untuk segera pergi. Kalian tentu tahu bahwa anak-anak ini akan segera menikah dan kurasa memperkenalkan mereka lebih dahulu akan lebih baik.” Pria paruh baya itu memulai dengan cepat. Ia sangat sibuk sehingga bertele-tele hanya akan membuang waktunya.
“Tentu, Tuan Armstrong. Kurasa mereka harus mengenal satu sama lain sebelum menikah.” Ibu angkat Rena memberikan balasan dengan suara yang terdengar manis, mengejutkan Rena karena nada suara itu tidak pernah ia dapatkan.
“Baiklah. Ini adalah putraku, Luke Armstrong. Ia adalah putraku satu-satunya yang merupakan seorang pewaris dari perusahaanku, Armstrong Corp.” Pria paruh baya itu memulai.
“Ah, ya! Ini adalah putriku, putri bungsuku. Namanya adalah Rena Martin. Kalian tentu tahu latar belakang darimana ia berasal tanpa aku perlu menjelaskan.” Ibu angkat Rena menjelaskan dengan nada suara enggan. Rena tahu itu karena rasa malu karena ia adalah anak pungut.
Rena tidak masalah dengan itu. Tapi yang menjadi masalahnya adalah bahwa pria yang akan dijodohkan dengannya adalah seorang Armstrong. Ia bukan pria sembarangan.
“Salam kenal, aku Rena Martin. Senang berkenalan denganmu.” Rena menawarkan sebuah jabatan tangan. Setidaknya ia harus terlihat baik agar tidak mempermalukan ibu dan kakak angkatnya.
“Luke Armstrong. Aku juga senang berkenalan denganmu.” Luke membalas jabatan tangannya dan memberikan sebuah senyuman. Senyuman itu terlihat cukup tulus.
Tapi hanya satu hal yang mereka tidak tahu, kalau Luke sebenarnya menyimpan sebuah pemikiran yang hanya ia sendiri yang tahu. Tentang Rena dan apapun yang wanita mungil itu miliki. Tentang takdir dan jalan hidupnya dari eksistensinya di dunia ini.
.
.
.
“Jadi, bagaimana?” Suara lembut Nyonya Armstrong membuat Rena mengangkat wajahnya. Nyonya Armstrong terlihat cantik dengan wajah lembutnya. Terlebih hal yang melekat padanya adalah sesuatu yang mahal hingga membuatnya terlihat berkali lipat mempesona di usia yang tidak lagi muda.
Ia bertanya seperti itu pada Luke dan Rena setelah menyampaikan maksud semua orang tua di sana untuk segera menikahkan mereka. Mereka merasa sudah cukup saatnnya Luke dan Rena menikah karena Luke yang akan meyelesaikan pendidikannya juga akan segera diangkat menjadi pimpinan perusahaan. Hanya saja mereka tetap mempertimbangkan kesanggupan keduanya.
“Bisa biarkan kami beradaptasi dulu? Kurasa kami belum siap.” Jawaban Luke tanpa sengaja membuat Rena memandang orang-orang di sana dengan penuh harap.
“B-Benar. Kurasa kami membutuhkan sedikit waktu untuk saling mengenal lebih jauh.” Rena memberanikan diri untuk berbicara meski suaranya sangat lembut. Rena hanya memiliki harapan kalau kata-kata itu dapat dipertimbangkan, meski harapan itu sangat kecil.
Mengangkat tatapan dari vas bunga di meja, Tuan Armstrong memandang Luke dan Rena tanpa arti dan pelan-pelan bibirnya sedikit menukik ke atas. Ia menatap Rena yang berubah canggung saat mata mereka bertemu. Sedangkan Luke hanya menegaskan pandangannya.
“Baiklah. Tapi setelah kami menentukan, kalian harus sudah siap.” Tuan Armstrong kemudian berucap tegas.
“Kalau begitu, kami akan pergi. Perkerjaan di Jepang sudah menunggu.” Nyonya Armstrong mengintrupsi suasana yang tiba-tiba menjadi hening. Tangannya megusap lembut punggung tangan Nyonya Martin lalu tersenyum sangat ramah.
