Seharian ini aku hanya bisa uring-uringan karena jemuran Ayu. Punya satu baju yang sama dengan tetangga saja sudah bikin kita malu tidak terkira, bagaimana kalau satu lemari isinya sama?
Aku tidak memasak, tidak beberes rumah, dan tidak bersemangat melakukan apapun. Channel televisi daritadi sudah aku gonta-ganti karena tidak ada acara yang menarik bagiku. Padahal biasanya jam sepuluh siang seperti ini, aku akan fokus di depan TV. Saat ini, rasa penasaran siapa Ayu lebih tinggi dari hasrat menonton serial Bollywood kesukaanku.
Ting!
Ponselku berbunyi. Sebuah pesan masuk yang saat aku lihat ternyata dari Bang Ramon.
Ayang Suami
Masak apa hari ini, Pa?
Tidak masak, Bang. Lagi males. Nanti beli soto ayam saja di warung Bu Lilis.
Send
Abang punya kabar baik. Abang dapat bonus hari ini, nasabah mobil Abang gak jadi beli kredit, tetapi cash, jadi bonus Abang cepat cairnya.
Mataku berbinar saat menerima pesan balasan dari suamiku. Tidak ada seorang istri pun di muka bumi ini yang tidak ikut senang dan gembira bila suaminya dapat bonus diluar gaji pokok.
Alhamdulillah, Puspa ditransfer dong ya.
Send
Iya, nanti Abang kasih cash aja ya. Kita nonton sore ini dan makan di restoran, gimana?
Aku melompat kegirangan. Hilang sudah kegundagan hati seharian ini karena suamiku ingin mengajakku menonton dan makan di restoran.
Oke, Sayang, istrimu ini akan dengan senang hati menerima ajakan dari suami tercinta. Tenang saja, berhubung nanti malam malam jumat, jatah Abang nanti Puspa double-in, mau sambil kayang juga boleh ha ha ha ha....
Send
Oke, Abang kerja lagi. Bye... Istriku.
Screenshot.
Dengan gerakan cepat aku meng-screenshoot percakapan aku dan Bang Ramon perihal ajakan makan dan nonton. Aku jadikan status W* dengan catatan 'Asik, diajak kencan'
Pukul satu siang, aku menyantap kembali tahu krispi itu ditemani nasi hangat saja. Rasanya memang luar biasa enak, pantas saja suamiku senang dan Ayu tidak salah memberitahuku. Sepertinya tahu krispi bumbu ini akan menjadi makanan favoritku juga.
Satu piring sudah kuhabiskan, mengingat nanti sore aku makan di luar, maka sayang jika tahu ini bersisa. Suara motor Ayu terdengar masuk ke pekarangan rumah. Aku pun mencuci tangan, lalu bergegas mengintip dari jendela.
Benar sekali, Ayu baru saja pulang dari kampus. Di tangannya nampak sebuah kantung plastik bening yang seperti berisi bungkusan nasi. Tidak terlihat gelagat aneh dari Ayu, tetapi aku tetap saja penasaran. Penasaran dengan isi lemarinya, apakah sama dengan isi lemariku?
Kusempatkan tidur siang sebelum nanti sore janji bertemu dengan Bang Ramon. Angin di luar cukup kencang sehingga tidurku nyenyak tanpa perlu menyalakan AC kamar. Pekerjaan Bang Ramon sebagai kepala sales di salah satu showroom mobil membuat kehidupan ekonomi keluarga kami bisa dibilang cukup baik. Sama sekali aku tidak pernah kekurangan uang belanja. Bang Ramon selalu mendahului kepentingan rumah, baru ia sibuk dengan hobinya mengoleksi ikan.
Tok! Tok!
Suara ketukkan membuatku yang baru saja akan lelap, menjadi terbangun kembali. Mataku sangat payah untuk dibuka karena rasa kantuk yang luar biasa.
Tok! Tok!
"Iya, sebentar!" Kataku tak sabar. Jalanku saja masih seempoyongan begitu turun dari tempat tidur.
Tok! Tok!
Aku menggaruk rambutku yang tidak gatal. Ketukan yang berasal dari pintu depan itu benar-benar membuatku semakin sakit kepala.
