"Dia, kenapa kamu enggak cerita sama Ibu? Kalau gini caranya, Ibu yang akan jagain kamu di rumah ini. Ibu enggak mau kamu kenapa-kenapa saat suami kamu kerja," ucap lirih disertai air mata mengalir di kedua pipi tua itu. Halimah mengusap wajahnya saat ia sudah duduk di tepi ranjang putrinya. Ia menatap iba pada Diandra yang terlihat menyandar dipan. Begitu malang nasibnya sejak memutuskan untuk menikah sampai menikah kedua kalinya pun, ujian berat terus menghantam. Perutnya sudah besar, sekitar tiga bulan lagi jadwal melahirkannya. "Ibu enggak usah sedih. Dia baik-baik aja, kok. Untungnya enggak apa-apa. Calon anak kami selamat, Buk." Dia membalas dengan lemah. Suaranya terdengar sangat pelan karena menahan tendangan dari dalam. "Gimana enggak sedih, kamu lemes gini. Ibu suapin makan buah, ya!" Tanpa menunggu persetujuan dari anaknya, Halimah langsung mengupas buah jeruk untuk Diandra. Pagi tadi, setelah sampai di rumah, Zayyan kembali keluar untuk menjemput mertuanya. Ia ingin D
Pagi itu, Zayyan sibuk dengan ponselnya. Sampai-sampai, ia tak tahu jika sang istri sudah masuk ke dalam kamar. Diandra tampak menatap suaminya yang duduk belum mengenakan kemeja kerjanya. Wanita berbadan dua itu lantas pergi ke dekat kemari. Ia meraih kemeja putih yang tergantung pada gagang kemarin. Kemudian setelah itu, Dia mendekat. "Abang, pakai bajunya!""Eh, iya, Sayang. Maaf, ya. Aku lagi balas pesan Hendra." Zayyan berdiri, menerima bantuan dari istrinya yang memakaikan kemeja."Memangnya kenapa dengan dia? Apa ada masalah di kantor, Bang?" Terlihat gurat khawatir di wajah Diandra. Dadanya berdegup kencang saat tahu suaminya ada masalah. "Bukan masalah kantor, Sayang. Tapi ... kabar dari Hendra ini sungguh mengejutkan sekali. Dia melihat Hani dan seorang pria bertengkar di hotel. Terus, sekarang Hendra sedang mengejarnya. Aku suruh dia ikutin Hani." "Hani? Ya Allah, semoga dia baik-baik saja. Aku khawatir sekali dengan dia. Dia udah banyak baik sama aku, Bang." "Tapi, den
"Aku enggak nyangka semua itu ada hubungannya sama Mas Dani. Hani ... kenapa bisa?" Diandra menggeleng kepala sambil menutup wajahnya. Merasa hidupnya tak akan tenang selama Dani masih selalu mengganggu. Sentuhan lembut mendarat pada pundak Diandra. Zayyan mendekat seraya membisik, "Sabar, ya! Aku akan selalu ada untuk kamu, Sayang. Doakan aku agar berumur panjang. Agar bisa menua bersamamu."Diandra langsung mendongak, menatap mata nanar suaminya. "Makasih, Abang. Aku tidak pernah bertemu dengan orang sebaik Abang. Maaf jika selama menjalin pernikahan denganku, hidup Abang jadi enggak pernah tenang. Ada aja cobaan.""Enggak, Sayang. Semua ini sudah takdir. Kita tunggu giliran masuk ke dalam."Diandra mengangguk. Mereka berdua sedang duduk di depan ruangan rawat Hani. Detik berjalan, mereka menunggu dokter keluar dari sana. Ketika dokter keluar, Diandra dan zayyan segera berdiri. Mereka bertanya soal keadaan Hani. "Gimana, Dok? Apakah teman kami baik-baik saja?" tanya Dia dengan waj
Tiga bulan setelah huru hara yang menimpa Diandra dan Zayyan, mereka berdua hidup tenang. Sampai detik ini, saat kandungan wanita itu menginjak usia sembilan bulan. Hati dan pikiran mulai tak sabar menanti kehadiran sang buah hati. Wajah Diandra terlihat gugup saat menghadapi ranjang persalinan. Tangannya menggenggam erat tangan sang suami. Zayyan terus membisikkan kalimat dzikir pada istrinya yang mulai merasakan sakit yang luar biasa."Sayang, kamu pasti kuat. Pasrah kan saja, ikuti apa kata dokter!" Zayyan memberikan kecupan hangat pada kening istrinya yang bercucuran keringat. "Abang ...." Diandra mulai mengejan. Dokter terus memberikan hitungan agar bayi juga keluar dengan selamat. "Tarik napas, Sayang!" Zayyan yang melihat perjuangan seorang ibu untuk kali pertama itu malah ikut mengajan. Rasanya spontan ia melakukannya. Satu jam berada di ruang persalinan, akhirnya mereka mendengar suara tangisan bayi juga. Air mata berlinang mendengar suara mungil yang menggema seisi ruang