Setelah itu Rena harus cepat-cepat berdiri dan menerima pelukan dari Nyonya Armstrong yang hangat dan keibuan. Rena bisa merasakan kasih sayang di dalamnya. Rena jadi ingin menangis.
“Kami pulang, Sayang. Jaga kesehatanmu. Kau adalah perempuan mungil yang manis dan cantik, tolong jangan buat dirimu terbeban dan menjadi semakin kurus.” Setelah itu membelai pipi Rena sayang dan kembali tersenyum lembut setelah mendapat anggukan.
Tapi setelah mereka menghilang di balik pintu, Rena bisa melihat tatapan tajam ibu dan kakaknya. Kakaknya dengan sangat cepat mendekat. Setiap langkahnya diisi dengan amarah.
PLAK!!
Kakaknya memukul Rena dengan sangat keras. Tubuhnya yang memang telah lelah menjadi mudah goyah. Ia terhempas ke lantai dengan keras.
“Akhh!” Rena memekik saat merasakan sakit yang menyengat pipinya.
“Tidak tahu diri! Cukup katakan iya dan semua selesai!” Wanita itu berteriak marah lalu menedang sekali perut Rena dengan keras.
“Balas budimu, Rena. Lakukan apa yang aku mau.” Kali ini ibunya yang berbicara setelah kakaknya berhenti menyakitinya, lagi-lagi dengan suara dingin tanpa nada.
Rena terbatuk perlahan. Kakaknya memang hanya menendangnya sekali karena kesal, tapi itu sangat menyakitkan. Lalu setelahnya yang bisa Rena lihat dengan pandangan buramnya adalah kedua wanita itu berjalan keluar apartemennya tanpa menoleh sedikitpun. Terakhir, segalanya gelap.
.
.
.
Dia memasuki sebuah mobil mewah dengan gigi bergemeletak seakan dia tengah kesal. Dia adalah seorang pria muda, Luke Armstrong. Dia biasanya sangat meledak-ledak hingga menahan amarah dan kemuakan membuatnya ingin segera melampiaskannya. Demi apapun, Luke tidak tahu kalau dirinya bisa seterkendali itu. Bahwa ia dapat menahan diri untuk tidak menyalak di saat ia dan perempuan yang dijodohkan dengannya diperkenalkan. Luke hampir di seumur hidupnya tidak pernah bisa menahan amarahnya sampai seapik ini.
“Sial!” Luke menggerutu pelan. Luke memang tidak bersama orang tuanya karena mereka mengggunakan mobil mewah yang lain untuk langsung melesat menuju bandara.
“Persetan dengan perjodohan itu! Kenapa hidupku jadi seberengsek ini?!” Luke menyandarkan tubuh tegapnya. Lalu tangan kuat semenawan malaikat abadi miliknya memijat pelipisnya.
Luke menghela napasnya lalu menghempas ringan kepalanya dan menutup mata sebentar. Napasnya yang tadi terlihat memburu perlahan mulai stabil. Sementara seseorang lain di depan setir hanya bisa menggeleng jengah. Jeffrey Smith, sahabat Luke sejak kecil. Jeffrey tinggal bersama Luke dan keluarganya sejak kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat. Nyonya Armstrong yang membawanya sejak ia adalah seorang putra dari sahabat dekat.
“Jeff, bawa aku ke tempat biasa.” Luke berbicara dengan suara seraknya yang rendah. Matanya menatap ke luar jendela dengan sikap tubuh lebih tenang.
“Tidak ada alkohol, Luke. Jangan lagi.” Jeffrey menyahut dengan sama rendah, mata tajamnya memandang jalanan di depannya dengan penuh minat. Ia tidak suka Luke yang mencari pelarian stressnya dengan alkohol.
“Sialan! Kamu hanya pekerjaku!” Luke menggeram marah. Bagaimana bisa Jeffrey yang memang memiliki tugas untuk bekeja padanya dan melayaninya malah bertingkah seperti itu?
“Aku memang memiliki peran sebagai tangan kananmu. Jadi?” Jeffrey tersenyum main-main, matanya melirik Luke yang terlihat lebih marah.
“Jadi?! Jaga perkataanmu! Aku bisa saja memecatmu dan menendangmu hingga berakhir di jalanan!” Benar, Luke benar-benar marah.
