Resty tersenyum melihat ekpresi mereka berdua. "Bukan itu saja, Ibu juga harus mengganti biaya saat aku mengurusmu saat sakit dulu. Bukan anak kesayangan, Ibu yang merawat dan menjagamu, tapi aku. Menantu yang sangat, Ibu benci, dan saat itu aku sedang hamil besar. Apa, Ibu mengingatnya, tapi sepertinya tidak. Orang kaya memang akan selalu lupa dengan pengorbanan orang miskin sepertiku."
"Ah diam kamu, pokoknya sebelum kamu mengganti uang itu. Ibu akan terus menagihnya, mengerti, Mita ayo kita pulang." Setelah mengatakan itu Hesti mengajak putrinya untuk pulang."Kalian memang sombong," batin Resty, setelah itu ia kembali fokus untuk mengurus putrinya itu. Sesekali ia melirik ponselnya khawatir tiba-tiba ada pesan yang masuk.Sementara itu, saat ini Ardan baru saja sampai di kantor, setelah memarkirkan mobilnya lelaki dengan balutan jas berwarna hitam itu bergegas turun. Ardan mengedarkan pandangannya, ia dapat merasakan tatapan aneh dari para karyawannya. Semua itu terjadi akibat kejadian kemarin."Ini semua gara-gara Resty," batin Ardan, setelah itu ia memutuskan untuk masuk ke dalam, tak peduli dengan tatapan mereka.Setibanya di ruangan, Ardan beranjak menuju meja kerjanya, di sana sudah ada tumpukan berkas yang harus ia tanda tangani. Ardan menghela napas, setelah itu ia menjatuhkan bobotnya di kursi. Baru saja akan memulai pekerjaannya, tiba-tiba ponsel Ardan bergetar."Siapa sih yang nelpon," gumamnya. Setelah itu Ardan meraih ponselnya, lalu menggeser tombol berwarna hijau untuk menerima panggilan.[Dan, kamu ada uang nggak, sepertinya uang yang kemarin kurang][Memangnya kurang berapa, Kak][Mungkin sekitar lima jutaan, kamu ada nggak]"Duh, gimana ini. Uang tabungan aku kan dipinjam sama, kak Rena untuk biaya khitanan anaknya bulan kemarin, dan sekarang belum dikembalikan. Masa untuk ulang tahun uang yang kemarin aku kasih nggak cukup sih." Ardan membatin.[Cuma lima juta saja, Kak][Em, sebenarnya kalau ada sih sepuluh juta. Soalnya Lala ingin pesta ulang tahunnya seperti teman sekolahnya][Ya sudah nanti aku antar uangnya, Kak][Ok, kakak tunggu ya]"Huft, Lala ada-ada saja." Ardan menghembuskan napasnya. Tiba-tiba ia teringat dengan putrinya sendiri, apakah Zara setelah besar nanti akan seperti itu, meminta pesta ulang tahun yang mewah."Terus ini uangnya dari mana ya, aku sudah tidak memegang uang sebanyak itu." Ardan pusing untuk mendapatkan uang sepuluh juta dari mana. Karena uangnya kebanyakan sudah dipakai oleh keluarganya sendiri, ada juga yang dipinjam."Apa mungkin Resty ada ya, dia kan kerja. Pasti punya uang," batin Ardan, setelah pulang kantor nanti, Ardan akan bicara dengan istrinya itu.***Saat jam makan siang Ardan memutuskan untuk pulang terlebih dahulu. Setibanya di rumah Ardan langsung mencari istrinya, terlihat jika Resty baru saja membuat susu untuk putrinya. Seketika Ardan menepuk jidatnya saat lupa untuk membeli susu dan juga pampers."Kamu pulang, Mas." Resty yang menyadari kehadiran suaminya, seketika menoleh ke arah di mana Ardan berdiri."Iya, ada yang ingin aku bicarakan." Ardan berjalan menghampiri istrinya dan duduk di sebelahnya."Res, kamu ada uang nggak?" tanya Ardan tanpa basa-basi. Seketika Resty menoleh dengan kening berkerut."Uang untuk apa?" tanya Resty."Kak Mita sebenarnya yang butuh, katanya masih kurang untuk biaya dekorasi dan kue