"Rapi banget, Dev! Mau kemana?" tanya Bu Zubaidah pada Deva yang sedang bercermin di depan sebuah kaca besar dalam kamarnya."Eh, Ma?" Deva tersenyum, menghadap sang Ibu."Boleh Mama masuk?"Deva mengangguk. Bu Zubaidah pun lekas masuk dan merapikan kerah kemeja putranya yang masih sedikit berantakan."Kamu ada acara? Nggak biasanya, Mama lihat kamu pakai kemeja kayak gini kalau udah pulang dari kantor."Setelah merapikan kerah baju Deva, Bu Zubaidah pun duduk di sofa tunggal yang ada di samping cermin besar tersebut."Hmm... Deva sebenarnya mau ke rumah Najwa, Ma. Deva mau ketemu sama orangtua Najwa."Lelaki itu memang tak bisa menutupi apapun dari sang Ibu."Oh, ya? Kok, kamu nggak bilang-bilang sama Mama dan Papa, sih?""Deva malas sama Papa," jawab Deva."Kamu masih ngambek, karena perkataan Papa kamu yang semalam?" tanya Bu Zubaidah dengan senyum teduhnya yang begitu khas."Nggak ngambek sih, Ma. Deva cuma agak tersinggung aja sama omongan Papa. Padahal, selama ini Papa yang sela
Mobil mewah dengan warna biru metalik terlihat berhenti didepan gerbang. Dengan cekatan, Bi Iroh lekas berlari dan membuka gerbang secara full agar mobil tersebut bisa masuk ke halaman rumah.Setelah selesai, gerbang ia tutup kembali, demi menghindari adanya orang-orang aneh yang tiba-tiba menerobos masuk."Assalamualaikum!" sapa Pak Syahid dengan senyuman begitu turun dari mobil."Waalaikumsalam!!" jawab Najwa, Bu Dahlia dan Pak Haris secara serentak.Mereka semua turut tersenyum saat melihat ayah kandung Deva itu tersenyum."Assalamualaikum!!" Bu Zubaidah turut mengucapkan salam.Dia menghampiri Najwa dan kedua orangtuanya dan mengajaknya bersalaman."Waalaikumsalam, Tante!!""Apa kabar kamu, Sayang? Sudah lama ya, kita nggak ketemu," sapa Bu Zubaedah lembut dengan begitu ramah. Dipeluknya Najwa singkat."Najwa baik, Tante. Tante sendiri, apa kabar?""Alhamdulillah!! Tante juga sehat," jawab Bu Zubaidah. "Gimana kerja sama Halimah? Kamu betah?""Alhamdulillah! Sejauh ini, Najwa beta
"Sebelumnya, apa Nak Deva sudah tahu, tentang status Najwa?" tanya Pak Haris pada pria dengan lesung dikedua pipinya itu.Deva mengangguk mantap. Bibirnya, mengulas senyuman tipis."Sudah, Om," angguk Deva."Dan, Nak Deva sama sekali tidak keberatan soal itu?" lanjut Pak Haris lagi."Tidak, sama sekali, Om," jawab Deva. "Saya tahu, gagal dalam pernikahan pasti tidak pernah diinginkan oleh siapapun termasuk Najwa. Tapi, yang namanya takdir, siapa yang bisa melawan, Om? Barangkali, Najwa memang bukan tulang rusuk milik suaminya yang terdahulu."Pak Haris menghela napas sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Pemuda dihadapannya ini, terdengar cukup dewasa dalam memberi jawaban. Tingkah lakunya juga sangat sopan. Selain itu, dia berasal dari keluarga yang sangat baik-baik."Dan... apa Bapak dan Ibu, bersedia menerima menantu dengan status janda seperti putri saya ini?" Kini, pertanyaan Pak Haris lemparkan kepada kedua orangtua Deva.Bu Zubaidah dan Pak Syahid tersenyum. Keduanya berpandan
