Saat Damian dan Bianna tiba di depan gedung perusahaan, suasana di sana sudah jauh dari tenang. Puluhan wartawan telah berkumpul, kamera dan mikrofon diarahkan ke arah mereka begitu mobil Damian berhenti di lobi utama.Bianna mengerutkan kening, tidak menyangka pemberitaan itu akan berdampak secepat ini. Dia menghela napas dan bersiap turun dari mobil, tetapi sebelum tangannya sempat menyentuh pegangan pintu, Damian sudah lebih dulu menahannya."Tunggu sebentar," ucapnya pelan, matanya waspada.Bianna menoleh padanya, sedikit bingung. "Aku harus masuk. Mereka tidak mungkin di sini selamanya."Damian mendecak. "Mereka di sini untukmu. Begitu kamu keluar, mereka tidak akan melepaskanmu."Bianna mendesah frustasi. "Aku tidak bisa terus bersembunyi. Aku hanya perlu melewati mereka tanpa bicara apa pun."Damian masih menatapnya sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. "Baiklah. Tetap di dekatku."Begitu pintu mobil terbuka, suar
"Bernapaslah," perintah Damian dengan suara dalam, matanya tidak melepaskan Bianna sedikit pun."Apa?" Bianna masih terlihat kebingungan."Bernapas. Perlahan." Damian menatapnya dalam, tangannya masih memegang lengannya dengan erat. "Kamu tidak bisa berpikir jernih kalau terus seperti ini."Bianna terdiam, mencoba mencerna kata-kata Damian. Napasnya memang terasa pendek dan tidak teratur, dadanya naik turun cepat. Dia akhirnya menutup mata sejenak, mencoba mengatur napasnya seperti yang Damian katakan."Pelan-pelan," ulang Damian, suaranya sedikit melunak.Bianna menarik napas dalam-dalam, menahannya beberapa detik, lalu menghembuskannya perlahan. Dia mengulanginya beberapa kali, sampai akhirnya perasaan paniknya mulai mereda. Damian tetap menatapnya, memastikan dia benar-benar tenang.Setelah beberapa saat, Bianna akhirnya membuka matanya dan menatap Damian dengan ekspresi lebih terkendali."Aku ….” Bianna mengerjapkan
Esma melangkah dengan cepat melewati pintu kaca, membawa kantong kertas berisi roti lapis dan dua cup es kopi hitam. Dia mendesah, berusaha menahan kekesalannya sejak tadi. Rasanya satu toko roti saja sudah cukup untuk membuat darahnya mendidih mendengar gosip murahan yang menyebar.Begitu dia memasuki lobi, suasana di dalamnya terasa lebih riuh dari biasanya. Para pegawai berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil, berbicara dengan penuh semangat. Esma mengerutkan kening. Dia tidak perlu mendekat untuk tahu apa yang mereka bicarakan."Jadi, benar itu Nyonya Bianna, kan?""Aku lihat komentar di internet, banyak yang yakin kalau itu dia dan Kevin!""Astaga, kalau benar, berarti Nyonya Bianna selama ini masih terobsesi sama mantannya?"Langkah Esma terhenti. Tangannya mencengkeram kantong makanannya lebih erat, mencoba menahan amarah yang mulai mendidih di dadanya. Sungguh, orang-orang ini tidak tahu apa-apa,
Bianna terdiam sejenak, menatap kopi hitam di tangannya. "Aku tidak peduli dengan omongan mereka, Esma. Yang aku pedulikan sekarang adalah bagaimana caraku bisa melanjutkan rencanaku tanpa gangguan. Lagipula, gosip seperti ini cepat atau lambat akan tergantikan dengan skandal lain."Esma masih tidak puas. "Tapi bukan cuma orang luar yang membicarakan hal ini, Nyonya. Orang kantor juga sama saja."Mata Bianna sedikit menyipit. "Orang kantor?"Esma mengangguk cepat. "Iya! Bahkan di lift tadi, aku mendengar beberapa pegawai menggunjingkan Anda. Mereka bilang Anda masih tergila-gila pada Tuan Kevin dan ingin merebutnya kembali dari Leony."Bianna terkekeh kecil, lalu menyeruput kopinya. "Lucu sekali. Seharusnya mereka tahu bahwa aku tidak pernah menginginkan sesuatu yang sudah kubuang."Esma menatap Bianna dengan waspada. "Jadi, Anda benar-benar tidak akan melakukan apa-apa soal berita ini?"Bianna menar
