“Tuan, ada informasi tentang nona Karen Esme,” lapor salah satu anak buah Julian Anggara.
Julian menatap pria itu, lalu menyuruhnya untuk tidak berbasa-basi.“Nona Karen sedang berada di Cafe Flamboyan di jalan Flamboyan, tuan.”Julian tersenyum sumringah, “Tunggu aku, Karen Esme.”Cafe Flamboyan.Dari kejauhan, Julian mengamati Karen yang sedang sibuk berbicara dengan lawan bicaranya—serius.“Selamat siang, nona-nona!”Suara bas itu membuat Karen dan Ellen menghentikan aktifitasnya, kemudian melihat ke arah sumber suara.Sedangkan Jun dan bodyguard yang benama Jhon, langsung bersiaga meihat ada seseorang yang mendekati majikan mereka. Dia pria itu duduk tak jauh dari Karen.“Julian Anggara,” batin Karen. Meski ia terkejut, ekspresinya berhasil dikendalikan.“Apa kabar Elok Anugrah Cinta?” tanya Julian pada Karen.Karen tetap tak merubah ekspresi. Melihat iparnya yang begitu tenang, Ellen juga menampakkan wajah yang biasa saja“Apa rencanamu Jun?” tanya Karen saat mereka tahu ada mobil yang mengikuti.Jelas Karen bertanya hal itu pada Jun, sebab Jun adalah sopir yang sudah dipersiapkan untuk hal-hal seperti ini, menghafal setiap jalan ibu kota.“Kita bersiap non,” ucap Jun sembari menyeringai.Jun sudah bisa membaca situasi di depannya. Ada traffic light di depan sana, kondisi sedikit lengang namun masih banyak kendaraan yang melaju di persimpangan itu. Jun sengaja melaju lambat mengikuti arus, lampu hijau mulai menguning, pria itu langsung memacu kendaraan itu dua detik sebelum lampu merah menyala, melesat menyelip kendaraan lain. Sialnya mobil yang mengikuti Karen harus terkena lampu merah. Ingin menyerobitpun tidak bisa sebab banyak motor di depan mereka.“Shit!” umpat sang sopir. Pria itu menghubungi tuannya, memberi tahu jika mereka kehilangan jejak Karen. Di sebrang sana terdengar Julian memaki anak buahnya yang tidak pecus. “Gila kamu, Jun. Kalau kita mengalami kecelakaan bagaimana? Apa yan
Glen cukup kewalahan saat mendengar perintah mendadak keluar dari mulut Diaz untuk memberhentikan mobil. Pasalnya posisi mereka sedang berada di bagian kanan jalan. Setelah bersusah payah akahirnya mobil itu pun menepi. Terlihat Diaz memantau jalanan lalu menyeringai. Diaz ingin melihat bagaimana mobil yang mengikutinya akan bergerak, sedangkan di ujung sana ada traffic light. Mendapati mobil lawan terjebak di antara kendaraan lain, Diaz menunggu hingga lampu merah berganti hijau dan berputar posisi.Untunglah strategi mereka berhasil meski cukup berbahaya karena memotong kerumunan dan mendapat banyak klakson serta makian.“Kita kemana pak?” tanya Glen setelah kembali melajukan mobil. Ia hanya memastikan mereka akan tetap kembali ke kantor atau pindah halauan.“Ke kantor,” jawab Diaz singkat.Diaz akan menyelesaikan sedikit pekerjaannya di kantor sebelum pulang. Ia ingin pulang lebih awal hari ini. Rundunya sangat membuncah ada sang istri.
