Beranda / Urban / Keturunan Terakhir Elite Global / 37. Mencari Tahu Siapa Dalangnya

Share

37. Mencari Tahu Siapa Dalangnya

Penulis: MuhNaufal Monsong
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56
Malam merayap semakin larut, dan huru-hara di istana mulai mereda. Kesibukan masih ada. Para pelayan yang tersisa melanjutkan pengabdian mereka, dimulai dari membereskan meja makan dan sisa pertarungan.

Felix sendiri sedang di aula bersama kedua majikannya. Ada dokter juga. Tubuh Edna yang kekar tak sadarkan diri kini sedang jadi objek pemeriksaan.

Sesekali dokter menggeleng, dan semua pesannya diterjemahkan oleh si pelayan mancung.

“Ini tidak bagus,” ungkap dokter.

“Dia meninggal?” tanya Reza.

“Tidak, dia cuma pingsan. Hanya saja, ambulans di luar akan kempes kalau dia diangkut.”

Isabelle berdecak jengkel. “Fellex, kasih tahu dokter ini untuk tidak terlalu body shaming ke musuh kita. Dia juga punya kecantikan dari dalam.”

“Mau marah, tapi pelafalannya sudah mendekati benar.” Felix menghela napas. “Jadi, kita harus bagaimana?”

Selalu ada solusi untuk semua masalah. Reza mengangguk. Ia percaya diri dengan sebuah saran. “Kita kasih makan saja dia ke buaya di kandang.”

Tentu saja Felix p
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Keturunan Terakhir Elite Global   38. Mengobati Sang Pelayan

    Reza dan Isabelle diam menyimak. Tak salah lagi, suara di telepon itu adalah Mario. Yang jadi masalah adalah bagaimana pria itu bisa tahu bahwa bukan Edna yang mengangkat telepon.“Aku tahu kalian bingung bagaimana aku bisa tahu kalau bukan Edna yang mengangkat telepon.” Mario tertawa. “Coba tebak apa lagi yang aku tahu. Aku tahu kalau kau adalah orang Indonesia, Hazerstein!”Reza dan Isabelle tercengang. Felix kembali ke kesadarannya untuk sesaat. Pelayan masih sibuk. Dokter sudah pulang dari tadi.“Apa maumu?” akhirnya Reza memberanikan diri berbahasa Indonesia.Sementara di ujung telepon, Mario sedang duduk santai di ruang kerjanya. Menatap langit dini hari berhias gemerlap Jurajura dari lebarnya kaca ruang kerja. Ia tersenyum angkuh. Tangan kirinya memegang gelas kecil berisi minuman keras. “Ternyata benar kau masih hidup. Harus kuakui, kau benar-benar mujur. Dan kuakui juga, kau cukup pintar menipuku dengan nama Lazari dari Aljazair.”“Tutup aja kali, ya?” tanya Reza pada sang is

  • Keturunan Terakhir Elite Global   39. Permainan Waktu

    “Jangan!” Edna terus memberontak. “Menjauh dariku, dasar anjing elite global!”Namun, harapan Edna seakan kandas saat Felix mulai naik ke peti mati. Si pelayan bermata bulat tersenyum jahil, lalu mulai membuka gesper celana. Edna kian pucat. Berulang kali ia mengumpat pada Reza yang ia yakini masih ada dalam ruangan.“Hujatanmu tidak akan membuatku berubah pikiran,” ucap Reza dengan santai.Sosok keempat membuka pintu. “Reza, sarapan yuk! Aku kurang nyaman kalau sendi— Oh my God!”Di luar nalar. Alih-alih menuntaskan birahi, Felix malah menggoyang-goyangkan pantatnya di hadapan wajah sang musuh. Si pria mancung berjoget seraya menyanyikan lagu koplo yang pernah ia dengar di Indonesia.“Dia ngapain?!” tanya Isabelle.“Biarin aja,” respons sang suami.Situasi kian parah bagi Edna karena Felix tak sengaja buang angin. Busuk. Seakan semua makanan yang telah disantap dari kemarin-kemarin bertumpuk, mengendap, dan melesat dalam bentuk uap panas nan ganas.“Hazerst—huekk!”Entah apa bahan tam

