Aku berlari menuruni anak-anak tangga dengan perasaan kesal. Belum apa-apa saja mood-ku sudah dibuat berantakan seperti ini. Clayton benar-benar menginginkan permusuhan. Sergio berlari mengejar. Ia mengekor di belakang. “Mengapa dia bisa tau kau ingin pergi denganku?” Sergio bertanya seolah memojokkan. Apa ia pikir aku sengaja memberitahu Clayton? Susah payah aku menghindari pertemuan dengan lelaki itu, mana mungkin aku sampai nekat memberitahu. “Pindahkan saja kamarku. Aku tidak ingin berada satu lantai dengannya. Ia selalu mengganggu.” Aku berucap dengan kesal. Sungguh, Clayton benar-benar memberikan rasa tidak nyaman. Ia membuat hal yang seharusnya bisa dinikmati menjadi hal yang harus diwanti-wanti. “Hanya itu kamar kosong.” Arght! Apa aku pindah saja dari kost ini? Namun, ke mana? Fasilitas yang ada sungguh mewah. Tidak mungkin ada kost sebagus ini di tempat lain dengan harga murah. Sergio terburu-buru masuk mobil. Ia langsung menyalakan mesin sebelum aku ikut masuk ke dal
Aku tidak bisa mengingat dengan jelas apa yang terjadi. Sebab, rasa takut itu membuatku tidak memerhatikan sekitar. Setelah pintu terbuka, lelaki paruh baya yang tadi hendak melakukan penyatuan, bergegas turun dari ranjang. Sementara aku menarik selimut tebal, bersembunyi di dalam. Tangisan masih belum bisa kuhentikan. Sungguh, aku benar-benar trauma. Tidak lagi menginginkan pekerjaan yang seperti Ini. Ingin dibayar berapa pun, aku tidak akan pernah mau! Setelah beberapa saat, ruangan terdengar sengang. Aku membuka selimut, melongok menatap sekitar. Tidak ada siapa pun. Mereka semua telah menghilang. Aku ditinggal sendirian? Mengapa aku tidak dibawa ikut serta? Lagi, aku kembali menangis histeris mengingat apa yang telah hampir terjadi. Ingin beranjak keluar dari selimut pun, sudah tidak ada tenaga sama sekali. Seluruh tubuh masih gemetar. Aku kehilangan kekuatan. Entah berapa lama aku menangis sendirian di dalam dengan keadaan pintu terbuka. Pakaian milikku tergeletak tidak bera
“Ternyata kau yang menghabiskan bahan makananku.” Suara berat Clayton membuatku terkejut saat tengah memasak di dapur. Tidak kuhiraukan lelaki itu. Ia kuabaikan begitu saja. Pura-pura tidak mendengar dan tidak menganggap ia ada di sana. Clayton membuka kulkas, mengeluarkan bahan makanan dan membawanya ke dekatku. Ia menyalakan kompor sebelah, dan mulai merebus air untuk memasak mie. Ia biarkan air itu di sana, sementara dirinya mengiris sayuran di sisi meja yang lain. Aku merasa risih saat kami berdiri berdekatan karena memasak di kompor yang sama. Dapur ini hanya ada satu kompor dengan dua tungku. Jika hanya memasak mie, harusnya ia memakai dapur bersih saja! Dasar pengganggu! “Kau mengambil ayamku. Aku minta sepotong nanti.” Ia berucap dengan santai. Bahkan kini kata saya telah berubah aku saat dia berbicara denganku. Aku tetap tidak menjawab. Selesai menggoreng ayam, aku berjalan menuju meja makan. Mengambil nasi dan mulai menyantap hidangan yang baru kumasak. Akhir-akhir