ulang tahunnya," jawab Ardan."Loh, bukannya kemarin sudah kamu kasih, Mas." Resty menatap suaminya."Iya, tapi masih kurang," jawab Ardan. "Gimana kamu ada nggak.""Ada." Resty mengangguk. Beruntung selama bekerja ia dapat menabung sedikit demi sedikit. Selain uang hasil kerjanya, Resty juga punya penghasilan lain dari jualan online, ikut teman sekolahnya dulu saat SMP."Kalau begitu uangnya mana, biar aku antar ke rumah ibu," ujar Ardan, beruntung karena istrinya masih mau meminjamkan."Belum dipakai sekarang kan, lagi pula untuk bayar dekorasi biasa nanti kan selesai acara. Kalau mau nanti aku bawa sekalian kasih hadiah untuk Lala," sahut Resty. Mendengar itu Ardan terdiam sejenak, jika memaksa sekarang khawatir Resty tidak mengurungkan niatnya itu. Alhasil Ardan memilih untuk mengalah dan setuju dengan saran istrinya.Waktu berjalan begitu cepat, pukul tiga sore Ardan dan Resty sudah tiba di rumah ibunya. Acaranya memang sore hari, dan saat mereka sampai acara sudah siap untuk dimulai. Melihat kedatangan Ardan, Mita langsung menghampiri adiknya itu."Gimana, Dan. Ada nggak?" tanya Mita."Ada kok, Kak. Kakak tidak usah khawatir, lebih baik kita mulai saja acaranya," jawab Ardan. Meskipun adiknya datang bersama dengan sang istri, tetapi baik Mita dan juga yang lain seolah tidak menganggap Resty ada.Selesai bicara dengan Ardan, acara pun segera dimulai, Resty berdiri di sebelah suaminya. Ia nampak tenang, meski sesekali Resty mendengar bisikan tidak mengenakan dari kakak iparnya, serta ibu mertuanya. Acara awali dengan pembukaan, nyanyian lagu ulang tahun, serta potong kue.Di saat semua anggota keluarga serta tamu undangan sudah mendapatkan kue. Kini Mita berjalan menghampiri Resty seraya membawa sepotong kue. Resty sudah sangat siap dengan apa yang akan terjadi nanti, karena ia sudah cukup kebal dengan hinaan dari keluarga suaminya itu."Aku dengar kamu kerja jadi pelayan restoran ya, mumpung di sini kekurangan tenaga. Kamu bisa nggak anterin minuman ini untuk tamu yang datang," ujar Mita dengan begitu sombong."Iya, lagian wanita kampung seperti kamu. Nggak pantas jadi tamu, kamu pantasnya jadi babu," timpal Rena, adik Mita.Resty tersenyum. "Terima kasih ya, untuk hinaan yang kalian berikan. Tapi sebelum itu, tolong dicatat ya. Orang sombong yang berdiri di hadapanku saat ini, yang ngakunya orang kaya. Tapi untuk biaya dekorasi serta kue saja nyatanya pinjam sama adik iparnya sendiri. Yang setiap saat dihina dan direndahkan."Jlep, detik itu juga Mita melirik ke arah Ardan, ia cukup bingung dengan ucapan adik iparnya itu. Mungkinkah jika uang yang ia minta pada adiknya, adalah milik Resty, adik iparnya yang telah ia hina.Sementara itu, Ardan terlihat salah tingkah karena memang ia tidak jujur jika uang yang kakaknya butuhkan itu, ternyata hasil pinjaman pada Resty. Setelah itu Ardan berjalan menghampiri istrinya yang saat ini tengah berdiri di hadapan kakaknya. Ardan khawatir jika nanti istrinya itu akan mempermalukan kakaknya, seperti yang pernah Resty lakukan pada dirinya saat berada di kantor. Sementara itu, bisikan mulai terdengar dari tamu undangan yang datang, bahkan tatapan mereka juga terlihat aneh, seakan percaya dengan apa yang Resty katakan. "Resty kamu apa-apaan sih, kamu jangan buat malu keluargaku ya." Ardan menarik tangan istrinya dan membawanya untuk menjauh dari mereka. Suasana yang semakin panas membuat Resty semakin gencar untuk membuat mereka malu. "Aku pikir kalian sudah tidak punya malu, tapi ternyata masih ada urat malunya ya," ujar Resty dengan nada mengejek, Ardan yang mendengar itu kemarahannya semakin memuncak. Mita yang samar-samar mendengar pembicaraan mereka seketika b