"Tapi, kami belum mempersiapkan CV apapun mengenai Najwa," timpal Pak Haris. "Oh, tidak apa-apa," jawab Pak Syahid. "Kami sudah cukup mengenal Najwa dari cerita-cerita Deva dan Halimah. Dan, hal itu sudah lebih dari cukup untuk kami." Pak Haris mengangguk paham. Hatinya lega, mendapati penerimaan yang begitu terbuka dari orangtua Deva untuk putrinya. "Kamu sepertinya sudah menemukan pelabuhan yang tepat, Nak!" gumam Pak Haris lirih dalam hati. *"Pak Haji, ini uang kontrakan saya bulan ini," kata Bian sembari menyerahkan uang pada pemilik kontrakan tempatnya menetap.Pria berkopiah merah itu menghitung uangnya terlebih dulu. Setelah itu, lembaran merah tersebut, ia masukkan ke dalam saku celana hitamnya."Nah, gitu, dong! Lain kali, jangan telat lagi, ya! Besok-besok, saya nggak akan kasih toleransi lagi. Ngerti?""Ngerti, Pak Haji," jawab Bian seraya tersenyum kecut.Uang itu ia dapat dari hasil menjual motor milik Neti. Kini, Bian benar-benar sudah tak punya apa-apa lagi. Semua
"Duit? Kerjaan? Kenapa malah minta sama gue?" tanya Deden sinis. "Memangnya, gue ini siapa?" lanjutnya."Lo kan temen gue, Den. Masa' sih, Lo nggak mau bantu?" Bian memasang tampang memelas. " Gue benar-benar lagi terjepit, Den. Tolong, kasihani gue!"Sebenarnya, Deden merasa kasihan melihat kondisi Bian yang begitu sangat memprihatinkan. Bian benar-benar seperti seorang gelandangan.Penampilannya berbanding terbalik dengan Bian yang dulu terkenal rapi dan sangat bersih. Kini, pria itu terlihat dekil dengan kulit hitam dan jambang yang tumbuh tak terurus disekitar wajahnya. Tubuhnya pun, terlihat sangat kurus.Namun, jika Deden mengingat kembali apa yang sudah Bian lakukan kepadanya, rasa prihatin itu mendadak sirna dari hati Deden. Ditambah lagi, istrinya sudah mewanti-wanti supaya dirinya tidak lagi berurusan dengan Bian dalam bentuk apapun dikemudian hari."Sorry, Bian! Gue nggak bisa bantu. Lo minta bantuan sama teman yang lain aja, ya!" tolak Deden sambil menepuk bahu Bian.Ia ke
Panas terik tak menyurutkan semangat Bian untuk menunggu tak jauh dari kantor tempat dimana Najwa bekerja. Ia bertekad untuk meminta bantuan kepada mantan istrinya itu setelah sebelumnya gagal membujuk Deden.Bian yakin, Najwa pasti bersedia membantunya jika yang dia minta adalah sebuah pekerjaan."Nah, itu mobil Najwa," seru Bian sumringah.Lekas, dia berlari menuju ke pangkalan ojek yang tak jauh dari sana untuk mencari tukang ojek kemudian minta diantarkan membuntuti Najwa."Najwa! Najwa, tunggu!" teriak Bian yang tiba-tiba muncul ketika Najwa baru saja memasukkan belanjaan ke bagasi mobil.Hari ini, dia memang sengaja singgah ke supermarket untuk membeli beberapa kebutuhan rumah yang sudah habis. Dan, tak Najwa sangka jika Bian akan muncul lagi seperti ini."Kamu ngapain di sini, Mas? Ngikutin aku, ya?" tanya Najwa sengit."Aku butuh bantuan kamu, Wa!"Seketika, Najwa mendengkus kasar. "Bantuan? Bantuan apa lagi, Mas? Uang lagi?""Bukan," geleng Bian. "Aku... butuh pekerjaan.""K
"Bu, ada tetangga baru, ya?" tanya Najwa saat sampai di rumah."Iya, Wa. Kayaknya, perempuan deh. Masih muda. Mungkin, seumuran kamu. Tadi, Ibu sempat ketemu pas lagi belanja di tukang sayur."Najwa menoleh ke rumah yang bersebrangan dengan rumahnya itu. Suasana di sana tampak begitu riweuh. Beberapa orang lelaki, terlihat bahu-membahu memindahkan beberapa perabotan dari mobil ke dalam rumah."Barangnya, lumayan banyak juga ya, Bu.""Ya, begitulah. Daritadi pagi, kayaknya mobil-mobil pick up itu nggak ada berhentinya bawa-bawain barang.""Ya, baguslah kalau rumah depan sudah terisi. Seenggaknya, penghuni di sini semakin ramai," timpal Najwa kemudian.Dia pun masuk ke dalam rumah sambil merangkul sang Ibu."Bapak kemana, Bu?""Bapak izin pulang kampung dulu, Wa. Mungkin, besok baru balik ke sini lagi.""Balik ke kampung?" Alis Najwa tampak berkerut heran. "Ada apa, Bu? Apa ada masalah di sana?""Nggak ada, sih. Bapak cuma mau ngecek persediaan pupuk aja kok, di gudang."Seketika, Najw
