Bian meringis setelah selesai membayar biaya tambahan saat mengurus kepulangan sang Ibu. Kini, uang yang tersisa di ATM-nya benar-benar tinggal sedikit. Dia harus putar otak supaya bisa mencukupi kebutuhan hingga akhir bulan."Kamu kenapa, Bian?" tanya Bu Jannah."Nggak apa-apa, Bu," jawab Bian berbohong.Tak mungkin dia jujur pada sang Ibu bahwa saat ini dia sedang dalam kesulitan."Kalau gitu, yuk kita pulang sekarang! Ibu udah nggak sabar pengen nyampe rumah," ajak Bu Jannah sumringah."I-iya, Bu!" angguk Bian.*****"Loh, kamu kok malah pesan taksi online sih, Nak? Memangnya, mobil kamu kemana?" tanya Bu Jannah heran."Mobilnya sudah Bian jual, Bu," jawab Bian jujur."Dijual? Kenapa?" pekik Bu Jannah tak percaya."Untuk bayar biaya operasi Ibu waktu itu.""Loh, memangnya Najwa nggak kasih uang ke kamu? Kenapa malah mobil kamu yang harus dikorbankan? Dia kan punya uang banyak.""Nanti Bian jelasin ya, Bu!" ucap Bian menenangkan sang Ibu.Setelah itu, dia pun membantu sang Ibu untuk
"Kamu ngapain ngajakin aku kemari, sih?" tanya pria itu dengan gusar."Aku kangen sama kamu, Sayang!" rengek Salma manja sembari memeluk sang kekasih dengan erat."Kamu apa-apaan, sih? Kalau suamimu tiba-tiba pulang, gimana?" Sang pria berusaha terbebas dari pelukan Salma."Kok, kamu sekarang jadi gini sih, sama aku? Mentang-mentang aku udah nggak pernah kasih kamu uang lagi, kamu malah jadi sejahat ini sama aku!" sungut Salma kesal.Bibir yang sudah ia poles dengan lipstik merah menyala tampak mengerucut. Tali lingerie yang sedikit melorot di bahunya, dia benarkan kembali.Padahal, Salma sengaja berdandan cetar dan seksi hanya demi menggoda sang kekasih. Namun, respon pria itu justru malah begitu dingin dan ketus."Bukannya gitu, Sayang! Tapi kan, kamu tahu sendiri kalau akhir-akhir ini aku lagi butuh uang banget. Aku terpaksa harus kerja banting tulang demi bayar uang kontrakan dan beli makanan. Belum lagi, aku juga harus bayar cicilan motor. Aku pusing, Sayang!" Pria itu menjambak
"Ada apa ini, Mas Bian?" tanya salah seorang warga yang berdiri tepat didepan pintu rumah kontrakan Bian."Tolong tangkap perempuan itu, Pak! Dia sudah berzina dengan adik ipar saya sendiri. Dia juga telah mencelakai Ibu saya," pinta Bian pada Bapak-bapak tersebut."Minggir!" seru Salma panik. Dia berusaha mendorong pria paruh baya yang berdiri menghalangi pintu.Akan tetapi, dia tak lagi bisa berkutik ketika warga lain ikut datang dan menangkap dirinya yang berusaha untuk kabur."Ibu nggak apa-apa?" tanya Bian pada sang Ibu. Sigap, dia membantu sang Ibu untuk duduk kembali diatas kursi rodanya."Ibu nggak apa-apa," jawab Bu Jannah. "Kamu harus hukum perempuan jahanam itu, Nak! Gara-gara dia, kondisi Ibu jadi seperti ini."Tak berselang lama, Dika pun turut diseret paksa oleh para warga untuk keluar dari dalam kamar. Kondisi pria itu hanya mengenakan celana dalam. Wajahnya yang babak belur, tampak dia sembunyikan dibalik baju yang belum sempat ia kenakan."Mas, lebih baik mereka kita