“Tapi jangan pernah lupa, aku juga memiliki hak untuk mengingatkanmu karena aku sudah lebih dari sekedar pekerjamu. Aku adalah sahabatmu.” Jeffrey mengingatkan dengan lebih serius kali ini,
“Ah, ya! Kamu sahabatku! Jadi, Sahabatku, tolong ijinkan aku minum. Kepalaku mulai terasa sakit sekarang. Terlalu banyak hal yang aku pikirkan, aku hanya butuh sedikit pelarian. Kumohon.” Setelah berbicara seperti itu, Luke dapat mendengar helaan napas berat.
“Baiklah. Tapi tidak sampai kamu mabuk.” Jeffrey memutar setir menuju daerah pinggiran kota. Mencari tempat termewah dan yang paling menyenangkan bagi Luke. Jeffrey menyayangi Luke sebagai saudara. Saudara malang yang selama ini hidup tanpa kasih sayang orang tuanya.
Dingin terasa menyerap masuk menusuk tulang tubuh ringkih yang masih terbaring di lantai tanpa alas. Matanya masih terpejam, masih pingsan setelah pukulan yang meninggalkan tanda biru kehitaman juga kemerahan di kulit putihnya. Tapi tidak terlalu lama kemudian, tubuh itu bergerak menggeliat lalu tersentak dan menggeliat lebih pelan dengan mata terpejam dan wajah berkerut saat merasa tubuhnya sangat sakit.“Oh... Astaga...” Bibirnya mendesis kecil.Matanya terbuka perlahan saat mendengar bebunyian mendesir. Dia pikir itu bunyi hujan, tapi rupanya hanya bebunyian kendaraan yang seperti menyatakan hari telah dimulai. Namun langit tampak gelisah, menampilkan gumpalan-gumpalan tebal keabuan dengan latar biru yang menyejukkan.“Bangun, Pemalas!”Rena sudah membuka matanya. Ia sudah benar-benar terbangun meski masih merasa pening. Tapi mimpi buruk dari bilik memori masih menghampirinya. Terasa menghantam kepalanya yang membuatnya kembali menutup mata dan mendesis
Bella berlari kencang dengan seruan-seruan kecil di tengah napasnya yang memburu. Lalu sesaat setelah tiba, Bella berteriak dramatis sampai terdengar serak. Ia hanya terkaget melihat apa yang terjadi di dalam setelah ia membuka pintu apartemen Rena dengan kasar. Rena sedang terduduk di lantai dengan wajah dan tubuh yang basah. Kepalanya menoleh dengan kaku dan matanya terlihat penuh dengan ketakutan. Bibirnya pucat dan gemetar. Napasnya terengah lalu kemudian ia berubah panik dengan ekspresi yang semakin mengerikan. “P-pergi sebelum kamu terluka. Pergi! “ Rena berteriak frustasi dengan warna wajah yang semakin tampak mati. Bella mulai menangis kemudian terhuyung ke arah Ben yang menangkapnya dengan sigap. “Tidak...” Bella menggeleng kuat dengan frustasi yang terdengar seperti racauan. Rena yang seperti itu, Rena yang terlihat terlalu menyedihkan. “Pergi!” Suara Rena terdengar lebih lirih. Dua manik cokelat gelapnya bergerak-gerak dengan ge
“Sudah lama menunggu?” Seorang perempuan bertanya dengan suara yang terdengar manja pada Luke. Suara itu mengejutkannya karena masih mengingat perkataan Luke sebelumnya.“A-ah! Ti-tidak juga.” Luke tertarik kembali ke dunia nyata, suara Jane berhasil menariknya. Jane, seseorang yang ia sebut kekasih.“Duduklah, Sayang.” Luke berusaha tersenyum dengan cepat, lalu ia membawa perempuan mungil itu duduk tepat di hadapannya. Apapun yang dia pikirkan, dia harus segera melupakannya. Jane telah berada di sini sekarang, dia hanya harus memberikan banyak perhatian.“Cepat sekali. Kukira akan perlu paling tidak 15 menit untuk ke sini.” Luke lalu menemukan Jane yang tertawa dengan manis.“Saat kamu menelepon, sebenarnya aku sedang berada di dekat sini.” Perempuan itu tersenyum cerah. Di dalam suaranya terselip keantusiasan.“Oh, ya? Benar begitu?” Luke menaikkan sebelah alisnya.“Iya. Aku bahkan sempat berbincang dengan Jeffrey di mobilmu.” Jane menunju
