Gerimis yang tadi menyerang Jakarta kini telah reda. Bersamaan dengan turunnya Narendra dari bus yang ditumpanginya. Baru kemudian Narendra mengulurkan tangannya untuk Nadisa. Membantu sang dara untuk turun dari bus mereka.Tepat saat Nadisa menerima uluran tangan Narendra, sang Adam membatu selama beberapa waktu. Ia memandangi tangan Nadisa, lalu baru menyadari ada sesuatu di sana.Luka, yang sejak mereka kuliah telah ada. Ternyata hingga kini pun masih tertinggal di tangan sang gadis Sanjaya.Tap! Kedua kaki Nadisa akhirnya berhasil menjejaki tanah berlapis aspal."Ada apa, Narendra?" tanya Nadisa bingung.Narendra menggelengkan kepala dan mengulas senyuman. Pun lelaki itu melepas tautan tangan mereka. "Tidak ada apa-apa."Nadisa sempat terdiam tatkala merasakan kekosongan di tangannya. Hingga tangan yang tadi digenggam oleh Narendra itu mengepal, tanpa sepengetahuan sang Adam. Nadisa kemudian melangkahkan kakinya, menyusuri jalan yang akan membaw
"Ma, Disa pulang!"Mama Ayu langsung menyambut kepulangan Nadisa di kediamannya. Gadis Sanjaya itu segera mencium tangan sang Mama. Sementara Jeffrey masih tertinggal di belakang karena harus memarkir mobilnya.Mama Ayu mengerjap kaget melihat wajah anaknya yang terlihat sembab dengan mata memerah."Disa, kamu kenapa, Sayang? Kamu habis menangis?" tanya Mama Ayu dengan paniknya."Disa nggak apa-apa kok, Ma. Ini tadi kena debu saja, jadi mata Disa merah." Nadisa kembali tersenyum lebar. Ia tidak ingin memperpanjang masalah."Syukurlah kalau begitu." Untungnya, Mama Ayu memercayai Nadisa. "Disa, tadi kamu diantar oleh Jevan 'kan? Mana dia? Apa masih di luar?" tanya Mama Ayu."I-iya, Ma! Tadi Disa sama Jevan! Tapi dia sudah pulang!" Nadisa kembali membohongi mamanya. "Sudah dulu ya, Ma. Disa mau mandi. Nanti baru kita makan malam! Bye, Mama!"Nadisa menyempatkan diri mencium pipi Mama Ayu. Baru kemudian berlari menuju tangga rumahnya, lalu pergi ke kama
Motor sport hitam yang dikendarai oleh Jevano Putra Hartono akhirnya tiba di arena balapan liar. Jevano langsung menghentikan motornya tepat di hadapan kumpulan temannya. Lalu melepaskan helm full face yang dikenakannya. Masih berada di atas motor sport hitamnya."Yo, Jevan!" sapa seorang lelaki di sana.Marko Wijaya namanya. Putra tunggal dari keluarga Wijaya. Salah satu keluarga kaya di Indonesia. Juga merupakan kolega dari Jevano.Jevano hanya mengangkat sedikit alisnya."Lama tidak bertemu ya, Jevan. Terakhir kali kamu turun ke jalanan … enam bulan lalu?" Marko menebak santai. Seraya menyesap lintingan rokok di tangannya."Delapan." Jevano menjawab singkat.Teman-teman di sekitar Jevano hanya terdiam mendengarkan perbincangan sang Hartono dan Wijaya. Level mereka berbeda. Jadi mereka tidak ingin ambil risiko dengan ikut serta dalam obrolan keduanya."Ah, satu bulan lagi dan ibu hamil akan melahirkan anaknya. Hahaha…" Marko tertawa renyah. Tidak p
