POV SYIFA "Jangan sekarang. Bapak sedang tidak bisa dikunjungi." Elkan memandang tajam padaku Sepertinya dia tak percaya dengan apa yang aku katakan barusan. Bagaimana ini? Dari tatapannya Elkan tampak mulai meragukanku. "owh ... oke, oke. Nanti aku cari waktu yang tepat untuk menemui Bapakku." Akhirnya aku menyerah. "Sekarang saja," ujarnya. "A-apaa? Sekarang? Harus gitu?" Elkan mengangguk cepat. "Lebih cepat, lebih baik," tegasnya. Aku menghela napas dengan kasar. Semoga saja Bapak tidak berkata yang aneh-aneh nanti. Bisa-bisa gagal rencana aku nanti. "Ya, sudah. Ayo!" Tiba-tiba pria itu berdiri. "Ish, Aku kan belum makan. Laper, nih!" "Jangan alasan, Nona cantik! Aku tau kamu sudah makan." Pria itu kemudian melangkah lebih dulu ke area parkir mobil. Sial! Tau dari mana dia kalau aku sengaja mengulur-ulur waktu? Kuayunkan kaki mengikuti langkah pria tampan di depanku ini. Lagi-lagi kami berdua menjadi pusat perhatian. Pengunjung yang kami lewati terus memandang kami,
Pov Syifa"Begini, Nak Elkan. Sebenarnya Bapak tidak mau meneruskan masalah ini ke jalur hukum. Karena Nak Yuda itu tidak sepenuhnya salah. Dia hanya menghindari mobil yang melaju kencang dari arah yang berlawanan. Karena panik, Bapak juga spontan ingin menghindari mobil Nak Yuda. Namun naas, mobil yang bapak bawa terguling dan kami menjadi korban. Nak Yuda selamat. Namun dia tetap bertanggung jawab pada kami semua. Seharusnya mobil yang ugal-ugalan itu yang bersalah. Namun sepertinya mobil itu kabur entah kemana." "Tapi tetap saja Pak Yuda bersalah, Pak. Dia yang menyebabkan meninggalnya Ibu dan adikku, dia juga yang menyebabkan Bapak kehilangan satu kaki. Kenapa Bapak tidak pernah memikirkan hal ini, sih?" pungkasku kesal. Terdengar Bapak menghela napas panjang. "Syifa, Berkali-kali Bapak katakan. Semua Itu adalah ketentuan Allah, Nak. Istighfar kamu, Syifa ...!"sahut bapak dengan suara bergetar. "Tapi Bapak sekarang sudah nggak bisa membiayai aku lagi. Bapak nggak bisa cari uan
Syukurlah sebelum waktu maghrib aku sudah tiba di rumah. Ternyata Mas yuda sudah lebih dulu pulang. Tapi kenapa suamiku itu tidak menghubungi aku? "Assalamualaikum" "Waalaikumsalam," jawab seorang pelayan yang sedang merapikan ruang tamu yang sepi ini. "Pak Yuda sudah pulang?" "Sudah, Bu. Tuan ada di kamar." Gegas aku menaiki tangga menuju kamarku. "Assalamualaikum, Mas." "Waaalikumsalam. Nah, itu Bunda pulang." Ternyata Mas Yuda sudah mandi dan sedang bercengkrama dengan Raihan di tempat tidur. Wajah keduanya nampak sangat ceria dan bersemangat. Perlahan aku dekati mereka dan menciumnya satu persatu "Bunda mandi dulu sana! Bauu . .!" "Ish ...!" spontan kulayangkan pukulan kecil pada lengan suamiku itu. Kemudian beranjak menuju kamar mandi. Sontak kedua laki-lakiku itu tertawa terbahak-bahak. Sungguh aku sangat bahagia melihat Raihan semakin dekat saja dengan Mas Yuda. Walau hanya ayah tiri, suamiku itu selalu memperlakukan Raihan istimewa. Saat makan malam. Sikap Mas Yu
Napasku memburu menahan emosi. "Hey! Tenanglah!" Mas Yuda membelai punggungku lembut. Mataku memanas. Aku sangat merasa bersalah pada Mas Yuda. Tapi suamiku ini justru berusaha menenangkanku. Seharusnya dia marah karena aku pergi menemui seseorang tanpa seizinnya. Apalagi yang aku temui seorang laki-laki. "Maafkan aku, Mas!" Aku manjatuhkan kepalaku di atas dada bidangnya dan menangis tergugu. "Kenapa menangis, Salma? Aku tidak memarahimu, bukan?" Mas Yuda tersenyum seraya menunduk menatapku. "Beneran Mas Yuda nggak marah?" Aku kembali mendongakkan wajahku. "Tidak, Sayang. Aku percaya padamu. Lagipula Elkan sudah ceritakan semuanya. Dia juga mengirim fotomu padaku." Astaga, foto! "Tidak hanya Elkan yang mengirim foto itu padaku. Tapi juga Syifa." Aneh, Mas Yuda justru terkekeh. "Jadi benar laki-laki bertopi yang foto aku itu suruhan Elkan?" Mas Yuda menggeleng. "Lalu?" "Suruhanku!" Aku semakin bingung. "Kenapa? Bingung, ya?" Aku mengangguk. Sebenarnya aku sedang mencob
