"Apa kamu percaya pada Ayah? Kamu mau membela dia yang jelas-jelas sudah mengkhianati ibu dan meninggalkan kita?" tanya Mario sambil menunjuk Riana.
"Mas, aku tidak tahu, apa aku bisa mempercayai ayah atau tidak. Bagiku semuanya telah berubah dengan sangat tiba-tiba, keluarga kita, kondisi di rumah," ujar Riana. "Aku tidak akan memaafkan ayah dan juga q yang membenarkan sikapnya. Sudah kukatakan padamu, jangan temui dia lagi! Anggap saja ayah kita sudah meninggal. Ingat itu, Ria!" kata Mario. "Sudahlah, jangan kasar seperti itu, Rio. Ini juga sangat berat dan sulit untuk Riana. Dengan keadaan ini dan semua yang telah terjadi, kalian tidak boleh saling menyalahkan. Kalian harus bersatu dan bangkit. Tunjukkan bahwa kalian kuat dan bisa bertahan," kata David. Mario terdiam, ia mengusap wajahnya dengan kasar. Semua perkataan David memang benar dan masuk dalam logikanya. "Benar, kita harus tunjukkan pada ayah, wanita itu, dan semua orang, kalau kita bisa hidup tanpa Ayah. Kita buat Ayah merasa menyesal atas keputusan yang telah ia ambil," ujar Mario. Beberapa saat mereka diam, tak saling berbicara lagi. Riana dan Mario berusaha menata hati dan pikiran mereka. Apalagi di hadapan ibu nanti, mereka harus berusaha menunjukkan ketegaran, dan bahwa semuanya baik-baik saja. "Mas, ayo kita pulang! Ibu pasti cemas menunggu kita," kata Riana."Iya, ayo kita pulang! Maafkan perkataan Mas tadi, ya," ucap Mario sambil mengusap rambut adiknya. Mario dan Riana mengucapkan terimakasih pada David, lalu pulang ke rumahnya. Sesampainya di rumah, mereka melihat ruang tamu sedikit berantakan. Ibu sedang mengeluarkan mesin jahit dan seluruh perlengkapannya. Dulu Mama Mario memang seorang penjahit profesional yang mempunyai cukup banyak pelanggan. Namun selama beberapa tahun Ibu Mario vakum, tidak menggunakan keterampilan menjahitnya, karena sibuk membantu bisnis ayah dan mengurus anak-anaknya. "Bu, ada apa ini?" tanya Riana sambil melihat ke sekelilingnya. "Eh, kalian baru pulang?" sambut ibu sambil tersenyum ceria. "Iya, maaf kami terlambat pulang, Bu. Tadi ada tugas kelompok. Kenapa Ibu mengeluarkan kembali alat-alat ini?" tanya Riana. "Ini, Ibu baru berpikir untuk kembali memulai usaha menjahit. Supaya Ibu bisa punya aktivitas dan tidak larut dalam kesedihan," jawab ibu. Mario terdiam, tidak langsung menanggapi perkataan mamanya itu. Mario berpikir, mungkin mamanya mulai memutar otak, untuk bisa membiayai sekolah mereka dan memenuhi kebutuhan hidup. "Apa Ibu yakin? Ria tidak mau Ibu terlalu lelah," kata Riana. Ibu tersenyum dan membelai wajah Riana dengan lembut. Ia menjawab, "Ibu bisa mengatur waktu, Sayang. Kalau lelah, pasti Ibu akan berhenti dan beristirahat," "Bu, apa kita sudah kehabisan uang? Bagaimana kalau Rio mencari pekerjaan paruh waktu untuk membantu Ibu?" tanya Mario. "Bukan seperti itu, Nak. Kalian tidak perlu ikut memusingkan masalah keuangan. Tugas kalian adalah belajar dengan rajin dan sungguh-sungguh. Ibu tidak mau kamu memaksakan diri untuk bekerja. Pasti nanti nilai-nilai kalian akan menurun karena terlalu lelah. Ingat itu!" kata ibu sambil menatap Mario. Mario menghela nafas panjang dan menundukkan kepala, ia menggerutu, "Seharusnya urusan kebutuhan kita dan biaya sekolah adalah kewajiban pria yang tidak bertanggung jawab itu! Entah apa yang membuatnya tega meninggalkan kita dan membuat kita terlantar seperti ini,""Nak, jangan berkata