"Itu ...."Sebelum Eve melanjutkan kalimatnya, bel apartemen Lean tiba-tiba berbunyi."Itu pasti Edward," tukas Lean yang segera beranjak dari sofa untuk membukakan pintu buat kekasihnya yang telah memiliki janji dengannya hari ini.Eve juga ikut beranjak dari sofa dan bergegas menghampiri Lean yang sedang mengintip di lubang kecil yang terdapat pada daun pintu. Usai memastikan siapa yang telah memencet bel rumahnya, perlahan Lean memalingkan wajahnya ke arah Eve dan menatap saudarinya itu dengan kening berkernyit."Siapa?" tanya Eve, menatap sang adik dengan wajah curiga."Edward," sahut Lean singkat, "Tapi dia bersama ...." Kalimatnya sontak terpotong oleh gerakan Eve yang tanpa ia duga langsung membuka pintu. "Tuan Luis," lanjutnya kemudian ketika ia melihat Eve telah berubah menjadi patung batu sesaat setelah pintu terbuka.Glukk ...!Dengan susah Eve memaksakan menelan ludah yang tersangkut di batang tenggorokannya sambil menatap lurus ke depan. Ke arah pria paruh baya berwajah
"Mengapa kau meninggalkanku bersama ayahmu pagi ini?" tanya Luis pada Eve, di dalam mobil yang sedang ia kendarai menuju bandara.Eve yang saat ini tengah duduk di samping atasannya itu hanya tersenyum kikuk menerima pertanyaan tersebut."Itu karena Lean," tukasnya cepat. "Dia ... menghubungiku pagi ini dan berkata akan pergi untuk melakukan pemeriksaan lanjutan. Suaranya terdengar cemas, jadi aku ....""Apa benar karena adikmu?" Luis melirik Eve melalui sudut matanya. Ia tahu kalau Eve sedang berbohong padanya karena ia telah mengenal asistennya itu dengan baik. Bahkan ia mengetahui gerakan yang biasa Eve lakukan ketika asistennya itu sedang berbohong.Seperti saat ini, Eve menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinganya sebelum wanita itu berbicara padanya. Tetapi, Luis tidak ingin mengatakan apa yang ada di dalam pikirannya. Ia tidak ingin Eve merasa sungkan terhadapnya."Itu benar, Tuan Luis." Eve menganggukkan kepalanya."Bukan karena kau sedang menghindariku?""Aku?" tunjuk Ev
Sesaat, Lean menarik nafas panjang sebelum ia menjawab pertanyaan Edward itu."Aku memang berharap memiliki dua atau tiga anak bersama pria yang kucintai," ujarnya sambil menerawang, menatap kaca depan mobil dengan pikiran yang entah berada di mana. "Namun, aku juga tidak ingin melahirkan mereka sekaligus dalam satu waktu." Ia lalu menoleh ke arah Edward, "Aku ingin memiliki lebih banyak waktu untuk mengenalmu sebelum aku disibukkan dengan tugas merawat anak-anak nantinya."Edward tersenyum mendengar penjelasan dari kekasihnya itu, ia bahkan menarik tengkuk Lean mendekat dan melabuhkan satu kecupan di kening kekasihnya itu."Tidak ada gen kembar di dalam keluargaku, tetapi jika Tuhan memberikan bayi kembar kepada kita berdua— aku akan sangat senang untuk bermain bersama mereka," bisiknya pada Lean."Jadi ...." Lean menengadah menatap Edward yang baru saja mengangkat wajahnya, memberi jarak di antara wajahnya juga wajah kekasihnya itu. "Apa itu artinya ....""Bayimu tidak akan bertamba