Haikal memarkirkan mobilnya di pekarangan kediaman Hartono. Rumah mewah berwarna putih yang kini terlihat sangatlah sepi. Hanya ada beberapa pegawai termasuk dirinya yang ada di sana. Dan sepertinya, sang Nyonya dan Tuan Besar masih belum tiba di rumah. Terlihat dari mobil utama Hartono yang masih belum ada di garasinya.Haikal mengembuskan napas lega.Ingatan Haikal kembali ke beberapa saat lalu. Sumpah, Haikal merasa jantungnya nyaris copot saat Nona Nadisa melihat kehadirannya di pekarangan kediaman Sanjaya. Gadis cantik itu memandanginya seakan menyadari bahwa orang yang telah menyerangnya sore tadi adalah Haikal. Akan tetapi, untung saja Nadisa tidak sampai menghampiri Haikal. Hingga penyamaran lelaki itu akhirnya tidak jadi terbongkar.Sekarang, Haikal hanya harus memikirkan bagaimana caranya ia meyakinkan sang Nyonya Besar yang kemungkinan akan segera tiba di kediaman Hartono. Agar Beliau tidak mencurigai kepergian putranya, yang hingga tengah malam ini belum juga menampakkan
Nadisa Tirta Sanjaya tengah berdiri di belakang kompor di dapur mewahnya. Ia sedang memanggang satu helai roti di atas wajan anti lengket milik sang Mama. Makanan yang akan ia jadikan sarapan bersama keluarganya.Dalam kegiatannya membalikkan roti, Nadisa justru terjebak dalam pikirannya sendiri.Apa yang harus ia lakukan sekarang? Bagaimana caranya agar ia bisa mencegah takdir buruknya datang? Apa Nadisa sebaiknya memecat Karenia sekarang? Dengan memecat gadis itu dan mengenyahkan kehadirannya dari hidup Nadisa, Nadisa mungkin akan aman dan terhindar dari kematiannya.Akan tetapi, apakah Karenia akan terima saja jika ia dipecat? Bukan hal mustahil apabila gadis itu justru mempercepat niatan buruknya terhadap Nadisa. Itu … bukan hal mustahil, 'kan?"Hah…" Nadisa membuang napasnya. Ia masih terus membolak-balikkan roti di atas wajannya.Sepertinya, tindakan memecat Karenia justru akan berbahaya bagi Nadisa. Dengan tidak berada di sekitar Karenia, Nadisa jadi
Nadisa terkekeh kecil mendengar penuturan bernada serius dari Jeffrey. Gadis yang mengenakan blus merah muda dengan rok putih selututnya itu tampak lebih santai dibandingkan sebelumnya."Disa, Kakak nggak bercanda. Kakak lagi bicara serius sama kamu," kata Jeffrey.Nadisa menghentikan tawa kecilnya. Ia memegang bahu Jeffrey yang terlapisi oleh kemeja putihnya."Kak, Kakak sudah bilang ke Disa tentang itu beberapa kali. Disa sudah hafal, jadi Kakak nggak perlu mengulanginya lagi." Nadisa berkata santai, seraya beranjak dari posisi duduknya di ayunan.Nadisa berjalan menjauhi Jeffrey. Membuat lelaki tampan dan tinggi itu bangkit dari posisi berlututnya. Menatapi punggung adiknya."Disa," panggil Jeffrey pelan. Sukses menghentikan langkah Nadisa. Gadis itu menoleh dengan senyumannya. Kontras dengan wajah Jeffrey yang sarat akan rasa khawatir pada adiknya.Melihat bagaimana Nadisa tadi nyaris membahayakan dirinya karena tenggelam da
Nadisa sedang menyuap sosis ke dalam mulutnya, ketika suara bel di depan kediamannya berbunyi dengan keras. Membuat Mama Ayu beranjak dari posisinya.Nadisa masih santai saja menikmati sarapannya. Bagaimana pun juga, Nadisa membutuhkan banyak sumber energi untuk menghadapi sumber masalah di kantornya. Jadi ia tidak boleh menyia-nyiakan sarapannya."Selamat pagi juga. Ayo masuk, Disa masih di ruang makan. Belum selesai sarapan."Dahi Nadisa kontan berkerut tatkala sayup-sayup suara Mama Ayu terdengar di telinganya. Kenapa Mama Ayu menyebut namanya? Seingat Nadisa, ia tidak memiliki janji dengan siapa pun. Dan lagi, hari ini 'kan hari kerja. Orang gila mana yang bertamu di saat Nadisa bahkan sebentar lagi akan berangkat?Nadisa menolehkan kepala ke belakang. Melihat kedatangan sang Mama dengan seseorang yang mengekorinya.Kedua mata Nadisa melebar.Itu Jevano. Lelaki itu ada di sini. Bagaimana mungkin?! Kenapa takdir hidupnya jadi kacau begini?!"Pagi,