Di dalam ruangannya yang minimalis, tetapi terkesan luas dan mewah. Damian duduk dengan ekspresi serius. Matanya menatap tajam ke layar laptopnya, sementara Dion berdiri di hadapannya dengan ekspresi sedikit tegang."Saya sudah menyelidiki sumber berita itu, Tuan," ujar Dion, meletakkan sebuah tablet di atas meja Damian. "Pengirimnya anonim, mereka menggunakan berbagai metode untuk menyembunyikan identitasnya. Namun, saya berhasil melacak lokasi terakhir dari ID yang digunakan untuk menyebarkan berita itu."Damian mengangkat alisnya. "Di mana?"Dion mengetuk layar tabletnya, menunjukkan peta dengan sebuah titik merah yang berkedip. "Sebuah warnet game di pusat kota. Sepertinya mereka cukup profesional dalam menyamarkan jejak, tapi bukan berarti kita tidak bisa menemukannya."Damian menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresinya tetap dingin. "Aku ingin tahu siapa dalangnya. Siapa pun yang berani menyebarkan berita ini pasti punya
Leony duduk dengan santai di sofa ruang tamunya yang mewah, kakinya disilangkan dengan anggun sementara tangannya memegang ponsel. Matanya berbinar puas saat membaca berita yang sedang viral di berbagai platform media. Senyuman licik terukir di wajahnya. Komentar-komentar pedas tentang Bianna terus mengalir, menyebutnya sebagai wanita murahan yang menggoda mantan suaminya meskipun sudah menikah lagi. "Bagus sekali …," gumamnya sambil menggulir layar ponselnya ke bawah, membaca berbagai tanggapan dari publik. "Sepertinya Bia akan sulit membersihkan namanya kali ini." Stella, yang duduk di seberangnya dengan secangkir teh di tangan, tersenyum penuh kebanggaan. "Kamu memang pintar, Leony. Aku tidak menyangka kamu bisa menjalankan rencana ini dengan begitu sempurna." Leony menoleh dan tersenyum penuh kemenangan. "Tentu saja, Mom. Tapi semua ini juga berkat Mom. Kalau bukan karena Mom, aku mungkin masih sibuk hanya dengan emosi
Sean mengetuk pintu ruangan Bianna dengan pelan, lalu membukanya sedikit. “Bia, kamu baik-baik saja?” tanyanya dengan nada khawatir. Bianna yang sedang menatap layar laptopnya langsung mendongak dan tersenyum. “Aku baik-baik saja,” jawabnya ringan, meskipun sorot matanya menyiratkan kelelahan. “Meskipun sedikit takut, tapi akhirnya aku mendapatkan keuntungan yang luar biasa.” Sean mengernyit, merasa heran. “Keuntungan? Apa maksudmu?” Bianna menutup laptopnya dan menyandarkan punggung di sandaran kursi. “Aku sudah memiliki 70% saham Harland Group.” Sean terkejut, matanya melebar. “Apa! 70%!” Dia tidak menyangka Bianna bisa mendapatkan saham sebanyak itu dalam waktu singkat. Bianna mengangguk santai. “Karena nilai saham Harland Group anjlok setelah berita itu, para pemilik saham mulai panik dan menjual saham mereka. Aku menawarkan harga yang lebih tinggi dari harga pasaran meskipun masi
Bianna menatap Damian dengan ragu setelah Sean meninggalkan ruangannya. Suasana masih terasa tegang. Damian balas menatapnya dengan ekspresi dingin, tetapi ada sedikit ketegangan di matanya yang sulit dia artikan.“Jangan terlalu dekat dengan Om Sean,” ucap Damian tiba-tiba.Bianna mengerutkan kening, terkejut dengan peringatan itu. “Kenapa? Dia itu ommu, bukan?” tanyanya heran.Damian mendengkus pelan. “Tetap saja, dia orang asing bagimu. Aku tidak mau kamu terlalu banyak berurusan dengannya.”Bianna menatap Damian, mencoba membaca ekspresinya. Tapi kemuian dia memutuskan untuk tidak berdebat lebih lanjut. Dia sudah cukup lelah dengan semua masalah yang harus dia hadapi hari ini.“Baiklah,” ujarnya singkat, memilih untuk tidak memperpanjang topik itu. “Lalu, apa yang membawamu kemari?”Damian menghela napas, menyandarkan tangannya ke meja kerja Bianna. “Aku masih mencari tahu siapa dalang di balik b
Enam bulan kemudianAngin sore bertiup lembut, mengusap wajah Rachel yang termenung di bangku taman dekat dengan rumahnya. Pandangannya kosong menatap danau buatan di depannya, pikirannya masih dipenuhi oleh satu hal yang sama selama enam bulan terakhir ini, penyesalan.Hampir setiap hari, dia mengulang kembali momen itu dalam pikirannya. Betapa bodohnya dia yang hanya diam saat Sean bertanya apakah dia harus pergi. Seharusnya saat itu Rachel mengatakan sesuatu. Seharusnya waktu itu Rachel memintanya tetap tinggal.Rachel menggenggam erat jemarinya sendiri, hatinya terasa sesak."Aku seharusnya mengatakannya …," gumamnya, lalu tiba-tiba dia berteriak kesal, "Aku seharusnya bilang jangan pergi!" Suaranya bergetar menahan tangis."Lalu kenapa kamu tidak mengatakannya malam itu?"Rachel membelalakkan matanya. Mencerna suara yang baru saja dia dengar lalu dengan cepat dia berdiri dan menoleh ke arah suara itu.Di sana, berdiri sosok yang selama ini selalu ada dalam pikirannya.Sean.Rache
