"Din, Dina kamu bisa bantu ibu sebentar, Nak?" saat tengah terlelap, samar-samar kudengar suara orang mengetuk-ngetuk pintu kamarku, kupikir itu hanyalah mimpi sampai tak terasa mataku kembali hendak menutup saking beratnya kantuk yang kurasa."Din ...! Di ... na...."Begitu mata ini nyaris menutup, kembali kudengar panggilan yang terasa kian melemah, begitu tersadar jika itu adalah suara ibu aku terperanjat, langsung bangun dari tidurku. Aku tergopoh-gopoh menuju ambang pintu, untuk segera melihat apa yang terjadi."Aaaa ... Ibu ... Bang! Bang Gagas, Ibu, Bang ...!" Begitu pintu kubuka aku begitu sangat shock, kudapati Ibu tergolek lemah tak berdaya di depan pintu masuk kamarku.Segera ku ambil kepalanya, lalu ku taruh di lahunan. Denyut nadinya begitu lemah, nafasnya tidak beraturan seolah terasa sesak, sekuat tenaga aku kembali berteriak memanggil Bang Gagas yang tidak kunjung keluar dari dalam kamar."Abang ...! Tolong Dina, Bang...!" Teriakku lagi melengking, tak perduli itu suda
"Assalamualaikum, Din." Tak lama Aisyah datang menucap salam. "Bagaimana keadaan Ibu sekarang, Din?" tanya Aisyah terlihat khawatir."Alhamdulillah sudah lebih baik, Aish. Saat ini Ibu masih istirahat, Aish yuk sini!" Ku gamit lengan Aisyah untuk melihat keadaan Ibuku lebih dekat.Dari rona wajahnya tersirat rasa khawatir, namun kulihat juga ada kecemasan lain yang Aisyah sembunyikan dariku, entah apa itu tapi sepertinya aku harus mencari tahu."Aish yuk kita keluar dulu, temani aku cari sarapan. Kamu sudah sarapan belum?" ku ajak Aish keluar, sengaja agar obrolanku dengan Aish tidak didengar Ibu, lagipula biar Ibu juga bisa istirahat, supaya bisa cepat pulih seperti sedia kala.Aku dan Aish akhirnya di sini, di kantin rumah sakit. Kebetulan memang cacing-cacing di perutku sudah berdemo minta di isi. Aku memesan bubur ayam, sedangkan Aisyah hanya memesan teh hangat dan roti lapis saja, untuk sarapannya."Aish, tadi Bang Gagas menghubungiku, katanya mendadak banyak orang-orang yang dat
"Beres, Nak." Jawab Bu Arum mengacungkan kedua jempolnya ke arah kak Inggit saat ku intip dari balik jendela. Karena takut ketahuan, aku kembali merunduk dan hanya merekam saja dengan gawai, apa yang tengah mereka lakukan di gudang itu.Ya Allah apa yang mereka maksud itu? apanya yang beres, lalu barang apa yang Kak Inggit maksudkan? begitu banyak pertanyaan yang harus kucari tahu jawabannya. 'Ya Rabb berilah hamba petunjuk-Mu untuk menguak peristiwa ganjil ini.' batinku.Aku masih diam membisu dibawah jendela, sedangkan gawaiku masih ku sorotkan kepada duo Ibu dan anak tak ada akhlak itu. Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan karena kepalaku tak bisa melongok kedalam jendela, lubangnya hanya bisa masuk ukuran tanganku saja, sedangkan jika mengintip sambil berdiri aku takut mereka menyadari keberadaan ku di sana.Biarlah nanti kulihat dari rekaman vidio nya saja, yang penting saat ini rekam dulu dan aku harus menyiapkan pendengaranku dengan sangat awas, agar bisa dengan jelas menden