seperti itu! Bagaimanapun juga dia adalah ayah kandungmu," ujar ibu. "Apa Ibu bisa memaafkan dia? Terbuat dari apa hati Ibu? Kalau aku, seumur hidup aku tidak akan memaafkan dia!" seru Mario sambil melangkah cepat dan masuk ke dalam kamarnya. "Bu, kalau Ibu memang akan memulai kembali usaha ini, aku akan membantu Ibu. Bagaimana kalau kita melakukan promosi melalui media sosial?" usul Riana. "Wah, bagus juga, Sayang. Ini ada beberapa kain sisa dan masih cukup bagus. Ibu akan membuat beberapa model pakaian untukmu dan Rio. Nanti kita promosikan melalui akun media sosial. Bagaimana?" tanya ibu. "Iya, Bu. Nanti Riana juga ingin belajar menjahit, supaya Ria bisa membantu Ibu," jawab Riana. "Boleh, Sayang. Ibu senang kalau kamu mau belajar juga, tapi kamu harus mengutamakan tugas sekolahmu, oke?" kata ibu. Riana menganggukkan kepalanya dan tersenyum. "Kamu belum makan siang, kan? Makanlah! Ibu sudah memasak untuk kalian. Kamu langsung cuci tangan dan makan duluan, ya. Ibu akan memanggil Mario," ujar ibu. "Iya, Bu" jawab Riana. Ibu mengetuk pintu kamar Mario dan mengajaknya untuk makan siang. ---Ibu mulai menjahit pakaian untuk Riana. Keterampilan mama ternyata tidak luntur, walaupun sudah lama berhenti menjadi penjahit. Setelah pakaian itu jadi, Riana segera mencobanya. Mario membantu Riana membuat video dan merekamnya bergaya memamerkan pakaian yang ia kenakan. Beberapa pelanggan lama merasa senang setelah mengetahui bahwa ibu kembali aktif menerima jahitan. Jahitan yang rapi dan nyaman dipakai membuat pelanggan merasa puas dan turut mempromosikan jasa menjahit ibu. Dua minggu sejak mulai melakukan promosi, beberapa pelanggan baru dan lama mulai datang untuk menjahit pakaian. Tak jarang, ibu sampai harus menjahit sampai larut malam. "Ibu lelah?" kata Riana sambil meletakkan segelas teh manis di meja. "Ah, tidak koq. Ibu senang karena promosi kita berhasil. Dalam satu minggu kemarin, hasil menjahit Ibu cukup banyak. Terimakasih, Sayang," katanya. Riana memijat lembut bahu ibu dan berkata, "Yang penting, Ria tidak mau Ibu sampai sakit karena terlalu lelah," Ibu tersenyum dan memegang tangan Riana, "Iya, Sayang,""Bu, Ria mau mencoba belajar menjual buket bunga dan jajanan seperti ini," kata Riana sambil menunjukkan contoh foto di ponselnya. "Wah, bagus juga, Nak. Tidak ada salahnya mencoba," kata Ibu.---Riana mulai belajar merangkai buket bunga dan belajar dari internet. Setelah mampu membuatnya, Riana mulai menjual melalui media sosial. Beberapa teman sekolah Riana dan Mario mulai memesan buket itu. Mario membantu melakukan promosi di media sosial dan menawarkan pada teman-temannya. Mario juga membantu untuk mengantarkan jahitan atau buket bunga itu ke orang yang memesannya. "Bu, lihat ini, hasil penjualan buket bunga dan makananku selama satu minggu," kata Riana sambil menunjukkan lima lembar uang ratusan ribu rupiah. Ibu tersenyum dan membelai rambut Riana, lalu berkata, "Wah, lumayan, ya. Kamu hebat, Sayang,""Iya, Bu. Terimakasih. Semoga usaha kita ini lancar, ya Bu," kata Riana. "Amin, Nak," jawab ibu. Riana terus bersyukur, karena usahanya mulai membuahkan hasil. Riana dan Mario kini bisa menghasilkan uang, tidak perlu meminta uang saku pada ibu.Riana juga mulai belajar menjahit dari ibunya. Ia mulai membantu ibu melakukan pekerjaan yang ringan, seperti memasang kancing, menjahit jahitan sederhana dan bekerja sama melakukan pekerjaan