Zalma membuka mata. Rasa silau seketika menyambar ke dalam pelupuk matanya. Ia kemudian menutup mata sebentar hanya untuk beradaptasi dengan cahaya yang menyilaukan tadi. Ketika dibuka kembali, matanya sudah sedikit terbiasa menerima cahaya silau itu yang ternyata berasal dari lampu yang ada di langit-langit. Zalma menyadari dirinya saat ini berada di dalam sebuah kamar.
Ia menggerakkan tubuhnya sedikit. Terasa sakit. Kepalanya pusing dan berputar-putar seakan habis dihantam palu godam yang sangat besar. Ia melihat ke sekitar, terasa asing. Dimanakah dia saat ini? Apa yang telah terjadi?
Pintu kamar dibuka, sosok seorang laki-laki masuk ke dalamnya. Zalma mengerjap-ngerjapkan mata untuk memperjelas siapa sosok yang masuk itu. Ternyata Cahyo.
Samar-samar ia teringat kembali apa yang telah ia alami. Lembang. Pintu kamar yang terbuka. Cahyo dan Ah Chen sedang berpelukan mesra. Pertengkaran. Zalma terkesiap. Anita, dimana Anita?
“Anita, dimana Anita?&rd
Ah Chen menatap Zalma dengan pandangan tajam. Di tangannya terdapat sebuah kertas yang berwarna kekuningan. Mereka berdua saat ini sedang duduk di ruang tengah di dalam rumah Zalma sementara Cahyo sibuk mengurus kedai di depan.“Aku rasa semua sudah jelas. Kamu dan Cahyo sedang dalam proses perceraian dan setelah itu kami akan menikah.”“Akhirnya tercapai juga keinginan kamu Chen.”“Kamu jangan salah paham. Sejak awal aku tidak pernah menginginkan hal ini, justru kamu yang membuat perkara ini terjadi sampai seperti sekarang.”Seandainya waktu dapat diputar kembali, pikir Zalma dengan perasaan sedih.“Selama ini kamu mendekati aku hanya untuk membalas dendam?”Ah Chen menggeleng.“Sama sekali tidak. Aku datang ke pesta ulang tahun Anita waktu itu hanya karena aku ingin menyelesaikan urusan aku yang belum selesai dengan kalian. Aku ingin tahu apa yang terjadi. Dulu aku salah karena l
Zalma menghapus butiran air mata yang menetes di wajahnya. Kembali ke masa lalu seakan merobek hatinya dan menyebabkan luka itu terbuka kembali. Cinta selain bisa membawa bahagia juga dapat menyebabkan luka terutama ketika melihat orang yang dicinta pergi bersama yang lain. Zalma merasa dirinya begitu rapuh dan lemah karena ternyata sampai saat ini ia belum bisa melupakan rasa cintanya kepada Cahyo.Juni dan Juli memandang Neneknya dengan perasaan campur aduk. Mereka tidak menyangka, di balik kehangatan dan wajah penuh cinta Sang Nenek ternyata tersimpan sebuah kisah hidup yang luar biasa. Jatuh bangun, dikhianati, mengkhianati, mencintai dan tidak dicintai. Mereka kagum akan ketegaran hati Zalma. Tidak mudah menyerah meski badai hidup senantiasa menerpa.“Aku salut sama Nenek.” Juni berkata lirih.“Aku juga…,” timpal Juli.“Gile gak nyangka ya kisah hidup Nenek bisa kayak gitu.”“Iya Jul, aku pikir
