Beberapa orang yang melewati ruangan CEO memandang aneh pada Viola, pasalnya wanita itu mengaku sebagai calon istri dari Diaz Pradana, namunwanita itu justru diperlalukan seperti hama. Orang-orang yang melihat kajadian itu menceritakan kepada teman-temannya.Kasak-kusuk antar karyawan sudah menjadi hal biasa dan menambah kegaduhan yang sudah terjadi. Banyak spekulasi dari masing-masing pribadi, apa pula yang membandingkan Viola dengan Karen. Ketara sekali perbedaan tatapan mata Diaz pada Karen yang hangat dan pada Viola yang dingin. Ada pula yang menghujat Viola sebagai wanita tak tahu diri dan pelakor.
Mendengar kata-kata dari Karen, keriuahan pun kembali terjadi, sebagian orang bahkan masih mencerna kata-kata tersebut, sebagiannya lagi memandang kagum.Karen dan Diaz saling memandang lalu mengulas senyum.“Oh, hai istriku kamu sudah datang. Kemarilah, perkenalkan dirimu.” Diaz berucap masih dengan menggenggam tangan Viola.“Apa sekarang kamu sedang melakukan drama percintaan dengan menggandeng wanita itu?” sindir Karen. “Bukan seperti itu, sayang. Nona ini sepertinya sangat terobsesi padaku, tapi setelah melihat kedatanganmu dia ingin kabur. Jadi aku mencegahnya agar dia tidak pergi dan memberi penjelasan padamu tentang kegaduhan yang telah diperbuat olehnya” tutur Diaz panjang lebar.“Jadi, bisa tolong kamu jelaskan apa maksudnya ini nona Viola Renata Danuarta? Padahal kamu sudah jelas-jelas mengetahui kebenaran status pernikahan Diaz Pradana tapi masih melakukan hal seperti ini, apa kamu ingin disebut sebagai pelakor?” Karen mengatakan itu dengan santai dan raut wajah ya
Karen dan Rain seperti tak ingin melewatkan waktu berdua. Waktu yang sangat jarang terjadi pada mereka, terlebih mereka pernah tinggal di tempat yang berbeda.Steak yang tak seberapa banyaknya sengaja mereka nikmati dengan santai untuk mengulur waktu. “Kamu ingat kapan terakhir kali kita makan di luar berdua?” Rain mencoba mengingat-ingat lalu menggeleng.“Waktu berjalan begitu cepat, sepertinya beberapa waktu lalu kita baru saja wisuda, sekarang aku sudah mau punya dua anak.”“Ya begitulah kehidupan. Tahu-tahu kita sudah menua,” imbuh Rain.“Kalau begitu kapan kamu akan menikah? Keburu tua!” kata Karen diiringi gelak tawa.Rain hanya memandang santai pada saudari kembarnya. Menikah belum menjadi prioritasnya. Keinginannya adalah mendapat orang yang tepat, agar kehidupan pernikahannya tidak penuh drama seperti kedua orang tuanya maupun saudari kembarnya.“Aku masih 27 tahun, Karen. Aku belum setua itu.”Menurut Rain menikah itu bukan perkara umur, tapi semuannya butuh kesiapa
Diaz sengaja pulang lebih awal, rindu membuncah ingin segera bertemu dengan pujaan hati. Diaz juga khawatir dengan kondisi Karen, bisa saja berita dan komentar yang mengorek masa lalunya akan berpengaruh pada Karen. Apalagi istrinya sedang hamil, Karen tidak boleh stres pikir Diaz. Diaz memindai seluruh ruangan, tak dia temukan sang istri di sana. “Ke mana Karen?” monolog Diaz. Diaz tersenyum kala melihat gorden pintu balkon melambai terkena angin. Kemungkinan Karen berada di balkon. Perlahan Diaz melangkah menuju balkon, terlihat Karen sedang melakukan yoga. Tubuh istrinya nampak seksi dengan keringat yang membasah. Baju olahraga yang pas membuat perut Karen mulai terlihat perubahannya. Diaz tak melakukan apapun dan hanya memandangi istrinya dari pintu. Senyumnya terkembang. Karen membalikkan badan untuk melakukan gerakan yang berlawanan. “Astaga!” Pekik Karen sekuat tenaga. Tubuhnya nyaris limbung saking kagetnya. “Maafkan aku, sayang. Aku tak tahu jika kamu akan sekaget ini