rumah.Siang itu, Riana dan Mario tidak langsung pulang ke rumah. Riana harus membeli beberapa perlengkapan untuk pesanan buket makanan ringan. Riana senang mengerjakan semua pekerjaannya, walaupun keuntungan yang ia dapatkan belum seberapa jumlahnya. Setidaknya Riana merasa mempunyai aktivitas yang produktif, bisa sedikit meringankan beban mama, dan juga mengalihkan pikirannya dari persoalan yang sedang melanda keluarganya saat ini. Setelah mendapatkan semua barang yang diperlukan, Riana keluar dari toko dan membawa satu plastik besar. Mario memilih menunggu di tempat parkir karena tidak terlalu mengerti barang-barang yang harus dibeli. "Sudah?" tanya Mario ketika melihat Riana mendekat. "Iya, ayo pulang, Mas!" jawab Riana. Mereka kembali menempuh perjalanan pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, mereka terkejut melihat pemandangan yang tidak biasa terjadi. Ibu terbaring di sofa dengan wajah pucat dan memegangi perutnya. Riana terkejut, hingga tanpa sadar plastik yang dibawanya terjat
Hadi terpaku melihat istri dan anak-anaknya berdiri di hadapannya. Ada rasa bersalah dan berkecamuk di dalam hatinya, apalagi melihat wajah Hana, istrinya yang pucat dan sepertinya sedang tidak sehat. Hadi tidak dapat menahan diri untuk melangkah dan mendekat, walaupun Mario, anak lelakinya jelas menolaknya. Mario sudah memalingkan wajahnya, dan terlihat ingin segera membawa ibu dan adiknya pergi. "Hana, kamu sakit?" tanya Hadi sambil mengulurkan tangan untuk memeriksa dahi istrinya seperti yang biasa ia lakukan. "Jangan sentuh Ibu!" kali ini Riana yang berbicara dengan geram. Tatapan Riana menusuk tajam, sampai ke dalam sanubari, membuat Hadi tak mampu berkata apapun lagi. Tidak pernah sekalipun Riana, anak manja dan manis itu bersikap seperti itu pada ayahnya. Hadi menarik kembali tangannya, lalu menatap ibu dari anak-anaknya itu. "Ayo, Bu!" kata Mario sembari menggandeng tangan ibunya.Hadi hanya menghela nafas panjang, lalu menatap kepergian istri dan anak-anaknya dalam kebek
Riana melihat ibunya menahan tangis di sepanjang jalan yang mereka lalui. Riana memejamkan mata, bibirnya terasa kelu, tak mampu mengucap sepatah katapun. Mereka tiba di rumah, Riana membantu ibu turun dari mobil dan menuntunnya ke kamar. Sementara Mario langsung mengembalikan mobil itu ke rumah Om Dedy. "Ibu istirahat, ya. Aku mau memasak makan malam untuk kita," kata Riana. "Nanti saja, Nak. Duduklah dahulu di sini! Temani Ibu sebentar saja," ucap wanita yang sangat dicintai oleh Riana itu. Riana mengurungkan niatnya untuk meninggalkan ibunya, ia duduk di tepi tempat tidur. "Ibu pasti sangat sedih karena melihat ayah bersama dengan wanita itu," kata Riana. Ibu menghela nafas panjang, tak bisa dipungkiri hatinya berdenyut nyeri. "Sudahlah, Nak. Biar ayahmu menjalani pilihan hatinya," jawab ibu. "Apa Ibu tahu siapa wanita itu?" Riana tak dapat lagi menanyakan pada ibunya tentang hal itu. "Ibu tidak mengenal dia, yang Ibu tahu, dia adalah cinta pertama ayahmu," "Jadi Ibu suda