Nadisa masih tidak habis pikir. Pagi ini, akhirnya ia kembali berada dalam mobil mewah yang sangat melekat di ingatannya. Pun, kini Nadisa sedang bersama seseorang yang bahkan ia rutuki keberadaanya. Jevano Putra Hartono.Kalau saja Mama Ayu tidak memerintahkan Nadisa untuk ikut serta dengan Jevano, jelas saja Nadisa tidak akan sudi berada di sana."Mau beli kopi?" tawar Jevano yang sedang sibuk mengendarai mobilnya. Dirinya tentu tidak ingin menyia-nyiakan kesempatannya untuk bersama Nadisa lebih lama.Nadisa memutar bola matanya malas. "Nggak.""Kenapa? Kita masih ada waktu. Kamu tidak perlu takut terlambat, Nadisa.""Alergi," sahut Nadisa singkat.Jevano mengernyit bingung. Lelaki itu melirik singkat pada Nadisa. "Alergi? Bukankah kamu sering minum kopi?""Aku bilang alergi ya alergi!" seru Nadisa dengan kesal.Tidak, Jevano tidaklah salah.Nadisa memang tidak memiliki alergi terhadap kopi. Dahulu, ia bahkan berdamai dengan Jeffrey setelah menerima makanan beserta kopi darinya. Ta
Jeffrey masih berada dalam mobilnya. Kini memegang telepon genggam, guna mengabari salah satu anak buahnya yang ada di kantor cabang Bandung sana. Pasalnya, Jeffrey yang seharusnya tiba di Bandung siang nanti, kemungkinan akan terlambat karena harus memenuhi permintaan Nadisa.Ah, jangan khawatir. Bahkan sang Mama juga bicara bahwa kantor tempatnya bekerja adalah milik keluarga. Jadi Jeffrey rasa, tidak apa jika ia terlambat sesekali seperti ini.Tepat setelah mengabari anak buahnya, Jeffrey pun hendak menjalankan mobilnya untuk menuju pusat perbelanjaan di pusat Kota Jakarta. Akan tetapi, pemandangan yang tersaji di lobi kantor Sanjaya membuat Jeffrey mengernyitkan dahi.Di hadapannya, dapat ia lihat Karenia yang mengenakan blazer cokelat, dipadukan dengan rok senada sepanjang setengah paha. Kernyitan di dahi Jeffrey kian menguat, tatkala melihat Karenia berlari dengan penuh senyuman. Menyongsong satu orang yang mengenakan jas hitam."Kak! Kak Jevan!"Dari perawakan yang tinggi tegap
Nadisa bergegas mengambil tasnya yang ada di nakas samping ranjang. Kemudian beranjak menuju pintu kamarnya. Tepat ketika tangannya mencapai tuas pintu, ekor mata Nadisa melihat eksistensi suatu benda yang tersampir di sofa kamarnya.Jaket milik Narendra Bagaskara.Ah, saking lelahnya Nadisa, gadis itu jadi belum sempat mencuci jaket yang kemarin dipinjamkan oleh sang Bagaskara. Ia melirik ke arah jam dinding di kamarnya. Sudah tidak ada waktu lebih.Nadisa pun memutuskan untuk berlalu dari kamarnya. Turun menuju lantai satu kediaman mewah milik keluarga Sanjaya. Tempat dimana Jeffrey dan Mama Ayu berada.Napas Nadisa sempat tertahan. Kepala cantiknya tanpa sengaja memutar kejadian kemarin malam. Tatkala tamparan keras sang Mama mendarat di pipi putih mulusnya.Jeffrey yang awalnya fokus pada serealnya, kini mendongak dan melambaikan tangannya. Memberi tanda agar Nadisa mendekat ke meja makan."Sini, Disa. Sarapan." Jeffrey berkata tanpa berpikir panjang