“Jadi kita akan datang ke rumah nenek sihir itu,” ucap Ken spontan, dengan wajah mencibir.Sontak Karen menutup mulut kecil yang berbicara tidak sopan itu, lalu meringis ke arah suaminya.Diaz menatap tajam Ken, “Siapa yang mengajarimu berkata seperti?” tanya Diaz penuh kemurkaan.Ken mencoba membuka mulutnya yang masih terus dibungkam oleh Karen.“Mom, lepaskan,” ucap Ken tak jelas.“Sssttt, diamlah dan jangan melawan daddymu,” bisik Karen.Ken merasa tidak bersalah, ia tetap ingin menjawab pertanyaan sang ayah. Lalu bocah cilik itu mengigit pelan telapak tangan sang ibu. Refleks Karen melepaskan tangannya dari mulut Ken.“Tidak ada yang mengajariku, dad. Tapi memang perilaku nenek itu mirip sekali dengan nenek sihir yang jahat,” balas Ken lantang.Walaupun yang dikatakan oleh Ken memang benar, Diaz sebagai anak tidak terima jika orang yang telah melahirkannya dijuluki seperti itu, terlebih hal itu dilakukan oleh anaknya sendiri.Diaz tidak hanya sekedar memarahi anaknya, ia
Yunita merutuki dirinya sendiri, mengapa kata-kata itu yang keluar dari mulutnya.Padahal sesungguhnya ia ingin berkata, “Kenapa repot-repot? Kalian datang saja mama sudah sangat senang.” Otak dan mulutnya sangat tidak sinkron.“Kami ingin mengunjungi kalian semua, bukankah kita ini keluarga. Seperti yang mama pernah katakan, tidak perlu alasan khusus untuk menemui keluarga,” jawab Karen lembut.“Kamu selalu pintar berdalih, apa kamu sedang menceramahiku sekarang?” ketus Yunita. Yunita malu mengakui jika pernah mengucapkan kata-kata seperti itu dan lagi-lagi ia melontarkan ucapan yang tak seharusnya diucapkan. Meski berkata begitu sesungguhnya itu sangat bertolak belakang dengan hati Yunita. Justru ia merasa sangat senang telah dikunjungi oleh keluarga kecil Diaz.Yunita tidak menyangka, anak, menantu, dan cucunya akan datang berkunjung.Dasar, wanita paruh baya itu terlalu gengsi untuk mengakui hal itu. Dan malah membuat cucu dan menantunya salah paham.Karen hanya terseny
Obrolan antara Ken dan Noah nampak semakin seru. Karen hanya menjadi pendengar yang baik. Sesekali berkomentar atau menanggapi jika diperlukan.“Kenapa hanya berdiri di situ, tidak jadi ke gazebo?” tanya Yunita pada Diaz yang hanya berdiri tidak bergerak di dekat pintu.Yunita yang penasaran pun melihat ke arah gazebo. Pandangannya menangkap sosok Noah yang beberapa waktu ini tak pernah tersenyum semenjak kecelakaan itu terjadi, saat ini sedang tertawa bersama Ken—cucunya. Tanpa sadar netranya memerah dan berkaca-kaca. Di mata Yunita, Noah memang tak pernah mengeluh. Pria yang berprofesi sebagai dokter itu terlihat pasrah menerima takdir yang sedang dijalaninya.Tapi Yunita tahu betul, anaknya itu memendam semua yang dirasakannya sendiran. Perlahan namun nyata Noah mulai kehilangan senyuman yang tak pernah lepas dari bibirnya.Diaz tertegun, tak ada reaksi apapun dari ibunya. Ia melihat ke arah Yunita yang sudah meneteskan air mata. Anak sulung Yunita itu memeluk erat tubuh ibun
Pukul setengah sepuluh pagi mereka sudah bersiap untuk berangkat ke KidCity yang berada disebuah pusat perbelanjaan di daerah Cilandak. Diaz selalu bersikap waspada, ia pun mengajak dua bodyguard yang melindungi Ellen untuk pergi bersama mereka. Sampai di KidCity suasana masih sepi, sebab baru saja dibuka. Beberapa wahana bahkan belum siap untuk dioperasikan. Pertama, Ken ingin mencoba New York Swing. Tentu saja Karen tak akan ikut naik, selain Diaz melarang, baru melihat wahananya saja ia sudah merasakan mual. “Kau bersenang-senanglah mas, aku akan di sini menunggu kalian, tenang Jun dan yang lain.” Diaz sebenarnya malas untuk ikut bermain, ia ingin sekedar menemani. Namun, Ken justru mengejeknya penakut, membuat jiwa lelakinya terusik. Tidak ada di kamus Diaz Pradana kata takut apalagi penakut. Pria dewasa itu akhirnya meladeni sang anak. Dalam benak Karen, ia selalu tak habis pikir dengan kelakuan suami dan anaknya. Nampak sering tak akur dan saling bersaing satu sama lain.