Riana sedang sibuk mengerjakan beberapa pesanan buket bunga dan cokelat. Ruang tamu, sampai kamar Riana dipenuhi beberapa buket yang sudah jadi dan yang masih dalam proses pembuatan. Pita, kain, bunga-bunga, dan hiasan bertebaran di sana-sini. Beruntungnya, ibu sudah mulai bekerja di ruko milik sahabatnya. Jika tidak, pasti keadaan rumah ini akan semakin berantakan dengan mesin jahit dan barang-barang ibu. "Wah, berantakan sekali," kata Mario sambil keluar dari dapur membawa sepiring pisang goreng. Riana mengerucutkan bibirnya, memegang tengkuknya yang pegal dan menatap Mario. "Mas ini komentar saja, bantuin donk," kata Riana. "Mau aku bantu apa? Aku tidak bisa membuat buket seperti itu. Nanti aku salah, kamu malah marah," jawab Mario dengan santai. "Ih, bilang saja Mas tidak mau membantu," cerutu Riana. Mario tertawa melihat ekspresi wajah Riana yang lucu saat sedang marah. Ia lalu menyodorkan sepotong pisang goreng ke mulut Riana.Riana yang semula terlihat kesal langsung ter
"Ria, David menunggu jawabanmu," kata Mario. "Eh, kamu harusnya pergi dulu, Rio. Biarkan kami bicara berdua," ujar David sambil melirik ke arah Mario. "Enak saja, itu sih maumu berdua saja dengan adikku," ujar Mario. David meringis mendengar perkataan sahabatnya itu. Sementara Riana hanya diam menatap dua pria di hadapannya. "Mas David, terimakasih untuk semua kebaikan Mas selama ini. Tapi jujur, apa yang Mas katakan tadi membuat aku sangat kaget," ucap Riana dengan wajah polosnya. "Aku tahu, Ria. Maaf kalau ini terlalu mendadak dan mengejutkan kamu," kata David. "Mas, aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu sekarang," ujar Riana. "Iya, aku siap menunggu dan memberi kamu waktu. Aku siap dengan apapun jawabanmu, setidaknya perasaanku sekarang cukup lega, karena aku sudah mengatakan semua padamu. Daripada aku hanya diam, memendam perasaanku, dan selalu merasa penasaran," jawab David sambil melirik Mario. "Apa sih? Kamu menyindir aku?" ujar Mario sambil melotot lucu. "Siapa yang me
Pagi itu, bel istirahat pertama sudah berbunyi. Mario memasukkan buku dan alat tulisnya ke dalam laci meja. Tak seperti biasanya, ia melihat David hanya termangu dan duduk di tempatnya. Mario berdiri dan menghampiri David yang duduk dua bangku di depannya. David memang lebih banyak diam dan terlihat sering memikirkan sesuatu. "Hei, tumben ga ke kantin?" tanya Mario. "Lagi malas saja, sudah sarapan juga tadi," jawab singkat David. "Lagi mikir apa sih? Aku perhatikan dari tadi kamu melamun terus," ujar Mario. "Ga ada masalah koq," jawabnya. "Pasti kamu masih memikirkan tentang jawaban Riana, iya kan?""Ah, kamu memang sahabat dan calon kakak iparku yang paling baik dan pengertian," ucap David sambil tersenyum. "Begitu saja galau. Kemarin katamu apapun jawaban dia kamu akan bisa terima, ga akan berubah sikap. Ini belum dijawab saja sudah seperti orang sakit gigi, galau, dan patah hati," ejek Mario. David menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal, ia menjawab Mario, "Bantu aku d
David mengakhiri panggilan telepon itu. Ia menatap Riana dan Mario yang spontan terdiam mendengar nama Sandra. "Vid, tantemu itu bernama Sandra?" tanya Mario. "Iya, aku tidak mengingat wajahnya, mungkin aku bertemu dengannya saat aku kecil. Tapi.. Nama Sandra itu banyak, kan? Aku yakin ini cuma kebetulan," jawab David. "Oh, iya. Mungkin cuma kebetulan, tidak mungkin tantemu itu wanita selingkuhan papaku," ujar Mario. "Sudahlah, jangan bahas itu! Kita kan mau senang-senang di sini. Lupakan sebentar masalah keluargamu, Rio," kata Cindy. Hari mulai gelap, dua pasang remaja itu harus segera kembali ke rumah. Saat berkumpul bersama orang yang dicintai dan sahabat tentunya membuat waktu terasa cepat berlalu. "Vid, kamu antar Cindy saja, ya. Aku pulang langsung sama Riana," kata Mario. "Yah, koq begitu?" ujar David dengan raut wajahnya kecewa. "Iya lah, rumah kalian kan searah. Aku dan Riana juga satu rumah. Jadi lebih efektif dan efisien buat kita semua. Kamu juga harus mengantar ma