  • Keturunan Terakhir Elite Global   40. Saatnya Berburu

    Ada yang spesial dalam petang di pinggiran Texas kali ini. Bukan momennya. Melainkan kumpulan tentara pria dan wanita di sebuah lumbung gandum. Mereka tidak saling kenal satu sama lain, tapi punya satu misi yang sama.Di depan barisan, satu orang berdiri. Anderson. Wajahnya yang mulai dilapisi keriput kini memasang senyum angkuh seakan kemenangan sudah berada dalam genggamannya.“Listen up!” Anderson mulai memberi arahan. “Kalian akan berangkat ke Jerman dan menumpas Hazerstein.”Lalu Anderson mulai menjelaskan runut permintaannya. Bayaran juga dirinci. Menggiurkan. Para tentara manggut-manggut tersenyum, terlebih sekilas tugas dari sang pria gundul terdengar gampang.Maka dengan semangat memperebutkan hadiah, tentara-tentara itu rela menjadi anjing berdarah dingin.Salah satu tentara, pria kekar berambut hitam, mengokang senjatanya lalu berlagak sebagai pemimpin. “Alright, soldiers! Saatnya beraksi. Jangan kecewakan klien kita!”Sekali lagi seringai angkuh terlukis di wajah Anderson.

  • Keturunan Terakhir Elite Global   41. Ramen Roulette

    Pria jas abu-abu itu duduk. Para tentara mengawasi tanpa menoleh, mengira itulah sang target. Berbeda dengan Reza. Reza malah menatap pria yang baru masuk itu secara langsung layaknya koboi bertemu lawan duel.Meja kembali diketuk. Kali ini tentara berjanggut oranye di meja sebelah kiri yang memulai percakapan.[Dia benar si pembunuh legendaris, ‘kan?][Dasar bodoh! Jangan bertanya seperti itu di depannya!][Benar. Fokus saja ke pria yang baru datang ini.]Si tentara kulit hitam buru-buru menghadap Reza dengan sedikit keringat dingin. “Maaf Anda harus mendengar itu. Mereka tidak bermaksud kasar.”Sekali lagi Reza mengernyit dahi. Padahal tidak satu pun di antara pria dalam kedai yang berucap sesuatu, tapi si botak malah meminta maaf. Dalam pikiran Reza kini hanya ada satu kemungkinan. Mereka berakting sedang menggunakan telepati.“Tidak apa-apa. Akan kubereskan semuanya setelah pesananku datang.”Sebuah pernyataan yang membuat perasaan para tentara campur aduk. Antara senang mendengar

  • Keturunan Terakhir Elite Global   42. Pembantaian di Kedai Ramen

    Reza semakin larut dalam permainannya. Ia benar-benar menghayati peran sebagai raja iblis yang bermain maut dengan empat pria asing dalam kedai. Satu sudah kalah. Kini tersisa empat kandidat berhadapan dengan ramen beruap.“Ayo makan!” kata Reza pada dua tentara di sebelahnya. “Jangan malu-malu.”Sebuah keramahan ala Indonesia yang justru membuat para tentara tidak nyaman. Tentara yang tereliminasi kini tak kunjung kembali, membuat si botak dan janggut oranye makin berburuk sangka.Namun, pertandingan baru saja dimulai. Reza terlihat menggila kala menyeruput suapan berikutnya. Sangat menikmati. Begitu pula dengan pria jas abu-abu rambut pirang yang masih tampak berwibawa meski seruput mi menggema.Dua tentara yang memakan pesanan Reza masih mengamati setelah sebelumnya terperanjat dengan gugurnya satu kandidat. Mereka menerka akankah saingan berikutnya kembali jatuh dalam kegilaan sang pembunuh legendaris.Pria jas abu-abu menarik napas. “Makanlah. Hormati tuan ini yang sudah susah-su