Sudah seminggu ini tidak ada kabar sama sekali dari Sergio. Ia tidak ada menghubungi lewat WA, panggilan telepon, ataupun yang lainnya. Bahkan ketika hari minggu kemarin lusa pun, ia tidak datang. Hanya istrinya bersama bayi dalam gendongan yang datang untuk mengisi stock makanan di kulkas. Ini sungguh menyiksa. Tampaknya ia begitu serius dengan ucapannya. Akun Instagram milikku juga tidak aktif lebih dari seminggu ini. Akun itu dibiarkan terbengkalai, sebab aku juga tidak berminat untuk mengurus akun itu sendiri. Terlalu banyak komentar dan pesan mesum yang berdatangan. Kucari nomor Sergio, hendak menghubungi. Namun, tidak ada keberanian sama sekali. Aku takut. Entah takut akan apa. Yang pasti ucapannya minggu lalu membuatku kepikiran hingga kini. Dia juga menyukaiku? Entahlah. Ini masih abu-abu. Kutarik napas kasar, lalu beranjak keluar kamar. Hendak menuju rooftoop agar pikiran bisa sedikit lebih tenang. Rooftoop malam ini tidak terlalu ramai, tapi juga tidak sepi. Aku mengam
Sergio hanya diam. Ia tidak ingin menjawab. Ponsel yang berada dalam sakunya berdering, merusak suasana. Lelaki dengan kaus putih polos itu merogoh saku celana, mengambil ponsel untuk menerima panggilan. “Halo, Sayang.” Dengan sangat lembut ia berucap. Sudah jelas siapa yang menelepon. Ia sering mendapat panggilan dari istri ketika ia tengah bersamaku. Tentu saja, aku juga tidak akan bisa pisah lama-lama jika suamiku adalah Sergio. “Aku harus pulang. Putriku rewel ingin tidur.” Sergio mengacak lembut rambutku setelah ia memutuskan sambungan telepon. Ia tersenyum tipis, kemudian berlalu begitu saja dari hadapanku. Aku tidak bisa menahan langkahnya. Sebab, tidak ada hak untuk melakukan itu. Kami tidak ada ikatan sama sekali. Rasa rindu itu membuncah ketika kami tidak bertemu. Namun, mengapa rindu itu semakin dalam mencekam setelah aku menatapnya kembali? Aku tidak rela melihat ia pergi. Apalagi ia akan pulang ke rumah, menemui anak dan istri. Kurasakan ujung mata kembali basah. J
Kami menghabiskan waktu cukup lama di taman. Tidak ada obrolan. Hanya diam dengan pandangan lurus. Menerawang jauh ke depan sana. Langit malam ini tidak terlalu polos. Ada sedikit bintang yang bertaburan di atas sana. Aku memeluk lengan Sergio dengan menyenderkan kepala di bahunya. Sementara ia bersandar pada sandaran kursi. Kami membiarkan debar di dada dan degup jantung saling berbalas. Mereka lebih tahu apa yang tengah kami rasakan tanpa mengucap dengan kata-kata. Menikmati kebersamaan yang tidak tahu entah sampai kapan bisa seperti ini lagi. Sergio mengusap lembut ubun-ubunku dengan tangan kanannya. Setelah terdiam cukup lama, akhirnya ia kembali membuka pembicaraan. “Aku tidak bisa menjanjikan apa pun padamu. Jika ada yang melamar, kau harus menikah.” Ia berucap dengan suara sedikit bergetar. Aku menarik napas dalam. “Aku tidak ingin membahas itu sekarang.” Aku menjawab dengan cepat. Tidak perlu menyakiti perasaan dengan membahas bahwa hubungan kami tidak akan bisa bertaha
Sergio terdiam cukup lama. Aku menanti jawaban apa yang akan terlontar dari mulutnya. Namun, ia memilih untuk tidak menjawab. Sendok dan garpu yang tadi ia lepas, kembali ia genggam. Ia melanjutkan makan. Aku terdiam beberapa saat. Menatap ia yang makan dengan lahap. Ia selalu terlihat menikmati makanan apa pun yang tengah ia santap. Entah enak atau tidak. Mungkin itu terjadi karena ia terlalu lapar.“Kau sudah menemukan penggantiku?” Aku ingin membahas pekerjaan itu lagi. Seminggu tidak ada kabar, mungkin saja ia telah mencari wanita lain untuk diberikan tawaran. “Belum.” Ia menjawab sembari terus menyantap.“Lalu kenapa?” Aku bertanya menatap. Ia tidak ingin membalas. Lelaki itu fokus pada makanan. “Aku butuh jawaban, Sergio.” Aku mendesak. Ia menarik napas kasar. Kemudian mendongak, menatap. “Karena aku mencintaimu.”Tidak, itu bukan jawaban yang tepat. Cinta tidak bisa menjadi alasan untuk melarang aku kembali bekerja. Ia juga tidak berhak menafkahi, karena aku bukan istriny