Siapa sih siang-siang begini bertamu? Batinku kesal.Cklek
"Mbak, aduh, maaf, saya mengganggu tidur siangnya ya. Ini, cucian Mbak terbang lagi ke teras rumah saya. Anginnya kencang dan panasnya cetar, sehingga cucian kita cepat kering. Ini, ada tiga baju yang terbang, makanya saya berinisiatif untuk mengangkat semua cuciannya, Mbak!" Ayu menyerahkan setumpuk pakaian yang ada di jemuranku. Aku menerimanya masih dalam keadaan setengah sadar.
"Permisi, Mbak, saya jalan dulu!"
"Eh, i-iya, terima kasih ya, Ayu," kataku menjadi tidak enak hati. Kuberikan senyuman amat manis pada gadis muda tetangga baruku itu. Tidak mungkin gadis seperti Ayu penyuka sesama jenis. Apalagi kuperhatikan pakaiannya siang ini tidak sama denganku, disitu aku merasa bersyukur. Berarti kami tidak semua sama.
Pandanganku beralih pada kedua kaki Ayu. Oh, tidak! Bajunya memang tidak sama, tetapi sepatu Ayu sama persis dengan sepatuku. Berwarna hitam gambar mickey dengan merk Za*a.
Blam!
Aku menutup pintu dengan cepat. Lalu segera masuk ke dalam kamar. Satu hal yang akan kulakukan saat ini adalah memasukkan ke dalam koper semua pakaianku yang sama dengan Ayu. Bonus dari suamiku nanti akan kupergunakan untuk membeli pakaian baru.
Tin! Tin!
Klakson mobil terdengar nyaring. Aku yang penasaran pun akhirnya mengintip dari jendela. Seorang lelaki muda keluar dari mobil, lalu membukakan pintu untuk Ayu. Keduanya melempar senyuman akrab, lalu Ayu pun masuk ke dalam mobil itu.
Siapa Ayu sebenarnya?
Bersambung
Aku sudah berada di mal tepat pukul empat sore lebih tiga puluh menit. Sambil menunggu Bang Ramon sampai dari tempat kerjanya, aku mampir ke sebuah toko emas. Hasil uang sewa kontrakan bulan ini masih kusimpan rapi dan ingin kubelikan cincin saja, hitung-hitung menabung.Sebuah cincin cantik berhasil melingkar indah di jari manisku. Jari jemariku yang lentik dengan dua deret cincin di kanan dan kiri pun aku potret, lalu aku kirimkan pada Bang Ramon.Uang kontrakan Puspa belikan cincin ya, Bang.SendPesan itu masih centang abu-abu, pasti Bang Ramon saat ini sedang dalam perjalanan. Aku memutuskan untuk naik lebih dulu ke bioskop untuk memesan tiket."Mbak Puspa." Aku terdiam di tempatku begitu menyadari suara yang begitu familiar di telinga ini."Ayu." Aku pun berbalik dan menatap Ayu dengan tidak percaya. Dia di sini juga? Dari sekian bany
"Maafkan Abang, Puspa, Abang gak tahu kalau di samping Abang itu, Ayu. Lagian kamu kenapa milih nonton film horor? Sudah tahu Abang takut." Bang Ramon masih saja membela diri. Padahal aku lihat sendiri dengan jelas suamiku bersembunyi di balik tubuh Ayu. Entah sengaja atau tidak, pokoknya aku tidak terima.Aku masih saja melipat kedua tangan di dada dengan kesal. Kupalingkan wajah tak ingin menatap Bang Ramon yang duduk persis di depanku."Puspa, kamu kalau mau marah, lebih baik kita pulang saja, daripada pesan makanan, bukan makanannya yang kamu telan, tapi sendoknya." Aku tahu Bang Ramon sedang mencoba membuat lelucon agar rasa marahku berkurang, tetapi aku terlanjur kesal dengan suamiku."Aku lapar, Bang," rengekku."Ya sudah kalau mau makan, wajah kamu jangan cemberut terus. Lagian, sudah bagus memilih film romantis, malah film horor yang kamu pesan. Ayu itu sukanya film horor." Kali
