Rain duduk di kursi komputernya, lalu menggeser satu kursi lagi untuk Diaz. Rain mengotak-atik layar cembung miliknya—sebentar. Kemudian menunjukkan sesuatu pada kakak iparnya, Diaz mengangguk-angguk.
“Sudah aku kirim ke alamat emailmu, bang.” Diaz berdiri lalu menepuk bahu Rain tanda terima kasih.
“Jangan mengajari Ken hal yang aneh-aneh,” ucap Diaz sebelum keluar dari kamar Rain. Rain tersenyum sombong.
Sang dokter melihat ke arah Diaz. Diaz sendiri hanya berwajah datar tanpa ekspresi. Dokter spesialis saraf itu menjelaskan satu persatu apa yang ditanyakan oleh Karen. Karen mengangguk paham, ia kembali menatap tajam pada suaminya. Meski Karen sedikit kesal pada Diaz yang tak mengatakan apapun jika ingatannya sudah kembali, dalam hati kecilnya ia merasa sangat bersyukur. ‘Tunggu perhitungan dariku, mas,’ batin Karen. Untuk urusan hari ini semuanya selesai, Tuhan memang maha baik, keluarga kecilnya mendapat kebahagiaan yang luar biasa. Karen sangat bersyukur. “Untuk merayakan kebahagiaan kita hari ini, bagaimana kalau kita makan siang dulu sebelum mengantar daddy ke kantor,” usul Karen. Ken pun setuju, begitu pula dengan Diaz. “Apa kalian ingin makan di suatu tempat?” Karen melihat pada Ken, bocah cilik itu hanya menggeleng. “Kami ikut saja mas, aku sedang tidak ingin memakan sesuatu yang spesifik.” Diaz mengangguk. Diaz memilih retoran favoritnya, yang terletak tak jauh dari kan
“Ada yang ingin kamu katakan?” tanya Diaz, ia masih mendapati sekretarisnya berdiri diam di depan meja kerjanya.“Ah, memangnya ini dokumen apa pak?”“Dokumen rencana produk baru.”Lala mengangguk lantas berpamitan keluar dari ruangan bosnya. Ia menghirup udara dalam-dalam setelah keluar dari ruangan tersebut. Masuk ke dalam ruangan itu seperti masuk ke dalam goa yang tidak ada ventilasi udaranya—sesak.Lala tidak akan capai-capai bekerja pada Diaz jika saja ia memiliki pilhan lain. Lala menghela nafas panjang. Perlahan Lala membuka map tersebut. Di dalam map itu ternyata ada flashdisk. Ia mulai mengerjakan sesuai perintah.Tanpa Lala tahu ia telah masuk dalam perangkap yang Diaz pasang.Dering ponsel Diaz berbunyi, panggilan dari asistennya—Glen.“Halo pak, sudah di kantor? Aku sudah meletakkan dokumen tersebut di meja, aku sudah merubah sesuai keinginan Anda.”“Kerja bagus, Glen. Aku sudah memberikannya pada wanita itu. Awasi terus wanita itu.”Diaz mengakhiri panggilan sec
Karen membuka mata, tak didapatinya sang suami di ranjang. Ia pun mengubah posisinya—duduk.Jam digital di atas nakas menunjukkan pukul 3.40 dini hari. Karen berpikir mungkin suaminya berada di kamar mandi, tp setelah beberapa lama menunggu tak juga ada tanda-tanda keberadaan suaminta.Karen berdiri memindai seluruh ruangan. Ia melihat pintu balkon yang sedikit terbuka. Diintipnya dari jendela, memastikan ada suaminya atau tidak.“Kerja bagus, Glen. Semuanya berjalan dengan baik.” Suara obrolan Diaz terdengar samar-samar dari balik jendela.“Ini baru permulaan,” gumam Diaz.“Kamu tidak tidur mas?” Diaz yang terkejut langsung menoleh ke arah Karen.“Aku terbangun sayang. Jadi aku melihat-lihat sebentar.” Karen tersenyum sangat manis.Meski Karen penasaran dengan apa yang dilakukan oleh suaminya, ia memilih menanggalkan rasa ingin tahunya dan bersikap seolah tidak mendengar apapun.“Ayo kita masuk. Udaranya lumayan dingin di luar.” Diaz menggiring istrinya untuk masuk ke dalam k