"Ta-tapi, saya nggak ada uang sebanyak itu, Pak!" ucap Dika dengan suara gemetaran."Kalau kalian menolak membayar denda, siap-siap saja masuk penjara!" ancam Bian lagi."Mas, tega sekali kamu!" pekik Salma tak terima."Tentu saja aku tega. Manusia seperti kalian, tidak pantas untuk dihargai sama sekali.""Jadi, bagaimana keputusannya, Mas Dika? Bersedia bayar denda, atau perbuatan kalian diproses hukum saja?" tanya Kepala desa menengahi.Dika kembali tertunduk dalam. Ah, pikirannya benar-benar terasa buntu."Sayang, aku nggak mau dipenjara. Tolong, kamu bayar saja dendanya! Ya?" bujuk Salma sambil menatap Dika.Melihat cara pandang Salma pada Dika, Bian sadar betul bahwa wanita yang baru saja dia cerai itu sangat mencintai adik iparnya sendiri. Dan bodohnya, kenapa Bian baru sadar akan arti tatapan itu sekarang? Padahal, setiap kali Salma dan Dika bertemu, tatapan Salma memang selalu begitu walaupun mulutnya berpura-pura menghina Dika."Aku mau dapat uang darimana, Salma? Kan, kamu ta
Salma syok mendengar pengakuan Dika. Hatinya patah oleh perkataan yang Dika keluarkan."Nggak. Jangan jadi laki-laki brengsek kamu, Dik! Setelah semua hal yang aku kasih ke kamu, kenapa kamu malah tega giniin aku?" pekik Salma dengan amarah yang kian membuncah."Aku udah kasih semuanya loh, buat kamu! Aku bahkan selalu sisihin uang pemberian Mas Bian setiap bulannya untuk kamu. Tapi, kenapa balasan kamu malah kayak gini? Kenapa kamu malah mencintai perempuan seperti Najwa, hah? Apa hebatnya dia dibanding aku?" lanjut Salma meraung murka."Jelas, Najwa lebih segalanya dibanding kamu, Salma! Najwa itu mahal. Dapetinnya susah. Bahkan, sudah hampir sah jadi janda pun, dia tetap menjaga harga dirinya sebagai seorang wanita yang bermartabat." Dika menatap Salma sambil tersenyum sinis. "Beda sama kamu yang dari sananya udah murahan. Yang mau-maunya aja ditiduri lelaki manapun padahal sudah punya suami," lanjut Dika lagi."Diam, Dik!" hardik Salma.Sementara itu, Bian yang terlihat fokus mend
"Kenapa masih berdiri disitu? Kamu nggak dengar apa kata Ibu, ya? Minggir, Najwa!" ucap Bu Jannah ketus."Siapa yang mengizinkan Ibu dan Mas Bian masuk?""Ya, nggak ada. Kenapa juga harus minta izin? Ini kan, rumah Ibu dan Bian juga," jawab Bu Jannah."Ini rumah saya, Bu! Bukan rumah Ibu dan juga Mas Bian. Ngerti?""Walaupun rumah ini dibangun sama Kakek kamu, tapi tetap saja Ibu dan Bian juga punya hak. Bukankah, kami ini mertua dan juga suami kamu?"Hah! Najwa benar-benar merasa speechless. Ada ya, spesies langka seperti kedua manusia ini dimuka bumi?"Saya sudah menggugat cerai Mas Bian, Bu! Jadi, kami sudah tidak bisa tinggal serumah lagi.""Bian menolak gugatan perceraian itu. Jadi, tidak akan pernah ada perpisahan diantara kalian. Paham?""Biar nanti pengadilan agama saja yang menentukan, Bu!"Bu Jannah menghela napas kasar. Najwa memang sangat keras dan tegas. Persis, seperti deskripsi Bian saat hendak berangkat tadi."Kata talak itu, adanya pada suami. Jadi, hakim pengadilan ag
"Mereka udah pada pergi, Bi?" tanya Najwa saat Bi Iroh kembali masuk ke dalam."Alhamdulillah, sudah, Mbak. Tadi, udah ta' usir," jawab Bi Iroh dengan bangganya."Bagus, kalau begitu. Terimakasih banyak, ya, Bi. Besok-besok, kalau mereka datang lagi pas saya nggak ada, langsung usir aja. Nggak usah dikasih hati.""Baik, Mbak," angguk Bi Iroh patuh. "Tapi, Mbak... memangnya, mereka siapa?"Najwa menghela napas panjang. "Mereka calon mantan suami dan mertua saya, Bi.""Oh, gitu," Bi Iroh manggut-manggut. "Wajar sih, kalau Mbak Najwa ngusir mereka. Wong, mulut mereka berdua pada kayak mercon kalau lagi ngomong. Kayak manusia yang nggak pernah diajari sopan-santun. Terutama, Ibu mertua Mbak Najwa itu, tuh! Sudah duduk di kursi roda begitu, tapi masih aja, mulutnya nggak bisa disaring kalau lagi ngomong.""Mereka memang kayak gitu, Bi. Makanya, saya memutuskan untuk terlepas dari mereka.""Harus itu, Mbak! Sebagai wanita yang mandiri, seharusnya Mbak Najwa nggak perlu tuh, miara benalu kay
