Aku dan Mas Raka kini saling menatap. Apa yang akan terjadi jika aku tak memenuhi permintaannya? Apa dia akan mengurungkan niatannya tadi?Ternyata, berbicara dengan Mas Raka tidaklah sesulit yang aku bayangkan. Mas Raka begitu lembut bertutur menyahuti semua ucapanku. Hanya, selama ini aku begitu ketakutan dan bertingkah kasar, hingga membuat dia emosi dan merasa tidak dihargai.Lalu apa ini? Dia mau menuruti semua permintaanku. Meski harus dengan syarat. Di mana dia akan melakukannya? Di sini? Di depan Mama dan juga Mas Deni? Apa tak mengapa mereka menyaksikan adegan ini?Lalu, di bagian mana Mas Raka akan menciumku? Di pipi? Kening, atau di bibir? Hal yang belum pernah kami lakukan sebelumnya? Sanggupkah aku menerima permohonan terakhir dari laki-laki yang masih sah menjadi suamiku ini?"Boleh, Dek?" Dia mengulangi pertanyaan itu. Menandakan dia benar-benar meminta izin, dan tak berniat memaksa seperti waktu itu.Aku kembali menunduk dalam tangisan. Sama sekali tak berani menoleh k
"Maafin Delima ya, Ma. Delima udah bikin kecewa semua orang," jawabku."Enggak, Delima. Bukannya dari awal kita sudah membahas hal ini? Kamu lihat sendiri, bahkan Raka tidak sampai hati marah sama kamu. Apalagi sampai membenci kamu. Jadi, kenapa kamu harus kembali merasa bersalah? Semuanya akan membaik seperti sedia kala.""Mama nggak marah sama Delima?" "Kenapa Mama harus marah?""Nggak tau kenapa, Delima udah merasa nggak layak lagi tinggal di sini. Delima....""Kamu masih tetap anak Mama, Delima!" sela Mama. Air mataku kembali mengalir. Lalu Mama menarikku dalam pelukan."Mama mengerti apa yang kamu rasakan saat ini, Delima. Terlepas bagaimanapun perasaan kamu pada Raka, tetap kamu pasti akan merasa kehilangan pasca perceraian. Merasa ada sesuatu yang hilang dalam diri kamu. Benar, kan?" Aku mengangguk."Itu yang membuat Mama sayang sama kamu. Kamu masih punya hati untuk tak langsung melupakan anak Mama begitu saja. Tak langsung berpaling pada laki-laki lain hanya karena sudah mer
Aku jadi gugup mendengar pertanyaannya. Tak menyangka kalau Mas Deni masih ada di rumah saat ini. Rona wajahnya tampak bahagia menyambut kedatangan kami."Eh, Mas Deni di rumah," sapa Bik Inah. "Bibik mau beres-beres, Mas. Mbak Delima juga mau ikut katanya.""Oh, iya, Bik. Masuk aja, Bik."Bik Inah segera masuk, aku sedikit menunduk memberi hormat pada empunya rumah, lalu mengikuti langkah Bik Inah untuk masuk ke dalam."Hem, Delima!" Langkahku terhenti sebelum melewati Mas Deni yang masih berdiri di ambang pintu."Iya, Mas?" jawabku semakin gugup."Gimana kabar kamu?" Dia bertanya seperti kami tinggal berjauhan saja."Delima baik-baik aja, Mas.""Udah lebih tenang?""Iya, Mas. Makasih ya, atas perhatiannya.""Iya, Mas jadi khawatir karena kamu ngurung diri terus.""Iya, maaf. Udah buat Mas khawatir.""Oh, iya. Kamu ke sini untuk...." Mas Deni menggantung ucapannya."Delima mau bantuin Bik Inah, Mas. Nggak boleh, ya?""Eh, bukan, bukan. Boleh, kok. Mau datang kapan aja boleh. Mas mal
