Kami memutar arah untuk kembali ke rumah, masih terngiang-ngiang di kepalaku ucapan Bu Nurmi yang terasa sangat menyakitkan. Bagaimana bisa Bang Habib setega ini padaku, padahal belum lama ini ia berusaha meyakinkan ku bahwa ia sudah tidak ada hubungan dengan wanita itu, tetapi mengapa sekarang aku malah mendapatkan kabar buruk yang sangat menyayat hati. Inikah caramu Bang Habib untuk melukaiku, segitu niatnya dirimu memberiku harapan lalu menjatuhkan ku ke jurang. Arghhhhh, rasanya aku ingin berteriak sekuat-kuatnya untuk meluapkan rasa sakit ini.Keesokan harinya aku mengurung diri dikamar, tidak ada hasrat untuk keluar dan makan. Hari ini rasanya aku hanya ingin duduk di balkon rumah sembari menatap langit yang cerah. Berkali-kali Aisyah mengetuk pintu kamar, ia membujukku untuk keluar, tetapi aku enggan rasanya untuk membuka pintu. Aku terus saja memintanya untuk tidak menggangguku hari ini, tetapi ia sangat keras kepala dan terus saja membujukku. Alhasil aku hanya bisa mengabaika
BEBERAPA BULAN KEMUDIAN…Kini kandunganku genap tujuh bulan, dalam adat jawa ada istilah tingkepan atau nujuh bulan untuk anak pertama. Aisyah adalah orang yang paling antusias menyambut acara tujuh bulanan anakku, kami banyak berbelanja kebutuhan yang diperlukan untuk membuat nasi urap yang akan dibagikan kepada para tetangga. Dengan perut yang mulai membesar aku berbelanja di pasar bersama Aisyah, walau sudah mulai susah berjalan, aku tetap saja berusaha untuk kuat berbelanja dengan dituntun oleh Aisyah."Bang kelapanya sepuluh gandeng diparut ya," pintaku pada langganan kelapa di pasar yang memang menjadi langgananku."Banyak banget Neng? Pasti mau buat nasi urap untuk tujuh bulanan ya?" tanya Abang tukang kelapa dengan ramah."Hehehe, iya Bang.""Wah, nanti Abang di kasih nasi urapnya ya Neng," candanya sembari cengengesan."Iya, tenang aja Bang. Nanti dianterin nasi urapnya kerumah Abang kalau uda mateng, tapi kelapanya kasih diskon ya," ucapku membalas candaannya."Tenang aja, A
Mataku melotot menatap bocah itu, tetapi ia malah tersenyum manis mengisyaratkan semuanya akan baik-baik saja. Bocah tengil itu memang suka sekali menggangguku selama ia tinggal disini, entah memang tingkahnya yang usil terhadap semua orang, atau hanya usil terhadapku saja. Aku pun tidak mengerti dengan sikapnya yang sulit ditebak, ia sering sok bijak dalam penuturannya, tetapi sikap kekanak-kanakannya tetap ada seperti bocah SMA pada umumnya."Hahaha, kamu yakin Shel mau menikah dengan bocah ingusan seperti ini?" tanya Bang Habib bergelak tawa merendahkan bocah itu, memang benar kehadiran bocah itu menjatuhkan harga diri yang sudah kujunjung tinggi."Apakah umur menjamin rumah tangga akan harmonis ya Om? Buktinya Mbak Sheila tidak bahagia menjalani rumah tangga dengan Om, dan kandas begitu saja. Saya memang masih bocah, tetapi saya memiliki sikap yang jauh lebih dewasa daripada Om yang sudah tua!" balas bocah tersebut."Kamu panggil saya Om! Kamu kira saya setua itu, lagian gak usah