Ellen tersenyum nakal, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Ken, “Apa kamu akan memenuhi syarat dariku tanpa terkecuali?” “Tentu saja...” Ken menjeda ucapannya, tapi Ellen sudah tersenyum penuh kemenangan. “Aku tidak akan menerima syarat apapun darimu, tante. Dan...aku tidak masalah kamu tidak memaafkanku,” Ken melanjutkan ucapanya lalu menjulurkan lidah. Membuat Ellen melongo dan Diaz menahan tawa. Karen sendiri langsung menutup mulut anaknya dan nyengir ke arah Ellen. Ellen berkacak pinggang, geram dengan kelakuan keponakannya, ia lantas mendekati pria kecil bermulut tajam itu. Mencubit kedua pipi mungilnya seraya bekata, “Kamu benar-benar menyebalkan. Aku bertambah yakin jika kamu memang keturunan Diaz Pradana. Kalian sama-sama menyebalkannya.” Mendengar ia disamakan dengan sang ayah, Ken lantas merengut seraya menatap sengit ke arah Ellen lalu kepada Diaz, bibirnya bahkan bisa dikucir—merajuk. Dalam hati Ellen tertawa melihat hal itu, ia bersorak gembira, dirinya telah berh
Diaz berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan Ken. Ayah kandung Ken itu menyentuh bahu anaknya pelan. Ia akan berdamai dengan gejolak hatinya yang oenuh keegoisan.“Kamu salah paham, son. Daddy tidak sengaja melakukan hal itu pada mom, percayalah,” tutur Diaz mencoba menjelaskan pada anaknya.“Mana yang bisa disebut salah paham? Tante Ellen dan om Noah juga melihat apa yang kamu lakukan pada mom,” balas Ken, bocah itu enggan menyebut daddy pada Diaz.
Bandara International Soekarno-Hatta"Kamu benar-benar tak akan menunggu keponakanmu lahir, Len?" tanya Karen pada saudari iparnya.Ellen telah memutuskan untuk menenangkan diri keluar Negeri. Dengan bantuan Rain dia pergi ke Jepang dan menutup semua gerai butik miliknya.Dia akan menata hidup baru di sana, sendirian. Meninggalkan masa lalunya dan juga Glen. Berharap menemukan cinta sejatinya di sana.Ellen akan tinggal di mansion milik Karen. Sejak Arashi menikah, mansion itu benar-benar tak ada yang menggunakan.Ellen tersenyum, "Maafkan aku, Ren. Kamu bisa memberiku fotonya kelak jika dia sudah lahir, aku akan sangat menantikannya.""Hai, Sayang. Sepertinya Tante tidak bisa langsung menemuimu saat kamu lahir nanti, sampai jumps," ucap Ellen seraya membelai perut Karen.Sedangkan Yunita sudah berurai air mata, anak perempuan semata wayangnya akan pergi meninggalkannya, hal yang tak pernah terpikirkan sama sekali di benaknya."Mama jangan menangis, a
Hari telah berganti, Glen datang ke kediaman Pradana bersama keluarganya, Lestari, Rose, dan kakak iparnya.Glen harus melakukan itu karena dia sudah terikat janji pada Ellen. Hanya Henry dan Noah yang datang menyambut mereka."Jadi apa yang ingin kalian bicarakan hingga datang beramai-ramai?" tanya Henry dengan menahan amarah.Glen dengan berani mengucapkan permintaan maaf pada keluarga besar Pradana, dia juga meminta kesempatan untuk dipertemukan dengan Ellen.Tapi dengan tegas Henry menolak."Tidak ada yang perlu kamu jelaskan pada anakku, semuanya sudah jelas. Jika kalian sudah tak ada lagi yang ingin dibicarakan silakan tinggalkan rumah ini.""Tuan, Henry. Saya mohon, tolong berikan saya kesempatan untuk menemui Ellen," Glen memohon."Untuk apa? Untuk lebih menyakiti hatinya lebih dalam lagi?" bentak Henry.Glen terus berusaha menjelaskan semua yang terjadi, dia juga berjanji akan segera mengusut kasus ini.Dari dalam, Ellen menangis dal