Hari Minggu pagi itu, Riana menarik kembali selimutnya. Karena hari ini sekolah libur, ia ingin bangun lebih siang hari ini. Baru saja hampir terlelap kembali dalam mimpi, sebuah ketukan di pintu kamarnya terdengar. "Ria.. Kamu sudah bangun?" suara ibu terdengar dari balik pintu. Riana terpaksa membuka kembali matanya yang masih terasa berat. Malam tadi ia memang tidur agak larut. Namun kini ia tidak selalu mengalami kesulitan tidur karena memikirkan ayahnya. Saat belum mengantuk di malam hari, Riana biasanya mencari referensi desain buket di internet dan menyimpannya. Ia harus mengikuti perkembangan dan selalu berkreasi menghasilkan karya yang terbaik. Riana senang saat melihat pelanggannya merasa puas dengan hasil karyanya. Sebagai penjual, Riana bisa menerima contoh dari calon pembeli, atau memberi saran desain dari katalog yang ia sediakan. "Iya, Bu," jawab Riana. Ibu membuka pintu dan menggelengkan kepala melihat anak gadisnya masih ada di atas tempat tidurnya. "Ya ampun,
Cindy menatap Riana dengan bingung. Riana menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Ia berharap Mario akan kembali membuka hatinya untuk sang mantan kekasih. Cindy mengikuti langkah Mario menuju halaman belakang rumah itu. Di situ sepi dan hanya ada mereka berdua. Cindy dan Mario kini berdiri berhadapan dan saling memandang. Ada rasa yang berbeda saat mereka bertemu kembali setelah sekian lama berpisah. Sekarang semua rahasia dan kesalahpahaman di antara mereka juga sudah terungkap dengan jelas. "Ada apa, Rio?" Mata Cindy bergerak indah, dengan bibir merah alami yang mampu menggetarkan kembali hati Mario. "Mm... Akhirnya semua sudah jelas sekarang. Aku minta maaf karena sudah salah menilai kamu, Cin. Aku langsung pergi tanpa mendengar penjelasanmu," kata Mario. Cindy menghela nafas lega. Sebenarnya sudah lama ia menantikan saat seperti ini. Perpisahan dengan Mario membuatnya rapuh dan hancur, apalagi mereka berpisah saat rencana pernikahan sudah di depan mata. "Semuanya sudah berla
Wajah Sandra mulai berubah pucat. Rahasia yang ia simpan selama ini ternyata sudah terbongkar. Hadi dan keluarganya mempunyai lebih dari cukup bukti dan saksi yang akan membuat Sandra mendapatkan hukuman berat. Sebelum Mario dan David menaikkan Sandra ke dalam mobil, Sandra melihat pintu pagar rumahnya terbuka lebar. Semua karyawan dan penjaga tak berdaya untuk menolong Sandra, karena David juga menghubungi anak buahnya untuk datang dan berjaga di depan pintu gerbang. Tepat pada saat itu, Sandra yang tidak mau dibawa ke kantor polisi melihat satu kesempatan untuk melarikan diri. Ia berencana untuk melarikan diri dan memaksa salah satu anak buahnya yang ada di pintu gerbang untuk membawanya kabur. dengan sekuat tenaga Sandra memutar roda kursi rodanya. David dan Mario terkejut dan segera mengejar Sandra. "Hentikan dia!" David berteriak pada penjaga dan anak buahnya. Melihat beberapa pria bersiaga untuk menghalanginya, Sandra bergegas berbelok ke arah lain. Sandra hanya berpikir un