POV HABIB…Sepanjang perjalanan pulang aku melamun penuh tanda tanya, sejak kapan Sheila hamil? Apakah hasil perbuatanku yang terakhir itu? Apakah aku yang tulus menginginkan nya baru bisa membuatnya hamil, tapi lalu mengapa sampai saat ini Fanny belum hamil padahal selama ini selalu aku yang meminta untuk seperti itu, dan bahkan ia juga sering menolakku dengan alasan lelah.Aku benar-benar menyesal sekarang, kalau taunya jadi begini aku pasti akan minta rujuk oleh Sheila daripada menikahi Fanny. Aku menghela napas dengan kasar, rasanya hidupku benar-benar penuh penyesalan."Kamu kenapa Mas?" tanya Fanny di boncengan."Gak apa-apa," sahutku."Gak usah dipikiran banget deh Mas, nikmati aja dulu masa-masa kita berdua. Lagipula punya anak itu repot, aku belum bisa ngurusnya.""Mulutmu dijaga ya Fan, aku menikahimu karena ingin punya anak. Sejak dulu aku memang menginginkan anak, jangan-jangan kamu belum hamil juga ini gara-gara ucapanmu!" bentakku kesal."Apaan sih Mas, memang belum dika
POV Orang Ketiga"Aku turut prihatin dengan masalah yang menimpa keluargamu," tutur Sheila kepada Darwis sembari menundukkan kepalanya. Sementara Darwis sendiri tampak canggung dan diam seketika saat mendengar ucapan Sheila."Emm maaf kalau aku salah bicara," ucap Sheila lagi."Gapapa kok Mbak, aku malah senang liat Mbak perhatian kepadaku," goda Darwis cengengesan."Apaan sih kamu!" seru Sheila dengan ketus.Suasana tampak canggung beberapa menit, tidak ada pembicaraan di antara mereka berdua tampak dari gelagat Sheila yang memainkan jari-jarinya."Mbak tau dari mana masalah keluargaku?" tanya Darwis memecahkan keheningan."Oh itu aku tau dari cerita Umi, masalah kakakmu yang memiliki nasib sepertiku. Kamu tidak perlu khawatir ya walaupun aku memiliki nasib seperti kakakmu, tapi aku tidak akan mengambil jalan pintas kok." Spontan saja Sheila bicara secara terang-terangan kepada Darwis, lalu ia pun berkata lagi "kamu tidak perlu perhatiin aku lagi karena memiliki nasib yang sama denga
Sejak saat itu Habib berubah menjadi orang yang lebih pendiam dan dewasa, ia tidak banyak bicara dan lebih sering tersenyum. Pernikahannya dengan Fanny kandas begitu saja, saat Habib mengetahui penghianatan Fanny yang diam-diam meminum pil KB di belakangnya. Tidak sedikit wanita yang mencoba mendekatinya selama ia sendiri, tidak heran karena Habib memang tampan dan juga mapan. Akan tetapi, Habib selalu menolak wanita yang mendekatinya dengan alasan ia sudah beristri. Tidak dipungkiri Habib masih sangat berharap Sheila mau menerimanya kembali di kemudian hari.Tidak jarang Habib sering lewat dari depan rumah Umi, bukan karena kebetulan. Akan tetapi, ia sengaja untuk melihat apakah Sheila sudah kembali. Namun usahanya sia-sia ia tidak pernah menemukan tanda-tanda kepulangan sheila, bahkan ia malah sering terkena omelan dan cacian dari Aisyah yang kesal melihat Habib selalu mondar-mandir di depan rumahnya."Sudah empat bulan lebih aku menunggu mu kembali, tetapi mengapa kamu masih belum
"Dari lubuk hati terdalam, Habib ingin rujuk dengan Sheila. Akan tetapi, aku sadar bahwa kesalahanku terlalu besar pada Sheila. Sekarang aku hanya bisa pasrah dan menerima apapun keputusan yang nanti akan diambil," sahutku penuh keyakinan."Baiklah, kalau begitu kita tunggu jawaban Sheila nanti. Abi tidak dapat berbuat apa-apa, semua keputusan ada di tangan kalian. Kami sebagai orang tua hanya bisa membimbing dan mendoakan yang terbaik saja untuk kalian berdua," ujar Abi lagi. Aku hanya manggut-manggut saja menanggapi ucapannya. Beliau memang sungguh bijaksana bagiku, tidak pernah mau ikut campur dalam mengambil keputusan dan selalu memasrahkan kepada kami berdua. Beliau sungguh orang tua yang luar biasa, walaupun ia bukan orang tua kandung Sheila dan Aisyah. Akan tetapi, kasih sayangnya sungguh tanpa batas untuk kedua anak angkatnya.Tidak lama setelah kami berbincang-bincang, kedua orang tuaku datang dengan senyuman sumringah. Ibu langsung memeluk Sheila dengan erat, dan bahkan berk