Pagi-pagi sekali, Najwa sudah siap untuk berangkat ke pengadilan agama. Hari ini merupakan agenda sidang kedua perceraian antara dirinya dan juga Bian.Diparkiran pengadilan agama, Najwa kembali bertemu dengan Bian. Namun, kali ini lelaki itu tak sendiri. Dia terlihat membawa serta sang Ibu bersamanya."Najwa!" panggil Bian seraya mendorong kursi roda sang Ibu mendekati Najwa."Ada apa?" tanya Najwa datar. Dia melipat kedua tangannya didepan dada, sembari berdiri dengan tegak disamping mobil gagahnya."Mobil siapa ini? Apa mobil kamu, Wa?" celetuk Bu Jannah dengan tatapan berbinar-binar."Alhamdulillah, Bu," sahut Najwa. "Ini memang mobil saya.""Bagus sekali. Pasti, menyenangkan kalau mobil ini kita bawa jalan-jalan ke rumah saudara kita, Bian." Bu Jannah mendongak menatap putranya. "Mereka pasti akan sangat menghargai kita dan memuji-muji kamu."Bian nyengir. Merasa agak malu gara-gara perkataan sang Ibu. Sementara, Najwa tampak melongo. Dia tak menyangka, Bu Jannah akan berucap sep
"Sialan!! Kenapa jadi begini? Kenapa Najwa malah bahagia dengan lelaki lain? Seharusnya, dia itu kembali sama aku. Bukan malah melupakan aku dan menikah dengan pria lain!!"Bian berteriak kesal yang membuat teman-teman satu selnya menjadi ikut-ikutan kesal."Hei, bisa diam, nggak lu?" hardik seorang pria berbadan besar."Apa?" tantang Bian. "Kalau gue nggak mau diem, lu mau apa, hah?" Ia berkacak pinggang dengan begitu angkuh."Oh, lu berani sama gua?" Pria berbadan besar itu berdiri dari duduknya.Sontak, tahanan lain langsung mendadak riuh. Mereka memanas-manasi keadaan supaya terjadi pertengkaran seru."Emangnya, kenapa gua mesti takut sama lu, hah? Modal badan gede doang, udah sombong lu!""Sialan!"Bugh!Satu pukulan keras menghantam dagu Bian. Lelaki itu langsung mundur ke belakang dengan sedikit kehilangan keseimbangan."Lu berani mukul gua?" Bian mulai naik pitam.Disiapkannya tinju, lalu ia layangkan dengan cepat ke arah pria berbadan besar itu. Sayangnya, tangan Bian justru
Satu tahun kemudian... "Hoekkk!! Hoek!!" "Wa, kamu masih mual?" tanya Halimah seraya menghampiri sang sekretaris yang sedang muntah di toilet yang ada di ruangannya. "Iya, Kak," jawab Najwa. Dia menekan tombol flush pada closet kemudian berbalik menatap Halimah. "Ini sudah lebih seminggu loh, Wa." Halimah mengingatkan. "Paling cuma masuk angin aja, Mbak. Beberapa hari lagi pasti sembuh, kok. Atau, mungkin magh-ku kambuh. Soalnya, akhir-akhir ini aku malas banget buat makan. Kayak nggak nafsu gitu tiap kali lihat makanan." "Bulan ini, kamu sudah haid?" selidik Halimah. "Belum, Kak," geleng Najwa. "Bulan kemarin juga belum. Kenapa, ya?" Plak! Halimah menampar bahu Najwa saking gemasnya. "Kamu nggak nyadar sesuatu, Wa?" tanya Halimah. "Maksud Kak Halimah, apa?" "Jangan-jangan, kamu hamil, Wa?" tebak Halimah.
