Gulzar Heer membuka mata perlahan saat mencium aroma lemon yang familiar. Wajah banjir air mata Delaram tertangkap pandangan. Dia susah payah menggerakkan tangan untuk mengusap buliran bening di pipi sang ibu.
“Ibu ...,” lirihnya.
“Gulzar ... akhirnya kau sadar, Nak,” gumam Delaram dengan suara bergetar.
Lengannya yang besar dan hangat mendekap erat putrinya. Gulzar Heer membenamkan wajah di dada sang ibu. Farzam mengepalkan tangan dengan mata berkaca-kaca.
“Ayah, aku juga ingin dipeluk olehmu,” cetus Gulzar Heer tiba-tiba.
Tangis Farzam tak bisa dicegah lagi. Sebagai kesatria, dia pantang meneteskan air mata karena tak ingin terlihat lemah. Namun, permintaan tak biasa Gulzar Heer meruntuhkan pertahanannya. Putri yang tak pernah mengeluh dengan pelatihan sekeras apa pun tiba-tiba meminta sebuah pelukan. Sebenarnya, Farzam sudah lama mengharapkan Gulzar Heer bisa sedikit manja seperti anak gadis lain meski s
Alun-alun Negeri Asytar gegap gempita. Rakyat berdesak-desakan hendak menyaksikan penobatan penguasa baru, Ratu Farahnoush. Beratus pasang mata menatap kagum sosok yang mengenakan jubah kebesaran di atas panggung kehormatan. Pujian akan pesona kecantikan dan keanggunan nan memikat tak henti terdengar daei berbagai sudut kota.“Ratu Farahnoush memang seperti peri,” bisik seorang gadis berambut pendek di depan sebuah toko kue kepada gadis berkucir kuda.“Beliau begitu memesona. Kau tahu, sudah puluhan lelaki yang pingsan sejak beliau keluar dari gerbang istana,” sahut gadis berkucir kudaSementara kedua gadis itu sibuk memuji-muji sang ratu, Gulzar Heer telah berlutut di hadapan Houri untuk menerima pemberkatan sang peri. Pangeran Fayruza yang berdiri di sisi kanan panggung terus mengusap-usap dadanya. Dalam balutan bazu zirah penuh darah saja, pujaan hatinya amat memesona, apalagi dengan gaun mewah bertaburan permata.“Kuberka
Gelap menerpa ketika pintu kuil menutup sendiri. Aroma lumut basah menelusuk hidung. Ghumaysa merapalkan beberapa bait mantra. Cahaya merah berpendar di telapak tangannya. Kini, kuil sedikit lebih terang. Dalam keremangan, bisa terlihat relief-relief pada dinding batu berlumut. Keindahan karya seni masa lalu itu memukau Pangeran Heydar. "Jika Kak Arezha ada di sini, dia pasti akan melompat-lompat kegirangan seperti anak kecil," celetuknya tanpa sadar. Lekukan tak proporsional terukir di bibir Ghumaysa. Tangannya mengepal kuat. "Kau tidak boleh memiliki kebaikan hati sedikit pun, Heydar," desisnya. Dia diam-diam meniupkan asap hitam tipis ke arah Pangeran Heydar. "Untuk apa masih memikirkan kakak tiri jahat itu?" Bisikan halus menelusup ke dalam pikiran Pangeran Heydar, membuatnya tersentak. Dia tak mengerti kenapa bisa berpikiran seperti itu. Meskipun agak jail, selama ini, Putri Arezha bersikap baik. Sang
Pangeran Heydar dan Ghumaysa telah selesai menuruni anak tangga. Ghumaysa kembali menyalakan cahaya merah kekuningan untuk menerangi jalan. Berbeda dengan lantai pertama, lantai kedua memiliki dinding yang lebih kokoh. Namun, persamaannya adalah relief terukir di sana."Pengendali tanah," desis Ghumaysa.Dia mengusap relief yang menggambarkan penduduk kampung tengah membangun rumah dengan mengendalikan tanah. Pangeran Heydar mendekat, lalu melingkarkan lengan di bahu Ghumaysa."Jadi, makhluk apa yang akan kita hadapi berikutnya?""Kura-kura raksasa."Tepat setelah jawaban Ghumaysa, getaran hebat terjadi. Suara seperti batu beradu memekakkan telinga. Tak ingin mengulangi kesalahan yang sama, Pangeran Heydar menjadi lebih sigap.Dia menajamkan pendengaran. Setelah menemukan arah suara keras itu datang, sang pangeran memasang kuda-kuda. Pedangnya terhunus dengan posisi tubuh siaga berdiri kokoh di depan Ghumaysa.