Sebulan telah berlalu paska publikasi hubungan Karen dan Diaz. Awalnya Karen pikir berita itu hanya akan berlalu begitu saja, ternyata dia salah. Karen bak menjadi artis dadakan, banyak wartawan infotainment mencari dirinya, hidupnya menjadi tak tenang sebab kemanapun dia pergi akan ada yang mengenali dan mengajaknya berfoto.Belum lagi perusahaan-perusahaan dari kecil hingga ternama terus menghubungi Karen, ada yang menawarkan endorsement hingga brand ambassador.Sama seperti saat ini Karen sedang memenuhi permintaan adik iparnya, Ellen tak segan-segan memanfaat Karen untuk menjadi endorse produk-produknya. Ditambah lagi dengan penguatan brand dan manajemen promo baru yang sudah Karen godok di dapur periklanannya, membuat butik Ellen kebanjiran pesanan.“Kenapa tidak dari dulu saja kamu begini, aku tidak perlu pusing melakukan promosi untuk butikku?” Karen melirik Ellen dengan malas.“Aku bekerja dengan otak, bukan wajah!” balas Karen.“Iissshh, kenap
Viola menatap penuh curiga pada Julian. Sebagai anak seorang pengusaha, nama Julian Anggara seperti tidak asing di telinganya. Dalam benaknya masih bertanya-tanya apa yang sebenarnya diinginkan oleh pemuda yang ada di hadapannya ini. Dilihat dari raut wajah, gestur dan cara bicaranya, Julian seperti sedang memiliki niat tidak baik. Melihat lawan bicaranya nampak tidak tertarik meskipun menanyakan maksudnya, Julian menjadi kesal. Sorot manat kekesalannya nampak terlihat jelas oleh Viola. Sepertinya Julian lupa siapa Viola, sehingga dia lupa mengatur ekspresinya.“Sepertinya Anda tidak tertari dengan apa yang ingin saya bicarakan. Hal ini berkqitan dengan Diaz Pradana, apakah nona Viola masih meyukai pria itu?” tanya Julian, sebagai permulaan pembicaraan mereka.“Untuk apa Anda menanyakan hal itu? Sepertinya itu bukan sesuatu yang dengan mudah bisa dibicarakan dengan orang yang baru saja saya temui.” Julian terkekeh.Meski Viola sedang sensitif jika menyinggung perihal Diaz Pradana
Setelah keberangkatan Diaz, Karen masih terus memandang ke arah gerbang. Tiba-tiba tangan Ken menggandeng tangannya dan mengajak untuk segera masuk ke dalam rumah.“Mom tak perlu khawatir, aku akan menjaga mom,” ucap Ken menenangkan Karen dengan penuh kemantapan.Karen mengangguk dan tersenyum. Kemudian mensejajarkan tinggi dengan Ken, mengusap lembut kepala anak itu.“Terima kasih, sayang.” “Ayo kita masuk mom!” Ini kali pertamanya Karen dan Ken tanpa Diaz. Entah mengapa Karen merasa seperti tidak rela, mungkin karena hormon hamilannya yang menyebabkan suasana hatinya menjadi kacau.“Sudah. Diaz hanya pergi ke Sukabumi, Ren. Bukan ke Amerika, tampangmu tak perlu seperti itu!” goda Rain.Tidak biasanya saudara kembarnya itu belum berangkat kerja.“Berisik. Lebih baik kamu segera berangkat. CEO harus memberi contoh yang baik untuk bawahnanya,” sindir Karen.“Aku ada pertemuan di luar, jadi tak perlu ke kantor,” balas Rain santai. Setelah perjalanan kurang lebih tiga seteng