  • Keturunan Terakhir Elite Global   43. Kejahilan Negara Adidaya

    Malam yang tenang di istana Hazerstein. Para pelayan baru saja selesai berbenah setelah makan malam sang majikan. Anginnya tenang. Derap langkah elite global dan istrinya di koridor diiringi obrolan ringan dan lelucon receh dari mulut Reza.Namun, sayang. Candaan Reza hanya berhasil menorehkan senyum formalitas di wajah cantik Isabelle. Sesekali wanita blasteran itu menyengir, pura-pura cengengesan untuk mengimbangi obrolan sang kepala keluarga.“Ya, jadi gitu deh. Ternyata dia salah pakai baju.”“Hihihihi ... parah banget!”“.... Tahu-tahu dia diberhentiin sama polisi. Kiranya gak pakai helm, ternyata istrinya ketinggalan.”“Hahahahaha ... gila tuh!”“.... Tapi ya gitu. Katanya, orang tua dia meninggal dalam kebakaran demi menyelamatkan dia.”“Buahahahahaha!”Reza mengernyit. Langkahnya terhenti di depan kamar akibat kalimat terakhir obrolan yang sebenarnya jelas bukan bahan lawakan. Seketika suasananya jadi canggung, terutama bagi istrinya.Tak boleh begini, pikir Isabelle. Mereka be

  • Keturunan Terakhir Elite Global   44. Assasinasi Ronde Kedua

    Wanita itu geram. Sekalipun seorang tentara, ia tak mampu menandingi laju mobil sang elite global. Ia lalu menoleh ke saingannya, tentara pria berwajah Hispanik yang berjalan agak jauh di depan. Mereka pun bertukar kode lewat gerakan tubuh.[Aku tak sengaja melihat Hazerstein.][Apa kau yakin itu dia?][Ya. Dia barusan melintas dengan mobilnya. Aku bisa melihat wajahnya dari kaca mobil, sesuai deskripsi dari pembunuh legendaris.][Kalau kau mau mengikutinya, terserah. Aku akan tetap pada rencana.]Sementara mobil Reza masih terus melaju kencang. Pokoknya gas. Setelah kira-kira melewati lima persimpangan jalan raya, barulah Reza menyuruh sopir berhenti. Felix hampir terjungkal, tapi dengan sigap menyangga tubuh.“Ada apa, Tuan?” Felix bertanya dengan panik. “Apakah Anda melihat musuh?”Reza membeliak. “Tadi ada banner gambarnya martabak dengan tulisan 700 meter!”Sang pelayan diam sejenak, lalu menggeleng cepat dan mengernyit. “Ha?”“Martabak, Felix! Martabak!” Elite global itu memperli

  • Keturunan Terakhir Elite Global   45. Elite : Tentara Lawan Konglomerat

    “Ah, si yakuza pirang!” Hangat senyum Reza disusul langkah bersiap menjabat tangan.“Tuan, mundur!” Felix mencegah sang majikan. Naluri bahayanya berfungsi melihat gelagat Bowen.Sementara sang sopir tak terlalu peduli dengan ketegangan itu dan fokus pada hidangan dalam kunyahannya. “I love Indonesia.”“Bahasa Inggris aksen Asia. Pelayan yang sigap.” Bowen manggut-manggut. “Ternyata benar kau Hazerstein.”Mendengar namanya disebut, barulah Reza menyadari ancaman yang datang menjemput. Ia berpikir cepat. Dengan senyum ramah palsu dan pura-pura mengucap salam perpisahan pada Bowen, Reza menarik Felix untuk menjauh.“Oh no, you won’t.” Bowen menyeringai.Tangan Bowen masuk ke saku jas. Felix melesatkan tendangan, melindungi sang majikan. Benar saja. Sebuah pistol terjatuh ke trotoar.Saatnya kabur. Giliran Felix menarik Reza beserta sopir yang baru saja menelan kunyahan martabak. Kurang dari 20 detik, tiga orang itu sudah sampai ke dalam mobil.“Jalan!” perintah Felix.Tak banyak tanya. S

Bab terbaru

  • Keturunan Terakhir Elite Global   52. Apa lagi artinya?