Pagi ini aku ikut ke kantor Mas Yuda. Suamiku itu bilang pagi ini juga Elkan akan datang. Siangnya aku berencana akan mengurus rumah kost dan rumahku yang di kampung Bawal. Sekaligus ingin menengok Ibu. Entah kenapa sejak kemarin kepikiran terus dengan mertuaku itu. Aku khawatir jika beliau sakit. "Selamat pagi Pak Yuda, Bu Salma!" Kami berpapasan dengan Syifa di lift. Wanita itu tampil rapi dengan hijab segiempatnya. Teringat kembali saat melihat perempuan itu di cafe. Dia melepas hijabnya. Apa sebenarnya dia memang tidak memakai hijab? "Selamat pagi, Syifa," balas Mas Yuda. Sementara aku hanya menggangguk saja. Syifa sepertinya sedang memperhatikan kami berdua. Sejak tadi dia memandang heran pada kami. Sepertinya dia memikirkan sesuatu Setelah keluar dari lift, kami berjalan bersisian menuju ruang Mas Yuda, dengan melewati kubikel para karyawan. Seperti biasa, Mas Yuda selalu menggenggam jemariku ketika kami melangkah bersama. Lagi-lagi Syifa menatap heran dan bingung pada k
"Mas, Elkan sudah datang!' Mas Yuda hanya mengangguk. Shyfa mengantar Elkan ke ruangan Mas Yuda.. "Silakan, Pak Elkan!" Syifa membukakan pintu untuk Elkan. Mas Yuda berdiri menyambut sahabatnya itu. Mereja saling berpelukan bagaikan sahabat yang sangat dekat. "Pagi Nyonya Yuda!" sapanya seraya menangkupkan kedua tangannya di depan dada "Pagi !" sahutku datar. "Yud, kayaknya ada yang marah sama aku, nih!" sindirnya seraya melirikku dengan sudut matanya. "Tenang, sudah aku jelasin semua," goda Mas Yuda sambil tersenyum padaku. "Salma, Aku minta maaf!" lirih pria yang selalu berpenampilan bak artis itu seraya mendekat dan menatapku lekat. Berani sekali dia menatapku seperti itu di depan suamiku. Sontak aku memalingkan wajah. "Ya, sudah aku maafin, kok!" sahutku tanpa menoleh padanya. Sementara Mas Yuda sedang sibuk mencari dokumen yang tercecer di sekitar mejanya. Kita bisa mulai sekarang, Yud? Siang ini aku ada ketemu klien." "Oke, oke! Silakan!" Elkan mengeluarkan bebera
"Salma ..., Salma ...!" Langkahku terhenti mendengar ada yang memanggilku. Ketika aku menoleh ke belakang, mataku melebar saat melihat Elkan sedang berlari kecil hendak menghampiriku. Ingin rasanya menghindar darinya, namun entah kenapa tubuhku justru menunggunya. Ada rasa kasihan melihatnya berlari mengejarku. "Salma! Boleh bicara sebentar?" wajahnya nampak serius. "Kamu mau prank aku lagi?" ketusku seraya mendelikkan kedua mata. "Ya nggak, lah!. Kalau kemarin itu memang ide suamimu. Aku nggak ikut-ikutan." "Halah! Kamu pasti bohong!" "Memang iya! Hahaha ...!" Karena merasa kembali akan di kerjain, aku membalikkan tubuhku dan melangkah meninggalkannya. Namun tiba-tiba Elkan melompat dan berdiri dihadapanku. "Astaga, mau kamu apa, sih?" sontak aku terkejut dan hampir saja menabraknya. "Salma, ada hal penting yang ingin aku bicarakan!" "Maaf, aku buru-buru ...!" Dengan langkah lebih cepat aku melewatinya. Namun Elkan terus mengikutiku hingga sudah keluar lobby. Perlahan aku