Perjalanan menuju rumah Rachel dipenuhi dengan keheningan. Hanya suara mesin mobil yang terdengar, sedangkan Sean dan Rachel larut dalam pikiran masing-masing.Rachel menggenggam ujung mantelnya dengan erat, mencoba menahan sesuatu yang terasa mengganjal di dadanya. Sean di sampingnya tampak tenang, tetapi tatapannya lurus ke depan, seakan-akan menyembunyikan banyak hal yang ingin dia katakan.Mobil berhenti di depan rumah Rachel. Wanita itu membuka pintu mobil, tetapi sebelum turun, Sean akhirnya bersuara.“Mungkin ini adalah pertemuan terakhir kita.”Rachel membeku. Jari-jarinya yang memegang pegangan pintu menegang. Dia menelan ludah susah payah, berusaha mencari sesuatu untuk dikatakan, tetapi tenggorokannya terasa kering.“Kalau begitu .…” Rachel menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “hati-hati di perjalanan.”Sean tersenyum tipis, tetapi senyumnya terasa pahit.“Kau juga,” jawabnya.Rachel mengangguk pelan, lalu turun dari mobil. Sean tetap duduk di dalam, menatap punggung
Sean berdiri di tepi trotoar, menunggu dengan sabar di depan kantor tempat Rachel bekerja. Udara sore yang sejuk membelai wajahnya, sedangkan lalu lintas kota mulai ramai seiring jam pulang kerja.Tidak lama, pintu kaca otomatis terbuka, dan Rachel muncul dari dalam gedung dia antara banyaknya para pekerja yang keluar dari gedung itu. Dia tampak lelah, tetapi senyum tetap terukir di wajahnya saat matanya menangkap sosok Sean. Dengan riang, dia melambaikan tangan."Sean!" serunya, mempercepat langkah mendekatinya.Sean, yang kini sudah benar-benar pulih tanpa tongkatnya, membalas senyum Rachel. "Lama sekali. Aku hampir mengira kau sudah lupa kalau ada seseorang yang menunggumu di sini," godanya.Rachel tertawa kecil. "Sibuk, tahu? Tapi aku senang kamu datang menjemputku."Sean mengangkat bahu. "Aku ‘kan harus memastikan kamu tidak pulang terlalu larut. Siapa tahu ada orang asing yang mencoba merebut perhatianmu," ujarnya dengan nada bercan
Waktu berlalu, dan akhirnya hari yang dinantikan tiba. Setelah menjalani pemulihan yang cukup panjang, Sean dan Steven hari ini sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Mereka sempat melalui berbagai pemeriksaan dan tes untuk memastikan kondisi keduanya benar-benar sudah pulih.Hari itu langit begitu cerah, seolah-olah ikut merayakan kesembuhan mereka berdua.Damian sudah menunggu di depan ruang rawat sang anak yang pintunya terbuka dengan penuh antusias. Tidak berapa lama, orang yang dia tunggu akhirnya keluar juga. Bianna tersenyum hangat sambil menggandeng tangan Steven yang terlihat lebih ceria dan sehat dibanding sebelumnya.“Siap pulang, jagoan?” Damian bertanya sambil mengusap kepala putranya dengan lembut.Steven mengangguk dengan semangat. “Siap, Daddy! Aku kangen rumah!”Dari arah sebelah kanan Damian, Sean juga baru keluar dari ruang rawatnya, pria itu melangkah dengan tenang, meskipun tubuhnya masih sed
Rachel menghela napas, tidak menyangka kalau Sean akan bertanya hal itu. Wanita yang menguncir rambut panjangnya itu lebih dulu menyesap air putih dari gelas yang ada di meja samping tempat tidur sebelum akhirnya menjawab, “Aku bertemu dengan Bianna lebih dulu, lalu dari situlah aku mulai mengenal Damian. Tapi aku bisa merasakan sesuatu yang aneh darinya. Dia selalu bersikap baik, tapi juga menjaga jarak seolah-olah … ada sesuatu dalam diriku yang mengganggunya.”Sean mengangkat alis. “Mengganggunya?”Rachel mengangguk pelan. “Aku tidak tahu pasti, tapi aku merasa dia melihatku bukan sebagai diriku sendiri … melainkan seseorang yang lain.”Sean menatap Rachel dalam diam. Pikirannya mulai menghubungkan banyak hal yang selama ini terasa samar. “Mungkin karena kamu mirip dengan Elara,” gumamnya lirih.Rachel menatap Sean, mencoba membaca ekspresinya. “Aku tidak pernah bertanya banyak, karena aku bisa merasakan sepertinya itu sesua