"Ha? Kenal Ayu sebelumnya? Maksud kamu?" Ramon menatap wajah istrinya dengan penuh tanda tanya."Yah, aneh aja sih, kayaknya dia sengaja ngikutin kita gitu. Lagian, di mana ada Abang, pasti dia ada. Aku curiga, apa jangan-jangan Abang dan Ayu adalah selingkuhan?""Sayang, kalau sudah mengantuk, mending kita pulang yuk! Mandi air hangat sampai di rumah, dibersihkan kepala sampai jempol kaki, lalu salat isya, biar bisikan setan itu tidak menempel terus di kepala istri Abang ini. Ayo, lekas habiskan makanannya, kita pulang!""Tapi aku belum beli baju, Bang," rengekku pada Bang Ramon. Aku tidak mau bajuku besok sama lagi dengan baju Ayu. Benar-benar memalukan jika diketahui oleh ibu-ibu tetangga."Jangan beli di mal ini, nanti Ayu lihat, baju kamu dia contek lagi, belinya besok saja di mal yang lain. Masih ada waktu." Aku pun mengantuk setuju. Ucapan suamiku ada benarnya. Ia tidak mungkin ju
"Maafin Abang, Puspa, Abang kaget!" Rengek Bang Ramon sambil memeluk tubuhku yang menegang kaku. Aku masih terisak, tidak bisa menjawab ucapan maafnya. Semua terlalu mengejutkan bagiku. Suamiku yang terkenal manis, walau tidak terlalu romantis, selalu memperlakukanku dengan baik, belum pernah sama sekali bersikap seperti orang lain yang tidak aku kenali."Kenapa harus kaget? Bukankah di rumah ini hanya ada aku dan Abang. Memangnya Abang kira, siapa yang memeluk Abang?" cecarku dengan diiringi is akan pedih."Apa yang sedang apa pikirkan? Bukannya baru saja dapat bonus? Tetapi Abang seperti tertekan, sehingga memperlakukanku seperti orang lain," tanyaku lagi. Bang Ramon mendesah berat, ia mengurai pelukannya, lalu berbalik badan untuk meneruskan memakai pakaiannya."Aku hanya kaget saja, kamu tidak perlu terlalu berlebihan. Kurangi membaca novel online tentang perselingkuhan, karena hal-hal seperti itu yang a
Mobil Pak Wahyu melaju cukup kencang menuju klinik terdekat. Di dalamnya ada Bang Ramon yang membawa Ayu yang tengah pingsan, serta ada satu ibu-ibu tetangga lainnya yang menemani. Semua panik, termasuk pun aku.Tas yang sudah kubawa tadi, ku lemparkan begitu saja masuk ke dalam rumah melalui jendela depan yang memang belum dipasang teralis besi. Kunci motor ada di saku celanaku, tentu saja hal ini membuatku memutuskan untuk mengejar suamiku sampai di klinik. Semoga aku tidak kehilangan jejaknya.Mobil Toyota milik Pak Wahyu berada di parkiran klinik dua puluh empat jam yang cukup luas. Aku pun ikut memarkirkan motorku di area parkir khusus motor. Dengan berlari aku masuk ke dalam klinik untuk bertanya keberadaan suamiku."Maaf, Sus, pasien wanita yang dibawa dengan mobil di depan itu, ada di mana ya?" tanyaku pada petugas yang berjaga di meja pendaftaran."Oh, sedang diperiksa di dalam,
"Katakan Ayu, kenapa malah diam? Ada hubungan apa kamu dengan suamiku? Apa kalian berselingkuh di belakangku? Sudah berapa lama? Apa kalian punya anak dari perselingkuhan ini? Katakan!" Aku tak sanggup berdiri tegak, tubuhku limbung begitu saja karena terlalu emosi pada suami dan juga gadis bernama Ayu. Bu Rika menahan tubuhku, lalu membisikkan kalimat sabar."Sayang, kamu salah paham! Bukan seperti itu." Bang Ramon masih mencoba membela diri. Namun aku tidak percaya begitu saja, aku tidak mau diselingkuhi. Pantang bagiku berbagi ranjang dengan wanita lain."Di mana letak salah pahamnya? Kalian ini saling kenal dan aku mendengar apa yang kamu katakan pada Ayu. Kamu mengkhawatirkan gadis ini, Bang, kamu menyukainya, kalian berselingkuh! Aku membencimu! Aku membenci kalian berdua!" Teriakku dengan sekuat tenaga hingga membuat Ayu semakin menangis sampai sesegukan. Aku tidak peduli, jika bisa kucakar, maka akan kucakar wajah drama