Bu RT menarik Ayu lebih dulu ke dapur, lalu setengah berbisik menanyakan pada gadis itu apa belum melihat sosial media pagi ini. Ayu langsung menggeleng.“Iiissshh bagamana kamu ini, mbakmu bikin masalah kamu belum tahu?”Ayu membulatkan mata bahkan sampai melongo, ia tidak mengerti apa maksud ucapan bu RT.Bu RT berdecak dan langsung mengeluarkan ponsel pintarnya, menunjukkan sesuatu yang sedang viral di jagat dunia maya. Ayu memperhatikan berita itu satu demi satu, ia menggeleng seakan tidak percaya, tangan kiri menutup mulutnya, ia hampir menangis dibuatnya.“Kami ini bingung, bagaimana cara menyampaikannya pada ibumu.”Sedangkan dari arah ruang tamu terdengar suara yang mengintimidasi, membuat bu RT langsung berlari ke depan.“Ya ampun mbakyu, anakmu yang kamu bangga-banggakan itu ternyata wanita simpanan. Lonte. Iihh, dia sok baik suka bagi-bagi rezeki ternyata hasil dari jual diri,” ucap seseorang yang baru saja menyusul rombongan bu RT. Wanita itu memperlihatkan sebuah
Diaz menoleh ke arah Lala sekilas, sebelum benar-benar meninggalkan ruangan itu. Ia tersenyum sinis.“Sebentar pak saya ada telepon,” pamit Glen.Glen nampak serius menerima telepon tersebut, lantas kembali memasukkan gawaynya ke dalam katong celananya.“Pak, saya baru saja mendapat kabar, bahwa ibunda Lala meninggal dunia,” ucap Glen seraya berjalan memsejajarkan langkah dengan Diaz.Diaz tak merepon, bukan tak bersimpati. Mengingat wanita itu sudah mengkhianatinya selama bertahun-tahun rasa simpati itu menghilang begitu saja.Glen tahu atasannya itu pasti tak mempunyai rasa iba sedikitpun. Akhirnya tanpa persetujuan Diaz, Glen mengirim karangan bunga dan juga uang santunan bela sungkawa, paling tidak mereka masih berbaik hati setelah apa yang dilakukan oleh Lala selama ini. Anggap saja penghiburan sebelum berita kriminal yang dilakukan Lala tersebar luas besok.“Kita langsung pulang saja Glen,” perintah Diaz.“Baik pak.”Diaz bersandar di jok mobil lalu memijat pelipisnya, k
Interkom Glen berbunyi, panggilan dari resepsionis.“Ada yang ingin bertemu dengan pak Diaz, pak Glen.”“Siapa?”“Viola Renata, pak.” Glen berpikir sejanak. Lalu mengizinkan wanita itu untuk bertemu dengan bosnya, sepertinya ada yang ingin dibicarakan oleh Viola.“Pak ada tamu.”“Siapa?”“Dokter Viola, pak.”“Aku sedang sibuk Glen, suruh dia untuk datang lain kali.” Diaz pikir Viola belum berada di depan ruangannya.Tanpa permisi Viola masuk begitu saja ke ruangan Diaz. Wajahnya dibuat semanis mungkin, dandannya sangat sederhana, mungkin efek masalah yang sedang menimpa keluarga, membuat wanita itu tampak lelah dan kurang tidur.“Kenapa kamu menjadi pria yang sombong sekarang? Apa kabar Diaz?” Viola terus berjalan menuju ke arah Diaz.“Aku benar-benar sibuk dokter Vio. Maafkan aku. Katakan apa yang kamu inginkan.” Viola terkekeh.“Kamu tidak sabaran sekali, biarkan aku duduk lebih dulu.”Diaz menghela nafas pelan,menghentikan aktivitasnya, berdiri lalu berjalan menuju sofa