“Rena hanya shock, jangan khawatir. Tidak ada yang serius. Rena hanya perlu beristirahat dan meminum obatnya dengan teratur. Segalanya akan membaik.” Helena berucap dengan suara yang terdengar tenang dan menyenangkan. Tangannya bergerak cepat menuliskan beberapa resep lalu menyerahkannya pada kakak laki-lakinya. Kemudian dia meraih jas dokternya yang tadi tidak dia kenakan lalu menyampirkannya di tangannya. Dia segera meraih tasnya dan merapikan apa saja yang harus dirapikan. “Baiklah, kami akan pastikan kalau Rena akan meminum obatnya dengan teratur.” Wajah Amora yang manis tampak lega. Di sisinya ada Bella yang juga terlihat tidak kalah lega. “Kalau begitu aku akan pergi. Aku di rumah sakit. Jika terjadi sesuatu, jangan sungkan untuk menghubungiku.” Helena tersenyum lalu berdiri perlahan. Amora adalah kekasih kakaknya. Bella adalah kekasih dari sahabat kakaknya. Sedangkan Rena akan menjadi istri dari seseorang yang ia dan kakaknya anggap sebagai saud
“Phoenix.” Ben menundukkan kepalanya patuh. Sedangkan Bella memandang Luke dengan tatapan yang tajam. Dia memang selalu tidak pernah menyukai laki-laki itu. Sementara Luke sudah terlalu terbiasa mengabaikannya. “Ben, harus berapa kali aku katakan padamu? Jangan menundukkan kepala padaku, kamu adalah keluargaku.” Luke menepuk bahu Ben dengan hangat, membuat Ben mengangkat kepalanya. Sedikit keangkuhan di wajahnya retak saat dia menatap adik sepupunya itu. “Yang datang sekarang adalah Luke Armstrong yang penuh pengawalan. Kamu yang sekarang adalah Phoenix dan Phoenix tengah menjemput calon pendampingnya. Silakan, dia sudah siap.” Ben sekali lagi menunjukkan sikap patuhnya, memiringkan tubuh dan membiarkan Luke masuk. Dia sedang sangat formal, terlalu terbiasa meletakkan dirinya di kondisi ini hingga ia sudah terlalu hapal mengenai siapa peran yang Luke ambil di kondisi-kondisi tertentu. Luke mengangkat kepalanya untuk membuat sikap angkuh dan aur
Rena menunduk dan duduk dengan tegang. Jari-jarinya yang saling bertautan tampak bergerak gelisah. Sedangkan Luke ada di sebelah kirinya. Ia tengah menyetir dengan pandangan terpaku pada jalanan yang tidak begitu ramai. “Aku akan pergi setelah mengantarmu. Jika kamu merasa perlu untuk segera beristirahat, aku bisa mengantarmu ke hotel terdekat atau kamu ingin langsung ke rumah?” Luke bertanya dengan mata melirik Rena dan menemukan orang itu terdiam dengan fokus yang terbelah. Matanya tampak menatap pangkuannya dengan dengan gamang. Apapun yang sedang dia pikirkan, Luke tidak suka diabaikan. Alis Luke tiba-tiba menukik tanda tidak suka. Tangannya mencengkram kemudi dan rahangnya mengeras. Luke tiba-tiba menukikkan mobilnya ke tepi jalan dengan brutal hingga Rena tersentak dan membelalakkan matanya. “Sialan, Rena Martin!” Luke berteriak marah sambil menarik dagu Rena agar menatapnya. Wajahnya yang mengeras tampak mengerut marah. “Sepertin
Rena mendesah lega saat kedua kakinya berhasil menapak di lantai datar dengan sempurna setelah berjuang dan kesakitan untuk menaiki tangga. Ia berjalan perlahan ke sebuah pintu besar yang indah. Segera membukanya saat sudah meraihnya untuk melihat sosok pria yang tengah tertidur dengan posisi tubuh duduk. Punggung tegap laki-laki itu terlihat bersandar dengan cukup nyaman di kepala ranjang. Rena tiba-tiba merasa sedikit takut karena harus membangunkan pria berwajah tampan yang terlihat kelelahan itu. Tapi kemudian ia menggelengkan kepalanya, Luke adalah calon suaminya dan Rena harus peduli padanya. Luke bisa saja sakit kalau tidak memiliki makanannya dan sebagai calon pasangan yang baik, Rena harus memperhatikan asupan makanan dan kesehatan Luke. Rena harus membuat calon suaminya merasa senang dan puas dengan pelayanannya. “Luke.” Rena memanggil lirih dan sedikit menggoyangkan tubuh Luke, berharap dengan itu Luke akan segera terbangun. Kemudian Luke tampak terganggu dan Rena menarik