Pangeran Heydar berusaha menggapai Ghumaysa agar bisa melindungi wanita itu. Namun, kecepatan meluncur mereka tak sama. Bobotnya lebih besar, sehingga jatuh lebih dulu. Dia meneriakkan nama sang kekasih berkali-kali. Namun, hanya suara sendiri yang terdengar, seperti pantulan. Kegelapan dan gaung suara berulang membuat Pangeran Heydar frustrasi.“Ghumaysa! Ghumaysa! Jawab aku!”Byur!“Hmmpp uggh! Ghumay—”Pangeran Heydar menggapai-gapai ke atas. Ya, dia memang baru saja tercebur ke air dingin. Tubuhnya terasa membeku. Namun, hanya keselamatan Ghumaysa yang ada dalam benaknya.“Heydar ... Heydar ....”Rintihan lemah dari suara yang tak asing membuat Pangeran Heydar semakin menggebu untuk naik ke permukaan. Tak lama kemudian, dia bisa kembali menghirup udara segar. Matanya segera menjelajah sekeliling mencoba mencari keberadaan Ghumaysa. Benar saja, sang kekasih tergeletak tak berdaya di atas
“Aku tidak mau, Bu! Rasanya tidak nyaman!”Seorang gadis berambut merah menggerutu saat ibunya mencoba memasang perisai pelindung. Dia terus mengomel selama prosesnya. Sang ibu mendelik tajam.“Diamlah! Perasaan Ibu tidak enak! Sepertinya, ada orang yang akan melukaimu.”“Ah, itu cuma khayalan Ibu. Pasti karena mimpi anehku kemarin, ‘kan?” ketusnya.Dia memang memimpikan hal aneh dua hari lalu. Seekor burung api yang indah terbang ke arahnya. Gadis itu awalnya takut dan berusaha lari, tetapi kakinya tak cukup kuat, hingga terjungkal. Burung api itu pun seperti merasuk ke tubuhnya. Anehnya, tidak ada rasa sakit ataupun terbakar sama sekali. Dia justru merasakan kehangatan yang nyaman.“Mimpi itu bukan mimpi biasa, Anakku.” Suara sang ibu membuyarkan lamunan gadis berambut merah.“Iya, Bu. Iya.”“Kisah kesatria suci dan empat pengendali elemen legendaris bukan seked
Pangerah Heydar membuka mata perlahan. Dia mencabut pedang di hadapannya dengan yakin. Keputusan telah diambil. Sang pangeran lebih memilih memenuhi ambisi untuk berkuasa dibandingkan mendengarkan hati nurani. Bersamaan dengan tercabutnya pedang terkutuk dari segel penjaga, sisa-sisa serpihan jiwa kesatria suci legendaris juga perlahan memudar.“Keputusan yang buruk, Anakku .... Kuharap kamu masih bisa kembali sebelum terlambat.” Bisikan lembut mendenging di telinga Pangeran Heydar bersamaan dengan kerlipan cahaya yang semakin redup.Ada perasaan sedih yang tak bisa dijelaskan tiba-tiba bercokol di hati Pangeran Heydar. Namun, hal itu tidaklah lama. Tepat setelah pecahan jiwa kesatria suci menghilang, kabut hitam dari pedang terkutuk menyelimuti Pangeran Heydar. Rasa panas bergolak di sekujur tubuhnya. Amarah, dendam, ambisi, dan pikiran-pikiran buruk di alam bawah sadar seolah naik ke permukaan, meracuni jiwa yang semula murni.Pangeran Heydar terta