"Seperti yang kamu lihat. Mas Selalu sendiri, kan? Mas nggak punya pacar.""Iya, tapi kan Delima nggak pantes buat Mas Deni. Delima cuman orang kampung yang nggak punya pendidikan apa-apa.""Buktinya kamu pantes buat Raka. Memang apa bedanya Mas, sama Raka?"Aku terdiam. Ucapan Mas Deni benar. Mas Deni dan Mas Raka sama-sama orang kaya. Bahkan mereka satu keluarga. Lalu apa bedanya? Aku bisa menikah sama Mas Raka. Kenapa tidak mungkin dengan Mas Deni?"Anu, Mas. Itu. Delima....""Anu lagi, anu lagi." Mas Deni kembali mengusap tengkuknya. Aku tertawa kecil melihatnya dengan kegugupanku sendiri."Kalau Mas Deni suka sama Delima, terus mau apa?" tanyaku tanpa sadar. Ya, ampun. Aku langsung menutup mulut. Kenapa sekarang aku yang terlihat agresif?"Ya jadi pacarlah. Calon istri. Kamu mau nggak nikah sama Mas?"Duh, belum seminggu berpisah, Mas Deni sudah melamarku? Rasanya sangat berbeda pada saat Mbak Silvi yang melakukannya. Ada rasa bahagia di hatiku. Merasa benar-benar dihargai dan in
Aku begitu terkejut mendengar ucapan Mama. Tiba-tiba saja timbul rasa bersalah di hatiku. Aku tak dapat lagi menahan air mata, membayangkan bagaimana perasaan Mbak Silvi saat ini. Apa lagi yang sedang terjadi pada mereka?Terakhir kali saat masuk rumah sakit, Mbak Silvi dan Mas Raka bertengkar hebat. Apa kali ini terjadi lagi? Atau jangan-jangan Mas Raka masih menyalahkan Mbak Silvi atas perceraian kami? Atau malah membahas lagi soal utang piutang itu?Aku langsung masuk dan bersiap-siap. Rasanya baru saja aku ingin mulai menenangkan diri dari semua masalah. Baru sebentar saja aku dapat merasakan kebahagiaan bersama laki-laki yang aku sukai. Tapi tiba-tiba saja mendapatkan berita duka seperti ini. Wajah Mama tampak pucat. Mama juga pasti merasa sangat terpukul. Meski anak Mbak Silvi bukanlah cucu pertama yang paling dinanti, tapi hati Mama juga pasti merasa sangat sakit. Terlepas dari hal-hal yang sudah membuatnya marah, namun tampak jelas bahwa dia begitu menyayangi menantu wanita s
Bukannya aku tak punya perasaan, hanya saja aku lebih mementingkan pekerjaan dan menjaga Bue saja. Saat laki-laki itu berpaling, dan memacari wanita lain, aku cemburu. Tapi tak bisa berbuat apa-apa. Marah pun tidak boleh. Takut ditertawakan karena merasa aku bukan siapa-siapanya. Begitu juga dengan Mas Raka. Sempat merasa cemburu dan perih di hati ini saat melihat dia bermesraan dengan Mbak Silvi. Lagi-lagi aku hanya bisa diam dan menahan perasaan seorang diri."Cemburu sama siapa? Sama Raka?" Mas Deni langsung menebak. Mukanya kembali cemberut."Bukan, bukan." Sanggahku cepat."Terus? Emang kamu pernah cemburu sama laki-laki lain?" Aku mengangguk. Dia semakin merengut."Siapa?""Anu, itu.""Kan, anu-anuan lagi.""Anu, Mas. Itu. Wanita cantik yang jagain tokonya Mas Deni. Suka curi-curi pandang sama Mas Deni. Mas Deni pacaran sama dia, ya?"Akhirnya bisa juga kuutarakan perasaanku padanya. Saat aku diajak ke kantornya waktu itu, ada seorang gadis yang terus memandang ke arah kami. Ak
"Mbak. Delima mau jujur sama Mbak. Sekali pun, Delima belum pernah tidur dengan Mas Raka." Aku berucap tegas. Mbak Silvi tampak terkejut."Jangan bohong, Delima. Mbak nggak akan marah atau merasa cemburu lagi sama kamu. Saat Mbak nyuruh Mas Raka untuk tidur di kamar kamu, Mbak ikhlas. Karena itu hak kalian sebagai suami istri. Dan kamu lihat sendiri, setiap malam Mas Raka tidur di kamar kamu.""Enggak, Mbak. Mas Raka tidur di ruang tamu.""Di ruang tamu?" Mbak Silvi menatapku tak percaya. "Kenapa?"Ingin sekali rasanya aku menceritakan tentang kejadian waktu itu. Namun aku tak mau Mbak Silvi semakin sedih dan frustasi karena sudah jauh-jauh hari aku mengetahui rencana jahatnya waktu itu. Juga tentang pengakuan Mas Raka bahwa dia sudah jatuh cinta padaku."Delima nggak sanggup menghianati Mbak Silvi." Hanya itu yang bisa kujawab atas keraguannya."Tidak, Delima. Kamu pasti bohong hanya untuk menyenangkan hati Mbak aja, kan? Nggak mungkin kalian tidur terpisah. Dan nggak mungkin Mas Rak