Setelah Rena selesai menyiapkan sarapan, ia segera menuju ke kamar calon suaminya. Saat membuka pintu, ia menemukan Luke yang masih terlihat sangat serius. Calon suaminya masih berkutat dengan pekerjaannya. Setelah menyiapkan diri, Rena mendekat dengan hati-hati, cukup untuk membuat orang itu menatapnya. “L-Luke, a-aku berpikir untuk menyiapkan a-ir untukmu m-mandi.” Rena sekali lagi membuat rasa tidak nyaman mulai memenuhi hati Luke. Karena Rena dan sikapnya sungguh menciptakan perasaan lain di hatinya. “Baiklah, kamu siapkan air dan aku akan menyiapkan berkasku sebentar.” Luke menyahut dengan setengah minat. Calon istrinya adalah orang yang penurut dan Luke menyukainya. Tapi bagaimana bisa orang yang akan menjadi pendamping hidupnya menjadi sangat takut padanya? Mereka akan tinggal di sisi satu sama lain sampai tidak tahu kapan dan dia tidak bisa membayangkan kalau mereka akan hidup seperti itu terus-menerus. Rena berbalik dan pergi ke kamar
Rena bergerak ke dalam pelukan suaminya. Kulit mereka yang sama polosnya menyentuh satu sama lain. Ini adalah malam hari jadi pernikahan tahun kelima mereka. Riana dan Jeffrey membawa Edrick untuk menginap di rumah Hendry untuk bermain bersama putri Hendry dan Amora, Liliana Lewis. Mereka bermaksud memberikan waktu berdua pada Luke dan Rena untuk menikmati waktu mereka. Hingga mereka sekarang berada di atas tempat tidur, memutuskan untuk mengakhiri hari jadi pernikahan untuk saling menghangatkan.Rena tersenyum samar dan perlahan menangkup wajah suaminya. Luke terlihat tampan meski keringat mulai membasahi wajah. Menatap Luke seperti ini perlahan membuat Rena mengingat lagi tentang masa lalu mereka. Ia kembali mengingat bagaimana Luke saat dulu pertama kali menyentuhnya. Ia juga kembali mengingat bagaimana raut wajah yang ia tunjukkan. Dahulu wajah tampan itu terisi dengan belas kasihan dan sedikit rasa peduli. Tapi sekarang wajah itu menunjukkan cinta dan kebah
Rena hampir menangis karena air susunya tidak cukup untuk menyusui Edrick. Untung saja ibu mertuanya ikut ke rumah Ploy dan mengambil air susu di lemari pendingin. Ia sempat memerah air susunya sesaat sebelum ia berangkat untuk menyelamatkan Luke.“Sudah, tidak apa-apa. Kamu harus lebih tenang agar produksi susumu baik untuk menyusui Edrick selanjutnya. Air susu perah ini hanya cukup untuk menyusuinya sekali ini saja.” Ibu Luke yang menggendong Edrick dan membantunya meminum susunya, membiarkan Rena menenangkan dirinya sendiri.“Baik, Ibu. Aku mengerti.” Rena menyahut setelah menghela napas panjang untuk sedikit menenangkan diri. Sebenarnya ia tidak bisa tenang saat Luke harus menghadapi bahaya. Tapi ia akan berusaha karena bahkan Ibu Luke sekalipun menunjukkan sikap tubuh penuh ketenangan.“Bagus. Kamu harus tenang. Sebenarnya bukan hanya untuk Edrick tapi juga dirimu sendiri. Kalau kamu terlalu stress dan kelelahan k