Acara ulang tahun yang seharusnya meriah dan juga mewah kini menjadi panas dan berantakan. Terlebih saat ini Hesti jatuh pingsan lantaran masalah yang menimpa keluarganya. Ardan yang khawatir dengan keadaan ibunya, dengan segera membawanya ke rumah sakit. Setibanya di rumah sakit, dokter langsung memeriksa kondisi ibu Hesti. Sementara itu, Ardan dan kedua kakaknya menunggu di luar, sedangkan kakak ipar Ardan berada di rumah bersama dengan anak-anak, karena tidak baik juga membawa anak kecil ke rumah sakit. Selang beberapa menit, pintu ruangan terbuka, melihat dokter yang menangani ibunya keluar, dengan segera mereka bertiga beranjak menghampirinya. Baik Ardan serta kedua kakaknya rasanya tidak sabar ingin mengetahui bagaimana kondisi ibu mereka saat ini. "Bagaimana keadaan ibu kami, Dok?" tanya Ardan serta kedua kakaknya. Rasa khawatir jelas terlihat pada mereka bertiga. "Untuk saat ini kondisi, ibu Hesti masih lemah. Tolong dijaga kesehatannya ya, tadi hanya kelelahan dan syok sa
"Maaf kalian siapa ya?" tanya Ardan dengan raut wajah kebingungan. Ia khawatir jika dua lelaki itu ada hubungannya dengan kakaknya. Karena untuk acara ulang tahun kemarin belum sempat mereka bayar. "Kami ke sini untuk menyerahkan ini." Lelaki itu menyerahkan map berwarna biru. Dengan raut wajah bingung Ardan menerima map tersebut, lalu membuka dan membacanya. "Maaf, ini maksudnya apa ya?" tanya Ardan yang benar-benar tidak tahu dengan isi map tersebut. Karena di dalam map berisi tentang surat tagihan, tetapi Ardan merasa tidak memiliki utang. "Ini adalah surat tagihan utang yang, ibu Mita lakukan." Lelaki itu menjelaskan, jika surat tersebut merupakan surat tagihan utang yang kakaknya sendiri lakukan."Dimohon, Bapak segera melunasinya hari ini juga," ucap lelaki itu. Seketika Ardan memijit pelipisnya, masalahnya uang yang tersisa tidak cukup untuk membayarnya. Jika saja Resty jadi meminjamkan uang pasti keadaannya tidak akan separah ini. "Apa tidak bisa .... ""Tidak, Pak. Hari i
"Jadi bagaimana, Pak?" tanya Resty, jika memang pak Reno tidak mau menerimanya juga tak masalah. Resty bisa mencari pekerjaan yang lain, toh saat ini jualan online yang ia jalankan masih lancar. "Kamu tidak perlu menerimanya, dia itu istri Ardan. Sangat mustahil jika kebutuhannya tidak dipenuhi, dia memang sedikit stres, kadang suka menjelek-jelekkan suaminya sendiri." Bukan Reno yang menjawab, melainkan Rena. Karena kesal ia sengaja mengompori Reno untuk tidak menerima Resty bekerja di restorannya itu. "Rena kamu yakin kalau .... ""Baik jika, Bapak lebih percaya dengan dia tidak masalah. Kalau begitu saya permisi, Kak Rena aku mengalah bukan berarti kalah." Resty memotong ucapan pak Reno, setelah itu ia memutuskan untuk pergi dari restoran tersebut. "Rena, kenapa aku merasa kalau yang Resty katakan itu memang benar. Seorang istri tidak akan menentang suaminya, jika suaminya benar-benar memberikan rasa nyaman dan bertanggung jawab," ungkap Reno, mendengar itu Rena bertambah panas.