Tapi begitu usulan itu diucapkan Mama, Mbak Silvi menolak. Tak ingin berpisah dari Mas Raka, meski hanya sementara. Akhirnya Mama mengalah, asal ada yang menemani Mbak Silvi.Aku juga menceritakan tentang ketakutan Mbak Silvi yang tidak masuk akal tadi. Itu mungkin hanya halusinasinya saja. Mana mungkin wanita bernama Indah itu tega membunuh suaminya sendiri, apa lagi sampai membuat Mbak Silvi keguguran."Apa mungkin sekarang Mbak Silvi mengalami gangguan mental ya, Mas?" tanyaku pada Mas Deni, saat mobil sedang melaju."Ya, mungkin aja. Sejak awal menyuruh suaminya untuk menikah lagi pun, Mas pikir bukan hal yang wajar.""Iya, benar. Seperti terburu-buru dan memaksakan. Aneh ya, Mas?""Lebih aneh lagi yang nerima lamaran. Mau aja dijadiin istri kedua," sindirnya."Dih, Mas Deni. Kan waktu itu Delima nggak punya pilihan.""Makanya kalau butuh uang bilang sama Mas. Mas kalau nolong nggak minta pamrih.""Kita kan belum kenal, Mas.""Oh, iya juga ya.""Ish. Mas Deni. Delima lagi serius j
"Ba_bagaimana, Say... eh,... Delima?" Mas Deni tampak takut-takut menanyakan itu padaku. Aku kembali terdiam. Masih syok dengan semua ini. Semuanya serba mendadak dan tiba-tiba. Membuatku bingung harus bertanya mulai dari mana.Lalu Mas Raka meminta sesuatu pada Mbak Silvi. Dengan senyum kebahagiaan Mbak Silvi merogoh sesuatu dari dalam tasnya. Dikeluarkan sebuah amplop ke tangan Mas Raka."Ini, Dek." Mas Raka menyodorkan kertas itu ke atas meja. Dengan ragu aku mengambil dan melihat apa isinya."I_ini?" Air mataku tumpah seketika."Iya, Dek. Itu surat cerai yang kamu inginkan. Kamu sudah bebas sekarang."Rasa di hatiku kini bercampur aduk tak menentu. Ada perasaan sedih, bahagia, juga lega."Jadi, gimana, Dek? Mas sendiri yang melamar kamu untuk Deni. Kamu mau, kan?"Aku menatap mereka semua secara bergantian. Lalu mengangguk."Iya, Mas. Delima mau.""Alhamdulilah...." Semua orang di ruangan ini mengucap syukur.*****Akhirnya hari bahagia yang dinantikan semua orang terjadi juga. M
Mataku menghangat melihat orang-orang itu kini berdiri di hadapanku. Aku merasa ini seperti sebuah mimpi. Aku berdiri terpaku dengan air mata yang mulai mengalir.Lalu tiba-tiba saja tubuhku direngkuh dan masuk dalam pelukan hangatnya."Mama?" Aku menangis sesenggukan."Iya, sayang. Ini Mama," ucap wanita yang sudah setengah tahun ini tak pernah lagi kutemui. "Kamu sehat-sehat aja kan, Delima?"Aku makin sesenggukan melihat sikap pedulinya. Lalu aku juga merasakan tangan seseorang ikut menyentuh dan mengusap bahuku. Benarkah apa yang sedang kulihat saat ini?Aku melepaskan pelukan Mama. Lalu menatap satu persatu wajah mereka yang ikut berkunjung ke rumahku."Mbak Silvi?""Iya, Delima. Mbak datang." Wanita yang pernah menamparku saat terakhir kali bertemu ini, tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca.Lalu kulihat Mas Raka dan Mas Deni tampak berdiri sejajar. Sepertinya semua orang sudah baik-baik saja. Dan mereka semua terlihat akur.Pasti sudah banyak hal yang terjadi selama aku tak a