Setelah Karen sadar dari keterkejutannya, Rain bahkan sudah tak bisa mendengar ucapannya.“Kenapa dia seenaknya sendiri,” gumam Karen kesal. Siapa yang tidak kesal, tiba-tiba saja Rain menambah orang untuk mengikutinya.“Bangun Ken, kamu harus sekolah hari ini.”“Apakah aku tidak boleh tidak sekolah mom haru ini? Aku sangat tidak ingin sekolah.” “No. Ken, kamu harus sekolah!” Ken merengut.“Setidaknya biarkan aku sekolah di tempat umum mom, aku sangat bosan sekolah di rumah,” keluh Ken.“Baiklah. Nanti akan mom bicarakan dengan dad. Untuk sementara kamu turuti saja perintah dad.” Ken mengangguk lesu.Karen langsung menangkup kedua pipi anakanya dan mencium keningnya.“Bersemangatlah, son.” Ken menghela nafas.Ken mengajukkan syarat agar dia semangat bersekolah.“Temani aku belajar sampai selesai, mom.” Karen mengangguk.“Tentu saja,” balas Karen dengan senyum terindahnyanBiasanya Ken hanya meminta ditemani sebentar saja,
Bandara International Soekarno-Hatta"Kamu benar-benar tak akan menunggu keponakanmu lahir, Len?" tanya Karen pada saudari iparnya.Ellen telah memutuskan untuk menenangkan diri keluar Negeri. Dengan bantuan Rain dia pergi ke Jepang dan menutup semua gerai butik miliknya.Dia akan menata hidup baru di sana, sendirian. Meninggalkan masa lalunya dan juga Glen. Berharap menemukan cinta sejatinya di sana.Ellen akan tinggal di mansion milik Karen. Sejak Arashi menikah, mansion itu benar-benar tak ada yang menggunakan.Ellen tersenyum, "Maafkan aku, Ren. Kamu bisa memberiku fotonya kelak jika dia sudah lahir, aku akan sangat menantikannya.""Hai, Sayang. Sepertinya Tante tidak bisa langsung menemuimu saat kamu lahir nanti, sampai jumps," ucap Ellen seraya membelai perut Karen.Sedangkan Yunita sudah berurai air mata, anak perempuan semata wayangnya akan pergi meninggalkannya, hal yang tak pernah terpikirkan sama sekali di benaknya."Mama jangan menangis, a
Hari telah berganti, Glen datang ke kediaman Pradana bersama keluarganya, Lestari, Rose, dan kakak iparnya.Glen harus melakukan itu karena dia sudah terikat janji pada Ellen. Hanya Henry dan Noah yang datang menyambut mereka."Jadi apa yang ingin kalian bicarakan hingga datang beramai-ramai?" tanya Henry dengan menahan amarah.Glen dengan berani mengucapkan permintaan maaf pada keluarga besar Pradana, dia juga meminta kesempatan untuk dipertemukan dengan Ellen.Tapi dengan tegas Henry menolak."Tidak ada yang perlu kamu jelaskan pada anakku, semuanya sudah jelas. Jika kalian sudah tak ada lagi yang ingin dibicarakan silakan tinggalkan rumah ini.""Tuan, Henry. Saya mohon, tolong berikan saya kesempatan untuk menemui Ellen," Glen memohon."Untuk apa? Untuk lebih menyakiti hatinya lebih dalam lagi?" bentak Henry.Glen terus berusaha menjelaskan semua yang terjadi, dia juga berjanji akan segera mengusut kasus ini.Dari dalam, Ellen menangis dal
