Senja di Jakarta selalu sibuk dengan deru kendaraan yang berlomba pulang. Namun, pada Senin malam ini, suasana berubah. Langit yang biasanya kelabu kini menyala merah, seolah-olah matahari terbenam tak ingin berakhir. Dinding cahaya merah, seperti tirai tebal yang tak terduga, tiba-tiba terentang, membentuk kubah yang memisahkan Jakarta dari dunia luar. Klakson mobil yang biasanya menandakan kesibukan, kini menjadi nyanyian kepanikan. Pengemudi yang terjebak dalam kemacetan menatap ke atas, mata mereka melebar dalam ketakutan, terpaku pada fenomena merah yang menggantung di atas mereka. "Cahaya apa itu?" teriak seorang pengemudi, suaranya tenggelam dalam kegaduhan. "Apakah ini akhir dunia?" gumam seorang ibu, tangannya gemetar memeluk anaknya. "Tidaaak … aku belum siap untuk mati! Aku masih belum punya pacar!" jerit seorang pemuda, setengah berdoa, setengah berharap. "Ini pasti invasi alien!" seru seorang kakek, matanya terbelalak tak percaya. Banyak orang yang menduga-duga menge
“Sekarang … kalian sudah bisa tenang?” Ketika suara Libra yang tenang dan terkendali menggema di seluruh penjuru Jakarta, keheningan mendadak menyelimuti kota. Warga yang terperangkap dalam kubah merah hanya bisa menatap layar ponsel mereka dengan mata yang terbelalak, bibir terkatup rapat, tak satu pun berani mengeluarkan suara. Ketakutan yang sempat menguasai mereka kini berganti menjadi diam yang mencekam.Libra, dengan senyum yang tersembunyi di balik topengnya, mengamati keheningan yang telah ia ciptakan. "Begini kan lebih baik," ucapnya, suara tenangnya berkontras dengan senyum puas yang tergambar dari balik topeng.Kabar yang ia sampaikan selanjutnya seakan menjadi oase di tengah padang pasir keputusasaan. "Sebagai hadiahnya, aku akan memberi kalian kabar baik. Aku bisa membebaskan kalian dari kurungan ini, asalkan kalian bersedia mengikuti permainanku." Kata-katanya menyalakan semangat dalam hati yang telah lama padam.Mata warga yang tadinya mati rasa kini berbinar, seakan-ak
Kakek tua berjenggot putih itu duduk dalam keheningan, matanya terpaku pada layar melayang yang memperlihatkan kekacauan yang ditimbulkan oleh Libra. Urat-urat di dahinya menonjol, tanda kemarahan yang mendidih di dalamnya. Tiba-tiba, dengan gerakan yang penuh amarah, tangannya yang keriput menghantam meja di depannya. Dentuman keras terdengar, dan dalam sekejap, meja itu pecah berkeping-keping seperti kaca yang terlempar. Getaran yang dilepaskan dari pukulannya bukan hanya meretakkan meja; ia merambat ke seluruh struktur gedung 15 lantai, mengguncangnya hingga ke dasar. Suara gemuruh memekakkan telinga bergema, disertai debu dan puing yang menari-nari di udara, menutupi pandangan seperti kabut tebal. Orang-orang di dalam gedung tidak sempat mengucapkan sepatah kata pun sebelum mereka tertimbun dalam reruntuhan. Kakek tua itu berdiri, sekarang melayang di atas awan debu yang tebal, siluetnya tercetak jelas di bawah sinar rembulan. "Beraninya ... beraninya serangga seperti kalian meru
Api membumbung tinggi di berbagai tempat kota Jakarta, membuat langit menjadi semakin merah. Asap tebal mengepul, membawa bau hangus yang menyengat hidung. Jeritan dan teriakan marah bergema, mengiringi langkah para warga yang dengan brutalitasnya membakar gedung demi gedung, mencari-cari markas Kementerian Penanggulangan Bencana Supranatural. Tanpa belas kasihan, mereka menyeret dan menghakimi siapa saja yang mereka curigai sebagai anggota kementerian. Darah tak bersalah pun tumpah di jalanan, menjadi saksi bisu atas keganasan massa yang telah kehilangan segala rasa kemanusiaan. Dalam kekacauan yang tak terkendali itu, sebuah kebetulan membawa mereka pada penemuan yang mengejutkan. Di bawah stadion Gelora Bung Karno, tersembunyi markas rahasia Kementerian Penanggulangan Bencana Supranatural, terbongkar karena mesin penjual minuman otomatis yang hancur—yang tak disangka adalah pintu rahasia. Massa yang sudah termakan oleh hasutan Libra, memaksa menerobos masuk, menghancurkan dan men