Biarlah hanya kami berdua yang tahu tentang semua ini. Seperti yang dia katakan, itu untuk yang terakhir kalinya. Kuberikan sebagai upah, atas apa yang dia berikan selama ini. Dengan begitu, nantinya dia hanya akan mengingatku sebagai wanita bayaran saja. Yang bisa dia cumbu tanpa hati, dan juga rasa cinta.Aku harus benar-benar terlihat murahan di matanya.*"Kamu kenapa, Sayang? Kenapa tiba-tiba ninggalin Mas seperti ini?" Mas Deni begitu syok saat aku tiba-tiba datang ke rumahnya untuk berpamitan."Maafin Delima, Mas. Delima bukanlah wanita yang baik untuk Mas Deni." Lagi-lagi aku membatukan hati agar tak lagi goyah.Berbicara dengan Mama pun rasanya hati ini sudah akan luluh melihat kekecewaan di wajahnya. Apa lagi saat berbicara dengan Mas Deni. Aku harus benar-benar bisa mengendalikan diriku. Rasa sakit yang aku rasakan tak boleh terlalu nampak. Aku lebih memilih Mas Deni kecewa dan membenciku saja, dari pada harus menangis dan mengiba, memohon agar aku tetap tinggal."Sampai h
Tanpa terasa enam bulan sudah aku kembali ke kampung. Kembali tinggal dengan Bue dan juga Sidik. Tak peduli lagi pada gunjingan tetangga dan warga sekitar atas statusku sekarang ini.Awal kepulanganku dulu, bisik-bisik mereka selalu terdengar. Katanya memang seperti itulah resiko menjadi wanita kedua. Hanya sebagai cadangan untuk bersenang-senang. Giliran bosan, pasti kembali ke pelukan istri pertama.Aku hanya diam, tak ambil pusing dengan pendapat mereka. Tak ada gunanya juga menceritakan hal yang sebenarnya. Asal Bue mengerti dan tidak terlalu memikirkannya hingga sakit, kurasa itu bukan masalah.Anggap saja memang ini adalah hukuman atas keserakahanku waktu itu. Lepas dari seorang pria beristri, malah berkhayal mendapatkan bujangan kaya raya.Tapi semua itu sudah berlalu. Tak ada lagi bisik-bisik seperti itu kudengar. Semuanya seakan lupa, dan aku bisa menjalani kehidupan dengan normal kembali.Kini aku tak perlu lagi bersusah payah bekerja dari pintu ke pintu untuk bekerja di rum
"Kita rujuk ya, Dek?" Napasnya makin memburu di telingaku. Aku kembali menggeleng dalam tangisan."Kasi kesempatan Mas satu kali lagi untuk membahagiakan kamu, Sayang." Aku semakin menggeleng."Dek?""Kalau Mas benar-benar mencintai Delima dan ingin melihat Delima bahagia, tolong bebaskan Delima. Kalau Mas ingin balas dendam dan tidak ingin melihat Delima bahagia dengan Mas Deni, Delima akan turuti. Delima akan putuskan hubungan dengan Mas Deni dan akan kembali ke kampung. Apa itu cukup membuat Mas Raka puas?""Enggak, Dek. Bukan seperti itu maksud Mas. Mas ingin kamu bahagia sama Mas, Sayang. Kenapa kamu nggak percaya sama perasaan Mas?" Dia tampak gelisah sembari menyentuh pipiku dengan kedua tangannya. Aku hanya bisa memejamkan mata dengan pasrah. Melawan pun percuma. Hanya akan membuat keributan malam-malam begini."Delima hanya ingin hubungan Mas Raka dan Mas Deni kembali baik, Mas. Jangan lagi bermusuhan seperti ini hanya gara-gara Delima. Delima bukan wanita yang pantas untuk
Aku segera menarik tanganku kembali. Namun Mas Raka tak mengizinkan dan malah menahannya. Dia terlihat begitu marah. Padahal saat di bawah tadi, dia terlihat biasa-biasa saja dan tak memperdulikan.Atau, jangan-jangan Mama bercerita tentang aktivitas aku dan Mas Deni tadi. Bukan salah Mama juga. Salahku yang tak berani bilang untuk merahasiakannya dari Mas Raka."Tega banget kamu, Dek. Mas udah bilang, jangan pergi sama Deni. Kenapa kamu masih nekat juga? Malah gantiin cincin Mas dengan cincin dari dia. Kamu pikir Mas main-main dengan ancaman Mas waktu itu?""Kenapa Mas melakukan itu? Kenapa Mas nggak ngijinin Delima sama Mas Deni? Jujur aja, Mas." Aku mulai berani."Kamu masih nanya? Kamu tau sendiri kenapa Mas melakukan itu, Dek.""Kenapa?" Aku meyakinkan."Tentu saja karena Mas mencintai kamu.""Bohong!" sanggahku dengan penuh amarah. "Mas Raka bohong. Mas Raka sama sekali nggak pernah mencintai Delima.""Itu nggak benar, Dek. Mas sayang sama kamu.""Delima nggak percaya. Mas Raka