    Wanita itu geram. Sekalipun seorang tentara, ia tak mampu menandingi laju mobil sang elite global. Ia lalu menoleh ke saingannya, tentara pria berwajah Hispanik yang berjalan agak jauh di depan. Mereka pun bertukar kode lewat gerakan tubuh.[Aku tak sengaja melihat Hazerstein.][Apa kau yakin itu dia?][Ya. Dia barusan melintas dengan mobilnya. Aku bisa melihat wajahnya dari kaca mobil, sesuai deskripsi dari pembunuh legendaris.][Kalau kau mau mengikutinya, terserah. Aku akan tetap pada rencana.]Sementara mobil Reza masih terus melaju kencang. Pokoknya gas. Setelah kira-kira melewati lima persimpangan jalan raya, barulah Reza menyuruh sopir berhenti. Felix hampir terjungkal, tapi dengan sigap menyangga tubuh.“Ada apa, Tuan?” Felix bertanya dengan panik. “Apakah Anda melihat musuh?”Reza membeliak. “Tadi ada banner gambarnya martabak dengan tulisan 700 meter!”Sang pelayan diam sejenak, lalu menggeleng cepat dan mengernyit. “Ha?”“Martabak, Felix! Martabak!” Elite global itu memperl

  • Keturunan Terakhir Elite Global   51. Srategi Manusia Bertopeng

    Wanita itu geram. Sekalipun seorang tentara, ia tak mampu menandingi laju mobil sang elite global. Ia lalu menoleh ke saingannya, tentara pria berwajah Hispanik yang berjalan agak jauh di depan. Mereka pun bertukar kode lewat gerakan tubuh.[Aku tak sengaja melihat Hazerstein.][Apa kau yakin itu dia?][Ya. Dia barusan melintas dengan mobilnya. Aku bisa melihat wajahnya dari kaca mobil, sesuai deskripsi dari pembunuh legendaris.][Kalau kau mau mengikutinya, terserah. Aku akan tetap pada rencana.]Sementara mobil Reza masih terus melaju kencang. Pokoknya gas. Setelah kira-kira melewati lima persimpangan jalan raya, barulah Reza menyuruh sopir berhenti. Felix hampir terjungkal, tapi dengan sigap menyangga tubuh.“Ada apa, Tuan?” Felix bertanya dengan panik. “Apakah Anda melihat musuh?”Reza membeliak. “Tadi ada banner gambarnya martabak dengan tulisan 700 meter!”Sang pelayan diam sejenak, lalu menggeleng cepat dan mengernyit. “Ha?”“Martabak, Felix! Martabak!” Elite global itu memperl

  • Keturunan Terakhir Elite Global   Relevansi Bisnis

    “Jangan!” Edna terus memberontak. “Menjauh dariku, dasar anjing elite global!”Namun, harapan Edna seakan kandas saat Felix mulai naik ke peti mati. Si pelayan bermata bulat tersenyum jahil, lalu mulai membuka gesper celana. Edna kian pucat. Berulang kali ia mengumpat pada Reza yang ia yakini masih ada dalam ruangan.“Hujatanmu tidak akan membuatku berubah pikiran,” ucap Reza dengan santai.Sosok keempat membuka pintu. “Reza, sarapan yuk! Aku kurang nyaman kalau sendi— Oh my God!”Di luar nalar. Alih-alih menuntaskan birahi, Felix malah menggoyang-goyangkan pantatnya di hadapan wajah sang musuh. Si pria mancung berjoget seraya menyanyikan lagu koplo yang pernah ia dengar di Indonesia.“Dia ngapain?!” tanya Isabelle.“Biarin aja,” respons sang suami.Situasi kian parah bagi Edna karena Felix tak sengaja buang angin. Busuk. Seakan semua makanan yang telah disantap dari kemarin-kemarin bertumpuk, mengendap, dan melesat dalam bentuk uap panas nan ganas.“Hazerst—huekk!”Entah apa bahan ta