Rasa dingin menusuk membuat Gulzar Heer membuka mata perlahan. Langit malam dengan kerlipan bintang terlihat gemerlap. Gadis itu mencoba duduk sambil memijat kepala yang terasa berdenyut.Hal aneh dirasakannya. Tubuh terasa amat ringan. Dia pernah mengalami hal yang sama persis, tepatnya saat Ghumaysa memperlihatkan masa lalu Raja Atashanoush dan Ratu Daria.“Apa aku melihat masa lalu lagi?” gumam Gulzar Heer sembari mencoba menggenggam pasir yang didudukinya. Benar saja, butiran pasir itu tembus tak tersentuh.Dia menghela napas berat, lalu mencoba mengedarkan pandangan untuk mencari tahu tempat keberadaannya kini. Sejauh mata memandang, hanya gurun pasir yang terlihat. Gulzar Heer berdiri, lalu kembali memandangi langit, mencoba mencari petunjuk jalan dari rasi bintang.Baru saja Gulzar Heer hendak melangkah, suara kaki kuda terdengar di kejauhan. Tak ada tempat persembunyian di gurun pasir. Dia pun menghunus pedang, bersiap dengan kemungkin
"Api! Api!"Jeritan panik terdengar di seluruh penjuru. Si kumis tebal yang sudah siap menerkam gadis kecil mengurungkan niatnya. Dia terdiam berusaha menajamkan pendengaran."Api! Lari! Apinya menyebar! Cepat Lari!"Wajah si kumis tebal memucat. Tubuh tambunnya berkeringat karena hawa panas semakin terasa. Dia terpaku sejenak sebelum bergegas menuju pintu, bersiap membukanya untuk mengetahui dengan pasti keadaan di luar.Brak!Tubuh gemuk si kumis tebal terlempar. Ya, pintu itu tiba-tiba didobrak dari luar, sehingga tanpa sengaja membantingnya. Pemuda kekar dengan banyak bekas luka di wajah masuk ke kamar."Tuan! Api sudah menyebar ke mana-mana! Cepat tinggalkan tempat ini! Saya akan membantu Anda untuk membuka jalan!" seru pemuda itu.Si kumis tebal susah payah berdiri. Pemuda pengawalnya itu cepat-cepat membantu, meskipun langsung dimaki-maki."Berani sekali kamu memerintahku!""Tapi, Tuan, Anda harus segera kam
Pangeran Heydar memasuki pondok dengan wajah semringah. Nyanyian terlantun merdu dari bibirnya. Shirin yang tengah mengelus perut seketika mengalihkan pandangan."Kau tampak senang, Sayang. Ada apa?"Pangeran Heydar menghampiri Shirin, mendekap dari belakang. Lengan kekarnya melingkar erat di pinggang sang istri. Dia meletakkan dagu di bahu Shirin, lalu memejamkan mata sejenak."Ya, Sayang. Ada kabar yang sangat membahagiakan."Shirin melepaskan pelukan Pangeran Heydar. Dia berbalik dengan cepat dan menatap antusias. Wanita itu memang paling tak tahan dengan rasa penasaran."Kabar gembira apa, Sayang? Jangan membuatku penasaran!" cecarnya.Pangeran Heydar menyengir lebar, lalu mengecup perut istrinya yang mulai membukit. "Aku mendapat pesan dari Gulzar""Apa? Cepat bacakan! Cepat bacakan!" desak Shirin. Dia hampir saja menjambak rambut sang suami."Tenanglah, Sayang. Pesannya tidak akan hilang jika kamu sedikit bersabar.""Jangan membuatku tambah kesal, Heydar! Kau tahu aku sangat mer
Pangeran Fayruza tersentak, lalu menatap lekat Delaram yang masih tersengal-sengal. Delaram mengatur napas sejenak. Pakaiannya tampak basah oleh keringat. Wajah cantik dan tegas itu sampai memerah."Anda harus ikut saya untuk menyelamatkan Pangeran Heydar!" seru Delaram setelah napasnya lebih teratur.Kecemasan Delaram menular kepada Pangeran Fayruza. "Ada apa dengan Kak Heydar, Bi?" desaknya. Pangeran Fayruza terus menatap lekat meminta penjelasan. Delaram hendak menyahut. Namun, udara tiba-tiba terasa menyesakkan. Aroma mawar menyeruak diikuti kerlipan-kerlipan cahaya keemasan yang semakin lama memperjelas wujudnya, belasan kupu-kupu.Houri langsung melakukan salam penghormatan. Kupu-kupu yang paling indah perlahan menjelma menjadi wanita cantik dengan tiara indah di kepala. Dialah ratu peri kupu-kupu emas. Sang ratu menghampiri Ghumaysa dan menusukkan tongkatnya ke perut wanita itu."Argggh!" Erangan memilukan terasa memekakkan telinga. "Tidak! Tidak! Tidaaak!"Teriakan Ghumaysa m