Mesin mobil yang dikendarai oleh Jeffrey Tirta Sanjaya akhirnya mati, tatkala kendaraan tersebut telah tiba di pekarangan rumah yang dirinya dan Nadisa tinggali. Pria dengan lesung di kedua pipi itu baru saja menoleh pada sang Adik, tetapi Nadisa tanpa kata segera meninggalkan dirinya. Keluar dari mobil dan memasuki rumah mewah mereka.Jeffrey mengusak rambutnya ke belakang, memandangi punggung kecil Nadisa yang perlahan menjauh.Jujur saja, Jeffrey tidak tahu menahu bagaimana adiknya bisa sangat membenci Jevano Putra Hartono. Sampai-sampai Nadisa berani membohongi Mama mereka, hanya untuk menghindari lelaki yang memang dipilih sang Mama untuknya. Setahu Jeffrey, Jevano adalah lelaki yang baik dan sempurna. Tidak ada salahnya mendekatkan Jevano dengan Nadisa yang juga tak kalah sempurna.Tapi apa mungkin Jeffrey melewatkan sesuatu? Apa Nadisa mengetahui sesuatu tentang Jevano, yang tidak Jeffrey dan Mama Ayu ketahui? Dan lagi, sosok lelaki yang yang menemani sang Adik di tengah dingin
Kedua anak Adam dan Hawa itu berjalan di tengah remangnya malam. Kembali menuju kediaman Sanjaya. Akan tetapi, tepat ketika keduanya tiba di gerbang kompleks Nadisa, satu sosok pria yang familiar pun muncul di sana.Jeffrey Tirta Sanjaya.Pria tampan bertubuh tegap dengan setelan kaos dan celana denim, juga dilengkapi jaket hitam-merah yang terlihat mahal. Tampak turun dari mobilnya tatkala melihat eksistensi sang adik tak jauh darinya.Bola mata gelap yang sarat akan rasa khawatir itu sempat melirik ke arah Narendra Bagaskara seraya mengangkat alis, tapi kemudian ia memilih abai dan memusatkan atensi pada Nadisa seorang. Dapat dilihat oleh Jeffrey, kedua mata Nadisa yang membengkak dan merah. Jelas sekali bahwa sang adik semata wayangnya baru saja menangis hebat."Disa, kita pulang, ya?" tanya Jeffrey dengan lembut.Nadisa terdiam di posisinya. Gadis cantik itu mengusap pipinya yang masih sedikit basah menggunakan lengan berbalut jaket milik Narendra.Jeffrey yang melihat hal tersebu
"Kamu-"Ucapan Nadisa Tirta Sanjaya dibalas dengan senyuman yang melebar di wajah lelaki itu."Iya, Nadisa. Ini aku, Naren."Suara yang menenangkan itu membuat Nadisa kian bingung."Kenapa ... kamu bisa ada di sana? Bukankah ... kamu seharusnya sudah pulang sejak tadi?" tanya Nadisa dengan suara sengaunya. Hidungnya memerah, akibat dari tangisannya. Matanya pun terlihat sedikit membengkak."Mau minum dulu sebelum kita mengobrol lagi hari ini?" tanya Narendra dengan tenang. Tangannya menjulurkan satu gelas kertas berisikan teh hangat.Tangan berkulit putih milih sang gadis Sanjaya tampak bergetar tatkala menerima teh yang diberikan Narendra. Kemudian menyesapnya pelan. Melegakan dahaga di tenggorokannya yang perih karena menangis kencang.Narendra kemudian membuang pandangannya ke depan, memusatkan atensinya pada Sungai Hanja."Hari ini banyak yang terjadi ya, Nadisa." Narendra berkata pelan. "Terkadang, kalau kita sedang merasa bahagia, kesedihan justru akan datang tanpa bisa kita cega
Malam kian larut tatkala kedua kaki jenjang Nadisa melangkah, lebih tepatnya berlari, menjauhi kediaman mewahnya. Air mata kembali berlinang di wajahnya yang cantik jelita. Pun ia terisak pelan. Mengingat bagaimana ucapan tajam sang Mama beserta tamparan yang ia dapatkan di pipi putihnya.Di tengah pelariannya itu, gerimis mulai turun membasahi bumi. Entahlah. Mungkin semesta ingin agar air mata Nadisa tidak dapat dilihat oleh manusia lainnya. Agar hanya Nadisa yang tahu bahwa hatinya kini terasa sangat perih. Karena tindakan sang Mama yang begitu menyakiti.Padahal, Nadisa Tirta Sanjaya hanya ingin menghindari takdir buruknya.Ia hanya tidak ingin terjebak dengan Jevano Putra Hartono untuk kali kedua. Ia tidak ingin menjatuhkan hatinya lagi pada lelaki brengsek seperti Jevano. Ia tidak ingin ... mati sia-sia hanya karena menjadi korban dari hubungan rahasia Jevano dan Karenia.Nadisa hanya ingin bahagia, dengan keluarga juga orang-orang yang dikasihinya. Mama Ayu. Kak Jeffrey. Juga Na