  • Keturunan Terakhir Elite Global   50. Pilihan Seorang Wanita

    Tak sampai sepuluh detik panggilan itu berlangsung. Tiba-tiba terputus. Tangan Isabelle gemetar mendengar ketidakpastian yang mendebarkan. Tekadnya membulat. Ia akan mencari orang tuanya.“Tunggu, Nyonya!” Felix mencegah, berusaha tetap tak berisik. “Ini bisa jadi jebakan.”“Tapi orang tuaku—”“Anda anggota keluarga Vanlomraat yang memilih jalan jadi seorang hacker. Anda lebih pintar dari ini.”Butuh beberapa saat, tapi akhirnya ucapan Felix masuk ke nalar sang putri Vanlomraat. Ketenangan tercapai. Isabelle meraih ponselnya kembali, lalu mulai mengutak-atik perangkat lunaknya. Layar pun menampilkan peta dengan satu titik biru.“Mereka di Belanda,” kata Isabelle. “Tapi kenapa? Sepanjang hidupku, aku gak pernah melihat mereka terlibat musuh.”“Paketnya dikirim ke sini. Satu-satunya alasan masuk akal adalah musuh sudah tahu bahwa Anda adalah istri seorang Hazerstein.”Isabelle segera mengantongi ponselnya. “Aku harus ke sana.”“Sendirian? Nyonya Isabelle, itu berbahaya! Lagi pula, saya m

  • Keturunan Terakhir Elite Global   49. Strategi Sekumpulan Musuh

    “Kalau kita tidak bisa menyakiti fisiknya ....” Pria bertopeng burung hantu menegakkan badan. “.... kita renggut saja apa yang dia punya.”Semua manusia bertopeng di dalam ruangan itu diam. Mereka saling melirik, menunggu orang memberi timbal balik gagasan si pria burung hantu. Nihil. Hingga akhirnya tawa Anderson pecah di balik topeng badut birunya.“Percuma! Bawahanku sudah cerita kejadian di Zurich. Hazerstein masih punya kuasa atas semua asetnya di muka bumi ini.”“Ya, aku tahu itu,” balas pria topeng burung hantu. “Tapi aku tidak sedang bicara soal asetnya. Aku bicara soal ... sesuatu yang jauh lebih berharga baginya.”Seketika rasa geli Anderson mereda. Ia membungkuk, mengumpulkan jemarinya di hidung topeng. “Menarik. Go on.”“Kalau memang informasinya adalah ‘masih ada’ Hazerstein yang tersisa, berarti seharusnya dia sedang mencari cara membangun dinastinya kembali. Dan untuk itu ....”“Dia butuh pasangan!” sambung wanita bertopeng babi.“Tapi bagaimana kita tahu siapa yang akan

  • Keturunan Terakhir Elite Global   48. Misi Penyelamatan

    Una mengucek matanya, memastikan ulang sosok di seberang jalan. Bukan. Itu bukan Reza. Namun, teori tujuh kembaran di muka bumi tampaknya juga kurang meyakinkan. Una mulai bertanya apakah berhalusinasi atau malah melihat hantu.Satu unit taksi online pun berhenti di sana, dan Reza masuk. Tak langsung jalan. Ternyata yang ditunggu adalah dua lelaki lain, yaitu Felix serta Heru yang baru saja keluar dari pagar apartemen.Tambah geramlah Una. Si wanita rambut pendek langsung bertitah untuk mengikuti mobil target. Dituruti. Persetan dengan empat kunyuk yang kesakitan di apartemen. Maka aksi buntut membuntuti pun terjadi.Sementara di taksi online, Heru masih mencoba mencerna semuanya. Ya. Tentu saja dengan wajah yang masih datar. Di kursi belakang itu, sesi tanya jawab terjadi antara Heru si budak korporat dengan Felix si pelayan keluarga elite.“Saya berterima kasih karena Anda sudah menyelamatkan saya, Pak Nacht. Tapi ini tetap saja bikin bingung. Dari mana Pak Nacht tahu saya dalam baha