"Galih, boleh Ibu masuk?" tanya Bi Tin yang berdiri didepan kamar putranya.Didalam sana, ada Galih yang tampak sedang melamun sambil menghadap ke luar jendela. Angin sepoi-sepoi, dibiarkan menerpa wajahnya."Bu?" Galih menoleh. Sedikit tersentak jantungnya karena ia tak menduga akan kehadiran sang Ibu. "Ya, boleh. Silakan masuk, Bu," angguknya kemudian.Bi Tin pun masuk ke dalam kamar putranya lalu duduk di tepi tempat tidur. Sementara, Galih duduk dibingkai jendela dengan wajah yang terlihat sangat lelah."Gal, sebenarnya, apa yang terjadi di kota, Nak?" tanya Bi Tin lembut."Nggak ada apa-apa, Bu. Kan, Galih sudah bilang, kalau Galih pulang hanya karena Galih kangen sama Ibu.""Kamu nggak dipecat, kan?" tanya Bi Tin sambil menatap wajah putranya dengan lekat.Mata Galih seketika membulat. Ia kaget, karena sang Ibu menebak dengan tepat sasaran."N-nggak kok, Bu,"elak Galih. "Kerjaan Galih baik-baik aja. Bulan depan, Galih akan balik kerja lagi, kok." Ia berusaha memaksakan senyum."
"Sialan!! Kenapa jadi begini? Kenapa Najwa malah bahagia dengan lelaki lain? Seharusnya, dia itu kembali sama aku. Bukan malah melupakan aku dan menikah dengan pria lain!!"Bian berteriak kesal yang membuat teman-teman satu selnya menjadi ikut-ikutan kesal."Hei, bisa diam, nggak lu?" hardik seorang pria berbadan besar."Apa?" tantang Bian. "Kalau gue nggak mau diem, lu mau apa, hah?" Ia berkacak pinggang dengan begitu angkuh."Oh, lu berani sama gua?" Pria berbadan besar itu berdiri dari duduknya.Sontak, tahanan lain langsung mendadak riuh. Mereka memanas-manasi keadaan supaya terjadi pertengkaran seru."Emangnya, kenapa gua mesti takut sama lu, hah? Modal badan gede doang, udah sombong lu!""Sialan!"Bugh!Satu pukulan keras menghantam dagu Bian. Lelaki itu langsung mundur ke belakang dengan sedikit kehilangan keseimbangan."Lu berani mukul gua?" Bian mulai naik pitam.Disiapkannya tinju, lalu ia layangkan dengan cepat ke arah pria berbadan besar itu. Sayangnya, tangan Bian justru
Satu tahun kemudian... "Hoekkk!! Hoek!!" "Wa, kamu masih mual?" tanya Halimah seraya menghampiri sang sekretaris yang sedang muntah di toilet yang ada di ruangannya. "Iya, Kak," jawab Najwa. Dia menekan tombol flush pada closet kemudian berbalik menatap Halimah. "Ini sudah lebih seminggu loh, Wa." Halimah mengingatkan. "Paling cuma masuk angin aja, Mbak. Beberapa hari lagi pasti sembuh, kok. Atau, mungkin magh-ku kambuh. Soalnya, akhir-akhir ini aku malas banget buat makan. Kayak nggak nafsu gitu tiap kali lihat makanan." "Bulan ini, kamu sudah haid?" selidik Halimah. "Belum, Kak," geleng Najwa. "Bulan kemarin juga belum. Kenapa, ya?" Plak! Halimah menampar bahu Najwa saking gemasnya. "Kamu nggak nyadar sesuatu, Wa?" tanya Halimah. "Maksud Kak Halimah, apa?" "Jangan-jangan, kamu hamil, Wa?" tebak Halimah.