"Arghhh!" Erangan Ayzard memenuhi udara.Dia langsung melompat ke belakang menghindari serangan Gulzar Heer. Pedang suci menghantam sebongkah batu dan membuatnya hancur berkeping. Ayzard tampak mencengkeram dada kiri dengan napas tersengal. Dia terbatuk, lalu memuntahkan darah. Kabut hitam yang semula memberikan tambahan energi secara terus-menerus tak bisa lagi mengalir ke tubuh Ayzard seperti terhalang sesuatu.Gulzar Heer tak ingin membuang kesempatan. Dia memusatkan kekuatan. Pedang suci berpendar. Kilat putih melesat mengincar Ayzard. Ghumaysa melihat ada yang tak beres pada Ayzard seketika membuat perisai dari kabut hitam.Ledakan besar memekakkan telinga. Kilat putih pedang suci berbelok ke segala arah. Beberapa siluman jahat terbakar olehnya. Sementara itu, Ayzard kembali muntah darah. Ghumaysa mendecakkan lidah.“Si bodoh Heydar pasti melakukan sesuatu yang konyol!” umpatnya, lalu menggertakkan gigi.“Lawanmu adalah kami, Wanita Iblis!” bentak Kyra seraya melesatkan panah-pan
"Ayo kemarilah, Putriku," panggil Ayzard lagi.Ghumaysa yang menyamar menjadi Daria tak ingin ketinggalan. Dia juga menampakkan diri, lalu meracuni pikiran Gulzar Heer dengan ucapan manis. Tak ketinggalan, sihir hitam dalam bentuk kabut tipis diembuskan untuk semakin melemahkan mental."Anakku yang cantik, kami sangat rindu kemarilah," bujuk Ghumaysa."Baik, Ayah, Ibu."Jarak yang memisahkan Gulzar Heer dengan Ayzard dan Ghumaysa semakin sempit. Ayzard diam-diam menyeringai. Tangannya menggenggam erat gagang pedang hitam."Berhenti, Farah! Ayah dan Ibu ada di sini, Anakku!" seruan dari suara yang tak asing menghentikan langkah Gulzar Heer.Dia berbalik. Atashanoush dan Daria berdiri di sana. Kekuatan kasih sayang terhadap anak semata wayang membuat mereka bisa menembus dimensi yang dibuat Ghumaysa dan menampakkan diri."Dasar adik durhaka! Berani kamu menyamar menjadi aku!" bentak Ghumaysa berusaha mengacaukan pikiran Gulzar Heer."Kaulah yang menyamar, Ghumaysa!" sergah Daria yang as
Sudah sepuluh kali Kayvan menghela napas berat. Dia juga terus memandangi langit malam dari jendela menara sihir. Lelaki tua itu mendecakkan lidah, lalu mulai mondar-mandir memutari bejana sihir sambil memijat-mijat kening.Bruk!Kayvan terduduk. Akibat mondar-mandir tak jelas, dia bertabrakan dengan Kaili yang baru memasuki ruangan sambil membawa beberapa alat sihir. Untunglah, pemuda itu berhasil menangkap semua barang bawaannya sebelum membentur lantai. Kalau tidak, bisa-bisa ruangan utama menara sihir akan meledak. "Maafkan saya, Guru," tutur Kaili takzim sembari membantu sang guru berdiri. Tentu saja, dia meletakkan alat-alat sihir dengan hati-hati terlebih dulu."Akulah yang salah sudah menabrakmu."Hening. Kaili diam-diam melirik wajah Kayvan. Mereka menjadi guru dan murid bertahun-tahun. Dia bisa merasakan keresahan hanya dari sorot mata atau bahkan sedikit kernyitan di dahi gurunya."Ada apa, Guru? Apa Anda mencemaskan Nona Shirin?" celetuk Kaili setelah terdiam cukup lama.