"Aku tahu saja." Edward lalu memanggil pelayan resto dan menunjuk pada beberapa desert yang terlihat menyegarkan. Ia memesan semua desert itu tanpa mengacuhkan rasa penasaran yang tergambar di wajah Lean saat ini."Aku sudah mencatat semua pesanan Anda, Tuan Edward. Mari!" pelayan yang Edward ajak bicara itu kemudian membawa Edward dan Lean ke sebuah meja di samping jendela kaca dengan view jalanan di luar sana.Setelah membiarkan Edward dan Lean menempati meja itu, pelayan itu pun pergi untuk mengambil semua yang telah Edward pesan padanya."Banyak pria yang tidak pernah mau berusaha mengerti apa yang diinginkan oleh wanitanya, tetapi kau ...." celetuk Lean, sengaja menggantung kalimatnya sambil menatap lurus ke arah sang kekasih. "Seakan tahu apa saja yang aku inginkan. Kau ... tidak seperti pria yang baru pertama kali memiliki seorang kekasih," tambahnya."Aku tidak ingin membahasnya, Sayang," tukas Edward, lalu memalingkan wajahnya. Mencoba menghindari tatapan Lean. Membuat Lean s
Di lobby sebuah rumah sakit ternama, tampak Ernest, Rosalia, dan Oliver yang baru saja tiba disambut oleh Carlisle di depan sebuah ruang rawat inap."Kalian kembali?" tanya Charlisle dengan wajah muram, ekspresinya menunjukkan bahwa ia sangat kelelahan. Namun ada semangat di binar matanya yang membuat Carlisle terus bertahan di rumah sakit ini sejak semalam."Di mana Kakak Ipar?" Ernest balik bertanya sembari memperhatikan saudara lelakinya.Carlisle menunjuk ke arah kursi tunggu, memberi isyarat pada sang adik agar duduk terlebih dahulu sebelum ia menjawab pertanyaan dari adiknya itu.Ernest mengikuti permintaan sang kakak, sedangkan Rosalia dan Oliver berpamitan untuk melihat kondisi Edward yang langsung diangguki oleh Ernest dan Carlisle secara bersama-sama.Memasuki ruang rawat inap di mana Edward sedang ditempatkan saat ini, Rosalia langsung melemparkan pandangannya ke sosok pria yang berada di atas ranjang dengan beberapa selang terlihat berseliweran sebagai pendukung kehidupan
Hingga jam makan siang tiba, Lean terus berpikir bahkan di tengah-tengah pekerjaannya. Dan semakin ia berpikir hatinya justru semakin terasa tidak nyaman. Satu lagi, walau ia tahu sikap Edward yang sering mencoba menghindar darinya seperti yang pernah dilakukan oleh kekasihnya itu sebelumnya— namun entah mengapa kali ini kepergian Edward yang terlalu tiba-tiba malah terasa janggal baginya."Tidak bisa! Anton pasti sedang menyembunyikan sesuatu dariku." Lean sangat yakin akan dugaannya itu, meski ada setitik keraguan yang sedang mengombang-ambingkan pikirannya saat ini.Moodnya yang turun naik juga membuat Lean terkadang meragukan bisikan hatinya dan mengenyampingkan celetukan otaknya. "Tadi pagi, sepertinya aku mendengar gosip para karyawan tentang Edward. Tapi mereka semua tidak menyukaiku, lalu bagaimana caranya agar aku bisa mengorek informasi dari mereka?" Lean menggigit bibirnya dengan resah.Tak lama, satu ide pun muncul di otaknya. Lean segera beranjak dari kursi kerjanya unt
Di dalam kamar tempat Leon menginap, Eve saat ini tengah menatap ayahnya dengan penuh kemarahan."Aku mengerti apa alasan Tuan Carlisle dan Nyonya Charlotte meminta kita untuk menyembunyikan keadaan Tuan Edward dari Lean, tapi apakah Ayah menyadari apa yang sedang Lean rasakan sekarang? Dia terdengar cemas ketika dia menghubungiku pagi ini, dan aku terpaksa berbohong padanya gara-gara Ayah!" pekik Eve histeris.Leon yang tengah duduk di sofa, tergugu mendengar teriakan dari putri tertuanya itu. Tidak tahu harus bagaimana menanggapi kata-kata protes yang baru saja dilontarkan Eve padanya.Di satu sisi, ia sebenarnya tidak ingin Lean mengalami shock setelah mendengar kabar tentang penembakan Edward dan tentang keadaan calon menantunya itu yang hingga saat ini belum juga tersadar. Padahal, pernikahan putri bungsunya itu dan juga Edward akan segera diselenggarakan sebentar lagi. Undangan pernikahan bahkan telah dicetak dalam jumlah besar oleh Charlotte, begitu juga dengan gaun pernikahan