“Kau dari mana?” tanya David pada Ramon. “Biasalah!” David mengangguk sedangkan Diaz hanya berwajah datar seperti biasanya. Tanpa menunggu lama lagi, mereka segera memulai rapat tersebut dengan Glen sebagai notulen. Satu jam rapat itu telah selesai. Diaz segera akan meninggalkan rekan bisnisnya, namun Ramon segera menghentikannya. Pria itu sangat penasaran dengan kasus yang menimpa perusahaannya, terlebih itu dilakukan oleh sekretarisnya sendiri. “Aku akan ceritakan lain waktu Ram, tapi tidak untuk sekarang. Setelah semua selesai.” “Hei, kau anggap apa aku ini? Jangan menganggapku remeh. Aku akan membantumu jika memang kau membutuhkan.” Ramon sudah berdiri dengan mata berapi-api serasa ingin menguliti Diaz. Lebih tepatnya menguliti kesombongan temannya itu. “Thanks, Ram.” Diaz menepuk bahu Ramon lalu berlalu meninggalkan pria jangkung bertato itu, tanpa berkata apapun. “Kamu tak perlu mengkhawatirkan pria sombong itu, Ram. Dia akan meminta bantuanmu jika memang membutuhkan. Kamu
Ellen telah dibuat malu oleh Rain, di depan keluarganya sendiri. Padahal niat sebenarnya ia mengikuti Rain, hanya ingin ke kamar Ken, karena bocah cilik itu belum juga keluar dari kamarnya. Ellen penasaran dengan kamar Ken, hanya saja Rain langsung memotong kata-katanya sebelum sempat menyelesaikannya.Pria itu benar-benar tak bisa diajak kerja sama begitulah pikiran Ellen. “Kamu naik saja ke atas, kamar Ken ada di paling ujung. Ada nama dia di pintu kamu tidak akan kesasar,” tutur Karen.Namun saudari iparnya itu sudàh berwajah masam karena kesal.Ellen mendapat notifikasi pesan di handphonenya. Setelah dilihat ternyata pesan dari Rain.[Sejak kapan kamu mesum dan menguntit seorang laki-laki?] Pesan itu diakhiri dengan emoticon yang sangat menyebalkan untuk Ellen.Gadis itu membulatkan mata tajam bahkan sampai melongo. Rasa-rasanya ia ingin menghajar Rain andai saja pria itu sedang ada di hepannya.‘Rain, sialan!’ umpat Ellen dalam hati.[Ku
Bandara International Soekarno-Hatta"Kamu benar-benar tak akan menunggu keponakanmu lahir, Len?" tanya Karen pada saudari iparnya.Ellen telah memutuskan untuk menenangkan diri keluar Negeri. Dengan bantuan Rain dia pergi ke Jepang dan menutup semua gerai butik miliknya.Dia akan menata hidup baru di sana, sendirian. Meninggalkan masa lalunya dan juga Glen. Berharap menemukan cinta sejatinya di sana.Ellen akan tinggal di mansion milik Karen. Sejak Arashi menikah, mansion itu benar-benar tak ada yang menggunakan.Ellen tersenyum, "Maafkan aku, Ren. Kamu bisa memberiku fotonya kelak jika dia sudah lahir, aku akan sangat menantikannya.""Hai, Sayang. Sepertinya Tante tidak bisa langsung menemuimu saat kamu lahir nanti, sampai jumps," ucap Ellen seraya membelai perut Karen.Sedangkan Yunita sudah berurai air mata, anak perempuan semata wayangnya akan pergi meninggalkannya, hal yang tak pernah terpikirkan sama sekali di benaknya."Mama jangan menangis, a
Hari telah berganti, Glen datang ke kediaman Pradana bersama keluarganya, Lestari, Rose, dan kakak iparnya.Glen harus melakukan itu karena dia sudah terikat janji pada Ellen. Hanya Henry dan Noah yang datang menyambut mereka."Jadi apa yang ingin kalian bicarakan hingga datang beramai-ramai?" tanya Henry dengan menahan amarah.Glen dengan berani mengucapkan permintaan maaf pada keluarga besar Pradana, dia juga meminta kesempatan untuk dipertemukan dengan Ellen.Tapi dengan tegas Henry menolak."Tidak ada yang perlu kamu jelaskan pada anakku, semuanya sudah jelas. Jika kalian sudah tak ada lagi yang ingin dibicarakan silakan tinggalkan rumah ini.""Tuan, Henry. Saya mohon, tolong berikan saya kesempatan untuk menemui Ellen," Glen memohon."Untuk apa? Untuk lebih menyakiti hatinya lebih dalam lagi?" bentak Henry.Glen terus berusaha menjelaskan semua yang terjadi, dia juga berjanji akan segera mengusut kasus ini.Dari dalam, Ellen menangis dal