Rombongan Gulzar Heer telah tiba di Kerajaan Asytar. Gelembung yang dibuat Pangeran Fayruza perlahan menyembul dari kolam istana. Putri Arezha, Raja Faryzan, Kaili telah menunggu dengan wajah cemas. Mereka kompak menghela napas lega begitu rombongan penyelamat Shirin dan Pangeran Heydar kembali tanpa terluka.Pangeran Heydar langsung berlutut di hadapan ayah dan kakaknya. Meskipun di bawah kendali sihir hitam, ingatan pernah hampir membunuh Raja Faryzan masih terekam. Pangeran Heydar terus menggumamkan kata maaf dengan suara bergetar hebat. Raja Faryzan menepuk bahu sang putra dengan lembut.“Bangunlah, Nak. Kejadian itu sudah terlanjur terjadi, Heydar. Sekarang, lebih baik mencoba menebus kesalahanmu dengan menyelamatkan lebih banyak nyawa.”Pangeran Heydar masih enggan bangun meskipun lututnya tampak terluka. Putri Arezha mendecakkan lidah.“Kenapa kita kembali ke istana? Harusnya kita langsung ke kuil suci!” protes Gulzar Heer.“Tubuhmu baru pulih, istirahatlah dulu,” pinta Pangera
Meskipun sudah melarikan diri sekuat tenaga, para siluman tetap berhasil memblokade jalan. Kini, Shirin dan Pangeran Heydar sudah terkepung. Sekeliling mereka telah dipenuhi siluman dengan seringaian jahat. Gigi-gigi tajam yang meneteskan air liur berbau bangkai meremangkan bulu kuduk."Percuma saja kalian kabur," desis siluman ular dengan lidah menjulur-julur."Heydar, aku akan menarik pedang siluman paling depan itu, bersiaplah untuk menangkapnya," bisik Shirin.Pangeran Heydar mengangguk kecil. Shirin mulai memusatkan manna di telapak tangan kanan, hingga membentuk benang yang sangat tipis. Dengan gerakan cepat, dia melesatkan pisau angin menggunakan tangan kiri ke arah siluman kadal untuk mengalihkan perhatian.Berhasil, siluman kadal terpancing dan mulai menebaskan pedang. Saat itulah, Shirin menggerakkan benang tipis dari manna untuk mengikat gagang pedang si siluman. Meskipun tipis, benang itu memiliki ketahanan dan kekuatan
Ghumaysa dan pasukannya bergerak semakin cepat. Mereka telah berada di perbatasan hutan dengan desa terdekat. Namun, hawa keberadaan Shirin dan Pangeran Heydar malah terbagi ke dalam tiga arah.Arah pertama berbelok ke kanan menuju pedesaan. Arah kedua lurus ke depan melewati pegunungan. Arah ketiga justru terasa kuat di sepanjang Sungai Lispen berbalik ke pusat kota.Ghumaysa mendengkus. Dia sadar bahwa Shirin lagi-lagi melakukannya pengecohan. Hanya ada satu arah yang benar. Ghumaysa memutuskan membagi pasukan menjadi dua kelompok. Satu pasukan ikut dengannya menyusuri pegunungan. Sisanya akan menggeledah desa-desa terdekat. Dia memberi bola kristal kecil yang bisa mendeteksi Pangeran Heydar. Selain itu juga, dia mengirimkan pesan kepada para penjaga untuk menghadang siapa pun yang mencoba memasuki pusat kota.Pengejaran dilanjutkan. Terjalnya jalan, hawa dingin pegunungan, dan gelapnya malam tidak menyurutkan langkah. Ketahanan siluman yang berbeda deng
Kaili memusatkan manna di telapak tangan. Meskipun mungkin tidak akan menyebabkan luka fatal, paling tidak dia bisa memberi kesempatan kepada Ava dan Kyra untuk melarikan diri. Kayvan pernah menceritakannya tentang pengorbanan beberapa pengendali hebat di masa lalu. “Mungkin kali ini adalah giliranku,” gumam Kaili dalam hati. "Kenapa kau bisa ada di sini, Kaili?" Suara merdu yang terdengar tegas dan sedikit ketus membuyarkan konsentrasi Kaili. Bola manna di tangannya seketika terpecah. Serpihannya terlempar ke sembarang arah, membekukan sebagaian rerumputan. Meskipun begitu, ketegangan dan ketakutan sudah raib. Kaili mengenal suara itu. Dia cepat berbalik. Benar saja, wajah cantik Houri sudah menyambutnya. Kaili mengenggam tangan sang peri dan menatap dengan sorot mata memelas. Ava dan Kyra hanya bisa terbengong-bengong menyaksikan hal itu. Mereka memang belum pernah bertemu Houri. "Peri Houri, tolong kami!" pinta Ka