"Urusan apa lagi, Tante Sephia? Apa Tante masih belum jera juga, mencari masalah dengan kami?" Deva menatap wajah wanita tua itu dengan tajam. Geliginya bergemelatuk dengan keras. Ia sudah sangat siap andai Bu Sephia ingin kembali memulai masalah baru dengannya dan keluarganya. Bruk! Namun, dugaan Deva rupanya salah. Bukan hendak mencari masalah, tetap wanita tua itu justru malah menjatuhkan diri dihadapan Najwa dan Deva. Kedua tangannya saling menyatu didepan dada. Ia meneteskan air mata seraya mendongak menatap Deva dan Najwa seraya bergantian. "Maafkan saya dan keluarga saya! Saya mohon..." pinta Bu Sephia mengiba. "Tante, jangan begini! Ayo, bangun!" Najwa berusaha membuat wanita tua itu berdiri. Akan tetapi, Bu Sephia menolak dan tetap bersikukuh untuk berlutut dihadapan Najwa dan juga Deva. "Suami dan putri saya sudah meninggal karena kesalahan kami sendiri. Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Indra. Dan, saya tidak ingin terkena karma lagi. Saya tidak mau keh
Deva menghentikan langkahnya. Ia menengok kebelakang untuk sesaat kemudian kembali melangkah. "Tidak usah. Apapun yang terjadi pada mereka, sama sekali bukan tanggung jawab kita." Teddy mengangguk tanda mengerti. Raungan Bu Sephia adalah hal terakhir yang Deva dengar sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat itu. "Mas..," sambut Najwa saat Deva telah kembali. "Tangan kamu, gimana?" tanya Deva seraya menghampiri sang istri. "Alhamdulillah, sudah agak mendingan." "Maaf, karena aku baru sempat menanyakan keadaan kamu, Sayang!" "Nggak apa-apa, Mas. Ngomong-ngomong, gimana kondisi keluarga Mbak Intan?" "Mereka semua baik-baik aja. Cuma... Tante Sephia sepertinya belum menerima kenyataan bahwa putrinya sudah berpulang." Najwa meneguk ludahnya. Dia turut prihatin akan kepergian Intan yang begitu tragis. Namun, bukankah Intan sendiri yang menentukan akhirnya hidupnya? Wanita itu sendiri yang telah nekat menghancurkan dirinya. "Nak Deva...," panggil Bi Tin. Deva tersenyum hanga
"Galih... kamu dimana, Nak?"Teriakan seorang Ibu yang mengkhawatirkan putranya terdengar begitu menyayat hati. Najwa langsung menyambut wanita tua yang datang bersama beberapa tetangga lain dari kampung dengan langkah tergesa."Bi Tin," sapa Najwa.Bi Tin dengan wajah sembap, langsung menggenggam kedua telapak tangan Najwa."Galih dimana? Bagaimana kondisinya? Dia selamat, kan?" cecar Bi Tin dengan suara bergetar."Masih ditangani dokter, Bi. Galih kekurangan banyak darah.""Ya Allah...," Bi Tin merasakan persendiannya terasa lemas.Dia hampir jatuh bersimpuh. Namun, Najwa dan yang lain berusaha menahan tubuhnya agar tetap berdiri tegak."Duduk dulu, Bi!" ucap Najwa sambil membantu wanita tua itu untuk duduk di kursi besi."Galih...," racau Bi Tin sambil terus menangis."Maafkan Najwa, Bi! Semuanya karena Najwa," lirih Najwa yang ikut duduk disebelah Bi Tin.Bi Tin menghela napas panjang. Dia berusaha mengusir sesak yang menghimpit dadanya.Pasalnya, putra satu-satunya yang ia miliki