"Sayang, ya ampun, syukurlah kamu sudah sadar," samar kudengar suara Bang Ramon ada di dekatku, tepat mataku terbuka dengan pelan. Lelaki itu menggenggam tanganku dengan erat, seolah-olah tak rela jika aku menghempaskan kembali tangannya, seperti waktu itu. Bagaimana aku bisa melakukannya, untuk bangun saja tubuhku benar-benar tidak bertenaga."Ini di mana?" tanyaku dengan suara parau."Kamu ada di klinik, Sayang." Aku terdiam sesaat, lalu tertawa pedih kemudian. Licik sekali suamiku yang membawaku ke klinik terdekat dari rumah kami, semua ini pasti karena ia ingin berdekatan dengan Ayu. Pasti itu, tidak salah lagi."Klinik yang sama dengan Ayu? Iya? Kalau begitu, aku ingin pulang saja. Aku tidak mau berdekatan dengan pelakor, ah... salah, jika kamu menikah dengan gadis itu terlebih dahulu, maka aku yang disebut pelakor ya, ha ha ha.... ""Sayang, sudahlah, Abang membawamu ke sini, karen
Aku sudah berada di rumah. Menurut penjelasan dokter kandungan tadi siang, kondisiku baik, begitu juga dengan janin yang kukandung, sehingga Bang Ramon memutuskan untuk membawaku langsung pulang ke rumah. Aku pun juga tidak ingin berlama-lama di klinik yang ada Ayu juga di dalamnya.Suamiku tengah di dapur, saat pulang tadi aku tiba-tiba menginginkan jus jambu merah, sehingga ia memutuskan untuk membuatkan jus untukku. Katanya biar lebih sehat.CklekPintu kamar terbuka."Halo bumil, ini jusnya," kata Bang Ramon dengan senyuman manisnya; masuk ke dalam kamar sambil membawa satu gelas jus jambu biji."Apa Abang pernah tersenyum semanis ini pada Ayu?" tanyaku penasaran. Aku tidak mau begitu saja mempercayai semua ucapan Bang Ramon, bisa saja kisah yang ia ceritakan hanya bualan belakang agar aku tidak mengamuk dan minta berpisah. Bagaimana mau berpisah? Saat ini aku te
Bu Suci belum benar-benar tidur saat anak menantunya pulang. Ia sengaja sedikit berbohong agar Ramon dan Dini mau segera pulang ke rumah. Bagaimanapun ini adalah malam pengantin putrinya, tidak lucu kalau malam pengantin dihabiskan dengan menemani nenek-nenek yang sedang sakit. Bu Suci mengambil ponsel, lalu ia mengirimkan pesan pada Puspa.Assalamualaykum, Puspa, Pak RT dan kepala keamanan komplek sudah kamu beritahu perihal pernikahan Dini belum?SendPesan itu tidak langsung dibalas oleh Puspa. Mungkin anaknya itu sudah tidur. Pikir Bu Suci. PuspaWa'alaykumussalam. Iya, Ma, Puspa sudah informasikan pada Pak RT dan kepala keamanan. Kertas bukti pernikahan siri Dini dan juga foto Dini tadi sudah saya kirimkan sekalian. Mama jangan khawatir. Istirahat ya, tidurnya jangan kemaleman.Oke, terima kasih sayang. Kamu juga istirahat. Jangan lupa besok kalau kemari bawakan Mama bubur candil ya.SendBu Suci tersenyum lega setelah membaca pesan Puspa. Akhirnya ia bisa tidur nyenyak malam
Saya terima nikah dan kawinnya Andini binti fulan, dengan mas kawin seperangkat alat salat serta perhiasan emas lima belas gram, dibayar tunai. SahSemua orang yang ada di dalam ruangan kamar perawatan Bu Suci mengucap syukur atas sudah terlaksananya pernikahan siri yang dilakukan oleh Ramon dan juga Dini. Ada saudara dari pihak ibunya sebagai saksi, sedangkan dari pihak Ramon ada salah satu teman pria lelaki itu yang kebetulan sedang ikut pameran di Bandung. Lalu untuk Dini, dinikahkan oleh wali hakim karena memang tidak ada yang tahu ke mana dan di mana keluarga Dini yang asli. Dini yang siang ini diminta memakai baju panjang dan selendang panjang untuk menutupi kepalanya, terlihat semakin ayu dan mempesona. Make up tipis yang dibantu oleh Puspa berhasil membuat Ramon tidak bisa berkedip menatap istri kecilnya. Setelah ijab kabul, semuanya mengalami Dini dan juga Ramon, tidak lupa Dini mencium punggung tangan mamanya sebagai bentuk sungkem hormat pada wanita yang dengan sepenuh