Mario dan keluarganya sampai di depan kediaman Sandra. Tentu saja mereka juga membawa serta Raka dan Mira. Raka dan Mira akan bersaksi bahwa mereka memang menerima perintah dari Sandra dan anak buahnya untuk menjalankan skenario yang ia buat. Pagar pintu rumah itu tertutup rapat. Tak ada yang menduga kalau seorang wanita yang cacat di dalam rumah itu bisa mengendalikan segala sesuatu sesuai dengan keinginannya. David dan Mario pun yakin, bahwa Raka dan Mira akan terkejut nantinya saat melihat kondisi Sandra yang sebenarnya. David turun lebih dulu dari mobil dan berbincang sejenak dengan penjaga rumah. David memang beberapa kali pernah datang ke rumah itu untuk mengantar mamanya, sehingga semua penjaga dan asisten rumah tangga sudah mengenalnya. "Apa Tante Sandra ada di rumah?" tanya David pada seorang pria bertubuh besar dan berkacamata. "Apa Mas David sudah punya janji?" tanya pria itu. "Saya keponakan Tante Sandra. Apa saya harus membuat janji untuk bertemu dengan tante saya se
"Masuk!" Seorang anak buah David mendorong Miranda alias Mira masuk ke rumah Mario. Wanita itu ingin menolak, tapi tentu tenaganya kalah besar jika dibandingkan dengan tiga orang pria bertubuh besar yang berada di dekatnya. Mario dan semua orang yang ada di dalam rumah pun keluar menemui Mira. "Miranda...." Mario menatap wanita itu, kini dengan rasa yang berbeda. Mira menundukkan kepalanya dan tidak mau menatap wajah Mario. Penampilan dan riasan wajah Mira kini jauh berbeda. Ia berdandan lebih menor dan menjadi dirinya sendiri. Sikap dan gayanya juga terkesan lebih angkuh daripada Miranda yang biasa dikenal oleh Mario. Setelah beberapa saat menghindar dari pandangan mata mantan kekasih palsunya, Mira akhirnya memberanikan diri menatap mata Mario. Semua bisa melihat rasa kesal dan kemarahan Mario saat itu. "Jadi selama ini kamu hanya berpura-pura menjadi kekasihku?" tanya Mario. "Rio, sebaiknya kita bicara di dalam. Gak enak dilihat dan didengar orang lain." Hana mengingatkan Mar
"Aku sama sekali gak tahu identitasnya, Rio. Aku hanya mengenalnya sebagai Tante Jelita. Saat aku mendengar suaranya, sepertinya dia wanita yang tegas. Dia juga punya anak buah dan bisa mengatur segala sesuatu sesuai dengan keinginan hatinya," kata Raka. "Kenapa semuanya serba kebetulan seperti ini? Apa wanita itu ada hubungannya dengan Miranda? Kenapa sepertinya orang itu punya rencana untuk menghancurkan hidupku dan hubunganku dengan Cindy?" tanya Mario. "Benar, Mas. Sepertinya rencana ini sudah diatur dengan rapi oleh seseorang," kata Riana. "Siapa orang yang bisa berbuat setega itu?" tanya Cindy. "Hanya satu orang yang bisa berbuat seperti itu." Mario menatap ibu dan ayahnya. "Apa mungkin ini rencana Tante Sandra? Tapi itu gak mungkin, kan?" kata Riana. "Aku juga punya kecurigaan yang sama, Ria. Seumur hidupku, aku hanya menemukan satu orang yang begitu berambisi menghancurkan kehidupan orang lain," ujar Mario. "Tapi Sandra sekarang sakit, Nak. Dia bukan lagi Sandra yang da
"Tolong tunggu sebentar, Tante! Saya datang untuk menjelaskan semuanya." Cindy memegang tangan Hana dengan erat. "Menjelaskan tentang apa? Bukankah semuanya sudah jelas? Kalian sudah resmi menikah, kan? Tolong jangan usik Mario lagi! Saat ini dia sedang dalam kondisi yang gak baik," kata Hana. Mendengar keributan di depan, Riana keluar dari kamarnya. Ia segera mendekat ketika melihat kedatangan Cindy."Bu, jangan marah dulu! Mbak Cindy juga batal menikah, Bu," kata Riana. "Apa?! Kenapa?" Suara Hana mulai melunak saat mendengar cerita Riana. Riana memang belum sempat menceritakan apa yang ia ketahui dari Cindy, karena ia ingin Cindy yang menceritakan sendiri pada Mario dan orang tuanya. "Bu, biarkan mereka masuk dulu! Mereka pasti baru saja sampai. Aku akan membuat minuman dan memanggil Mas Rio. Mbak Cindy akan menceritakan semuanya pada kita," kata Riana. Hana akhirnya mengijinkan Cindy dan Raka masuk ke dalam rumah. Cindy dan Raka duduk di sofa, sementara Riana membuatkan minuma