"Lepas!!!" teriak Intan membabi-buta. Dia ingin terbebas dari kuncian dua orang tim keamanan yang memeganginya."Aku akan bunuh kamu, Najwa!!!" teriaknya saat melihat kehadiran Najwa diantara banyaknya tamu di pesta ulangtahun Iqbal.Tak Intan hiraukan tatapan-tatapan takut sekaligus geram yang diberikan oleh para hadirin. Wanita itu hanya terus fokus pada Najwa yang saat ini sedang dipeluk oleh Halimah. "Aku akan bunuh perempuan itu! Lepas, Pak! Lepaskan saya!""Tunggu, Pak!" teriak Deva dari belakang.Para tim keamanan itu pun berhenti. Mereka memberi hormat kepada Deva sebelum membuka jalan untuk pria itu agar bisa mendekati Intan.Plak!Semua orang tercengang melihat kejadian barusan. Seorang Deva, yang selama ini pantang memukul wanita... dengan penuh kesadaran justru menampar Intan dengan sangat keras."Deva...," lirih Intan serak. Air matanya jatuh membasahi pipinya."Apa?" tanya Deva dingin. "Apa kamu sudah puas?""Aku begini karena kamu...," timpal Intan."Karena aku?" Deva
"Tolong!!!" teriak Najwa lebih keras.Atensi para hadirin yang datang langsung tertuju ke arahnya. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Tubuhnya gemetaran.Deva yang mendengar teriakan istrinya pun turut menoleh. Matanya langsung melebar sempurna saat melihat tangan sang istri yang bercucuran darah.Prang!Gelas yang dipegang Deva langsung pecah tak berbentuk saat lelaki itu tanpa sadar melepasnya begitu saja dari genggaman.Deva berlari begitu cepat menghampiri sang istri yang saat ini seperti hampir kehabisan napas."Najwa! Sayang... kamu kenapa?" tanya Deva panik. "Dokter!!! Saya butuh dokter!" teriaknya begitu keras.Halimah dan Iqbal turut menghampiri Najwa."Ada apa?" tanya Halimah."Bal, panggil dokter! Istriku butuh dokter!" titah Deva panik sambil memegang tangan Najwa yang berdarah."Panggil Ivanna!" kata Iqbal pada seorang pria yang berdiri dibelakangnya."Oke," angguk pria itu.Tak lama kemudian, seorang wanita dengan gaun malam berwarna hitam datang mendekat. Wanita itu men
Di dalam kamar yang begitu gelap, Intan sengaja mengurung diri. Ponsel yang terus menerus berdenting diatas kasur berusaha ia abaikan.Rentetan notifikasi yang menyesaki layar ponselnya tak ingin ia lihat sedikitpun. Mengintip pun, tidak."Diam!!!" teriak Intan memaki ponselnya.Telinga ia tutup rapat-rapat dengan kedua telapak tangannya. Dia duduk di pojok, dekat jendela yang tertutup rapat tirai berwarna abu-abu."Berhenti menghakimi aku!!! Aku nggak salah!!" teriaknya lagi.Intan benar-benar tak tahan dengan cacian dari warganet. Apalagi, beberapa bahkan sengaja menerornya melalui DM Ig dan FB."Intan!!! Kamu kenapa, Nak?" teriak Bu Sephia dari luar kamar.Digedor-gedornya kamar sang putri namun tak ada respon sedikit pun dari si pemilik kamar. Hanya racauan Intan saja yang terus terdengar sedari tadi."Ma, sudah! Biarkan saja dia melakukan apa yang dia mau," tukas Indra sambil menarik sang Ibu menjauh dari kamar sang adik."Ndra, kamu nggak kasihan sama adik kamu, hah?" tanya Bu S
"Jadi, kamu sekarang kerja di catering?" tanya Halimah pada lelaki yang usianya terpaut agak jauh dibawahnya itu.Galih menghela napas dalam-dalam. Dia mengangguk tanpa berani menatap langsung ke arah mata mantan atasannya itu."Najwa juga akan datang ke pesta ini. Saya harap, kamu tidak akan berbuat nekat lagi seperti dulu!" peringat Halimah.Lelaki itu hanya diam saja. Sejujurnya, dia teramat bahagia karena akhirnya bisa bertemu dengan Najwa lagi.Akan tetapi, disudut hati yang lain, Galih justru merasa malu. Bagaimana tidak? Pekerjaannya sekarang hanya seorang karyawan catering. Pelayan, yang derajatnya bahkan dipandang sangat rendah oleh sebagian kalangan berada."Saya harus pergi sekarang, Bu! Permisi!" pamit Galih."Galih, tunggu!"Namun, pria itu tak mau menggubris panggilan Halimah sedikitpun. Baginya, Halimah hanya sekadar mantan atasan. Tak ada kewajiban Galih lagi untuk menghormati apalagi menuruti perintah da