"Nyonya Charlotte?" sambil menyetir dan sesekali memperhatikan Lean yang tengah pingsan di kursi yang berada di sampingnya, Anton pun menghubungi Charlotte."Anton? Apa itu kau?"Samar-samar Anton mendengar suara lain di belakang suara Charlotte, seakan wanita paruh baya itu saat ini sedang berada di dalam mobil dan akan pergi ke suatu tempat."Benar, ini aku Nyonya. Nona Lean Marquise, dia ....""Lean? Apa yang terjadi pada Lean? Apakah dia telah mengetahui tentang penembakan yang terjadi pada Edward?" suara di seberang terdengar khawatir, membuat Anton hanya bisa menghela nafas."Ini salahku, Nyonya Charlotte. Seharusnya aku mengawasinya dengan baik hari ini, tetapi aku ... maksudku ... Nona Lean tadi dia ingin ke toilet sebentar sebelum aku membawanya untuk makan siang. Dan di sana dia ...."Sambungan telepon mendadak menjadi hening, Anton bahkan bisa membayangkan apa yang sedang terjadi pada Charlotte di seberang sana.Tak lama, suara helaan nafas samar menyapa indera pendengarann
Sesaat berselang, kecemasan mulai mengisi ruang persalinan. Dokter Nora dan para perawat serta satu Dokter yang menemaninya— tampak sibuk berusaha mengembalikan tanda vital Lean. Tak jauh dari para medis itu, Edward hanya bisa termangu sembari mendekap putra mungilnya. Tatapan matanya yang berkabut terus memperhatikan wajah Lean yang terlihat semakin pucat."Oh, Sayang. Kumohon, jangan tinggalkan kami," bisiknya lirih. Kelopak matanya terasa semakin panas, dan Edward bisa merasakan kalau matanya perlahan-lahan telah mulai berair. Sebelumnya, ia pernah merasakan kehilangan seorang wanita, namun rasanya tidak sesakit apa yang Edward rasakan sekarang.Setelah puluhan menit berlalu dalam ketegangan, tiba-tiba Edward melihat Dokter Nora melemparkan pandangan ke arahnya. Raut wajah wanita itu tampak tegang dan ragu."Jangan katakan!" Edward menggeleng keras, sama sekali tidak ingin mendengar berita buruk yang ingin Dokter Nora sampaikan padanya. "Tuan Edward ... maaf, kami sudah berusaha
Sebelum ia pergi menemui Lean di ruang rawat inap, Edward menarik napas dalam-dalam terlebih dahulu. Baru kemudian memberanikan diri untuk menemui istrinya itu. Sementara Anton menunggunya di luar ruangan. Semula, Edward ingin membawa serta Dokter Nora bersamanya, tetapi menurut Eve— sebaiknya ia menemui Lean sendiri terlebih dahulu. Ketika Edward berada di dalam ruang rawat inap yang Lean tempati, aroma desinfektan yang bercampur pewangi ruangan langsung menyambutnya. Tetapi Edward mengacuhkannya dan justru menatap lurus ke arah sesosok tubuh ringkih yang sedang tertidur di atas ranjang. Edward mendekati ranjang tersebut sambil memberi isyarat pada perawat jaga yang ada di dalam ruangan itu agar tidak mengejutkan istrinya. Perawat itu mengangguk pada Edward dan segera pergi meninggalkan ruangan demi memberi waktu pada Edward. Ia telah melihat pria ini sebelumnya di luar saat Edward berbicara sangat serius pada Eve, karena itu ia membiarkan saja Edward yang kemungkinan adalah suam