Hari yang dinantikan oleh Cindy akhirnya tiba. Pagi itu ia sudah ada di bandara dan menunggu Raka. Mereka akan pergi menemui Mario untuk menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi. Cindy memakai kaus kasual dan celana panjang berwarna hitam. Ia memakai kacamata hitam dan membawa sebuah tas koper. Ia juga akan pulang ke rumah orang tuanya dan tinggal beberapa hari di sana. Cindy duduk di bangku yang tersedia di luar bandara. Di tangannya ia menggenggam ponsel dan terus memantau keberadaan Raka. Cindy cukup tenang ketika Raka memberi tahu bahwa ia sudah ada cukup dekat dengan lokasi bandara. Beberapa menit kemudian, Raka datang menghampiri Cindy. Ia membawa tas ransel di punggungnya dan tersenyum ramah. "Maaf lama menunggu, tadi jalanan macet," kata Raka. "Gak apa-apa, Mas. Aku juga belum lama sampai di sini. Ayo kita masuk!" ajak Cindy. Bagi Raka, perjalanan ini juga sangat penting. Ia cukup puas akan menghabiskan waktu bersama dengan Cindy. Hal yang membuatnya semakin senang adalah
Seorang pria berjaket tebal dan berkacamata hitam berhenti sejenak di depan ruang perawatan Raka. Setelah mengintip sejenak dari celah tirai jendela yang terbuka, ia melangkah pergi ke sudut rumah sakit yang sepi. Setelah merasa cukup aman dan tidak ada yang akan mendengar ucapannya, ia mengeluarkan ponsel dari sakunya. "Halo, Nyonya. Saya sudah berhasil melaksanakan tugas dari Nyonya," katanya. "Oh ya? Bagaimana hasilnya?" tanya Sandra dari ujung telepon. "Lukanya cukup serius, dia dirawat di rumah sakit. Tolong kirim uang yang Nyonya janjikan sekarang, karena saya harus segera kabur dari kota ini sebelum ada yang curiga," bisik pria itu. Matanya tetap lincah mengawasi keadaan di sekitarnya. "Saya harus mengetahui kondisi Raka yang sebenarnya. Kenapa dia gak m4ti saja?" tanya Sandra. "Nyonya hanya memberi perintah untuk membuat dia mengalami kecelakaan. Saya sudah melakukan tepat seperti yang Nyonya perintahkan," jawab pria itu. "Kirimkan dahulu foto-foto Raka sebagai bukti! S
"Terimakasih banyak, Nak Cindy. Kami janji akan membayarnya segera," ucap Bapak Raka sambil menangis haru. Cindy tersenyum tipis, ia tidak dapat menahan diri untuk menolong Raka, walaupun itu berarti harus mengorbankan uang tabungannya. Cindy juga sadar, mungkin rencananya untuk menemui Mario akan tertunda sampai kondisi Raka pulih. Jika Cindy memaksa menemui Mario saat ini, mungkin Mario akan menolak dan meragukan keterangannya. Bagaimanapun juga, ia membutuhkan keterangan dan pengakuan dari Raka tentang kejadian yang sebenarnya. Kedua orang tua Raka segera masuk ke ruangan IGD, sementara Cindy menuju bagian administrasi. Ia mengisi formulir rawat inap pasien dan memberikan sejumlah uang deposit. Pihak rumah sakit akan segera memindahkan Raka ke ruang perawatan. Setelah menyelesaikan semua proses yang diperlukan, Cindy segera menyusul ke ruang perawatan Raka. Ia berjalan perlahan dan menunggu di depan pintu, karena Raka sedang berbicara dengan kedua orang tuanya. "Nak, syukurlah