"Aku mau rujuk denganmu, tapi dengan satu syarat." Ucapan sheila sontak membuatku terhenyak, aku langsung bangkit dan bertanya,"apa itu syaratnya? Aku pasti akan kabulkan.""Aku ingin semua asetmu atas nama anak kita, agar sewaktu-waktu Abang tidak sembarangan mengusirku saat kita bertengkar," ujar Sheila lagi."Aku sanggup, aku sanggup! Apa pun itu akan aku kabulkan asal kita bisa bersama lagi."Semua ini terasa bagaikan mimpi, aku tidak percaya Sheila mau menerima aku kembali. Berkali-kali aku bersujud syukur kepada Allah, karena telah mengembalikan berlianku yang sempat aku sia-siakan. Kedua orang tuaku ikut senang dengan keputusan yang diambil Sheila, termasuk juga Abi dan Umi tampak senyuman sumringah terukir jelas di wajahnya. Sementara Aisyah hanya menyunggingkan senyuman getir di bibirnya, ia pun berjalan mendekatiku lalu menepuk pundakku pelan."Kali ini dapat kesempatan, jangan sia-siakan Sheila lagi atau perkakasmu akan habis aku mutilasi!" bisiknya di telingaku pelan, aku
Tidak terasa waktu sudah menjelang magrib, setelah selesai makan Bang Habib langsung mencuci piring. Hari ini ia sangat memanjakan aku sampai-sampai mencuci piring saja pun ia yang mengerjakan sendiri, semua ini ia lakukan hanya semata-mata untuk menebus semua kesalahannya tadi.****Keesokan harinya seperti biasa aku ikut dengan Bang Habib saat berangkat kerja, ia akan mengantarkan aku ke rumah sakit untuk menjaga Aisyah. Syukurlah ini hari terakhir Aisyah dirawat, karena keadaannya yang sudah mulai membaik sore ini ia sudah diperbolehkan untuk pulang.“Hati-hati di jalan ya Bang,” kataku sambil mencium punggung tangan Bang Habib.Ia mengelus kepalaku dengan lembut lalu berkata, “adek juga hati-hati ya, jangan genit-genit sama Dokter yang ada disini.”“Siapa maksud Abang? Dokter Revan?”“Ya, pokoknya semua Dokter lah. Gak hanya Dokter saja pokoknya semua laki-laki,” ucapnya menoel hidungku pelan.“Ya ampun, Dokternya juga pilih-pilih. Mana mungkin mau sama Ibu beranak satu,” kataku m
"Tuh lah, rasain! Punya istri cantik, pintar, baik hati, rajin disia-siakan," sindir ku padanya. "Iya lah Abang salah, itu kan masa lalu gak usah dibahas lagi. Jadi sekarang Adek mau makan apa, biar Abang masakin?""Oke, karena Abang yang nantangin. Adek mau makan ayam geprek, sambalnya yang pedes ya Bang. Soalnya anak Abang lagi pengen makan yang pedes-pedes nih," ujarku sambil mengelus perut yang sudah mulai membuncit. "Siap Bos," kata Bang Habib yang ikut mengelus perutku. "Kalau gitu Abang keluar dulu ya, mau beli bahan-bahannya. Adek tunggu di kamar aja nanti kalau uda matang Abang panggil," imbuh Bang Habib mengelus kepalaku dengan lembut. Aku tersenyum tipis sambil menganggukkan kepala, lalu ia mencium keningku dan mencubit pipiku dengan gemas.Bang Habib berlalu pergi keluar kamar, tidak lama kemudian aku mendengar suara deru motornya pergi dan tidak butuh waktu yang lama ia sudah kembali. Awalnya aku susah curiga mengapa ia sangat cepat kembali, karena tukang potong ayam b