Juni menatap Rama yang sedang berdiri di depan pintu rumah dengan tatapan menyelidik. Wajahnya masih nampak sedikit lebam akibat perkelahian waktu itu. Rama juga menatap Juni namun tidak terlihat aura menantang atau kemarahan. Ia hanya tersenyum. Juni heran, apa yang membuat Rama tiba-tiba berubah?“Mau apa lu ke sini? Lu tahu dari mana alamat rumah ini?”Rama masih tersenyum mendengar sambutan Juni yang tidak bersahabat itu.“Sorry Jun, gue tahu lu pasti masih marah sama gue.”“Terus kenapa kalau gue masih marah? Udah sana lu pergi deh, gue gak mau cari ribut sekarang.”Juni hendak menutup pintu tapi ditahan oleh Rama.“Sebentar Jun.”“Ada apa lagi? Gue tuh gak mau berurusan lagi sama lu.”“Gue cuma mau minta maaf aja atas kejadian kemarin.”Juni sedikit terkejut. Ia seperti tidak mempercayai pendengarannya saat ini.“Apa? Lu minta maaf
“Happy birthday sayang!”Rahadi mencium bibir Dimas dengan mesra. Sebuah kue ulang tahun berwarna coklat dihiasi satu buah lilin yang menyala di atasnya sudah tersaji di atas meja di depan mereka. Lantunan irama jazz lembut terdengar sayup-sayup sementara lampu ruangan sengaja di buat temaram sehingga suasana romantis penuh cinta tercipta di dalam apartemen bernomor 1005 itu.“Make a wish dulu baru tiup lilinnya ya.”Dimas mengangguk kemudian memejamkan mata sejenak lalu meniup lilin di atas kue itu.“Horee…happy birthday lagii..”Dimas tersenyum sambil mengacak-acak rambut Rahadi.“Ini kue kamu bikin juga?”“Gak lah, mana bisa aku bikin kue kayak gini, aku cuma masak aja buat kamu, makanan favorite.”“Wah apa tuh?” Dimas penasaran.“Rendang.”Rahadi lalu tertawa diikuti oleh Dimas.“Jadi aku makan pakai rendang
Jelita menatap Putri yang tengah berbaring tidak sadarkan diri di ranjang rumah sakit. Kejadian itu sangat tiba-tiba. Jelita baru saja datang untuk menjenguk Amel ketika ia melihat Putri juga baru datang. Mukanya sangat pucat. Ketika Jelita ingin mengajak Putri turun ke lantai bawah untuk membeli makan malam, Putri langsung saja ambruk tidak sadarkan diri ketika ia baru akan berdiri dari tempat duduknya. Amel dan Jelita seketika menjerit histeris.Jelita segera memanggil perawat dan meminta menempatkan Putri persis di sebelah kamar Amel. Dokter yang dipanggil belum juga datang. Jelita sangat khawatir melihat keadaan cucunya itu. Beberapa kali ia meminta para perawat untuk segera memanggil dokter dan dijawab sebentar lagi akan datang.Pintu kamar Putri dibuka perlahan. Jelita menengok untuk melihat siapa yang datang.“Putri kenapa Nek?”Jelita menatap wajah Rama yang tengah berdiri di hadapannya itu dengan seksama. Tampak beberapa lebam berwarn
“Kamu hamil sama siapa?”Tangisan Putri semakin menjadi-jadi. Jelita mendekat ke arah tempat tidurnya dan kembali menanyakan pertanyaan yang sama.“Jawab Nenek Put, siapa yang menghamili kamu?”“Hadi Nek…”“Hadi siapa?”“Temen kampus aku…”“Besok pagi kamu telepon dia, Nenek mau ketemu!”Dimas memandang Jelita dengan sedikit kesal.“Udah lah Ma, besok aja kita bahas ya, kasihan Putri, dia baru aja sadar.”“Mama cuma minta Putri hubungi si Hadi besok pagi, cuma itu kok.”Putri melepaskan pelukan Dimas.“Hadi udah meninggal Nek…Tadi siang baru dikubur..”Jelita terkejut.“Meninggal? Kenapa?” Jelita bertanya setengah berteriak.Dimas mengelus kepala Putri dengan lembut.“Hadi meninggal dibunuh…Hadi dibunuh!” Putri berteriak h