"Ok, kita lihat saja nanti. Apa kamu akan sanggup tinggal di sini," batin Resty. Ia yakin jika suaminya tidak akan sanggup tinggal di rumahnya terlalu lama. Karena selama ini Ardan hidup enak tanpa merasakan kesulitan. "Terserah kamu, Mas. Tapi apa kamu sanggup tinggal di sini bersamaku." Resty menatap suaminya, raut wajahnya terlihat berubah. Ardan seakan ragu jika benar-benar harus tinggal di rumah istrinya yang sangat jauh berbeda dengan rumahnya yang megah itu. "Demi kamu dan anak kita, aku sanggup." Ardan mengangguk. Resty akan melihat, apa suaminya benar-benar yakin bisa tinggal bersamanya. Karena secara level mereka sangat jauh berbeda. "Ok, terserah kamu saja, Mas. Sayang sekarang kita makan dulu ya." Resty mengajak putrinya masuk ke dalam. Melihat istrinya masuk ke dalam, Ardan mengikutinya. "Ibu mana?" tanya Ardan. "Sudah pergi ke sawah, pekerjaan ibu dari dulu kan memang di sawah," jawab Resty, sementara Ardan hanya mengangguk. "Ya sudah, aku berangkat ke kantor dulu
"Kalau kamu memang sudah tidak mencintai mas Ardan, lalu untuk apa kamu menerimanya untuk tinggal di sini?" tanya Serly. Ia curiga jika Resty masih mencintai Ardan, begitu juga sebaliknya. Terlebih Ardan, karena lelaki itu secara terang-terangan menolak keinginan ibunya untuk menikah dengan Serly. "Aku menerimanya karena status kami masih sepasang suami-istri, kami masih pasangan yang halal. Beda cerita denganmu, kalau kamu meminta mas Ardan untuk tinggal bersama. Itu baru salah, karena kalian belum menikah," ungkap Resty, seketika Serly diam mendengar hal tersebut. Serly menyunggingkan senyumnya. "Mungkin mas Ardan melakukan itu karena terpaksa, tapi aku sarankan, kamu jangan marah jika nanti mas Ardan menggugat cerai kamu. Karena keluarganya sudah sepakat untuk menikahkan kami."Resty tersenyum. "Memang itu yang aku tunggu, jadi kamu bujuk mas Ardan agar dengan segera menjatuhkan talak untukku, dengan begitu kamu bisa menikah dengan mas Ardan. "Sial, aku pikir dengan memanas-mana
Seketika Resty terdiam dan berusaha untuk mengingat siapa pemilik mobil tersebut. Detik itu juga pria pemilik mobil mewah itu tersenyum, sepertinya pria berkemeja biru itu sangat mengenal Resty. Sementara Resty mulai mengingat siapa pria tersebut. "Mau ke mana?" tanya pria itu, ekor matanya melirik ke arah Ardan yang sedari tadi melempar tatapan yang begitu tajam. "Mau ke rumah sakit, soalnya .... ""Apa suamimu tidak mau mengantarmu ... cepat masuk, kasihan Zara." Pria itu memotong ucapan Resty, sekilas ia kembali melirik ke arah Ardan yang terlihat hendak menghampirinya. Namun secepat kilat Resty masuk, dan sedetik kemudian mobil melaju meninggalkan tempat tersebut. "Ah sial, itu kan mas Dony. Kapan dia pulang, kenapa aku baru melihatnya." Ardan menghentikan langkah kakinya saat mobil yang membawa Resty melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi. "Ardan buruann." Mita berteriak untuk memanggil adiknya, seketika Ardan menoleh. Setelah itu ia beranjak menghampiri kakaknya dan masuk