[Di, kamu sakit? Kenapa tidak bicara sama Mbak?]Pesan tersebut dikirim oleh Rose kakak Glen.[Iya, Mbak. Cuma meriang saja, tak perlu khawatir.]Diana memang sengaja mengatakan dia sedang sakit pada Glen, karena tahu Rose sedang berkunjung kerumahnya, kemungkinan pria itu akan mengatakannya pada sang kakak. Dan benar dugaannya. Rose tak akan tega membiarkan Diana dalam keadaan sakit, maka dia akan memanfaatkan keadaan ini.[Glen sedang menuju kesana, tapi Mbak lupa mau bawakan sop kesukaanmu. Mbak susul saja.][Aassiikkk! Diana tunggu ya, Mbak.] Diana tak perlu repot-repot memancing Rose untuk datang.Diana menyeringai, dia melihat benda yang beberapa waktu lalu dia beli dengan susah payah.Tak berselang lama Glen sampai di Kos Diana. Wanita itu mempersilakan Glen untuk masuk dan menawari pria itu teh manis yang telah dia beri obat penenang yang juga berfungsi sebagai obat tidur.Diana jelas tahu apa yang akan Glen katakan, dia tak mau itu
Ellen mengerjapkan mata, bingung, tentu saja wanita itu bingung, ini terlalu mendadak untuknya. Diaz, Ellen, dan Noah menatap Tak percaya ke arah Rain.Sedangkan Glen, hatinya sudah tak karuan mendengar pernyataan Rain. 'Sejak kapan mereka berdua sedekat itu?' batin Glen.Isi kepalanya penuh dengan banyak pertanyaan."Kenapa diam saja? Kamu tak ingin menjawabnya sekarang?" desak Rain. Mata pria itu menatap intens pada Ellen.Duukk! Rain menendang kaki Ellen dengan pelan. Ellen sedikit meringis.Ellen mulai membuka mulut hendak menjawab pertanyaan Rain."Jangan dijawab, ayo kita pergi," ucap Glen, lantas berjalan ke arah Ellen."Bayaranku sangat Mahal, Nona," bisik Rain. Sesaat sebelum Glen meraih tangan Ellen dan mengajak wanita itu pergi.Sontak Ellen melongo dengan kejadian barusan.Duukkk!!Karen menendang tulang kering Rain dengan kencang."Karen!" pekik Rain."Jangan mempermainkan perasaan orang, dasar bocah na
Karen terbangun di subuh hari, wanita itu merasakan pergerakan yang luar biasa pada anak di dalam perutnya. Karen mendesis merasakan sakit dan tidak nyaman di bagian perut, pinggul, bahkan dadanya terasa sesak.Perlahan-lahan dia mulai membangunkanmu tubuhnya.Seiring bertambahnya usia kandungan, Karen mulai kesulitan tidur dan belum lagi terganggu dengan frekuensi buang air kecil yang semakin sering.Merasakan ada pergerakan di sebelahnya Diaz pun ikut terbangun. Dia benar-benar menjadi suami siaga untuk Karen."Ada apa, Sayang? Apa yang kamu rasakan?" tanya Diaz pada istrinya."Tidak apa-apa, Mas. Orang hamil memang seperti ini, kamu tak perlu khawatir," ucap Karen menenangkan suaminya.Diaz ikut meringis saat melihat istrinya seperti kesakitan."Apa sudah mau melahiran?" Karen menggeleng."Pinggangku sakit, perutku mulai kencang-kencang."Diaz menyentuh perut istrinya, benar saja perut Karen terasa keras."Nak, apa kamu merasa sesak di
Ellen termenung di pinggir jendela, pikirannya jauh menerawang entah kenapa. Jatuh cinta pada Glen ternyata sesakit itu, jika tahu akan seperti itu Ellen lebih memilih orang lain untuk melabuhkan cintanya.Beberapa kali Ellen menarik nafas panjang, tapi tak juga menghilangkan sesak di dadanya.Mungkinkah dia akan bertahan dalam kisah ini? Atau menyerah begitu saja?Makanan yang tadi dibawa oleh Glen pun masih teronggok di tempatnya, tanpa tersentuh sedikitpun. Kacau, hatinya benar-benar kacau.Ellen kembali duduk di sofa, memandang bunga lili yang tak lagi spesial untuknya. Terdengar denting suara notifikasi pesan di handphonenya.Ellen mengintip siapa gerangan yang mengirim pesan. Glen, pria itu mengabarkan jika dia tak kembali ke butik, Hal yang sudah Ellen perkirakan sebelumnya.Ellen meletakkan kembali handphonenya tanpa sedikitpun ingin membuka pesan tersebut. Dia butuh waktu untuk menata hati.Ditengah keseriusannya mengerjakan beberapa desain untuk