Dering ponsel membuatku terbangun dari tidur di pagi hari. Cahaya matahari yang menembus kain gorden menyilaukan saat aku membuka mata. Aku menyipitkan mata demi menyesuaikan penglihatan dengan cahaya yang begitu terang. Dengan malas, kuulurkan tangan untuk meraih ponsel yang berada di atas nakas. Berdecak kesal karena diganggu di saat tidur. “Kau baru bangun?” Suara bariton Sergio langsung terdengar setelah aku menerima panggilan. Aku hanya berdehem kecil, malas untuk menjawab. “Aku sudah menghubungimu berulang kali.” Ia terdengar kesal. Aku menarik napas. Bangkit untuk duduk, lalu mengusap wajah kasar. “Ada apa?” Heran saja, sebelumnya ia tidak pernah menghubungi di pagi hari dengan alasan sibuk bekerja. Pagi ini pun kurasa ia tidak ada jadwal libur. “Aku membelikanmu sarapan. Turunlah, aku tunggu di depan gerbang.” Nada bicaranya berubah menjadi lembut. “Antar saja ke sini.” Aku menjawab dengan malas. “Mobil Clayton masih ada di parkiran.” Ia memberi alasan yang tidak bisa
“Kamu tunggu di mobil, ya. Nanti aku nyusul.” Sergio berucap ketika kami telah sepakat untuk mencari rumah pagi ini setelah ia mengantar anak-anak ke sekolah. Aku mengangguk, lalu beranjak menuju mobil dan menunggu di sana. Cukup lama hingga Sergio datang menyusul. Mobil mulai melaju dengan kecepatan sedang menuju arah yang sudah sangat familiar. “Kita ke kost?” Aku menoleh ada Sergio, mencari jawaban. “Kita singgah sebentar, aku ada janji dengan salah satu penghuni. Katanya mau bayar sewa kost untuk satu tahun hari ini. Tapi tadi dihubungi tidak ada respons sama sekali.” Aku menarik napas berat, dapat kubaca keresahan di wajahnya. “Kau tidak punya uang?” Kugenggam tangannya yang tengah mengendalikan kemudi. Ia telah mengeluarkan uang banyak beberapa bulan ini, mungkin saja tabungannya telah terkuras habis. Apalagi biaya hidup kami cukup tinggi. Sergio menoleh. Ia tersenyum sekilas, kemudian kembali menatap fokus ke arah jalan raya. “Aku akan berusaha.” Ia mencoba untuk meyakin
“Larissa ingin ikut, sekalian mau cek kandungan.” Sergio memberitahu saat kami berangkat menuju rumah sakit untuk melepas gips seperti saran dokter ketika kontrol minggu lalu. Aku tidak menggubris ucapannya. Diberi izin atau tidak pun, Larissa pasti akan tetap ikut. Aku fokus pada kaki yang sudah bisa dipijakkan pelan-pelan. Tidak lagi terasa begitu sakit saat telapak kaki menyentuh lantai. Larissa berjalan mendahului kami sembari menggendong si bungsu. Ia masuk ke mobil lebih awal dan mengambil posisi di depan, tepat samping kemudi. “Sebaiknya kalian saja yang pergi. Kita bisa ke rumah sakit setelah kalian pulang nanti. Aku ingin ditemani ketika dokter melepas gips.” Aku berucap pada Sergio seraya mendongak menatap. Sepertinya ia tahu apa yang tengah aku pikirkan. Larissa juga pasti akan ingin ditemani ketika bertemu dengan dokter kandungan. Sergio harus memilih salah satu nantinya. “Jadwalnya tidak tabrakan. Dokter sudah menunggu kita. Selepas menemanimu, aku akan menemani Lari