"Mana ada kegadisan bisa kembali seperti semula, kamu waras nggak sih." Hesti menatap menantunya dengan tatapan tajam. Bukannya takut, justru Resty hanya tersenyum melihat tatapan tajam dari ibu mertuanya itu. "Ya sudah, Ibu juga sama. Mana ada seorang mertua meminta kembali uang nafkah pada menantunya," ujar Resty. Hesti kembali terdiam, setiap ucapan yang Resty lontarkan seperti senjata yang mematikan. "Baik, tapi jangan salahkan saya. Karena saya akan menikahkan Ardan dengan wanita yang sederajat dan selevel dengan keluarga kami. Kamu itu tidak ada bandingannya dengan kami, kalau bukan karena Ardan, saya juga tidak sudi punya menantu seperti kamu." Hesti mengungkapkannya segala isi hati dan pikirannya. Resty menyunggingkan senyumnya. "Aku juga tidak sudi punya ibu mertua seperti, anda ibu Hesti yang terhormat. Jika saja mas Ardan tidak nekat akan bunuh diri, aku juga tidak mau menikah dengan anak ibu. Apa, Ibu lupa kejadian di mana mas Ardan memintaku untuk menjadi istrinya."He
Waktu berjalan begitu cepat, keesokan harinya tepatnya pukul sepuluh siang Resty sudah diperbolehkan pulang. Sejujurnya Resty meminta pulang sedari tujuh pagi tadi, tapi dokter belum mengizinkan. Setelah kondisinya benar-benar sudah pulih, baru dokter mengijinkannya untuk pulang."Dafian nggak rewel kan, Mas?" tanya Resty, memang Dian membawa pulang cucunya terlebih dahulu, itupun atas saran dokter. "Nggak kok, kata mama anteng," jawab Dony. Mendengar itu, hati serta pikiran Resty menjadi tenang. "Lalu bagaimana dengan Zara." Resty kembali bertanya."Zara juga nggak rewel kok, malah kata mama seneng banget," sahut Dony."Syukurlah, auh." Resty hampir saja terjatuh jika Dony tidak sigap. "Sayang kamu baik-baik saja kan?" tanya Dony dengan raut wajah khawatir. "Aku nggak apa-apa kok, Mas. Cuma tadi rasanya tiba-tiba sedikit pusing," jawab Resty sembari memijit pelipisnya. "Kita kembali ke .... ""Enggak apa-apa kok, Mas. Aku mau pulang, aku ingin melihat putra kita." Resty memotong
Dua jam telah berlalu, kini Ardan sudah dibawa ke rumah sakit jiwa. Awalnya polisi akan membawanya ke kantor polisi, tetapi setelah diperiksa. Kondisi kejiwaan Ardan terganggu, itu sebabnya polisi membawanya ke rumah sakit jiwa.Sementara itu, saat ini rumah Rena banyak pelayat yang datang saat mendengar kabar Serly meninggal dunia. Bahkan Haris yang mendengar kabar tersebut ikut hadir bersama dengan keluarganya. Mengingat jika Serly juga pernah menjadi bagian dari keluarganya.Setelah pemakaman selesai, Hesti meminta Haris dan sekeluarga untuk mampir lagi ke rumah. Hesti ingin meminta maaf pada mereka, terutama pada Resty, mantan menantunya yang pernah ia sia-siakan. Hesti juga ingin meminta maaf pada Dony."Resty, tolong maafkan semua kesalahan ibu dan sekeluarga. Tolong maafkan kesalahan Ardan juga, mungkin apa yang kami alami adalah karma. Karena kami sering menghina kamu dan juga menyia-nyiakan kamu," ungkap Hesti dengan penuh penyesalan. Bahkan air matanya tak berhenti menetes,
Setelah menanda tangani surat persetujuan, kini mereka tengah menunggu di depan ruangan operasi. Ardan dan Rena hanya bisa berharap agar operasi berjalan dengan lancar. Tiba-tiba saja Rena teringat akan Mita yang sampai saat ini mereka belum tahu keadaannya."Kenapa, Kak?" tanya Ardan yang melihat kakaknya tiba-tiba gelisah. "Kita belum tahu bagaimana dengan keadaan Mita," jawab Rena. Mendengar itu Ardan hanya menghela napas. "Nunggu operasi ibu selesai operasi, setelah itu kita tanyakan