"Salma, maafkan aku. Pengemudi yang ngebut dan ugal-ugalan penyebab Irsan celaka sebenarnya adalah ... Aku." Aku terperanjat mendengar pengakuan pria di hadapanku ini. Kenapa aku baru tahu sekarang? Menurut Bang Safwan dulu, pengemudi mobil sport yang menyebabkan Bang Irsan celaka melarikan diri dan kasus ditutup. "B-bukankah saat itu kamu melarikan diri dan lepas tanggung jawab?" tanyaku dengan suara bergetar "Jika aku lepas tanggung jawab, mana mungkin aku berani datang ke pemakaman dan ke rumah Irsan?" jelasnya membela diri. Sungguh aku bingung. Apa para iparku itu telah membohongiku? "Sebagai rasa tanggung jawabku, Aku memberikan sejumlah uang untuk istri dan calon anak Irsan. Memang, berapapun nominalnya tidak akan ada artinya bagimu yang sudah kehilangan seorang suami." lirihnya. "Sungguh aku sangat menyesal. Waktu itu aku ingin menyampaikan sesuatu padamu sebagai pesan dari Irsan. Namun, keluargamu melarangku menemuimu. Setelah penyerahan uang sebesar satu milyar itu, mer
"Mas, sepertinya lagi banyak tamu." Langkah Seruni terhenti ketika hendak masuk ke dalam rumah bersama Elkan. "Mereka semua kakak-kakakku. Ayo kita masuk!" Seruni merasa ciut ketika melihat penampilan kakak-kakak Elkan dan keponakannya yang glamour dan elegan. Sangat jauh berbeda dengan dirinya yang sangat sederhana. "Kenapa? Takut? Atau malu?" bisik Elkan saat Seruni menolak untuk masuk ke dalam. Seruni menggeleng dengan wajah pucat. Ia takut tidak diterima oleh keluarga besar suaminya. "Ayo Sayang ...!" Seruni menunduk menatap pakaiannya. Untunglah di mall tadi dia sudah berganti pakaian dengan yang baru. Kemeja dan kulot berbahan silk import yang sempat membuat Seruni ternganga melihat harganya. Setelah menarik napas panjang, Seruni menggandeng tangan Elkan untuk masuk ke dalam. "Selamat malam semua ...!" sapa Elkan pada keluarga besarnya yang sedang berbincang di ruang tamu. "Malam ..., nah ini dia yang ditunggu-tunggu2 sudah datang." Semua menoleh ke arah pintu. Seruni m
"Kami akan mengundang kalian di acara resepsi kami minggu depan." Elkan menyerahkan sebuah undangan berwarna perak. "Resepsi?" Salma masih memandang heran dengan keduanya. "Syukurlah. Akhirnya kamu menikah juga. Aku pikir kamu akan seperti Rein." Yuda tertawa lega. Elkan tersenyum namun sesekali masih mencuri-curi memandang Salma dengan lekat. Hal ini pun tidak luput dari penglihatan Seruni dan Yuda. Mereka berbincang hangat. Seruni sesekali ikut tertawa, menjawab secukupnya jika ada yang bertanya. Kesan pertama Seruni pada Salma adalah seorang wanita yang lembut dan ramah. Sungguh Seruni sangat kagum pada sahabat suaminya itu. Seruni pun merasa ada sesuatu antara suaminya dengan Salma. Namun entahlah, dia belum bisa menerka-nerka. Seruni melihat tatapan yang berbeda dari suaminya saat memandang Salma. Raihan dan Maina pun sangat akrab dengan Elkan. Seruni juga melihat suaminya itu sudah sangat familiar dengan lingkungan di rumah itu. Termasuk para pelayannya. Namun Seruni melih