"Urusan apa lagi, Tante Sephia? Apa Tante masih belum jera juga, mencari masalah dengan kami?" Deva menatap wajah wanita tua itu dengan tajam. Geliginya bergemelatuk dengan keras. Ia sudah sangat siap andai Bu Sephia ingin kembali memulai masalah baru dengannya dan keluarganya. Bruk! Namun, dugaan Deva rupanya salah. Bukan hendak mencari masalah, tetap wanita tua itu justru malah menjatuhkan diri dihadapan Najwa dan Deva. Kedua tangannya saling menyatu didepan dada. Ia meneteskan air mata seraya mendongak menatap Deva dan Najwa seraya bergantian. "Maafkan saya dan keluarga saya! Saya mohon..." pinta Bu Sephia mengiba. "Tante, jangan begini! Ayo, bangun!" Najwa berusaha membuat wanita tua itu berdiri. Akan tetapi, Bu Sephia menolak dan tetap bersikukuh untuk berlutut dihadapan Najwa dan juga Deva. "Suami dan putri saya sudah meninggal karena kesalahan kami sendiri. Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Indra. Dan, saya tidak ingin terkena karma lagi. Saya tidak mau keh
Deva menghentikan langkahnya. Ia menengok kebelakang untuk sesaat kemudian kembali melangkah. "Tidak usah. Apapun yang terjadi pada mereka, sama sekali bukan tanggung jawab kita." Teddy mengangguk tanda mengerti. Raungan Bu Sephia adalah hal terakhir yang Deva dengar sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat itu. "Mas..," sambut Najwa saat Deva telah kembali. "Tangan kamu, gimana?" tanya Deva seraya menghampiri sang istri. "Alhamdulillah, sudah agak mendingan." "Maaf, karena aku baru sempat menanyakan keadaan kamu, Sayang!" "Nggak apa-apa, Mas. Ngomong-ngomong, gimana kondisi keluarga Mbak Intan?" "Mereka semua baik-baik aja. Cuma... Tante Sephia sepertinya belum menerima kenyataan bahwa putrinya sudah berpulang." Najwa meneguk ludahnya. Dia turut prihatin akan kepergian Intan yang begitu tragis. Namun, bukankah Intan sendiri yang menentukan akhirnya hidupnya? Wanita itu sendiri yang telah nekat menghancurkan dirinya. "Nak Deva...," panggil Bi Tin. Deva tersenyum hanga
"Galih... kamu dimana, Nak?"Teriakan seorang Ibu yang mengkhawatirkan putranya terdengar begitu menyayat hati. Najwa langsung menyambut wanita tua yang datang bersama beberapa tetangga lain dari kampung dengan langkah tergesa."Bi Tin," sapa Najwa.Bi Tin dengan wajah sembap, langsung menggenggam kedua telapak tangan Najwa."Galih dimana? Bagaimana kondisinya? Dia selamat, kan?" cecar Bi Tin dengan suara bergetar."Masih ditangani dokter, Bi. Galih kekurangan banyak darah.""Ya Allah...," Bi Tin merasakan persendiannya terasa lemas.Dia hampir jatuh bersimpuh. Namun, Najwa dan yang lain berusaha menahan tubuhnya agar tetap berdiri tegak."Duduk dulu, Bi!" ucap Najwa sambil membantu wanita tua itu untuk duduk di kursi besi."Galih...," racau Bi Tin sambil terus menangis."Maafkan Najwa, Bi! Semuanya karena Najwa," lirih Najwa yang ikut duduk disebelah Bi Tin.Bi Tin menghela napas panjang. Dia berusaha mengusir sesak yang menghimpit dadanya.Pasalnya, putra satu-satunya yang ia miliki