Juni dan Juli memperhatikan dengan serius apa yang sedang dikerjakan oleh Zalma saat ini. Sesekali mereka melihat catatan yang diletakkan di atas meja. Berbagai macam rempah-rempah, tepung terigu dan bahan-bahan memasak lainnya nampak berserakan di sana.“Ribet juga ya Nek masak bakminya,” ujar Juni sambil menggaruk-garuk kepalanya.“Emang gak ada cara lain yang lebih simple ya Nek,” timpal Juli.“Gak ada,” jawab Zalma,” Cuma ini satu-satunya cara. Jadi kalian mau nyerah aja?”Juni dan Juli saling berpandangan.“Lanjut Nek,” kata mereka hampir bersamaan.“Kalian perhatikan baik-baik cara mencampur semua bahan-bahan ini untuk dijadikan bakmi.”Zalma kemudian mencampur berbagai macam bahan masakan ke dalam sebuah mangkuk berukuran besar. Setelah itu ia mengaduknya supaya semua tercampur rata. Setelah dirasa cukup, Zalma kemudian menuangkan itu ke dalam alat pembuat
“Foto siapa ini Pak?”Badi memegang sebuah foto bayi berwarna hitam putih. Posisi bayi itu telentang di sebuah tempat tidur dan wajahnya tersenyum memandang ke arah kamera. Sungguh manis. Juni menebak usia foto yang kusam dan kekuningan itu sudah setengah abad lamanya.“Mas janji jangan cerita ke Ibu ya?”“Iya Pak, saya janji.”Badi terdiam sebentar. Matanya lalu memandang foto itu.“Ini foto anak kedua Ibu.”Mata Juni terbelalak.“Maksud Pak Badi? Nenek punya anak kedua?”“Iya Mas.”“Tapi…tapi kenapa Nenek gak cerita kemarin?”“Ceritanya panjang Mas..”“Kok Pak Badi tahu ini anak kedua Nenek? Tahu dari mana Pak?”“Dari Paman saya, Mang Oding, Mas…”Juni lalu teringat perkataan Zalma yang pernah menyebutkan kalau Badi adalah keponakan Oding. Pantas ia tahu banya
Dimas tengah serius membaca laporan rugi laba PT. Pangan Cakrawala ketika mendadak telepon genggamnya yang tergeletak di atas meja berbunyi.Ternyata Briptu Sularso.“Ya, halo Larso.”“Selamat siang Pak, Ibu Jelita bersama Bapak?”“Tadi kayaknya keluar Larso, ada apa?”“Saya coba telpon Ibu tapi gak diangkat-angkat.”“Memang ada apa Larso?”“Saya tahu siapa pembunuh Putri….”Dimas yang saat itu sedang minum hampir saja tersedak.“Siapa Larso?”“Pak Dimas tolong tanyakan ke sekretaris Ibu kemana beliau pergi, kita susul.”“Maksudnya?”“Saya jemput Pak Dimas, sekarang!”**************Telepon genggam di dalam tas Jelita kembali bergetar namun karena diletakkan di bangku yang kosong di sebelahnya, ia menjadi tidak tahu.“Jad
Wanita muda itu menatap selembar foto yang ada di tangannya sambil tersenyum. Sesekali ia mengelus wajah seorang wanita separuh baya yang ada di foto itu.“Sebentar lagi semuanya akan selesai Bu….,” kata wanita itu pelan.Ia lalu mengambil sebuah botol kecil berisi cairan bening yang ada di atas meja. Bibirnya kembali tersenyum.“Mereka akan rasakan akibatnya.”Wanita itu lalu tertawa terbahak sambil meletakkan kembali botol itu di atas meja. Terlihat sebuah tulisan di depan botol itu yang ditempel dengan menggunakan kertas berwarna putih. Sianida.***************Kedai Juni & Juli siang hari ini terlihat ramai. Beberapa pengunjung yang berasal dari perkantoran sekitar ruko nampak makan siang di sana. Belum lagi pengunjung lainnya yang memang sengaja datang untuk bersantap dan menikmati hidangan di kedai ini.“Jun, untuk bookingan nanti sore yang acara ulang tahun it