[Di, kamu sakit? Kenapa tidak bicara sama Mbak?]Pesan tersebut dikirim oleh Rose kakak Glen.[Iya, Mbak. Cuma meriang saja, tak perlu khawatir.]Diana memang sengaja mengatakan dia sedang sakit pada Glen, karena tahu Rose sedang berkunjung kerumahnya, kemungkinan pria itu akan mengatakannya pada sang kakak. Dan benar dugaannya. Rose tak akan tega membiarkan Diana dalam keadaan sakit, maka dia akan memanfaatkan keadaan ini.[Glen sedang menuju kesana, tapi Mbak lupa mau bawakan sop kesukaanmu. Mbak susul saja.][Aassiikkk! Diana tunggu ya, Mbak.] Diana tak perlu repot-repot memancing Rose untuk datang.Diana menyeringai, dia melihat benda yang beberapa waktu lalu dia beli dengan susah payah.Tak berselang lama Glen sampai di Kos Diana. Wanita itu mempersilakan Glen untuk masuk dan menawari pria itu teh manis yang telah dia beri obat penenang yang juga berfungsi sebagai obat tidur.Diana jelas tahu apa yang akan Glen katakan, dia tak mau itu
Ellen mengerjapkan mata, bingung, tentu saja wanita itu bingung, ini terlalu mendadak untuknya. Diaz, Ellen, dan Noah menatap Tak percaya ke arah Rain.Sedangkan Glen, hatinya sudah tak karuan mendengar pernyataan Rain. 'Sejak kapan mereka berdua sedekat itu?' batin Glen.Isi kepalanya penuh dengan banyak pertanyaan."Kenapa diam saja? Kamu tak ingin menjawabnya sekarang?" desak Rain. Mata pria itu menatap intens pada Ellen.Duukk! Rain menendang kaki Ellen dengan pelan. Ellen sedikit meringis.Ellen mulai membuka mulut hendak menjawab pertanyaan Rain."Jangan dijawab, ayo kita pergi," ucap Glen, lantas berjalan ke arah Ellen."Bayaranku sangat Mahal, Nona," bisik Rain. Sesaat sebelum Glen meraih tangan Ellen dan mengajak wanita itu pergi.Sontak Ellen melongo dengan kejadian barusan.Duukkk!!Karen menendang tulang kering Rain dengan kencang."Karen!" pekik Rain."Jangan mempermainkan perasaan orang, dasar bocah na
Karen terbangun di subuh hari, wanita itu merasakan pergerakan yang luar biasa pada anak di dalam perutnya. Karen mendesis merasakan sakit dan tidak nyaman di bagian perut, pinggul, bahkan dadanya terasa sesak.Perlahan-lahan dia mulai membangunkanmu tubuhnya.Seiring bertambahnya usia kandungan, Karen mulai kesulitan tidur dan belum lagi terganggu dengan frekuensi buang air kecil yang semakin sering.Merasakan ada pergerakan di sebelahnya Diaz pun ikut terbangun. Dia benar-benar menjadi suami siaga untuk Karen."Ada apa, Sayang? Apa yang kamu rasakan?" tanya Diaz pada istrinya."Tidak apa-apa, Mas. Orang hamil memang seperti ini, kamu tak perlu khawatir," ucap Karen menenangkan suaminya.Diaz ikut meringis saat melihat istrinya seperti kesakitan."Apa sudah mau melahiran?" Karen menggeleng."Pinggangku sakit, perutku mulai kencang-kencang."Diaz menyentuh perut istrinya, benar saja perut Karen terasa keras."Nak, apa kamu merasa sesak di
Ellen termenung di pinggir jendela, pikirannya jauh menerawang entah kenapa. Jatuh cinta pada Glen ternyata sesakit itu, jika tahu akan seperti itu Ellen lebih memilih orang lain untuk melabuhkan cintanya.Beberapa kali Ellen menarik nafas panjang, tapi tak juga menghilangkan sesak di dadanya.Mungkinkah dia akan bertahan dalam kisah ini? Atau menyerah begitu saja?Makanan yang tadi dibawa oleh Glen pun masih teronggok di tempatnya, tanpa tersentuh sedikitpun. Kacau, hatinya benar-benar kacau.Ellen kembali duduk di sofa, memandang bunga lili yang tak lagi spesial untuknya. Terdengar denting suara notifikasi pesan di handphonenya.Ellen mengintip siapa gerangan yang mengirim pesan. Glen, pria itu mengabarkan jika dia tak kembali ke butik, Hal yang sudah Ellen perkirakan sebelumnya.Ellen meletakkan kembali handphonenya tanpa sedikitpun ingin membuka pesan tersebut. Dia butuh waktu untuk menata hati.Ditengah keseriusannya mengerjakan beberapa desain untuk