“Pa, makan malamnya di luar saja, ya.” Larissa muncul menghampiri kami yang tengah duduk berdua di ruang tengah. Ia datang bersama anak-anak dengan setelan yang telah siap untuk berangkat. Sergio diam untuk beberapa saat. Menatap mereka yang terlihat penuh harap. Sudah lama juga sejak terkahir kali mereka pergi ke luar bersama. “Lain kali saja, ya.” Sergio menolak. Wajah Larissa langsung berubah. Ia cemberut, berbalik dan lekas berlalu pergi sembari menggendong si bungsu. “Ayo, Pa, mama bilang mau makan steak.” Johannes sedikit memaksa. Ia goyang lengan Sergio, meminta agar lelaki itu menuruti permintaan mamanya. Sergio menoleh padaku. Seolah meminta izin untuk pergi keluar. Sebab, aku tidak mungkin bisa ikut dengan kondisi seperti ini. Aku hanya diam. Ingin rasanya menahan, tapi takut jika nanti Larissa semakin menaruh dendam. Hidup seperti ini saja sudah sangat menyiksa. “Mami juga ikut, ya.” Johannes beralih padaku. “Mami tidak bisa ikut, Sayang. Kaki Mami lagi sakit.” Aku
Aku pindah ke kamar tamu di lantai bawah, agar mempermudah ketika ingin ke ruang makan saat jam makan. Tidak perlu naik turun tangga seperti biasanya. Namun, itu juga sedikit menyiksa, sebab kamarku yang saling berdekatan dengan kamar utama tempat Sergo dan Larissa berada. Aku kembali meminta dibelikan tongkat agar bisa berjalan sendiri tanpa bantuan siapa-siapa. Sergio selalu saja menuruti apa yang aku minta. Tidak ada satu pun alasan yang bisa kupakai untuk meluapkan kecemburuan padanya. Ia terlalu baik, sungguh. Aku juga jadi tidak enak hati jika harus berkeluh kesah tentang rasa cemburu yang beberapa hari ini menyiksa dada. Jadi, semuanya kutahan sendiri. Ternyata berbagi suami memang seberat ini. Larissa tidak ingin bertegur sapa setelah aku kembali dari kampung. Seminggu sudah aku di rumah ini, tapi dianggap tidak ada oleh dia. Ketika ku ajak bercerita pun, ia tidak ingin menanggapi. Jadi, ya sudah aku hanya mengikuti permainan yang ia jalankan. Ia beriskap dingin, aku pun ik
“Aku mau langsung pulang, masih ada kerjaan.” Clayton pamit saat kami telah tiba di rumah. Sepertinya ia memang sengaja menghindari pertemuan sekarang. Aku duduk di sofa, merentangkan kedua kaki di sana. Sementara Sergio langsung beranjak menuju dapur setelah adiknya itu pergi. “Mami capek?” Johannes mendekat. Ia ikut naik ke sofa, memijat kakiku dengan lembut.Aku menggeleng pelan sebagai jawaban. Kemudian tersenyum. Namun, tangan mungilnya tetap bergerilya di sana. “Minum dulu.” Sergio kembali dengan membawa sebotol air mineral dan juga gelas. “Istirahat dulu, Pa. Papa juga pasti lagi capek.” Aku berucap seraya menerima gelas yang sudah ia tuang air. Rasanya begitu gerah dan lelah karena telah melakukan perjalanan jauh. Apalagi Sergio yang harus bolak-balik berulang kali sejauh itu. Kulepas hijab yang menutup kepala, lalu mengibaskan tangan agar terasa lebih segar. “Mami gerah?” Johannes turun dari sofa, ia berlari entah ke mana, lalu datang lagi dengan sebuah buku di tangann
Aku duduk di pinggir, dekat jendela pesawat sebelah kiri. Sementara Sergio duduk tepat di sebelah kananku. Ia memesan tiket bisnis agar aku bisa duduk lebih nyaman, sebab lebih lapang dan leluasa. Sepanjang perjalanan, aku menatap ke arah jendela. Memerhatikan pemandangan yang tampak indah dari atas sini. Sesekali terjadi benturan kecil karena pesawat menabrak gumpalan awan. Aku merasa sedikit gelisah. Tidak senyaman biasanya saat Sergio ada bersamaku. Omongan para tetangga mulai merasuki hati dan pikiran. Aku takut untuk kembali ke rumah itu. Takut bertemu dengan Larissa, lalu mendapatkan perlakuan yang kurang baik darinya. Aku tidak pernah tahu apa yang ia rasakan selama ini. Nyatanya ia tidak seikhlas apa yang terucap dari mulutnya. Aku menoleh menatap Sergio. Ia kembali tertidur selama perjalanan lewat jalur udara. Tampaknya ia benar-benar lelah. Kedua tangannya menggenggam erat tangan kananku yang ia bawa ke antara kedua pahanya. Sejenak, kutatap wajah itu lamat-lamat. Ada pe