Pesta ulang tahun Abah Rudi berlangsung sangat meriah. Meski hanya dihadiri oleh keluarga dekat tapi tidak membuat suasana menjadi kaku dan membosankan. Suara gelak tawa dan canda terus menerus mewarnai pesta itu yang berlangsung dari sore sampai malam hari.Lastri menyewa sebuah villa di kawasan Lembang yang letaknya cukup jauh dari keramaian. Ini merupakan permintaan Abah dengan alasan biar bisa lebih dekat dengan keluarga. Lastri menyanggupi tanpa banyak bertanya.Briptu Sularso hadir di pesta itu tepat waktu. Sambutan yang diberikan keluarganya ketika ia menyapa di depan pintu sungguh luar biasa. Semua berebut memeluk dan menciumnya. Entah karena memang ini pertama kalinya ia bisa datang tepat waktu di acara keluarga atau karena rasa kangen yang sekian lama ditahan.Lastri melongokkan kepalanya di depan pintu sambil melihat ke kanan kiri, seperti mencari-cari. Tidak lama kemudian, senyum merekah di wajahnya.“Masuk Mas, disini kan dingin.”
Kamar kos itu tertata dengan rapi. Meski tidak cukup luas tapi tetap nyaman. Tidak banyak barang yang terdapat di sana, hanya ada sebuah ranjang, lemari baju, meja dan kursi kerja serta sebuah televisi ukuran 19 inch yang terletak di atas rak.Di dinding kamar itu hanya terpasang dua buah foto. Satu foto keluarga dan satu foto si penghuni kamar.Hari hampir menjelang tengah malam tapi si penghuni kamar masih tekun mendengarkan isi rekaman yang telah di dengarnya berulang kali. Sesekali ia mencatat beberapa hal yang dianggapnya penting di sebuah buku kecil.Setelah selesai mencatat, ia merenung sejenak. Mengingat kembali pertemuannya di kedai kopi apartemen Paradise Land bersama dengan Dimas dan Jelita beberapa hari yang lalu.“Siapa Zalma itu Bu?”Jelita memandang Briptu Sularso, berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaannya.“Nama lengkapnya Zalma Duni, mantan istri Cahyo, suami saya.”“Apa yang terjad
Rani menatap layar di telepon genggamnya dengan serius, matanya mengikuti gerakan seseorang yang sedang menari dengan diiringi lagu menghentak. Sesekali tangan dan bahunya mengikuti gerakan orang tersebut. Setelah dirasa sudah bisa mengingat seluruh gerakan itu, Rani kemudian menutup telepon genggamnya sambil tersenyum. “Kur…!” Seorang laki-laki kurus dengan memakai seragam kemeja berwarna coklat muda dan celana panjang berwarna senada dengan sedikit terburu-buru menghampiri Rani. “Iya Mbak Rani.” “Meja Ibu udah diberesin belum?” “Sudah Bu.” “Meja Bapak?” “Sudah juga Bu.” “Ya udah kalo gitu. Kamu tolong beliin nasi uduk di depan kayak biasa buat saya ya,” kata Rani sambil menyerahkan uang kepada laki-laki itu. “Baik Bu.” Laki-laki yang bernama Okur itu kemudian bergegas pergi. Setelah Okur menghilang dari pandangan matanya, Rani menatap jam di dinding. Baru jam 8 pagi, masih belum ada yang datang