[Di, kamu sakit? Kenapa tidak bicara sama Mbak?]Pesan tersebut dikirim oleh Rose kakak Glen.[Iya, Mbak. Cuma meriang saja, tak perlu khawatir.]Diana memang sengaja mengatakan dia sedang sakit pada Glen, karena tahu Rose sedang berkunjung kerumahnya, kemungkinan pria itu akan mengatakannya pada sang kakak. Dan benar dugaannya. Rose tak akan tega membiarkan Diana dalam keadaan sakit, maka dia akan memanfaatkan keadaan ini.[Glen sedang menuju kesana, tapi Mbak lupa mau bawakan sop kesukaanmu. Mbak susul saja.][Aassiikkk! Diana tunggu ya, Mbak.] Diana tak perlu repot-repot memancing Rose untuk datang.Diana menyeringai, dia melihat benda yang beberapa waktu lalu dia beli dengan susah payah.Tak berselang lama Glen sampai di Kos Diana. Wanita itu mempersilakan Glen untuk masuk dan menawari pria itu teh manis yang telah dia beri obat penenang yang juga berfungsi sebagai obat tidur.Diana jelas tahu apa yang akan Glen katakan, dia tak mau itu
Ellen mengerjapkan mata, bingung, tentu saja wanita itu bingung, ini terlalu mendadak untuknya. Diaz, Ellen, dan Noah menatap Tak percaya ke arah Rain.Sedangkan Glen, hatinya sudah tak karuan mendengar pernyataan Rain. 'Sejak kapan mereka berdua sedekat itu?' batin Glen.Isi kepalanya penuh dengan banyak pertanyaan."Kenapa diam saja? Kamu tak ingin menjawabnya sekarang?" desak Rain. Mata pria itu menatap intens pada Ellen.Duukk! Rain menendang kaki Ellen dengan pelan. Ellen sedikit meringis.Ellen mulai membuka mulut hendak menjawab pertanyaan Rain."Jangan dijawab, ayo kita pergi," ucap Glen, lantas berjalan ke arah Ellen."Bayaranku sangat Mahal, Nona," bisik Rain. Sesaat sebelum Glen meraih tangan Ellen dan mengajak wanita itu pergi.Sontak Ellen melongo dengan kejadian barusan.Duukkk!!Karen menendang tulang kering Rain dengan kencang."Karen!" pekik Rain."Jangan mempermainkan perasaan orang, dasar bocah na
Karen terbangun di subuh hari, wanita itu merasakan pergerakan yang luar biasa pada anak di dalam perutnya. Karen mendesis merasakan sakit dan tidak nyaman di bagian perut, pinggul, bahkan dadanya terasa sesak.Perlahan-lahan dia mulai membangunkanmu tubuhnya.Seiring bertambahnya usia kandungan, Karen mulai kesulitan tidur dan belum lagi terganggu dengan frekuensi buang air kecil yang semakin sering.Merasakan ada pergerakan di sebelahnya Diaz pun ikut terbangun. Dia benar-benar menjadi suami siaga untuk Karen."Ada apa, Sayang? Apa yang kamu rasakan?" tanya Diaz pada istrinya."Tidak apa-apa, Mas. Orang hamil memang seperti ini, kamu tak perlu khawatir," ucap Karen menenangkan suaminya.Diaz ikut meringis saat melihat istrinya seperti kesakitan."Apa sudah mau melahiran?" Karen menggeleng."Pinggangku sakit, perutku mulai kencang-kencang."Diaz menyentuh perut istrinya, benar saja perut Karen terasa keras."Nak, apa kamu merasa sesak di
Ellen termenung di pinggir jendela, pikirannya jauh menerawang entah kenapa. Jatuh cinta pada Glen ternyata sesakit itu, jika tahu akan seperti itu Ellen lebih memilih orang lain untuk melabuhkan cintanya.Beberapa kali Ellen menarik nafas panjang, tapi tak juga menghilangkan sesak di dadanya.Mungkinkah dia akan bertahan dalam kisah ini? Atau menyerah begitu saja?Makanan yang tadi dibawa oleh Glen pun masih teronggok di tempatnya, tanpa tersentuh sedikitpun. Kacau, hatinya benar-benar kacau.Ellen kembali duduk di sofa, memandang bunga lili yang tak lagi spesial untuknya. Terdengar denting suara notifikasi pesan di handphonenya.Ellen mengintip siapa gerangan yang mengirim pesan. Glen, pria itu mengabarkan jika dia tak kembali ke butik, Hal yang sudah Ellen perkirakan sebelumnya.Ellen meletakkan kembali handphonenya tanpa sedikitpun ingin membuka pesan tersebut. Dia butuh waktu untuk menata hati.Ditengah keseriusannya mengerjakan beberapa desain untuk