Orang-orang itu memasuki sebuah ruangan dengan tenang, mengabaikan wajah terkejut banyak laki-laki di sana. Mereka adalah tamu yang tidak disangka akan datang. Mereka adalah Phoenix dan King. Mereka orang-orang terkejam yang sanggup membunuh untuk menunjukkan eksistensi dan kekuatan mereka. Terlebih, mereka datang setelah musibah yang menghampiri Phoenix dan terlihat sama sekali tidak terpengaruh oleh itu.“Ini wilayahku dan kalian masuk tanpa persetujuanku. Apa yang kalian lakukan di sini?” Suara Mark yang geram menyambut keduanya.“Bukankah kamu juga melakukan hal yang sama? Aku hanya melakukan apa yang kamu lakukan sebelumnya. Hanya saja aku lebih bermoral karena tidak memasuki wilayahmu dengan menyelundup.” Luke menyahut dengan tenang sementara matanya berpendar mencari seseorang lagi pembuat masalah. Hingga ia menemukannya, Jane yang mendekati Mark setelah keluar dari sebuah ruangan,“Sialan. Apa yang ingin kamu l
“Aku tidak bangun untuk melihatmu menangis, Rena.” Suara laki-laki yang masih terdengar lemah itu berisi dengan rasa khawatir. Ia baru saja terbangun lalu menemukan Rena yang langsung menangis.Sedangkan Rena malah menangis semakin keras karena Luke yang berupaya menenangkannya. Rasa lega yang menerjangnya terasa terlalu keras hingga ia sendiri kelimpungan dalam menanggapi. Ia hanya terlalu lega hingga kini membuat Luke yang berubah khawatir padanya.“Apa yang harus dikhawatirkan? Lihatlah! Aku baik-baik saja.” Jawaban Luke membuat ibunya menghela napas jengah.“Kamu membuatku khawatir, Luke. Kamu kehilangan kesadaran di depan wajahku. Saat tenaga medis berusaha menyelamatkanmu, kamu dalam kondisi tidak stabil karena kekurangan darah. Sedangkan di rumah sakit ini hanya tersisa satu kantong darah untukmu dan itu tidak banyak membantu. Aku panik sekali.” Kini Rena yang berbicara, nada suaranya terdengar sedikit kes
Luke tengah berada di ruang operasi. Tenaga medis tengah melakukan operasi kecil untuk mengeluarkan peluru yang bersarang di tubuhnya. Tapi operasi itu berjalan lama karena kondisi Luke yang tidak stabil. Ia kehilangan banyak darah, sehingga penanganannya harus sangat hati-hati.“Rena, aku tahu kamu cemas. Tapi aku mohon duduklah sebentar, kamu sudah berdiri terlalu lama. Aku tidak mau kamu pingsan saat nanti Edrick harus kau susui.” Itu Alexa yang berbicara. Ia cerewet hari ini karena melihat Rena yang terlalu ceroboh untuk dirinya sendiri. Sebenarnya ia lebih cerewet sebelumnya saat ia menyuruh Rena mengganti baju dengan baju yang Riana bawa. Ia memang sengaja meminta Riana untuk segera menyusul ke rumah sakit dengan bantuan Ben dan membawa setelan baju yang seukuran dengan tubuh kurus Rena. Ia hanya khawatir saat melihat tubuh Rena berbalut darah. Ia juga seseorang yang rela untuk sangat direpotkan saat membantu Rena untuk menghapus noda-noda dara
Alexa masuk bersama Hendry, Jeffrey, Joseph dan Rena. Sebenarnya Hendry, Jeffrey dan Joseph sudah meminta Alexa untuk tinggal. Tapi mereka berakhir berada di tempat itu karena Rena ingin ikut, membuat Alexa ingin menemaninya. Alexa hanya tidak ingin Rena kehilangan pengendalian diri karena ia mungkin saja masih mengingat kejadian mengerikan yang ia dan Bella hadapi hari itu.“Pelacur sialan! Bagaimana kamu bisa berada di sini?” Jane berteriak marah. Rencananya ia hanya mengundang Rena, tapi pelacur sialan ini malah ikut.“Aku tidak hanya pintar untuk menjajakan tubuhku, tapi juga menggunakan otakku. Itu yang disebut dengan pelacur yang cerdas. Tidak murahan yang memperkosa seorang laki-laki.” Alexa menjawab dengan kesombongan di nada bicaranya. Ia murka, ia tidak terima seorang teman dekat sekaligus suami sahabatnya diperlakukan sebegitu rendah.Sebenarnya tidak hanya Alexa yang merasa amarah membakarnya, terlebih lagi Rena.