Suara tangis di tengah malam membuat Zayyan terbangun. Lelaki itu menyalakan lampu utama setelah berdiri. Ternyata, Diandra sudah bangun sambil menyusui putrinya. Dia terlihat terkantuk-kantuk dengan punggung menyandar dipan. Zayyan tak tega melihatnya. "Sayang, maaf. Aku ketiduran." Zayyan duduk di pinggir ranjang dekat istrinya. Diandra belum menjawab karena ia sangat mengantuk. Bayi mungil itu ia letakkan di atas bantal, sambil terus menyesap asi. Zayyan mengusap wajah istrinya hingga Diandra tersadar lagi. Mereka sama-sama saling mengulas senyuman. Mereka beralih pada bayi kecil itu. "Aku buatkan minuman hangat, ya. Biar enakan." "Enggak usah, Mas. Malam ini aku agak gerah. Air putih biasa aja segelas," balas Diandra. "Oke, Sayang. Aku akan ambilkan, tunggu, ya!" Dia membalas lagi dengan senyuman. Ia menatap punggung kekar itu sampai keluar dari pintu kamar. Setelah putri kecilnya tertidur lagi, Diandra segera meletakkan bayinya di dalam keranjang tidur lagi lalu merapikan p
"Dia, Mbak pinjam uang boleh? Masmu lagi banyak pengeluaran bulan ini. Aku enggak enak minta lagi sama dia. Kamu tau sendiri, anak aku sekarang tambah gede, popok juga tambah ukuran. Sebagai sesama perempuan, jamu pasti paham tentang kebutuhan rumah tangga." Mega duduk menatap iparnya dengan wajah melas. Diandra terdiam sesaat. Ia tahu, kakaknya tak mungkin menelantarkan nafkah anak istrinya. Terlebih saat ini Imran tengah dirundung kebahagiaan karena putra yang mereka nantikan setelah bertahun-tahun, akhirnya lahir juga. "Gimana, Dia? Kenapa kamu diam saja?" Mega terus mendesak iparnya itu agar mau memberikan sedikit pinjaman uang padanya. "Memangnya ... Mbak butuh berapa?" tanya Diandra. Kali ini ia langsung saja. "10 juta ada enggak? Kamu pasti enggak keberatan karena yang segitu untuk istri seorang Zayyan, direktur perusahaan ternama enggak seberapa, kan?"Sebenarnya, Diandra cukup terkejut. Ia khawatir bukan karena takut tak kembali itu uang pinjaman iparnya, tetapi tak enak
"Ya aku kasih, Buk. Orang dianya maksa. Diandra enggak tega juga. Katanya lagi ada masalah ekonomi sama Mas Imran. Ya gitulah pokoknya bahasanya. Intinya minjem dulu 10 juta, buat kebutuhan dia sama anak."Halimah mengurut dadanya. Wanita tua itu menghela napas berat. Ia langsung berdecak sambil memijat keningnya yang mendadak pusing. Diandra yang tak tahu apa-apa pun lantas bertanya, "Buk, kenapa? Ibu sakit kepala?" Dia ikut duduk di sebelah ibunya. "Dia ... kamu tau enggak, Masmu itu memang sekarang lagi ngusahain cari usaha sampingan. Karena apa? Semua tabungan dipakai sama Mega. Kamu tau ... semua uang Imran itu dipakai buat apa?" Dia terlihat menggeleng kepala dengan mulut ternganga. "Mega diam-diam make buat investasi perhiasan katanya. Tapi kamu tau, apa yang didapat? Ternyata investasi yang Mega ikuti itu penipuan. Dia ditipu temannya sendiri." Panjang lebar Halimah menceritakan tentang menantu perempuannya itu. Ia sudah tak tahu lagi harus apa selain bersabar. "Astaghfirull