Setahun setelah kepergian suaminya, Bu Suci hanya berdua saja dengan Puspa. Putri semata wayang yang baru duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Kepergian suaminya yang sakit tiba-tiba tentu saja meninggalkan luka teramat dalam untuknya. Keluarga mereka sedang menikmati indahnya berumah tangga dengan satu anak yang cerdas. Namun, tidak ada yang dapat menebak umur, rejeki, dan jodoh manusia. Sang Suami dipanggil untuk selamanya menghadap Khalik. Bu Suci mencoba tegar sebagai istri dan juga ibu, walau tidak ada satu pun yang tahu bahwa hatinya benar-benar patah. Separuh jiwanya pergi. Ia yang sehari-hari menjadi ibu rumah tangga, harus berusaha lebih giat lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Memang ada pensiun yang ia dapat dari kantor suaminya, karena suaminya adalah Pegawai Negeri Sipil di kantor pengadilan negeri, tetapi tetap saja berbeda saat ia masih memiliki suaminya tercinta. Sampai suatu hari, suara tangisan bayi berada begitu dekat di telinganya saat ia tengah salat tahaj
Seminggu sudah berlalu dan kondisi Bu Suci masih sama. Tidak ada pergerakan apapun atau perkembangan lainnya. Puspa dan Dini masih bergantian jaga, menunggui mamanya tanpa keluh kesah karena rasa sayang keduanya. Dokter sempat mengatakan bahwa jika mama mereka sadar, maka itu adalah sebuah mukjizat. Sama saja bukan dengan mengatakan bahwa mereka harus ikhlas jika hal buruk terjadi pada mamanya. Dini dan Puspa sempat syok saat dokter mengatakan hal itu, tetapi keduanya kembali saling menguatkan. Tentu saja dengan support pasangan masing-masing. Puspsa didukung oleh suaminya, sedangkan Dini didukung dan dikuatkan oleh Ramon. Dua lelaki yang selalu mendukung dan menyemangati dua beradik itu karena rasa sayang mereka. "Jam berapa sidang hari ini?" tanya Ramon pada Dini saat pria itu meneleponnya setelah salat subuh. "Jam delapan, Bang, doakan lancar ya. Dini sedikit takut, tapi kata Mas Galih dan pengacara, Dini gak boleh takut karena Dini gak salah. Dini akan ceritakan kejadian yang s
"Mana, Ramon?" tanya Puspa saat Dini muncul bersama Robi, keluar dari lift. "Bunda!" Robi memeluk bundanya yang sudah sangat ia rindukan. Puspa pun berjongkok untuk memeluk Robi yang baru tidak ia lihat satu minggu, sudah semakin montok badannya. Terutama di bagian perut dan pipi. "Aduh, anak Bunda, lucu banget sih. Ndut banget! Baru gak ketemu sebentar saja, rasanya kamu udah naik sekarung," kata Puspa yang diikuti tawa Robi dan juga Dini. "Belajaan apa itu?" tanya Puspa saat Dini berjalan ke arah sofa sambil meletakkan tiga bungkusan milik Robi. "Ini baju Robi tiga stel, mainan, sama makanan, Teh. Ini, Teteh mau? Makan saja. Saya dan Robi sudah makan tadi. Bang Ramon hanya antar sampai depan pintu lobi karena harus buru-buru pulang ke Jakarta. Bang Ramon salam untuk Teh Puspa dan Mas Galih." "Kalian pergi sama anaknya Ayu juga? Kamu gak papa, Dini? Jalan sama anak calon suami?" tanya Puspa sembari memperhatikan dengan jeli ekspresi yang ditunjukkan Dini. "Iya, Teh, sama Ana da