"Elkan .. , akhirnya kamu datang," ucap Salma. Sungguh ia tak percaya dengan apa yang dia lihat saat ini. Elkan spontan berdiri, lalu menatap wanita yang hampir menjadi istrinya itu dengan lekat. Semua kenangan itu langsung terlintas begitu saja di benaknya. Banyak waktu yang telah mereka lalui bersama. Kenangan itu masih sangat segar di ingatannya. Salma pun demikian. Ia mampu melewati masa-masa sulitnya bersama Elkan. Pria yang mau menemaninya di saat dirinya tak punya siapa-siapa. Pria yang selalu menyemangatinya di saat dirnya lemah. Entah apa yang terjadi jika tak ada Elkan di dekatnya waktu itu. Elkan bahkan mau berkorban demi kebahagiaannya dan Yuda. Seruni merasakan ada sesuatu diantara suaminya dan wanita yang dipanggil Salma itu. Wanita berhijab yang sangat cantik dan anggun. Seruni sempat kagum pada kecantikan wajah Salma yang begitu menenangkan.. "Om Elkan, ayo kita masuk!" Yumaina menarik lengan kekar Elkan untuk masuk ke ruang tamu. "Astaghfirullah ... Sampai l
"Maaf, ya ...! Maaf ...! Saya permisi dulu. Istri saya sudah menunggu!" "Apaa? Istri?" "Mas Elkan becanda ya? "Memangnya Mas Elkan sudah punya istri?" Para wanita penggemar Elkan itu bukannya menjauh, malah semakin penasaran ketika Elkan mengatakan ditunggu istrinya. "Oke ... oke, Aku akan perkenalkan istriku pada kalian." Elkan berkata seraya tersenyum menatap istrinya yang sedang cemberut sejak tadi. Mata Seruni melebar mendengar ucapan Elkan. Wanita itu lantas memberi kode dengan tangannya agar suaminya itu tidak melakukannya. Dia belum siap jika Elkan memperkenalkan dirinya sebagai istrinya di depan umum. "Yang mana istrinya Mas Elkan?" "Ayo dong Mas kenalin sama kita-kita!" Para wanita itu penasaran sambil memandang sekeliling. Elkan tak menyia-nyiakan kesempatan itu, perlahan melangkah menuju meja Seruni. Para Wanita itu terus memperhatikan Elkan yang ternyata menghampiri seorang gadis remaja yang sangat cantik walau tanpa riasan wajah. Gadis dengan rambut panjangnya
"Mas, kita ke mall ini?" Seruni memandang takjub mall besar dan megah di hadapannya. "Iya. kita parkir mobil dulu." Mobil Elkan baru saja memasuki Mall besar di daerah cassablanca. Karena akhir pekan, mall itu tampak sangat ramai pengunjung. Bahkan untuk masuk mencari parkir saja harus sabar mengantri. "Mau nonton dulu, atau belanja?" "Nonton bioskop, Mas? Wah, pasti bioskopnya bagus banget di sini." Elkan terkekeh melihat kepolosan Seruni. Gadis yang unik, namun sangat menyenangkan.. "Aku belanja apa lagi sih, Mas?" "Kata Mama, pakaian kamu itu standar remaja banget modelnya. Nanti orang-orang pikir aku ini bukan suamimu. Tapi Bapakmu." Mereka terbahak-bahak. "Tapi aku enggak ngerti model, Mas." "Gampang. Nanti minta bantuin manager tokonya." Setelah memarkir mobil, Elkan membawa Seruni masuk ke dalam mall. Nampak banyak muda mudi yang berpasangan menghabiskan waktu berakhir pekan. Seruni bergelayut manja pada lengan Elkan. Sesekali berdecak kagum melihat kemegahan mall ya
"Loh, Seruni kamu ngapain di sini?" Bu Astrid menegur Seruni yang berada di dapur. "Selamat pagi, Ma. Aku lagi masak sarapan untuk Mas," sahut Seruni tenang. Ia tak menyadari kalau Bu Astrid sudah melotot pada beberapa pelayan di sana. "M-maaf nyonya. Kami tadi sudah melarang. Tapi Non Seruni tetap mau di sini," sahut salah seorang pelayan. "Nggak apa-apa, Ma. Runi sejak kemarin nggak ngapa-ngapain. Bingung, cuma makan dan tidur aja," jelas Seruni sambil mengupas udang di wastafel. Nyonya Astrid hanya menggeleng-geleng kepala, lalu berjalan meninggalkan dapur, kemudian menghampiri putranya yang sedang minum kopi di teras samping. "Elkan, istrimu itu sebaiknya kuliah saja. Sepertinya dia jenuh di rumah." "Apa? Kuliah? Bagaimana nanti jika ada pria seumurannya yang tertarik dengannya?" pikir Elkan dalam hati. Pasti akan banyak pria yang akan tertarik dengan istrinya yang cantik itu. "Elkan, kok malah ngelamun? Kamu setuju, kan?" "Ya nanti aku bicarakan dulu dengan Seruni, Ma."