Malam masih menyelimuti vilanya, dan suara ombak bergema di telinga Edward, membuat hatinya merasa sedikit lebih tenang. Namun, ketenangan itu segera pudar ketika pikirannya terfokus pada Lean. Rasa cemas terasa mengungkungnya juga tekad yang baru mulai tumbuh dalam dirinya. Tidak ingin terlarut dalam perasaan itu, Edward segera menghubungi Ben. Dan setelah beberapa saat ... “Selamat malam, Tuan Edward. Ben di sini.” Suara Ben yang datar mulai terdengar dari seberang panggilan.“Ben, ada yang ingin kukatakan padamu.” Sebelum melanjutkan kalimatnya, Edward membenarkan posisi duduknya terlebih dahulu. Samar-samar suara gemuruh ombak yang terdengar dari kejauhan, menyapa indera pendengarannya.“Ada apa, Tuan Edward? Apakah ada yang bisa kubantu?” tanya Ben, nada suaranya penuh perhatian.“Begini. Dalam dua hari ke depan, aku ingin pergi ke Zurich. Kau pasti sudah mendengar kalau istriku telah kembali ke kota kelahirannya, 'kan?”“Tuan Ernest baru saja menghubungiku tentang rencana An
Sore hari, pulang dari Gail Mart, Edward meminta pada Anton untuk pergi ke mansion milik kedua orang tuanya. Ada sesuatu yang ingin ia tanyakan pada ayahnya.Dalam perjalanan, dari kursi belakang sedan ia memperhatikan Anton dengan wajah serius. Membuat Anton yang tanpa sengaja melirik kaca spion mobil sontak terkejut."Ada apa, Tuan? Apakah ada sesuatu yang ingin Tuan katakan padaku?" celetuk Anton.Edward mengangguk pelan, "Apa Rosi sudah kembali ke mansion Paman?" tanyanya. "Sudah, Tuan Edward. Nyonya Rosi langsung pulang malam harinya ketika Tuan Ernest datang untuk menjemputnya. Oh ya, Tuan. Hari ini Tuan Ernest juga menghubungiku. Maaf aku lupa memberi tahu Anda. Kata Tuan Ernest, Tuan Ernest mengenal seorang Dokter yang hebat saat berada di Dubai. Dokter itu adalah Dokter keluarga milik Kolega Tuan. Tuan Ernest ada meninggalkan nomor teleponnya padaku, aku sudah menghubungi Dokter itu, Tuan. Dia memiliki cara untuk menyelamatkan Nyonya Lean dan juga bayinya, hanya saja ...." A
Senyum Brad sontak memudar, “Aku hanya ingin kau tahu kalau kau bisa mengandalkanku jika kau membutuhkan sesuatu, tidak lebih. Seperti yang kau katakan tadi, kita sudah berpisah, tetapi apakah aku tidak boleh peduli padamu?”Lean hampir membuka mulut untuk membalas ucapan Brad itu, namun dengan cepat Eve menyentuh tangan Lean lalu menggelengkan kepalanya pada adiknya itu. Setelah itu, ia menoleh pada Brad. “Kau lihat, bukan? Kau tidak seharusnya berada di sini, Brad. Lean sedang dalam keadaan yang sangat rentan. Keberadaanmu justru memperburuk situasi,” cetusnya emosi. Lean merasakan ketegangan yang terus meningkat antara kakaknya dan Brad. Naluri melindungi Eve membuatnya merasa sedikit tertekan, tetapi di sisi lain, ia juga merasa bahwa hanya dirinya yang dapat menentukan keputusan untuk dirinya sendiri.“Eve, tolong! Aku bisa mengurus diriku sendiri,” kata Lean dengan suara yang masih bergetar. Ia kemudian berpaling pada Brad. "Brad, aku menghargai niat baikmu. Tapi seperti yang
Keberangkatan Lean ke Zurich mengubah banyak hal. Sejak Lean memutuskan pergi, rasa cemas dan gelisah tidak pernah lepas dari pikiran Edward. Meskipun ia berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya, benak dan hatinya selalu terikat pada sang istri dan kesehatan istrinya itu. Di sisi lain, Lean kini berada di rumah sakit Zurich, berharap ia bisa menemukan cara untuk menjaga bayinya agar tetap aman sekaligus memikirkan dirinya sendiri.Di kota kelahirannya, hari-hari awal Lean dipenuhi dengan rangkaian perawatan medis yang melelahkan. Eve, yang kini telah bahagia dengan kehidupan barunya sebagai istri Luis, berusaha untuk mendampingi sang adik semaksimal mungkin. Ia sering merasa tidak nyaman kala menemukan Lean yang tampak stres dan juga ketakutan menghadapi hal yang tidak pasti. Setiap hari, Eve mencoba mengajak Lean untuk berbincang, berbagi cerita dan memperkuat semangat satu sama lain meski di tengah rasa cemas yang selalu hadir menemani mereka.“Aku tidak tahu bagaimana melakuk