POV SHEILA… Rasa trauma masa lalu kini menghantuiku. Seandainya kamu jujur sejak awal Bang, aku tidak mungkin akan sesakit ini. Coba kau ada diposisiku sebentar saja, agar kau tau betapa hancurnya saat kebohongan-kebohongan mu menggerogoti batinku.Aku menyeka air mata yang membasahi pipi, setiap teriakan demi teriakan tidak di hiraukan oleh Bang Habib. Ia tetap kekeh mencengkram kaki-kakiku kuat, enggan memberi cela aku untuk pergi. "Tolong tetap disini Dek, malu sama Umi dan Abi kalau setiap ada masalah kita libatkan mereka. Aisyah sedang sakit, jangan buat tambah beban pikiran orang tua lagi," lirih Bang Habib merayu. Aku menelan saliva dengan susah payah, memang apa yang dikatakannya benar. Akan tetapi, hatiku terasa perih saat melihat wajahnya. Entah mengapa bayang-bayang wajah Wenda membuat aku membenci suamiku sendiri.Aku mulai mengendur dan meredam ego perlahan. Tanpa berkata apa-apa aku berbalik kembali masuk ke dalam kamar, ku hempaskan tas di tangan dan kuletakkan Hafiz
"Aku bawa mobil kok, jadi tidak perlu diantar. Kalau begitu aku pamit pulang ya, assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Wenda pun pergi menghilang masuk kedalam mobilnya, ia menyalakan mesin mobil lalu membuka kaca jendela dan melambaikan tangan pada Hafiz."Mau aku antar," cibir Sheila menyindirku lalu ia kembali masuk ke dalam rumah. Ia duduk di sofa sambil memainkan cream kue dengan sendok, tampaknya ia merasa sangat kesal denganku. Aku datang menghampirinya, lalu duduk tepat di sampingnya. Aku berusaha untuk membujuk Sheila dengan cara menggodanya, tetapi ia tidak peduli dan malah membalikkan tubuhnya membelakangiku. Bahkan ia juga menjauhkan Hafiz dariku, aku tidak dapat menyentuh anakku sendiri. Sontak hal itu membuat aku lepas kendali, emosi yang sejak tadi terpendam kini aku keluarkan semuanya "Kamu ini kenapa sih Dek? Dikit-dikit ngambek, buat suami bosen aja dirumah!" seruku kesal. "Oh jadi Abang bosan dirumah? Jadi, kenapa gak ikut Wenda pergi aja tadi!" sahutnya bersungu
Dia tinggal ngomong sih enak, gak ngerti posisiku seperti apa. Dia juga gak tau bagaimana kebaikan Wenda selama ini pada keluargaku, jadi bisa saja Ridwan bicara seperti itu.Aku menyesap kopi susu dingin yang diberi oleh Ridwan, kini rasanya aku tidak ingin memikirkan masalah apa pun. Otakku sudah terasa buntu memikirkan masalah pekerjaan, dan kini malah di tambah lagi perihal wanita yang tiada habisnya. Aku kembali masuk ke dalam kantor dan kembali bekerja. Niat hati tidak ingin memikirkan hal itu lagi, tetapi tetap saja aku kepikiran. Bagaimana bisa Sheila merencanakan hal seperti itu, kenapa dia bisa berpikir sejauh itu sih. Apa mungkin Risa hanya mengada-ngada saja? Ah Entahlah… Hari mulai menjelang sore, dengan pikiran yang masih berkecamuk aku pulang menunggangi kuda besi kesayanganku. Sepanjang perjalanan aku masih terus saja memikirkan ucapan Risa, bagaimana jika yang ia katakan benar. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana terkoyaknya hati Wenda nantinya. Dulu aku dan Wend
"Abi, silahkan duduk sini. Sheila buatkan teh ya," kata Sheila yang langsung bangkit dan hendak ke dapur. "Tidak usah repot-repot, Abi hanya sebentar kok," tolak Abi menahan Sheila. Sheila pun kembali dan duduk disamping Abi lalu berkata, "ini sebenarnya ada apa Abi?"Abi tersenyum tipis lalu menatapku, aku terus menunduk ketakutan. Jantungku berdetak tidak karuan, keringat dingin terus saja mengalir dari dahi."Jadi gini Shel, Umi kan sedang sakit. Kamu boleh gak jaga Aisyah dari pagi sampai siang saja, setelah itu Darwis yang bakal gantikan. Abi juga harus jaga Umi dirumah," tutur Abi pelan. Aku langsung merasa sangat lega saat mendengar penuturan beliau. Duh, Abi malam-malam sudah buat olahraga jantung saja batinku."Habib izinkan Sheila menjaga Aisyah untuk beberapa hari saja menggantikan Umi?" tanya Abi seraya menatapku. "Eh… Kalau Habib sih mengizinkan Abi, apalagi selama ini Aisyah yang selalu menemani Sheila saat menjaga Hafiz," sahutku sedikit gagu akibat spot jantung baru