Diana yang berada di dekat kantor Glen sengaja ingin menemui pria itu, walau Glen sudah mengatakan jika siang ini ada acara. Siapa tahu Diana beruntung bisa bertemu dengan pria itu. Setidaknya hanya melihat wajah dan sekedar menyapanya saja Diana sudah senang.Pucuk dicinta ulam pun tiba, pria idamannya terlihat keluar dari lobi. Pria itu tampak semringah, ekspresi yang tak pernah diperlihatkan semenjak pertemuan pertama mereka. Diana mengurungkan niat untuk sekedar memanggil Glen.Melihat Glen yang berjalan menuju mobilnya, entah mengapa Diana ingin sekali mengikuti kemana perginya pria itu. Dia pun segera mencari tukang ojek pangkalan untuk mengikuti Glen.Beruntung Glen masih bisa dikejar. Pertama Glen berhenti di sebuah restoran cepat saji dan keluar dengan kantong plastik besar di tangan kirinya, lagi-lagi pria itu tak berhenti tersenyum, membuat hati Diana semakin resah.Tak hanya itu, pria itu kemudian mampir ke sebuah toko kue, yang terakhir berhenti di toko
Glen terkejut sekaligus senang menerima pesan chat di handphonenya, pria itu reflek berdiri dari duduknya, tanpa sadar pria itu bersorak dan berjingkrak-jingkrak layaknya anak kecil yang mendapatkan hadiah yang sangat dia inginkan.[Besok siang datanglah ke butik, Bang!] Isi pesan tersebut. Pesan dari Ellen Pradana.[Baik, tuan putri. Dengan senang hati hamba akan datang ke sana. Apakah tuan putri ingin makan sesuatu, dengan senang hati akan hamba bawakan.] Balas Glen dengan semringah.Begitu pula dengan wanita di seberang tak kalah senangnya mendapat balasan dan juga panggilan yang menurutnya spesial.Sampai rasanya Ellen ingin koprol dan berguling-guling taking senangnya, dia perlu menormalkan detak jantung lebih dulu sebelum membalas pesan tersebut.Resah menunggu balasan pesan dari Ellen, Glen pun mengetuk-ngetuk mejanya dengan pulpen kesayangannya–gelisah.Glen merasa lega akhirnya Ellen mau menemuinya, walau tak tahu apa yang akan dibicarakan oleh gadis
"Ellen Pradana!" seru Yunita dengan menatap tajam pada anaknya, lalu berpindah menatap Glen.Sontak Glen langsung melepaskan pegangan tangannya pada Ellen."Apa-apaan kalian ini?" Yunita mengintrogasi keduanya.Glen nampak salah tingkah, dia tak bisa mencari alasan yang tepat."Memangnya ada apa dengan kami, Ma?"Ellen bertanya seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengannya dan Glen. Ellen memanfaatkan kedatangan ibunya until menghindariku dari pria itu, dia lantas menggandeng Yunita dan mengajaknya berkeliling sekedar mengambil makan dan menyapa tamu.Pukul 2.00 siang semua sudah selesai. Karen pun sudah kembali ke kediaman Wijaya.Mungkin karena perutnya semakin membesar, Karen merasa lebih cepat lelah."Apa kamu lelah, Sayang?"Diaz memijat bahu istrinya, pria itu semakin perhatian semenjak perut Karen semakin membuncit."Mas, berhentilah, aku tahu kamu juga lelah."Diaz tak mendengarkan kata-kata istrinya. Setelah selesai memberi pijatan,