Mereka menatapku serempak, seolah penuh tanya. Namun lain lagi dengan tiga benalu yang kini ada di hadapanku, mereka menatapku sinis tersungging cibiran dari bibir mereka dan aku tak perduli itu.Ku tegakkan langkahku dengan pasti, menuju kerumunan para korban yang meminta pertanggung jawaban, buntut dari musibah yang direkayasa oleh trio benalu tak berakhlak tersebut."Kalian ingin menuntut keadilan, kan? tadi kudengar kalian akan mengadukan pelakunya kepolisi, begitu?" tanyaku lantang pada para korban itu penuh penekanan.Mereka diam tak bersuara seperti tadi yang kudengar ramai meneriaki Bang gagas dengan segala cacian didalamnya. "Kenapa kalian malah diam sekarang? saya tanya sekali lagi, bukankah tadi kalian bersikeras akan menuntut kami, jika tak ada ganti rugi yang kami keluarkan untuk membayar pengobatan, karena musibah yang terjadi sekarang ini?"Ku ulang kembali perkataanku dengan sedikit berteriak, kutatap tajam setiap manik mata yang saat ini menatap kearahku penuh tanda t
"Wah kamu sudah pulang, Bu Siti. Saya kira kamu masih akan tinggal beberapa hari lagi di rumah sakit, atau malah saya kira kamu langsung pulang ke rumah Tuhan di surga." Sarkas Bu Arum, nyelekit seperti biasa.Du, kenapa gitu pas pulang tuh malah disambut dengan mulut julidh wanita tua yang tak ingat umur ini. Inginnya pas pulang tuh memberikan ketenangan untuk ibuku, agar beliau bisa istirahat total untu penyembuhannya, tapi ini malah disambut mulut nyinyir induknya benalu. Ya Allah maafkan aku yang selalu berbicara kasar kepada kedua orang tua Kak Inggit, habisnya mereka selalu menggerus kesabaranku yang setipis kulit ari ini, membuatku seperti emak-emak senggol bacok yang langsung tersulut emosi melihat tingkah ajaib mereka. Padahal aku ini masih gadis, belumlah menikah sama sekali tapi lama-lama menghadapi perangai trio semprul ini, tabiatku sudah makin mirip emak-emak yang bersiap geludh di mamang sayur.Ah sabar Dina, kan dibelakang sudah ada personel yang akan membuat kejutan
"Kebetulan sekali Bapak-bapak ini datang, ini Bu Siti tersangka pembuat kue beracun itu juga baru pulang dari rumah sakit, jadi kalian bisa dengan leluasa membawanya dari rumah ini sekarang juga, Bapak-bapak." Ucap Bu Arum penuh percaya diri.Bang Gagas senyum mengejek ke arah Bu Arum ibu mertuanya, namun tak ada kata yang keluar dari mulutnya sama sekali, mungkin Abangku sudah lelah meladeni drama yang selalu dibuat oleh kedua mertua serta istri nya itu."Sebentar saya ambilkan minum ya, Pak," ucapku kemudian bergegas berdiri, berniat untuk mengambilkan air minum bagi tamu-tamu terhormat itu."Tidak perlu, Dina! Sebentar lagi juga mereka berangkat lagi dengan membawa ibumu, iya kan Pak polisi? jangan repot-repot, Din nanti siapa yang mau mencuci gelasnya, kalau kamu mau mencucinya ya udah sana buatkan untuk kami juga, ya. Tapi ingat jangan sampai ada minuman asin seperti tempo hari, kalau tidak akan kusiramkan ke wajahmu yang sok alim itu!" Ucap Bu Arum tak tahu malu.Apakah otak Bu
"lepaskan aku, kalian salah tangkap bukan aku yang seharusnya memakai gelang besi ini tapi dia, wanita tua itu yang harus kalian bawa! Lepaskan aku, lepaskan ...!" Teriak Bu Arum menunjuk ibu dengan dagunya, wanita tua itu meronta minta dilepaskan. Segala perkataan kasar ia lontarkan kepada ibuku, musibah atau malah bisa dibilang karma yang saat ini tengah menimpanya tak lantas menjadikannya wanita yang bisa menjaga sikap. Orang tua yang tidak pantas menjadi contoh untuk anaknya, sikapnya tidak mencerminkan sikap seorang ibu yang mengayomi anaknya, malah sebaliknya kejahatan yang ia ajarkan untuk ditiru keturunannya. Nauzubillah semoga Allah menjauhkan aku dari orang-orang seperti mereka dikemudian hari. Cukup benalu-benalu itu saja, jangan ada lagi benalu lain yang akan bersinggungan denganku, entah bagaimana aku jadinya jika kembali dipertemukan dengan para benalu-benalu baru dalam hidup ini."Sudah terima saja, Bu Arum. Semua bukti kejahatan itu sudah mengarah pada kalian, Ibuku