kondisi Mita," lanjutnya. Sementara itu Ardan hanya mengangguk, setelah itu ia menyenderkan kepalanya di sandaran kursi."Kenapa semenjak aku menyia-nyiakan Resty dan juga Zara masalah selalu datang. Terlebih setelah Resty mengetahui rahasia yang selama ini aku simpan." Ardan membatin, jujur ia merasa bersalah atas perbuatannya pada Resty serta putrinya dulu."Apa ini karma untukku dan juga keluargaku. Selama ini kami selalu berbuat jahat pada Resty." Ardan kembali membatin, lalu mengusap wajahnya d
Resty tersenyum. "Itu tidak akan pernah terjadi, kamu pikir aku akan luluh dengan ancamanmu itu. Dengar ya, Mas. Aku bersedia memaafkan semua kesalahan kamu dan juga keluargamu. Tapi tolong, jangan pernah usik hidupku lagi, aku sudah bahagia bersama dengan mas Dony."Ardan menggeleng. "Aku tidak percaya, kamu tidak bahagia, kamu hanya akan bahagia hidup bersamaku. Resty, Sayang kembalilah padaku, aku berjanji tidak akan menyia-nyiakan kamu seperti dulu. Aku berjanji."Ardan bangkit dan hendak menyentuh pipi mulus mantan istrinya. Dengan cepat Resty menepisnya dengan kasar. Bahkan dua bodyguard yang sedang berjaga langsung menghampiri majikannya untuk melindunginya."Nyonya cepat masuk," titah Jony, salah satu bodyguard yang bertugas untuk menjaga rumah. Dengan segera Resty bangkit dan berlari masuk ke dalam. Sementara itu, Ardan yang hendak mengejarnya, dengan kasar Jony mendorongnya hingga jatuh."Cepat pergi dari sini, jika masih sayang pada nyawamu," ujar Beni, bodyguard yang ikut
Hari telah berganti, pagi ini Hesti tengah pusing dengan masalah yang menimpa anak-anaknya. Mulai dari anak pertamanya hingga anak ketiganya, yaitu Ardan. Kepala Hesti rasanya ingin meledak saat memikirkan berbagai masalah mereka."Jadi kak Rena semalam nggak pulang, Bu?" tanya Ardan. Saat ini mereka tengah menikmati sarapan bersama, tetapi hanya Hesti dan kedua anaknya. Karena Rena tidak pulang, entah ke mana anak itu."Iya, Rena benar-benar membuat ibu pusing. Anak itu biang masalah yang terjadi di keluarga kita," keluhnya. Karena semenjak ketahuan selingkuh, Rena benar-benar berubah. Wanita itu sering pergi pagi dan pulang larut malam, bahkan terkadang tidak pulang seperti semalam."Udah coba, Ibu telpon." Mita menimpali."Nomornya nggak aktif," sahut Hesti. Wanita itu memijit pelipisnya yang tiba-tiba sangat sakit. Hesti tidak tahu harus berbuat apa lagi, karena setelah Rena dan Dion resmi bercerai, mereka harus mengembalikan uang yang pernah Rena pinjam dulu."Ibu sudah pernah me
"Ya sudah, kalau begitu kami pamit dulu. Ingat ya, kalau kamu tidak mengembalikan uang itu, saya akan menuntut kamu," ucap Mira, seketika Rena dan yang lainnya terkejut mendengar hal tersebut. Terlebih Rena, wanita itu pusing harus mencari uang sebanyak itu ke mana.Setelah urusan mereka selesai, kedua orang tua Dion bergegas untuk pulang. Kini Ardan dan ibunya tengah bingung, bagaimana caranya untuk mengembalikan uang itu. Andai saja Rena tidak berbuat ulah, mungkin Dion tidak akan menceraikannya. Karena bagi Hesti, menantunya itu sumber uang, tapi dasar Rena saja yang tidak bisa memanfaatkan."Coba saja kamu tidak berbuat ulah, Dion pasti tak akan menceraikan kamu. Kalau sudah begini siapa yang rugi," ungkap Hesti. Beruntung jantungnya tidak kumat saat mendengar kabar tersebut."Mas Dion itu terlalu sibuk sama pekerjaan, dia nggak ada waktu untuk Rena," belanya. Sesungguhnya bukan masalah itu saja yang membuat Rena berpaling, tetapi Rena yang memang matre membuatnya mencari kesenang