"Tapi apa, Sayang? Kenapa ngomongnya berhenti?" Zayyan tersenyum lagi. Ia menarik tangan istrinya agar duduk di tepi ranjang bersamanya. Ia sudah sangat rindu sekali. "Aku ... enggak tau awalnya kalau sebenarnya Mbak Mega ada hutang di bank. Dan juga Mas Imran lagi banyak masalah karena dia. Karena Mbak Mega ketipu investasi bodong.""Apa? Yang benar kamu, Sayang? Ya Allah, kasian sekali masmu. Sekarang gimana terus? Dikejar-kejar depkolektor?" Raut wajah Zayyan seperti tak percaya akan berita itu. Ia sudah lama mengenal Imran, bahkan mereka seumuran. Pasti banyak beban dan pikiran karena hal itu. "Aku enggak tau, Bang. Makanya aku bisik-bisik sama Mas Imran tadi. Aku harap Mas Imran peka. Soalnya enggak mungkin bicara soal itu saat Mbak Mega ada di dekatnya. Aku kasian sama anaknya sih. Semoga enggak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.""Sayang, kamu tenang aja! Kamu harus bahagia. Saat produksi asi untuk anak itu, pikiran enggak boleh terganggu. Enggak boleh stres. Biar aku yan
Sembilan bulan sudah mereka menanti, akhirnya pagi itu, Aruna merasa tak enak perasaan. Tiba-tiba merasa jantung berdebar-debar, tapi ia masih sibuk menyiapkan makan pagi di meja makan bersama pembantu. Ia merasa tak tahan untuk buang air kecil saat itu. Aruna menoleh pada pembantu, lalu berkata, "Bik, aku ke kamar mandi dulu, ya. Nanti kalau baby Al nangis, tolong ajak dulu. Soalnya Mas Zain belum pulang.""Baik, Mbak." Pembantu yang tadinya mencuci piring itu pun langsung membalas. Saat masuk ke kamar mandi, Aruna menunaikan hajatnya. Kandungan yang sudah membesar membuatnya sering buang air kecil. Namun, saat ia membuka celana, ia melihat bercak flek seperti saat ia hendak melahirkan baby Al saat itu. Aruna mendelik. Ia sudah yakin, hari itu juga ia bakal melahirkan. Dalam hatinya berdesir rasa khawatir. Setelah selesai, lalu mengganti celana yang baru, dan mencuci tangan, Aruna langsung keluar. "Bik," teriaknya. "Bik, tolong!" Pembantu tadi langsung tergopoh-gopoh menghampir
"Mas, aku kok khawatir ya, sama baby Al." Aruna menyentuh lengan suaminya. "Wajar begitu, Sayang. Namanya juga ibunya. Nanti setelah sampai bandara, kita video call." Zain menjawab dengan santai. Mereka saat ini berada di atas awan, di dalam pesawat yang menuju ke sebuah kota sejuk di mana orang-orang menyebutnya kota apel. Begitu pesawat landing, mereka Oun segera melangkah keluar. Menuju hotel untuk menginap. Dua koper besar masuk ke dalam taksi, mereka langsung menuju ke tempat wisata itu sekaligus menikmati waktu bulan madu yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Sampai di hotel, Aruna menghela napas panjang. Ia langsung membanting tubuhnya ke atas tempat tidur. Sementara Zain yang baru masuk, langsung menahan senyuman. Seisi ruang kepalanya mulai berkenalan, Zain tertawa. Pintu kamar hotel ia tutup. Pria itu melepas sepatu, lalu jaket hitamnya. Kemudian ia ikut merebahkan diri di sana. Memeluk tubuh Aruna dengan erat dan rasa bahagia. "Mas," panggil Aruna. "Hem. Kamu capek
"Besok Mas bicara sama dia. Kalau kamu yakin, Mas akan bertindak tegas." Aruna mengangguk. Ia segera memeluk suaminya lagi. Lalu malam berlalu begitu cepat. Paginya, Aruna mendadak malas bangun. Ia sengaja tiduran di atas ranjang sejak setelah Subuh. Tentunya bersama baby Al yang sudah bangun lebih awal. Bayi kecil itu kini mulai bersuara riang. Entah apa yang ingin ia ucapkan, yang jelas ia sangat lucu. "Sayang, kamu enggak bangun?" Zain baru saja masuk ke kamar. Ia baru saja keluar untuk mengambil air minum. "Males. Lagi pengen tidur-tiduran. Perutku mual lagi, Mas."Zain mendekat. Ia kembali mengusap kepala yang ditumbuhi rambut lebat itu. Lalu mencium kening Aruna yang wangi. "Kangen lagi? Barusan mandi," sindir Zain sambil meringis. "Iya, males mandi juga. Masa belum ada sejam udah mandi lagi. Rajin banget.""Maklumin dong, Yang. Kan namanya juga pengantin baru. Enggak ada istilah liburnya." Kali ini pria itu tertawa lepas. "Hem. Dasar laki-laki. Ke sana terus pikirannya."