Dalam keheningan lorong yang hanya disinari oleh cahaya redup, tiga sosok bertopeng yang masing-masing menggambarkan Kepiting, Kalajengking, dan kepala kambing bergerak dengan langkah yang sinkron. Mereka berhenti di depan sebuah pintu baja yang mengesankan kekokohan tanpa celah.Tidak ada celah atau gagang pintu yang terlihat, hanya deretan tombol mekanik yang menunggu untuk dioperasikan. Angka-angka harus dimasukkan dengan tepat untuk membuka rahasia di balik pintu lapis baja tersebut.Capricorn, dengan topeng kepala kambingnya yang menyeramkan, menoleh ke arah Cancer sambil asap rokoknya mengepul dari balik topeng. "Hei Cancer, ayo giliranmu!" katanya dengan suara yang teredam oleh topeng.Cancer, bertopeng Kepiting, mengangguk singkat. Otot-otot tangannya bergerak seolah memompa semangat. "Tinju Besi!" serunya dengan suara yang bergema di lorong sempit itu.Tanpa ragu atau penundaan, Cancer mengayunkan pukulannya yang kuat dan terarah langsung ke jantung pintu baja tersebut. Kulit
Capricorn menatap layar sistem dengan mata yang terbelalak, tidak percaya. "Tingkat kesulitan SS+? Ini bercanda kan?" gumamnya dengan suara yang serak, penuh kebingungan dan ketakutan.Scorpio, dengan wajah yang pucat pasi karena luka-lukanya, mencoba menilai situasi dengan pikiran yang berkecamuk. Mereka berdua terluka parah, dan ruang sempit Bunker ini hanya akan menjadi kuburan bagi mereka jika harus bertarung dengan Ian."Capricorn, aku akan …" Scorpio baru saja hendak merencanakan langkah selanjutnya ketika tiba-tiba sebuah garis cahaya biru melintas di hadapan mereka. Cahaya itu dingin dan tajam, membelah ruang dan waktu.Dalam sekejap mata, tubuh Scorpio dan Capricorn terbelah menjadi dua, bersamaan dengan Bunker yang juga terpisah oleh tebasan super cepat itu. Angin dingin menyusul tebasan tersebut, membekukan segala sesuatu yang tersentuhnya.Ian berdiri dengan tenang di tengah kehancuran yang ia ciptakan. "Aku tidak punya banyak waktu untuk melayani kalian. Aku harus mencari
Air mata mengalir deras di pipi Theo, setiap tetesnya menggambarkan kerinduan yang tak terucap. Jeni, dengan raut wajah yang bingung dan khawatir, mendekatinya. "Kak Theo, kenapa Kakak menangis?" suaranya lembut namun penuh kegelisahan.Theo, dengan mata yang masih berkaca-kaca, menarik Jeni ke dalam pelukannya. Tubuhnya bergetar saat ia mencoba menahan isak tangisnya yang semakin menjadi-jadi. Rasa rindu yang selama ini terpendam kini meledak bagai air bah.Setelah beberapa saat, Theo menarik napas dalam-dalam dan mengusap air matanya. Senyum tipis menghiasi wajahnya yang sebelumnya tampak murung. "Aku tidak apa-apa kok. Ayo masuk," katanya sambil menggenggam tangan Jeni.Namun, langkah mereka terhenti ketika suara merdu namun dingin menyapa telinganya. "Hei, kamu tahu ini ilusi kan?" Theo membeku sejenak, lalu perlahan menoleh ke arah suara itu.Di sampingnya, seorang wanita remaja dengan rambut pendek yang tergerai anggun dan wajah cantik yang
"Serang!" raungan Joko menggema, memotong kesunyian malam dengan ketegangan yang bisa dirasakan hingga ke tulang. Ia tahu, kekuatan Theo saat ini adalah ancaman yang tak terbantahkan. Dia telah menjadi lebih kuat dari segala sesuatu yang pernah Joko hadapi. Jika ia dan klon-klonnya tidak berusaha sekeras mungkin, maka kematian akan menjemput dirinya. Terlebih lagi, di antara ribuan klon yang ada di pulau tersebut, ada tubuh asli Joko bersembunyi. Ini benar-benar situasi yang membahayakan!Seketika itu, ribuan bilah pedang bersinar, menebas melalui udara dengan koordinasi yang sempurna—sebuah upaya kolektif untuk mengakhiri Theo. Pemandangan itu sungguh menakjubkan, seolah-olah seluruh alam semesta berkonspirasi melawan satu pria.Namun, Theo bergerak dengan ketenangan yang mengejutkan, pedang raksasanya berputar penuh dalam gerakan 360 derajat yang anggun. Cahaya merah darah mengikuti setiap gerakannya, membelah malam dan menangkis serangan demi serangan.