"M-massshh ...!" Lagi-lagi Seruni mengigau menyebut kata 'mas'. Suara Seruni hampir mirip seperti desahan di telinga Elkan. Hingga membuat miliknya memberontak di bawah sana. Elkan tak mungkin melakukannya disaat istrinya tertidur. Dia tak bisa membayangkan gadis itu akan terkejut bahkan mungkin berteriak di saat terjaga nanti. Elkan geleng-geleng kepala. Saat ini dia hanya bisa menikmati pelukan Seruni yang cukup erat. Hembusan napas gadis itu menyapu hangat wajahnya. Kini mereka saling berhadapan dan sangat dekat. Elkan mulai bergerak gelisah. Rasa lapar yang tadi menyerangnya kini berubah menjadi rasa yang berbeda. Perlahan didekatkan wajahnya pada Seruni hingga mereka nyaris tak berjarak. Elkan memberanikan diri mengecup singkat bibir ranum milik istrinya. Cukup singkat, namun berkali-kali. Setelah menarik napas panjang, Elkan mencoba untuk mengecupnya lebih lama. Mungkin sedikit melumatnya dengan lembut tidak akan membuat istrinya itu terjaga. Bagai kecanduan, Elkan tak ma
"Ini kamar Mas?" Seruni memandang takjub kamar yang begitu besar, bahkan lebih besar dari rumah mereka di desa. Kamar yang menyatu dengan ruang kerja Elkan itu dilengkapi dengan berbagai elektronik dan perabot mewah. "Iya. Ini rumah orang tua Mas. Semua fasilitas di rumah ini milik Mama dan Papa. Kalau rumah Mas tidak sebesar ini." Elkan duduk di tepi ranjang. Memandang Seruni yang masih terkagum-kagum dengan kamar mewah mirip hotel kelas bintang lima itu. Elkan tersenyum melihat wajah Seruni yang sedang terpesona. "Aku berasa mimpi bisa tidur di kamar ini, Mas." . Elkan langsung teringat sesuatu setelah mendengar ucapan Seruni. Tidur di kamar ini berdua dengan Seruni tentu sangat indah. Ini pasti akan menjadi malam pertamanya yang luar biasa. Pikiran liar pria tampan itu langsung travelling ke mana-mana. Mungkin setelah ini ia akan mengajak Seruni membeli beberapa pakaian, termasuk beberapa pakaian tidur yang sexy dan transparan. Elkan meneguk salivanya saat membayangkan Seruni
Elkan menggandeng Seruni yang nampak sangat gugup. Ia melihat Seruni tidak percaya diri dengan penampilannya yang sangat sederhana. "Selamat datang Tuan muda!" seorang wanita paruh baya membuka pintu dan mempersilakan Elkan dan Seruni masuk. "Mama Papa di mana, Mbok?" "Ada di ruang keluarga, Tuan." Mbok Asih, salah satu asisten rumah tangga mereka memandang Seruni dengan penuh tanda tanya. Selama bertahun-tahun bekerja di rumah orang tua Elkan, baru kali ini anak majikannya itu membawa wanita ke rumah. "Ini Seruni, Mbok. Istriku." Seruni mengangguk seraya tersenyum pada Mbok Asih." "Oalaaah, nikahannya jadi, toh waktu itu? Mbok kirain nggak jadi gara-gara nyonya dan tuan nggak bisa hadir. ya sudah sana cepat dikenali istrinya!" "Iya, Mbok. Seruni memandang Elkan penuh tanda tanya. ia tak mengerti apa yang dibicarakan Mbok Asih. Elkan pun blm sempat membicarakannya. "Yuk kita ke atas. Mama dan Papaku di sana." Seruni memandang setiap foto yang ia jumpai. Ada beberapa fot