Nadisa masih bergeming di posisinya. Dengan satu tangan yang memegangi pipi kiri, tempat yang baru saja menjadi sasaran dari tangan Ayu Tirta Sanjaya. Pipinya memang terasa sangat sakit, tapi lebih dari itu, hati Nadisa jauh lebih perih."Mama menampar Disa....?" lirih Nadisa. "Disa salah apa, Ma? Disa salah apa sampai Mama tega menampar Disa?" cecar Nadisa dengan penuh rasa kecewa. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia berusaha menahan tangisannya karena tidak ingin dianggap lemah oleh sang Mama.Mama Ayu mengepalkan tangannya. Masih menatap sang putri dengan mata yang melebar, nyalang. Dipenuhi amarah dan kecewa."Kenapa Mama diam? Jawab Disa! Kenapa Mama tega menampar Disa?!" teriak Nadisa. Emosinya sudah sampai di ubun-ubun."Kamu masih bertanya?! Setelah kebohongan kamu ke Mama, kamu masih bisa bertanya alasan Mama menampar kamu?! Iya?!" balas sang Mama.Jawaban dari Ayu Tirta Sanjaya membuat Nadisa membelalakkan mata dengan jantung yang mulai berdegup kencang. Pupil m
Langit kini telah menjadi gelap. Pun jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan Jeffrey Tirta Sanjaya telah menunjukkan pukul delapan malam. Sudah waktunya untuk beristirahat.Akan tetapi, lelaki tampan bernama lengkap Jeffrey Tirta Sanjaya itu justru baru saja menghentikan laju mobilnya. Memarkirkan kendaraan mahal itu di depan kediamannya. Ya, kediaman Sanjaya yang berlokasi di Jakarta.Entah ada angin apa hari ini, Mama Ayu akhirnya mengizinkan Jeffrey untuk pulang ke rumah mereka, meski hanya untuk satu hari. Maklum, Jeffrey memang harus mengurus kantor cabang yang ada di Bandung. Jadi tentu saja ia tidak bisa berlama-lama di rumah yang selalu saja ia rindukan.Lelaki tampan itu mengeluarkan dua kantung besar dari bagasi mobil hitamnya. Kantung berisikan bolu cokelat yang tempo hari Nadisa pesan. Juga beberapa susu yang sekiranya sang Mama dan sang adik suka."Sini saya bantu, Tuan." Pak Asep menawarkan bantuan. Beliau memang yang tadi membukakan pintu gerbang untuk Jeffrey.
Puk. Puk. Puk.Setiap kali kaki itu melangkah, pasir pantai yang dipijaknya akan membentuk jejak kaki. Mengikuti bentuk sandal yang kedua orang itu kenakan. Satu berukuran besar, dan satu lagi lebih kecil.Jejak kaki itu terlihat di sepanjang pesisir pantai, di dekat deburan ombak yang terlihat tidak terlalu besar. Hanya sesekali membasahi kaki. Tanpa bisa menyeret dua insan yang tengah berjalan di bawah cerahnya mentari."Indah sekali, ya. Pantai di Jakarta ternyata nggak buruk juga." Nadisa membuka percakapan di antara keduanya.Narendra menipiskan bibirnya, tersenyum manis. Ia memandangi Nadisa yang kini berjalan mundur, agar bisa berbincang dengan dirinya. Embusan angin pantai menerbangkan helaian rambut hitamnya dengan sedikit kencang."Iya, indah sekali." Perkataan itu terlontar, tatkala Narendra memandangi Nadisa Tirta Sanjaya. Entah ditujukan untuk pantai yang ia kunjungi, atau untuk gadis yang ia cintai."Iya 'kan? Sudah gitu, di bagian sini tid