Aruna segera mengetik pesan untuk suaminya saat di kamar. "Baru juga hidup tenang, ada aja yang ganggu. Iseng banget," gumamnya sendiri. ["Mas, aku takut."]["Takut kenapa?"]["Ada yang melempar boneka serem ke halaman setelah Mas berangkat tadi."]["Hah. Serius?"]["Iya lah, masa aku bohong. Enggak lucu juga. Lagian tadi pas Mas berangkat ada mobil berhenti di depan rumah."]["Mobil tetangga kali. Itu palingan yang ngelempar orang gila. Suka ada orang gila masuk komplek kali satpam depan ngantuk."]["Mas aneh banget, sih. Orang ini pagi-pagi. Mana mungkin satpam ngantuk? Kan gantian yang jaga semalam sama pagi ini."]["Ya udah, pokoknya hati-hati aja kalo di rumah. Jangan keluar kalo gitu. Mama udah dikasih tau?"]["Enggak. Aku enggak enakan ngasih taunya."]["Ya biar hati-hati juga. Ya udah, aku ada pasien lagi, Sayang. Kamu nikmati hari di rumah, ya! Mau dibawakan apa nanti kalo pulang?"]["Apa aja deh, Mas. Yang penting Mas pulang dengan selamat."]["Ciee, so sweet banget. Kayak
"Sayang, jangan marah dong. Aku enggak kayak gitu. Please!" Zain memohon dengan kaki berjongkok di depan istrinya. "Mas jahat. Nuduh aku sama mama kayak orang-orang di cerita itu, kan? Aku emang bukan anak mama. Aku emang bukan menantu yang baik bahkan bukan dari keluarga kaya. Tapi aku sama mama tetap baik-baik aja." Sambil mengusap wajah, Aruna melengos. "Iya, aku minta maaf. Aku udah buat kamu salah paham. Maafin, ya.""Apa aku pergi aja? Enggak tinggal di sini lagi. Biar Mas enggak menduga-duga kalo aku sama mama lagi enggak enakan.""Kenapa buntutnya jadi panjang gini, sih? Aku enggak ada maksud bilang begitu, Sayang." Zain tampak stres membujuk Aruna yang tak kunjung paham. Pria itu menggaruk kepalanya sendiri. "Aku capek lah, Run. Kamu enggak mau ngalah. Aku udah ngalah, udah ngejelasin panjang lebar, juga udah segalanya. Bujuk kamu gimana pun, tetap saja kamu begitu. Terserah lah." Zain merebahkan diri di atas ranjang dengan kedua tangan di belakang kepala. Ia langsung meme
Dua bulan sudah mereka menjalin hubungan suami istri. Kehidupan mereka terlihat baik-baik saja. Sampai tiba saat Zain baru bangun tidur siang di hari liburnya, ia melihat ke samping. Ada Aruna yang berselimut sampai kepalanya. Baby Al yang menangis di dalam keranjang tidur pun tak dihiraukan. Zain bergegas bangkit lalu meraih putra sambungnya itu lalu mengajaknya keluar dari kamar. Zain meminta pembantu mengajak putranya itu, lalu ia kembali ke kamar karena curiga. Pikirannya tertuju pada sang istri yang sejak tadi tak merespon apa pun. "Yang, kamu enggak apa-apa?" Pria itu menatap istrinya setelah duduk di tepi ranjang. "Yang," panggilnya lagi. "Kamu enggak apa-apa?" Disentuhnya kening sang istri, ternyata dan ia terkejut saat merasakan kening Aruna terasa panas. "Yang, kamu demam?" Zain langsung membuka selimut tebal itu, lalu menyentuh tubuh istrinya juga. "Ya Allah, kamu sakit?" Ia pun kembali menyelimuti tubuh Aruna lagi. Karena tak menjawab, Zain makin panik. Aruna seperti