Meronta saat merasakan kulitnya dicengkram erat begitu tali-tali di tubuhnya dilepaskan. Ia berencana untuk melepaskan diri, tapi efek obat bius masih membuat ia cukup lemas. Sedangkan Jane hanya diam saat melihat Luke mulai berteriak frustasi. Ia memang mencintai Luke, namun ia tidak bisa diam saat rasa sakit menggigit hatinya. “Apa yang kamu rencanakan? Apa yang ingin kamu lakukan?!” Luke berteriak marah lalu mencoba memberontak. BUG! “Sialan!” Luke berteriak marah pada Mark yang tiba-tiba memukulnya. Ia benar-benar marah pada mereka serta tubuhnya yang terasa seperti bukan tubuhnya sendiri. “Kamu hanya perlu diam dan nikmati apa yang kami berikan padamu. Saatnya kamu yang kalah, Phoenix. Saatnya kau yang merasakan dipermalukan. Saatnya kamu yang merasakan perasaan tidak berdaya.” Mark tertawa setelah itu, merasa puas melihat ketidakmampuan Luke membalas pukulannya. “Hentikan ini sekarang juga! Kamu pikir apa yang akan kamu la
Tubuh laki-laki itu terlihat lemas bersandar pada sebuah kursi di ruangan yang kumuh. Ia terikat oleh seutas tali tambang yang kasar. Posisi tubuhnya terlihat benar-benar tidak nyaman. Sementara orang-orang di sana hanya memandangnya dan menunjukkan wajah yang tenang. “Seberapa banyak dosis obat bius yang kamu berikan?” Seorang laki-laki bertanya pada seorang perempuan di sana. Nada suaranya mulai terdengar tidak sabar. “Bukan aku yang memberikannya, aku meminta dokter pribadiku. Kenapa kamu tidak bersabar sedikit?” Perempuan itu menyahut dengan kesal. “Jane, aku ke sini tidak untuk membuang banyak waktu. Jika aku tahu akan jadi sebegini terlambat, aku akan menunda untuk datang lebih dulu.” Tapi si laki-laki menyahut tidak kalah kesal. Ia memiliki banyak hal yang ingin ia jadikan pencapaian hingga menunggu seperti ini benar-benar terasa tidak berguna. “Lalu apa? Bukankah ini adalah apa yang juga kamu tunggu, Mark? Kamu ingin melihat dia
Cahaya bintang terlihat redup saat ditatap dari taman belakang yang berisi bunga-bunga yang ditanam seorang perempuan cantik belakangan hari saat ia masih mengandung. Udara mendinging dan suara menyepi. Hari telah berubah semakin larut tapi Luke masih terjaga. Rasa rindu pada Rena semakin tidak tertahankan sedangkan ia masih harus bertahan pada kesunyian yang sama demi meluluskan diri dari ujian kesabaran yang ia buat sendiri. Rena selalu pandai bersabar, maka ia juga harus bisa. Memiliki cinta seorang malaikat membuatnya harus merubah diri walau terasa menyakitkan.“Rena, bagaimana kabarmu? Aku merindukanmu. Tidakkah kamu juga merasakan hal yang sama?” Tangan Luke terangkat untuk mencengkram dadanya sendiri. Ia telah sekarat karena rindu yang mulai berkarat.Rasa rindu teramat dalam ini seperti akan merenggut kewarasannya. Oh Tuhan, jika iblis sepertinya boleh memohon. Maka ia memohon jika saat waktu memaksa mereka untuk berpisah, ia ingin ia