"Lepas!!!" teriak Intan membabi-buta. Dia ingin terbebas dari kuncian dua orang tim keamanan yang memeganginya."Aku akan bunuh kamu, Najwa!!!" teriaknya saat melihat kehadiran Najwa diantara banyaknya tamu di pesta ulangtahun Iqbal.Tak Intan hiraukan tatapan-tatapan takut sekaligus geram yang diberikan oleh para hadirin. Wanita itu hanya terus fokus pada Najwa yang saat ini sedang dipeluk oleh Halimah. "Aku akan bunuh perempuan itu! Lepas, Pak! Lepaskan saya!""Tunggu, Pak!" teriak Deva dari belakang.Para tim keamanan itu pun berhenti. Mereka memberi hormat kepada Deva sebelum membuka jalan untuk pria itu agar bisa mendekati Intan.Plak!Semua orang tercengang melihat kejadian barusan. Seorang Deva, yang selama ini pantang memukul wanita... dengan penuh kesadaran justru menampar Intan dengan sangat keras."Deva...," lirih Intan serak. Air matanya jatuh membasahi pipinya."Apa?" tanya Deva dingin. "Apa kamu sudah puas?""Aku begini karena kamu...," timpal Intan."Karena aku?" Deva
"Tolong!!!" teriak Najwa lebih keras.Atensi para hadirin yang datang langsung tertuju ke arahnya. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Tubuhnya gemetaran.Deva yang mendengar teriakan istrinya pun turut menoleh. Matanya langsung melebar sempurna saat melihat tangan sang istri yang bercucuran darah.Prang!Gelas yang dipegang Deva langsung pecah tak berbentuk saat lelaki itu tanpa sadar melepasnya begitu saja dari genggaman.Deva berlari begitu cepat menghampiri sang istri yang saat ini seperti hampir kehabisan napas."Najwa! Sayang... kamu kenapa?" tanya Deva panik. "Dokter!!! Saya butuh dokter!" teriaknya begitu keras.Halimah dan Iqbal turut menghampiri Najwa."Ada apa?" tanya Halimah."Bal, panggil dokter! Istriku butuh dokter!" titah Deva panik sambil memegang tangan Najwa yang berdarah."Panggil Ivanna!" kata Iqbal pada seorang pria yang berdiri dibelakangnya."Oke," angguk pria itu.Tak lama kemudian, seorang wanita dengan gaun malam berwarna hitam datang mendekat. Wanita itu men
Di dalam kamar yang begitu gelap, Intan sengaja mengurung diri. Ponsel yang terus menerus berdenting diatas kasur berusaha ia abaikan.Rentetan notifikasi yang menyesaki layar ponselnya tak ingin ia lihat sedikitpun. Mengintip pun, tidak."Diam!!!" teriak Intan memaki ponselnya.Telinga ia tutup rapat-rapat dengan kedua telapak tangannya. Dia duduk di pojok, dekat jendela yang tertutup rapat tirai berwarna abu-abu."Berhenti menghakimi aku!!! Aku nggak salah!!" teriaknya lagi.Intan benar-benar tak tahan dengan cacian dari warganet. Apalagi, beberapa bahkan sengaja menerornya melalui DM Ig dan FB."Intan!!! Kamu kenapa, Nak?" teriak Bu Sephia dari luar kamar.Digedor-gedornya kamar sang putri namun tak ada respon sedikit pun dari si pemilik kamar. Hanya racauan Intan saja yang terus terdengar sedari tadi."Ma, sudah! Biarkan saja dia melakukan apa yang dia mau," tukas Indra sambil menarik sang Ibu menjauh dari kamar sang adik."Ndra, kamu nggak kasihan sama adik kamu, hah?" tanya Bu S
"Jadi, kamu sekarang kerja di catering?" tanya Halimah pada lelaki yang usianya terpaut agak jauh dibawahnya itu.Galih menghela napas dalam-dalam. Dia mengangguk tanpa berani menatap langsung ke arah mata mantan atasannya itu."Najwa juga akan datang ke pesta ini. Saya harap, kamu tidak akan berbuat nekat lagi seperti dulu!" peringat Halimah.Lelaki itu hanya diam saja. Sejujurnya, dia teramat bahagia karena akhirnya bisa bertemu dengan Najwa lagi.Akan tetapi, disudut hati yang lain, Galih justru merasa malu. Bagaimana tidak? Pekerjaannya sekarang hanya seorang karyawan catering. Pelayan, yang derajatnya bahkan dipandang sangat rendah oleh sebagian kalangan berada."Saya harus pergi sekarang, Bu! Permisi!" pamit Galih."Galih, tunggu!"Namun, pria itu tak mau menggubris panggilan Halimah sedikitpun. Baginya, Halimah hanya sekadar mantan atasan. Tak ada kewajiban Galih lagi untuk menghormati apalagi menuruti perintah da