Juni menatap papan nama yang tergantung di atas ruko nomor 17A itu dengan rasa haru. Tidak disangka akhirnya ia dan Juli berhasil juga membuka usaha yang selama ini mereka inginkan. Sekilas ia teringat semua yang telah mereka alami selama berada di Bandung. Juni lalu tersenyum kecil. “Woy, bengong aja!” Juni tersentak kaget mendengar sebuah suara yang berteriak nyaring di dekat kupingnya. Ternyata suara Juli yang saat ini sedang berdiri di sebelahnya. “Nama kita bagus juga ya Jul kalau dipasang jadi merek gitu.” Juli menatap papan nama yang bertuliskan Kedai Juni & Juli itu sambil mengangguk. “Kayak berirama gitu ya Jun.” “Irama apaan sih maksudnya?” “Puitis gitu, kan di belakangnya huruf i semua.” “Iya juga….”, ujar Juni, “Nek Zalma, Papa sama Mama udah sampai mana Jul?” “Barusan gue telpon sih masih di jalan katanya.” Mereka berdua kemudian masuk ke dalam ruko yang telah berubah bentuk menjadi sebu
Jelita memandang wajah Dimas yang sedang menunduk di hadapannya dengan pandangan tajam. Mereka berdua sedang duduk di luar kedai dengan ditemani dua gelas kopi yang asapnya masih terlihat mengepul.“Mama minta kamu segera tinggalkan Rahadi!” Jelita berkata tegas.Pelan-pelan Dimas mengangkat wajahnya.“Kenapa Ma?” Dimas berkata lirih.“Hubungan kalian itu aib bagi keluarga Kusuma!”“Jadi Mama udah tahu?”“Mama sudah tahu dari dulu.”“Maksud Mama? Dari dulu kapan?”“Pokoknya Mama sudah lama tahu kamu begitu sama Rahadi.”Dimas kembali menundukkan kepalanya. Rasanya ia ingin berteriak dan segera berlari meninggalkan tempat ini.“Mama sengaja diamkan dulu, karena Mama waktu itu pikir ini semua hanya sementara, hanya karena sedang ada masalah sama Amel kamu jadi begitu, tapi ternyata Mama salah…”Dimas menelan
Briptu Sularso memandangi foto-foto yang diambil di tempat kejadian perkara di kamar hotel tempat Putri ditusuk dengan seksama. Ia lalu memandang juga foto-foto di kamar kos tempat ditemukannya tubuh Hadi yang bermandikan darah, seperti membandingkan. Keningnya berkerut.“Dua kejadian ini sepertinya saling berhubungan,” gumam Briptu Sularso pelan.Ia teringat kecelakaan yang menimpa Amel. Kecelakaan yang sepertinya disengaja.“Pertama Amel, kemudian Hadi dan sekarang Putri.” Briptu Sularso bergumam kembali sambil tangannya mengambil spidol berwarna biru dan menuliskan beberapa hal di papan tulis putih di belakangnya.Ia menulis kata Amel lalu dilingkari, di bawahnya kata Hadi juga dilingkari, di bawahnya kata Putri juga di beri lingkaran. Setelah menulis tiga kata itu, ia lalu menatap papan tulis itu sebentar kemudian menghela nafas.“Dan sekarang, Amel ditahan karena kepemilikan obat terlarang,” kata Briptu Sula
“Lu tahu dari siapa sih San?” Juni kembali mengulang pertanyaannya.“Emang udah pasti itu alamat Panti Bunda Bernyanyi San?” Juli menyambung pertanyaan Juni dengan rasa penasaran.Lagi-lagi Sandra hanya tersenyum.“Kok senyum-senyum terus sih, kita penasaran nih,” kata Juli sambil memajukan tubuhnya ke depan.“Iya...gue jelasin deh. Waktu Juni cerita soal panti ini, gue inget punya tante yang tinggal di daerah Senen, namanya tante Wenny, jadi, gue tanya aja dan ternyata tante gue itu tahu.”“Wah, gak nyangka ya, untung aja gue cerita ke elu ya San,” ucap Juni dengan wajah sumringah.“Menurut tante lu itu, pantinya masih ada San?”“Dia gak yakin sih kalau pantinya masih ada Jul, soalnya udah lama pindah dari Senen, tapi dia inget alamatnya dimana, itu juga kalau nama jalannya sekarang gak berubah ya.”“Dimana alamatnya?”&ldquo