"Jaga tuh mulut!" Wanita itu melotot sambil menunjuk jarinya ke wajah Aruna. "Kamu kira aku takut? Kamu kira aku bakal lemah saat kamu mengirim foto memalukan itu? Dokter, kok, enggak punya attitude. Rendahan banget ngirim trik ngancurin keluarga orang dengan cara kek gitu. Enggak nyangka aja, bisa-bisanya orang kayak kamu jadi dokter." "Tutup mulut kamu! Atau aku laporkan kamu pada sekuriti!" ancam wanita itu. "Aku enggak takut. Silakan saja, sampai di sini aja udah keliatan siapa yang main kotor. Kalau enggak laku, mending sabar dulu, bukannya malah fitnah keluarga orang lain. lucu sekali. Udah ye, aku mau belanja dulu. Bye-bye kuman!" Wanita bernama Afkha itu mendelik. Ia ingin sekali mencakar wajah Aruna. Namun, ia kembali mengurungkan karena khawatir malah membuatnya malu sendiri. "Awas saja dia! Sudah berani membuatku malu di sini, kau akan merasakan malu juga nanti. Saat itu tiba, aku akan membuatmu memohon di kakiku." Ia pun segera pergi dari sana. Aruna menoleh kanan ki
"Kamu percaya kan, sama aku?" Sekali lagi, Zain bertanya pada istrinya. "Aku percaya. Tapi, aku sakit melihat foto itu." Aruna menjawab dengan gugup. Bibirnya bergetar, ia masih trauma. "Aku akan ajukan pengunduran diri. Dan cari kerja di rumah sakit lain kalau perlu. Atau, bisnis lain yang bisa aku kerjakan mungkin. Kamu ... mau aku seperti Mas Aksa? Jadi orang kantoran? Aku bisa ... tapi mungkin akan butuh waktu karena aku enggak akan bisa masuk dan duduk di posisi seperti dia."Aruna menatap mata nanar suaminya. Ia yakin, suaminya tidak melakukan hal itu. Akan tetapi, rasanya sakit hati belum juga sembuh. "Katakan padaku sekali lagi, kamu percaya sama aku!"Aruna mengangguk. "Aku percaya, Mas. Tapi, aku khawatir dia deketin Mas lagi. Aku takut kalau dia cari cara-cara lain lagi untuk menimbulkan fitnah.""Insyaallah, semoga enggak. Aku akan menjauh jika dia mendekat. Aku akan waspada. Percayalah padaku, Aruna."Mereka kembali berpelukan. Malam itu, Aruna menatap putranya dengan
Tubuh Aruna bergetar. Jantungnya berdebar kencang. Ia tak siap mendengar kabar jika Zain menjalin hubungan dengan wanita lain. Dengan kata lain, pria itu berselingkuh. "Aku tidak akan percaya begitu saja dengan wanita tadi. Dia pasti sudah berbohong. Dia pasti hanya ingin membuat rumah tanggaku dan Mas Zain berantakan "Mondar-mandir memikirkan suaminya, Aruna tampak tak tenang. Ia segera menggendong putranya lagi, lalu menimang agar cepat tidur. Karena itu, ia ingin mencari tahu petunjuk-petunjuk yang mungkin ada di rumah. Jika memang suaminya berselingkuh. Setelah baby Al tertidur, Aruna meletakkannya di atas tempat tidur. Lalu mencoba mencari sesuatu di laci, di lemari, bahkan di sosial media. Wanita muda itu sudah seperti orang gila. Dia stres karena memikirkan suaminya. Dadanya perih saat memutar kembali suara mendayu wanita di balik telepon tadi. Karena tak menemukan apa-apa, Aruna lemas di lantai. Air matanya seolah habis, ia sudah termakan ucapan wanita itu. Kebetulan saat