Wanita paruh baya itu bersikap acuh tak acuh. Sekeras dan sememelas apa pun aku meminta restu agar diperbolehkan ikut dengan Sergio ke Jakarta, ia tetap tidak mengizinkan. “Satu langkah saja kamu keluar dari rumah ini sama Sergio, jangan pernah injakkan kaki lagi ke rumah ini.” Ibu berucap dengan sangat tegas. Ia tidak main-main dengan kalimat yang baru saja terlontar dari mulutnya. Terlihat keseriusan di sana. Sebenci itu dia terhadap suamiku? Ternyata benar, cinta tidak akan selamanya tetap berbentuk cinta. Ibu pernah sangat mencintai Sergio, menganggap dia adalah pahlawan keluarga. Namun, kini cinta itu telah berubah menjadi benci yang tiada tara. “Aku sudah menikah, Bu. Sergio lebih berhak atas aku dibanding Ibu.” Aku terus memberikan jawaban yang serupa. Sergio kembali setelah ia pergi beberapa waktu yang lalu entah ke mana. Ia pulang dengan membawa tentengan. “Aku sudah membeli keperluan dapur dan peralatan mandi untuk stock satu bulan. Mungkin lebih.” Sergio berucap seraya
Ibu hanya diam saat ia pulang dan menemukan Sergio telah ada di rumah. Tidak ada tegur sapa, tidak ada basa-basi apa pun sama sekali. Sikapnya masih saja sama. Bersikap seolah Sergio tidak ada. Senyum lelaki itu hanya dibalas dengan wajah datar. Aku memerhatikan ekspresi Sergio setiap waktu. Memastikan bahwa ia tidak apa-apa dengan sikap Ibu. “Kau tidak apa-apa?” Aku bertanya dengan perasaan entah, saat tegur sapanya pada Ibu tidak ditanggapi sama sekali. Wanita paruh baya itu berjalan melewati, bahkan tidak menoleh sedikit pun. Rasanya lebih sakit ketika Ibu mengabaikan Sergio daripada ketika Ibu mengabaikan aku. Rasa sakitnya terasa dua kali lipat lebih parah. “Mungkin ibu capek, baru pulang kerja.” Sergio masih berpikir positif. Aku hanya bisa menghela napas dengan berat. Kami tengah duduk di kursi ruang depan. Membahas hal yang tidak terlalu penting. Berdiskusi untuk mengusir rasa sepi. Namun, setelah Ibu pulang, suasana malah terasa semakin mencekam. Terdengar bunyi perabota
“Jangan bicara sembarangan. Aku sibuk mengurus banyak hal, tidak ada waktu lagi jika harus menambah satu wanita.” Sergio langsung menyangkal tuduhanku yang tidak berdasar. Aku tahu ia tidak seburuk itu, hanya saja jauh darinya membuatku memikirkan banyak hal yang negatif tentangnya. “Kau tahu kenapa aku tidak ingin pisah rumah?” Ia bertanya dengan nada entah. “Karena aku tahu LDR itu tidak pernah memiliki ending yang baik.” Ia menjawab sendiri pertanyaan yang baru saja ia lontarkan. “Aku akan menyusul ke sana beberapa hari lagi agar kau berhenti berpikir negatif.” Ia terus mengoceh tanpa henti, tidak memberikanku waktu untuk membalas setiap kalimat yang ia lontarkan. Aku hanya menarik napas berat, merasa menyesal karena telah melontarkan pertanyaan yang mungkin telah menyinggung perasaannya. “Kita bicara lagi nanti. Aku harus menjemput Larissa sekarang.” Sergio kembali ke setelan awal. Berucap dengan penuh kelembutan. Aku hanya mengangguk dengan lemah meskipun ia tidak bisa melih