Diana yang berada di dekat kantor Glen sengaja ingin menemui pria itu, walau Glen sudah mengatakan jika siang ini ada acara. Siapa tahu Diana beruntung bisa bertemu dengan pria itu. Setidaknya hanya melihat wajah dan sekedar menyapanya saja Diana sudah senang.Pucuk dicinta ulam pun tiba, pria idamannya terlihat keluar dari lobi. Pria itu tampak semringah, ekspresi yang tak pernah diperlihatkan semenjak pertemuan pertama mereka. Diana mengurungkan niat untuk sekedar memanggil Glen.Melihat Glen yang berjalan menuju mobilnya, entah mengapa Diana ingin sekali mengikuti kemana perginya pria itu. Dia pun segera mencari tukang ojek pangkalan untuk mengikuti Glen.Beruntung Glen masih bisa dikejar. Pertama Glen berhenti di sebuah restoran cepat saji dan keluar dengan kantong plastik besar di tangan kirinya, lagi-lagi pria itu tak berhenti tersenyum, membuat hati Diana semakin resah.Tak hanya itu, pria itu kemudian mampir ke sebuah toko kue, yang terakhir berhenti di toko
Glen terkejut sekaligus senang menerima pesan chat di handphonenya, pria itu reflek berdiri dari duduknya, tanpa sadar pria itu bersorak dan berjingkrak-jingkrak layaknya anak kecil yang mendapatkan hadiah yang sangat dia inginkan.[Besok siang datanglah ke butik, Bang!] Isi pesan tersebut. Pesan dari Ellen Pradana.[Baik, tuan putri. Dengan senang hati hamba akan datang ke sana. Apakah tuan putri ingin makan sesuatu, dengan senang hati akan hamba bawakan.] Balas Glen dengan semringah.Begitu pula dengan wanita di seberang tak kalah senangnya mendapat balasan dan juga panggilan yang menurutnya spesial.Sampai rasanya Ellen ingin koprol dan berguling-guling taking senangnya, dia perlu menormalkan detak jantung lebih dulu sebelum membalas pesan tersebut.Resah menunggu balasan pesan dari Ellen, Glen pun mengetuk-ngetuk mejanya dengan pulpen kesayangannya–gelisah.Glen merasa lega akhirnya Ellen mau menemuinya, walau tak tahu apa yang akan dibicarakan oleh gadis
"Ellen Pradana!" seru Yunita dengan menatap tajam pada anaknya, lalu berpindah menatap Glen.Sontak Glen langsung melepaskan pegangan tangannya pada Ellen."Apa-apaan kalian ini?" Yunita mengintrogasi keduanya.Glen nampak salah tingkah, dia tak bisa mencari alasan yang tepat."Memangnya ada apa dengan kami, Ma?"Ellen bertanya seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengannya dan Glen. Ellen memanfaatkan kedatangan ibunya until menghindariku dari pria itu, dia lantas menggandeng Yunita dan mengajaknya berkeliling sekedar mengambil makan dan menyapa tamu.Pukul 2.00 siang semua sudah selesai. Karen pun sudah kembali ke kediaman Wijaya.Mungkin karena perutnya semakin membesar, Karen merasa lebih cepat lelah."Apa kamu lelah, Sayang?"Diaz memijat bahu istrinya, pria itu semakin perhatian semenjak perut Karen semakin membuncit."Mas, berhentilah, aku tahu kamu juga lelah."Diaz tak mendengarkan kata-kata istrinya. Setelah selesai memberi pijatan,