"Hust, jangan berisik Bang. Hafiz sedang tidur," ujar Sheila yang sedang berbaring diranjang sambil menyusui Hafiz. Aku mengelus dada lega, karena hampir saja jantungku copot rasanya. Aku berjalan keluar sambil mengendap-ngendap tidak mengeluarkan suara agar Hafiz tidak terbangun, begitu juga dengan Sheila yang ikut melangkah keluar mengekori aku. "Kamu kenapa sih bang teriak-teriak begitu?" tanya Sheila."Aku pikir kamu gak ada dirumah, soalnya gak biasa-biasanya kamu dan Hafiz gak menyambut aku pulang kerja," sahutku sambil memijat pelipis yang terasa berdenyut. "Oh itu tadi Hafiz gak tidur siang asik main aja, jadi jam segini uda minta tidur.""Ntar dia tidur sampai magrib?""Nggak Bang, palingan jam lima nanti uda bangun."Aku hanya menganggukkan kepala pelan, ingin rasanya aku bertanya pada Sheila apakah Darwis ada kesini dan bercerita yang aneh-aneh, tapi aku tidak memiliki keberanian sebesar itu. Saat ingin memulai bicara saja lidahku terasa keluh, bibirku enggan terbuka. "A
Sesampainya di rumah sakit, aku menemukan Mbak Aisyah sendirian di ruangan tempat ia dirawat. Tumben sekali Umi tidak ada, padahal biasanya beliau selalu menemani Mbak Aisyah. "Umi kemana Mbak?" tanyaku tiba-tiba yang membuat Mbak Aisyah terkejut. "Astagfirullah Darwis, kamu ini kebiasaan banget ya buat orang terkejut! Kalau masuk ketuk pintu dulu kek, ngucapin salam kek!" Protes Mbak Aisyah. Sementara aku hanya cengar-cengis sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal. "Ya maaf Mbak, namanya lupa. Hehehehe…""He… He… He… Kebiasaan banget lupa, masih muda kok uda pikun!" cetusnya dengan ekspresi wajah galak. Aku hanya mengerucutkan bibir pura-pura merajuk karena dimarahi olehnya, dan aku pun mengambil posisi duduk disamping ranjang sambil menopangkan dagu menatap Mbak Aisyah."Kenapa kamu liatin aku seperti Itu?" tanya Mbak Aisyah dengan ketus. "Gapapa, Mbak cantik aja hari ini," rayuku sambil mengerlingkan sebelah mata.Bukannya tersipu malu seperti wanita lain saat di goda, Mbak
Keesokan harinya saat dalam perjalanan pulang dari sekolah, mataku melihat pemandangan yang membuat aku terhenyak. Bisa-bisanya Om Habib sedang duduk berdua bersama seorang wanita di sebuah taman kota, hatiku bertanya-tanya siapakah wanita itu, apakah mungkin itu selingkuhan Om Habib? Wilayah ini memang cukup jauh dari rumahnya, jadi ia pasti bisa bebas berselingkuh.Cih, dasar lelaki mata keranjang! Jika memang sudah sifatnya tukang selingkuh pasti tidak akan bisa berubah. Dengan emosi yang membuncah aku menghampiri mereka, dan spontan membogem wajah Om Habib sekuat mungkin. Sakit rasanya melihat wanita yang begitu baik malah di khianati, karena gara-gara lelaki seperti Om Habib lah aku kehilangan Kakakku. "Dasar, laki-laki gak tau diuntung! Bisa-bisanya selingkuh lagi setelah diberi kesempatan kedua!" teriak ku kesal. Wanita itu berteriak-teriak saat melihat aku memukul Om Habib sampai bibirnya berdarah dan tersungkur di tanah. Saat ia hendak menolong Om Habib, dengan cepat aku la