Lean kemudian diam dalam keheningan, mengabaikan tatapan cemas Edward dan juga Leon. Suara bising dari alat medis di ruangan itu seolah mengingatkannya bahwa waktu terus berjalan, sementara ketegangan di antara mereka semakin mencekam. Tangan Lean masih terjepit dalam genggaman Edward, dan rasanya seperti dunia di sekitarnya perlahan menghilang. "Sayang?" Edward mencoba lagi dengan lembut, tetapi Lean sudah menatap keluar jendela, menghindari tatapan matanya. Di dalam hatinya, Lean merasakan pertempuran yang tak berujung. Selama ini ia berusaha dengan sangat keras untuk selalu kuat menghadapi apapun, tetapi saat ini, Lean merasakan ada sesuatu yang menggerogoti keputusannya. Ia bukan hanya menghadapi penyakitnya sendiri, tetapi juga risiko yang bisa merenggut nyawa bayi yang ia cintai."Edward, aku perlu waktu." Akhirnya Lean angkat berbicara. Suaranya terdengar lemah, namun digerakan oleh tekad yang kuat."Sayang, aku hanya ingin kau baik-baik saja." Edward menjelaskan kembali, tet
"Maaf, Nak. Tidak ada yang bisa aku lakukan pada Ibunya ketika dia memaksa untuk melahirkan Lean hingga akhirnya kematian merenggutnya dari kehidupan kami," terang Leon dengan wajah lesu ketika satu jam kemudian ia datang ke rumah sakit setelah Edward menghubunginya tentang kondisi Lean. Edward memperhatikan wajah ayah mertuanya itu yang tampak murung. Sebelumnya, ia pernah berpikir bahwa Leon adalah seorang ayah yang sedikit egois dan pilih kasih terhadap Lean. Namun setelah Leon menjelaskan alasan dari sikapnya selama ini terhadap putrinya itu, Edward baru mengerti jika sebenarnya Leon sedang melindungi Lean dengan caranya sendiri. "Aku ingin dia memiliki seseorang yang sangat peduli padanya. Jadi ketika Tuan Besar meminta Lean untuk menjadi calon istrimu— aku langsung menyetujuinya. Eve pernah bertengkar denganku gara-gara keputusanku itu. Tapi mendengar gosip tentangmu yang beredar di Zurich bahwa kau hanya menyukai satu wanita sepanjang hidupmu, aku pikir kau bisa menyayangi Le
Wilhelm kemudian menjauhi Edward, ia menghubungi seseorang dan berbicara dengan wajah serius. Dari tempatnya berdiri, Edward terus memperhatikan sahabatnya itu. Setelah 15 menit berlalu, Wilhelm tampak memutuskan panggilan telepon dan kembali menghampiri dirinya. "Aku sudah bertanya pada sahabatku yang berada di luar negeri, aku telah memintanya untuk memeriksa apakah keluarganya mengenal seorang Dokter yang sangat berpengalaman tentang masalah kehamilan?" terang Wilhelm. Edward hanya diam, berusaha menanggapi ucapan sahabatnya tadi dengan senyuman yang terasa getir. "Ini akan butuh waktu, sebaiknya aku menemani Lean terlebih dahulu sambil menunggu kabar darimu," ujarnya. Wilhelm mengangguk setuju. "Itu yang sedang kupikirkan. Temanilah dia! Aku tidak ingin lagi melihatnya tampak tertekan seperti beberapa jam yang lalu." Ia lagi-lagi menepuk pundak Edward untuk menunjukkan dukungannya terhadap sahabatnya itu. "Terima kasih, Will." Edward kemudian bergegas pergi usai ia berbicara