Ardan melirik ke arah mantan istrinya itu, jujur ia sakit hati menerima kenyataan tersebut. Masalah Serly yang bukan anak kandung ayahnya, atau masalah Resty yang ternyata anak kandung ayah mertuanya itu tidak menjadi masalah. Namun menerima jika Resty telah menjadi istri Dony, hal tersebut membuatnya sakit hati."Satu lagi yang perlu kamu ketahui, kalau semua harta yang papa miliki telah menjadi milik Resty. Karena Resty yang berhak atas itu semua." Satu kenyataan lagi yang membuat jantung Serly ingin copot. Kemarahan dan rasa kecewa kini telah menguasai hati Serly."Ini tidak mungkin, aku yang bersama papa sejak kecil. Tapi kenapa dia yang mendapatkan itu semua, Papa tidak adil." Serly protes, ia benar-benar tidak terima dengan keputusan ayahnya."Kamu memang benar, tapi sejak awal memang niat papa seperti itu. Namun meski semua harta dan apa papa miliki telah menjadi milik Resty. Papa tidak akan mengusir mamamu, papa juga akan tetap menganggap kamu sebagai anak." Haris memberi penj
"Sial." Lelaki itu mengumpat kesal, dengan memegangi tengkuknya. Lelaki berkemeja hitam itu bangkit, dengan pandangan yang sedikit kabur lalu menatap pemuda yang berdiri di hadapannya."Siapa kamu." Lelaki itu melontarkan pertanyaan. Sesekali ia mengusap tengkuknya, lalu menggerakkan ke kanan dan juga ke kiri."Itu bukan urusan kamu, yang jelas aku akan menggagalkan rencana kamu untuk menculik istri orang," jawabnya. Seketika lelaki itu naik pitam mendengar jawaban dari pemuda berjas hitam tersebut."Sialan, berani juga kamu ya." Lelaki itu yang tak lain adalah Ardan langsung melayangkan pukulannya ke arah pemuda berjas hitam tersebut. Kini keduanya tengah sama-sama adu otot, pemuda itu terpaksa melawan Ardan yang lebih dulu menyerangnya.Sementara itu, di luar Dony tengah gelisah, pasalnya sudah sepuluh menit lebih Resty belum juga kembali. Sesekali ia melirik ke arah belakang, di mana kamar mandi berada. Sementara itu, Rahayu yang melihat kegelisahan menantunya, dengan segera mengha
"Kamu pasti bingung, Mas. Kenapa aku bisa duduk di sini." Resty membatin, sementara Ardan masih diam dengan raut wajah kebingungan. "Kamu sekarang berubah ya," ujar Ardan seraya menatap mantan istrinya dengan tatapan tak percaya. Bahkan lelaki itu kembali menggelengkan kepalanya, rasanya ia tidak percaya dengan apa yang Ardan lihat.Resty menghela napas. "Tolong, di sini untuk membahas pekerjaan, bukan membahas masalah pribadi."Ardan membuang muka, kesal dan marah berubah menjadi satu. Setelah itu Ardan menghembuskan napas, berusaha untuk menahan sabar, walaupun sesungguhnya hatinya merasa tercabik atas perubahan mantan istrinya. Sementara Resty menahan tawanya saat melihat ekpresi wajah mantan suaminya."Kamu memang sombong, ok mungkin sekarang kamu menang. Tapi aku akan buktikan kalau kamu akan kembali lagi padaku." Setelah mengatakan itu Ardan memutuskan untuk pergi. Malu rasanya jika harus bekerja satu kantor dengan mantan istri. Terlebih posisi Resty yang sebagai pemimpin."Dar