"Oh, iya, Den. Soal pesta, nanti kita adakan di rumah kamu aja, ya. Biar kita buat acara yang meriah. Di kampung Delima kita adakan akad saja. Biar Delima nggak terlalu jadi sorotan orang kampung.""Kalau Deni nggak masalah, Bulek. Terserah Delimanya aja.""Kalau kamu, gimana, Delima?" Mama meminta pendapatku."Delima juga nurut, Ma. Gimana baiknya aja.""Ya sudah, nanti Mama tanyakan sama Ibu kamu. Setuju atau enggak.""Baik, Ma."Setelah Mas Deni pulang, aku langsung menuju ke kamar untuk menyimpan barang-barang yang aku beli tadi. Padahal aku tidak memintanya. Tapi dengan begitu royal dia membelikan semua ini untukku.Aku terduduk di ranjang sembari memegangi bibirku. Teringat saat Mas Deni mengecupnya tadi. Membuat perasaanku semakin tak karuan. Inilah ciuman pertamaku dengan seorang lelaki. Padahal sebelumnya aku berpikir, bahwa Mas Rakalah yang akan mengambil semuanya.Usai makan malam aku memijat punggung Mama. Mengobrol dan tertawa bersama. Tak lama Mas Raka datang dan bergabu
Dia menghentikan kata-katanya."Lagi apa, Mas?" tanyaku penasaran. "Eh, nggak. Mas juga jarang-jarang dengar suara kamu, kok." Mas Raka gelagapan. "Kamu kenapa belum tidur jam segini?" "Tadi sudah mau tidur. Tapi Mas Raka tiba-tiba nelpon. Apa lain kali tidak usah diangkat saja, kalau sudah mengantuk?""Eh, eh. Udah berani kamu, ya." Aku tertawa mendengarnya.Kudengar suara Mas Raka seperti bernapas lega. "Kenapa, Mas?" tanyaku lagi."Mas senang, kita bisa bicara santai seperti ini. Makasih ya, Dek. Kamu udah nggak takut lagi sama, Mas."Aku tertegun. Bahkan hal yang tak kusadari pun bisa membuat orang lain merasa lega.*Pagi ini aku pamit pada Mama untuk ikut Mas Deni. Sengaja menunggu Mas Raka berangkat ke kantor terlebih dahulu. Padahal Mama sendiri tidak tahu kalau aku dan Mas Deni sekarang lagi kucing-kucingan sama Mas Raka. Bertemu pun harus diam-diam.Aku bisa saja mengadu pada Mama. Tapi posisiku yang hanya menumpang membuatku tak bisa melakukannya. Seperti memakan buah si
Cih, pintar sekali wanita ini bersandiwara. Padahal baru saja dia bersikap seperti orang gila padaku."Kamu aja yang pulang. Dan tunggu surat cerai sampai ke tangan kamu.""Jangan, Mas. Aku nggak mau. Aku nggak mau cerai dari kamu. Kamu harus pulang sama aku. Kamu nggak boleh lagi tinggal sama pelacur ini.""Diam kamu, Silvi. Sekali lagi kamu hina Delima, aku nggak akan segan-segan lagi sama kamu.""Mas!""Jangan salahkan Delima untuk semuanya. Delima sama sekali nggak ada hubungannya dengan keputusanku.""Tapi aku istri kamu, Mas.""Kamu lupa kalau aku sudah menjatuhkan talak sama kamu?""Jadi kamu lebih memilih pelacur ini dari pada aku?"Plak!Aku menutup mulut dengan kedua tanganku saat Mas Raka menampar Mbak Silvi. Mbak Silvi menatap tajam suaminya sambil memegangi pipinya. "Tega kamu, Mas," rintihnya."Aku sudah memberi peringatan sebelumnya. Jangan pernah berani menghina Delima. Urusan kamu sama aku. Sekarang kamu pergi, atau aku panggil polisi karena kamu telah membuat keribu