  • Keturunan Terakhir Elite Global   47. Membantu Pihak Lemah

    Keberuntungan masih berpihak pada Heru. Ketika merasakan ada celah, ia langsung melepas bekap si penculik. Langkah seribu. Heru tak sengaja menjatuhkan tanda pengenalnya.Penculik juga tak mau kalah. Ia mendecak jengkel sembari melangkah pelan agar tak menimbulkan kecurigaan. Kode diberikan. Satu lagi pria misterius muncul bersiap membantu menjalankan tugas.Sementara Heru terus berlari. Wajahnya masih saja datar meski sedang dilanda teror. Staf lain terheran. Kala langkah Heru sudah lolos dari pintu belakang hotel, Heru tetap enggan meminta pertolongan orang sekitar.Namun, Heru baru ingat akan satu hal. Dia punya sepeda motor. Maka dengan kalap, si pria berwajah datar berlari menuju parkiran. Satu masalah. Kuncinya tercecer di suatu tempat.“Itu dia!” seru seorang pria.Heru terlonjak. Ia mempercepat larinya. Sayang, ia lemah fisik, dan lari 50 meter sudah menguras napasnya. Bahkan dalam engah, wajah Heru masih saja datar.“Tidak usah lari, Bro!” Pria asing tertawa.“Gak kok,” jawab

  • Keturunan Terakhir Elite Global   46. Budi Persahabatan

    Angin malam masih menguping pembicaraan dua insan di balkon itu. Tak ada kekhawatiran sebab volume suara yang tak akan menjangkau wilayah lain. Mario mengernyit. Sebuah permintaan yang tak biasa, meskipun itu cukup mudah.“Siapa lagi yang mau kamu singkirkan, Sayangku?” Mario membelai lembut pipi Una. “Bukannya sumber kesialan hidup kamu sudah tidak ada lagi?”“Aku memang sudah bebas dari Reza. Tapi aku merasa ada kutu busuk lain yang menghalangi kesenanganku, nih.”Mario mengalah. Ia pun meminta informasi tentang kutu busuk yang disebut sang pacar. Una pun tersenyum, lalu mengeluarkan smartphone-nya, memperlihatkan foto profil media sosial seorang pria berwajah datar.“Heru Kalis Novian? Ada apa dengan orang ini?”Mata Una berkedip pelan, lantas menyipit kala ingatannya mundur ke dua belas jam lalu.*** Dua belas jam sebelumnya ....“Aku pergi dulu, Una,” ucap Mario yang sudah rapi.“Tunggu, Mario!”Una melangkah cepat. Memberi satu kecupan panas pengantar kerja pada lelaki kaya yang

  • Keturunan Terakhir Elite Global   45. Elite : Tentara Lawan Konglomerat

    “Ah, si yakuza pirang!” Hangat senyum Reza disusul langkah bersiap menjabat tangan.“Tuan, mundur!” Felix mencegah sang majikan. Naluri bahayanya berfungsi melihat gelagat Bowen.Sementara sang sopir tak terlalu peduli dengan ketegangan itu dan fokus pada hidangan dalam kunyahannya. “I love Indonesia.”“Bahasa Inggris aksen Asia. Pelayan yang sigap.” Bowen manggut-manggut. “Ternyata benar kau Hazerstein.”Mendengar namanya disebut, barulah Reza menyadari ancaman yang datang menjemput. Ia berpikir cepat. Dengan senyum ramah palsu dan pura-pura mengucap salam perpisahan pada Bowen, Reza menarik Felix untuk menjauh.“Oh no, you won’t.” Bowen menyeringai.Tangan Bowen masuk ke saku jas. Felix melesatkan tendangan, melindungi sang majikan. Benar saja. Sebuah pistol terjatuh ke trotoar.Saatnya kabur. Giliran Felix menarik Reza beserta sopir yang baru saja menelan kunyahan martabak. Kurang dari 20 detik, tiga orang itu sudah sampai ke dalam mobil.“Jalan!” perintah Felix.Tak banyak tanya. S

DMCA.com Protection Status