Ramon dan Dini sudah bersama dengan Ana, Mona, dan Robi di dalam sebuah mall. Acara dimulai dengan berbelanja aneka pakaian lucu untuk si Kembar, dilanjut dengan nonton film di bioskop, beli aksesoris, dan perlengkapan sekolah, lalu ditutup dengan makan sore. Ya, tidak terasa sudah pukul lima sore. Sejak pukul sepuluh pagi kelimanya bersenang-senang di mall. Dini dengan senang menemani Ramon berkeliling membawa putri kembarnya. Tidak ada protes ataupun rasa cemburu. Ia percaya sikap dan perasaan pria itu saat ini hanya ingin membahagiakan anak-anak yang tadinya hanya bisa ia temui lewat video call. Tidak mungkin ia cemburu pada bentuk kasih sayang ayah pada putrinya. Ia adalah anak yang lahir dan tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah, untuk itu ia tidak mau ada yang merasakan sama sepertinya, apalagi jelas-jelas ayah si Kembar ada dan berkecukupan. "Capek ya?" Ramon merangkul pundak Dini sambil mengusapnya pelan. "Nggak, seru tahu, jalan-jalan di mal. Sampai malam juga saya mau. S
"Kamu gak ke dokter memeriksakan kehamilan kamu?" tanya seorang wanita setengah baya pada putri semata wayangnya. "Males, Ma." Sonya menjawab tanpa semangat.. Ini adalah hari ketujuh ia menjauh dari Rian. Berharap pria ia menghubunginya, memberikan maaf untuknya. Wanita itu menyadari bahwa ia sudah jatuh cinta pada Rian yang awalnya ia setuju untuk dijodohkan dengan pria itu, hanya untuk menutupi kehamilannya saja. Bukan murni karena ia mau dijodohkan. Setelah melewati beberapa bulan bersama Rian dan menikah, dan hari itu juga gagal, barulah ia sadar bahwa dirinya benar mencintai Rian. "Masih memikirkan soal Rian?" tanya Bu Karina sambil menyentuh lembut rambut putrinya. Sonya mengangguk dengan air mata yang siap tumpah. "Sonya mencintai Rian, Ma. Benar-benar mencintai Rian. Sonya ingin semuanya balik lagi seperti awal. Sonya ingin Rian mau menerima Sonya lagi setelah anak ini lahir, tetapi Rian sepertinya begitu jijik dengan Sonya. Rian gak mau sedikit pun mendengarkan alasan da
Ia pria dewasa yang sudah makan asam garam kehidupan rumah tangga. Kenal dengan tidak banyak wanita dan menurutnya, Dini adalah wanita kedua paling polos setelah Ayu yang pernah ia temui. Jika dengan Ayu ia melakukan kesalahan yang sangat buruk, memanfaatkan kepolosan serta kebaikan keluarganya, maka dengan Dini, ia tidak akan berbuat hal yang seperti itu. Bibir Dini baginya terlalu manis sehingga ia tidak bisa segera melepas pagutannya. Namun, jika tidak dihentikan sekarang, maka akan ada setan membisikinya untuk hal yang lebih nekat lagi. Ciuman itu pun terlepas saat keduanya hampir kehabisan napas. Ramon mengusap bibir Dini yang merah merekah karena ulahnya. "Bibir kamu manis sekali, kayaknya saya bisa kena diabetes kalau sering-sering cium kamu," kata Ramon membuat rasa hangat di pipi Dini kembali terasa hingga ke telinganya. "Apaan sih?" Dini menunduk malu, tangannya mencoba melepas pelukan Ramon, tetapi tidak bisa. "Masih mau peluk, karena besok udah gak bisa dan saya harus
Acara makan berdua dengan Ramon berganti dengan acara makan bersama anak-anak dan mantan istrinya. Bagi Dini yang terbiasa dengan anak kecil, tentu tidak sulit untuk berinteraksi. Lihat berapa jahatnya ia waktu itu pada Puspa, tetapi pada Robi ia tetap sayang dan juga perhatian. Mungkin karena ia tipe perempuan penyuka anak kecil, sehingga tidak masalah baginya harus berkenalan dengan dua anak lagi dari Ramon. "Apa kalian pacaran?" tanya Ayu pada Ramon, tetapi matanya juga beralih pada Dini. "Tidak pacaran. Kami hanya dekat saja, tetapi akan segera menikah." Suara pria itu begitu tenang dan terkendali. Seolah-olah menegaskan bahwa ia dan gadis di dekatnya sudah sangat serius. "Kelihatan seperti ayah dan anak. Apa kamu yakin memilih Mas Ramon sebagai suami?" tanya Ayu lagi kali ini diiringi gelak tawa. Namun, menurut Dini, hal ini tidak lucu, justru tengan mencemoohnya. Lalu apa ia harus marah? Tentu tidak, masalah hidupnya suda lebih banyak dan ia tidak berminat untuk mencari masal