Waktu terasa berjalan lambat bagi Damian dan Bianna yang menunggu di luar ruang operasi. Bianna duduk di bangku tunggu sambil terus meremas jemarinya sendiri, sedangkan Damian mondar-mandir di sepanjang lorong rumah sakit.“Aku tidak tahan lagi … ini sudah berjam-jam,” gumam Bianna dengan suara gemetar.Damian menghentikan langkahnya dan duduk di samping istrinya, menggenggam tangannya erat. “Mereka akan baik-baik saja. Sean kuat, begitu juga Steven.”Bianna mengangguk, meskipun kekhawatiran masih tergambar jelas di wajahnya. Sementara Eduardo duduk di bangku lainnya ditemani oleh Dion. Pria tua itu menunduk sembari merapalkan doa-doa demi keselamatan cucu dan cicitnya.Setelah hampir lima jam yang terasa seperti seumur hidup, akhirnya pintu ruang operasi terbuka. Dokter Rodriguez keluar dengan wajah tenang dan profesional didampingi seorang suster di sampingnya. “Dok, bagaimana keadaan mereka?” Damian langsung b
Damian menatapnya dengan sorot mata tajam, tetapi tetap tenang. “Bukan itu maksudku, Kak.”“Tapi itulah yang kamu katakan!” Sean mendekat, dadanya naik turun menahan amarah. “Kamu berbicara seolah-olah kehadiran Rachel itu seperti pengganti Elara! Seperti Elara tidak ada artinya bagimu!”Mendengar ucapan Sean, Damian mengepalkan tangannya. “Aku tidak pernah bilang begitu! Aku hanya mengatakan bahwa melihat Rachel … aku merasa sedikit lebih baik. Itu bukan berarti aku melupakan Elara!”Sean menggelengkan kepala dengan ekspresi tidak percaya. “Jangan bicara seolah-olah kamu lebih menderita dariku, Damian! Kamu bahkan tidak ada di sana saat Elara meninggal! Kamu tidak melihatnya sekarat di pelukanku! Kamu tidak merasakan ketakutan dan rasa bersalah yang menghantui setiap detik hidupmu!”Suasana semakin memanas, napas mereka berdua memburu.Damian menatap Sean dengan tatapan dingin. “Kamu pikir hanya kamu yang merasa kehilangan, Kak? Aku juga
Malam semakin larut, tetapi Damian belum juga bisa memejamkan mata. Dia menatap Bianna yang tertidur di samping Steven, memeluk putra mereka dengan penuh kasih sayang. Wajah putranya masih pucat, tetapi napasnya kini lebih teratur setelah mendapatkan perawatan intensif. Damian mengusap rambut Steven dengan lembut, memastikan bahwa putranya nyaman.Namun, pikirannya terus dipenuhi oleh sosok Sean.Dengan hati yang dipenuhi berbagai emosi, Damian bangkit dari tempat duduknya dan melangkah keluar dari kamar rawat sang anak. Dia berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang sepi, mencari keberadaan Sean. Dia tahu bahwa saudaranya itu pasti masih ada di sekitar sini.Saat dia sampai di taman di balkon rumah sakit, langkahnya terhenti.Di sana, di bawah redupnya cahaya lampu taman, Sean sedang duduk di bangku panjang bersama Rachel. Keduanya tampak berbincang dengan santai. Rachel terkadang tertawa kecil, sementara Sean terlihat lebih rileks dibandingkan s
Rachel tiba di rumah sakit, untuk menjenguk Steven. Saat dia melangkah ke dalam ruangan dan melihat ekspresi wajah semua orang, dia langsung menyadari bahwa sesuatu yang besar baru saja terjadi. “Apa yang terjadi?” tanyanya sambil menatap mereka satu per satu. Bianna menghapus air matanya dan tersenyum. “Kak Sean cocok sebagai donor sumsum tulang untuk Steven.” Rachel terkejut. Dia menoleh ke arah Sean yang hanya berdiri diam di sudut ruangan, tampak tenang seperti biasanya. Namun, di balik ketenangannya, ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan Sean. Rachel melangkah mendekat dan berkata pelan, “Kau benar-benar akan melakukannya?” Sean menatap Rachel dan mengangguk tanpa ragu. “Ya. Aku akan menyelamatkan keponakanku.” Rachel menatapnya dalam-dalam. “Itu … luar biasa.” Sean tidak menjawab, hanya menoleh kembali ke Damian dan Bianna. “Kalau begitu, aku akan menyelesaikan tes tambaha