Diana yang berada di dekat kantor Glen sengaja ingin menemui pria itu, walau Glen sudah mengatakan jika siang ini ada acara. Siapa tahu Diana beruntung bisa bertemu dengan pria itu. Setidaknya hanya melihat wajah dan sekedar menyapanya saja Diana sudah senang.Pucuk dicinta ulam pun tiba, pria idamannya terlihat keluar dari lobi. Pria itu tampak semringah, ekspresi yang tak pernah diperlihatkan semenjak pertemuan pertama mereka. Diana mengurungkan niat untuk sekedar memanggil Glen.Melihat Glen yang berjalan menuju mobilnya, entah mengapa Diana ingin sekali mengikuti kemana perginya pria itu. Dia pun segera mencari tukang ojek pangkalan untuk mengikuti Glen.Beruntung Glen masih bisa dikejar. Pertama Glen berhenti di sebuah restoran cepat saji dan keluar dengan kantong plastik besar di tangan kirinya, lagi-lagi pria itu tak berhenti tersenyum, membuat hati Diana semakin resah.Tak hanya itu, pria itu kemudian mampir ke sebuah toko kue, yang terakhir berhenti di toko
Glen terkejut sekaligus senang menerima pesan chat di handphonenya, pria itu reflek berdiri dari duduknya, tanpa sadar pria itu bersorak dan berjingkrak-jingkrak layaknya anak kecil yang mendapatkan hadiah yang sangat dia inginkan.[Besok siang datanglah ke butik, Bang!] Isi pesan tersebut. Pesan dari Ellen Pradana.[Baik, tuan putri. Dengan senang hati hamba akan datang ke sana. Apakah tuan putri ingin makan sesuatu, dengan senang hati akan hamba bawakan.] Balas Glen dengan semringah.Begitu pula dengan wanita di seberang tak kalah senangnya mendapat balasan dan juga panggilan yang menurutnya spesial.Sampai rasanya Ellen ingin koprol dan berguling-guling taking senangnya, dia perlu menormalkan detak jantung lebih dulu sebelum membalas pesan tersebut.Resah menunggu balasan pesan dari Ellen, Glen pun mengetuk-ngetuk mejanya dengan pulpen kesayangannya–gelisah.Glen merasa lega akhirnya Ellen mau menemuinya, walau tak tahu apa yang akan dibicarakan oleh gadis
"Ellen Pradana!" seru Yunita dengan menatap tajam pada anaknya, lalu berpindah menatap Glen.Sontak Glen langsung melepaskan pegangan tangannya pada Ellen."Apa-apaan kalian ini?" Yunita mengintrogasi keduanya.Glen nampak salah tingkah, dia tak bisa mencari alasan yang tepat."Memangnya ada apa dengan kami, Ma?"Ellen bertanya seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengannya dan Glen. Ellen memanfaatkan kedatangan ibunya until menghindariku dari pria itu, dia lantas menggandeng Yunita dan mengajaknya berkeliling sekedar mengambil makan dan menyapa tamu.Pukul 2.00 siang semua sudah selesai. Karen pun sudah kembali ke kediaman Wijaya.Mungkin karena perutnya semakin membesar, Karen merasa lebih cepat lelah."Apa kamu lelah, Sayang?"Diaz memijat bahu istrinya, pria itu semakin perhatian semenjak perut Karen semakin membuncit."Mas, berhentilah, aku tahu kamu juga lelah."Diaz tak mendengarkan kata-kata istrinya. Setelah selesai memberi pijatan,