"Assalamualaikum ...."Tiba-tiba seseorang mengucap salam, suara seseorang yang terasa tidak asing dipendengaranku "Wa'alaikumussalam, eh Yaseer ayok masuk, Yas!" Jawab Bang Gagas.Ketika aku menoleh untuk melihat siapa yang datang kebetulan sekali tamu itu pun tengah menatapku, seketika tatapan kamu bertemu membuat ada gelenyar aneh dalam diri ini. Astaghfirullah, cepat-cepat aku kembali memalingkan tatapanku ke arah ibu. Tapi ku ingat-ingat seperti pernah bertemu dengan kenalan Abangku yang bernama Yasser ini, tapi dimana ya?"Astaghfirullah, ini kenapa berdarah begitu, Gas? kalau boleh tahu dia ini istrimu, kah?" tanya laki-laki yang disebut Yasser oleh Bang Gagas."Iya, Yas. Qadarullah baru saja terjadi kecelakaan yang membuat dahinya terbentur tembok, sampai sobek seperti itu. Dan dia ini adikku bukan istriku." Jawab Abang sedikit terkekeh di akhir perkataannya.Aku hanya menundukkan kepalaku, Abang memberikan kotak P3K kepada Ibu untuk mengobati lukaku. Sensasi perih dan berden
"Dek ijinkan aku menjadi lelaki yang akan menggantikan Zaidan di hatimu, ijinkan aku menjadi ayah dari anakmu. Aku berjanji akan selalu membahagiakan kalian selama hidupku." Ucap lelaki itu sambil menatap padaku lekat.Lain sekali dengan Mas Zaidan, jangankan menatapku seperti itu hanya sekadar melirik pun ia begitu takut sepertinya. Ah memang keduanya begitu berbeda, laki-laki itu begitu soleh juga taat pada perintah agamanya, namun kini beliau telah tiada hanya menyisakan sesak di dada karena aku ditinggalkan pas lagi sayang-sayangnya.Lain lagi dengan laki-laki petakilan yang kini berada didepanku, walaupun di mataku dia seolah begitu slebor dan tak bisa menjaga pandangannya dari lawan jenis, namun aku tak tahu kedalaman hatinya seperti apa. Aku tak bisa menilai orang hanya dari covernya saja, asal kulihat jelek, berarti dia jelek. Tidak seperti itu juga, setiap manusia itu punya kekurangan dan kelebihannya tersendiri termasuk juga Mas Yaseer, namun entah kenapa hati ini tak bisa
"Sudah ya, biarkan Zaidan istirahat dengan tenang di sana, agar langkahnya tidak berat untuk pulang menuju dunia keabadian."Aku akhirnya mengangguk mengiyakan kata-kata Bang Gagas, memang benar yang ia katakan, walau bagaimanapun aku harus mengikhlaskan kepergiannya suka ataupun tidak, semua kenyataan itu tak bisa lagi dipungkiri kebenarannya."Lalu bagaimana keadaan Uti saat ini, Bang?""Keadaan adiknya masih kritis saat ini, Dek. Kecelakaan itu begitu parah, bersyukurlah Allah masih menjaga dan melindungi mu. Entah amalan apa yng telah kamu lakukan sampai Allah begitu menyayangimu, Dek."Aku hanya terdiam mendengar penuturan Bang Gagas, dalam pikiranku hanya ada mereka berdua saat ini laki-laki yang telah pergi meninggalkanku untuk selamanya dan juga sahabatku Uti yang kini tengah kritis. Bagaimana aku akan mengatakan padanya nanti jika Mas Zaidan telah pergi lebih dulu meninggalkan kami saat ini."Bang, antar aku melihat Uti sekarang!" Pintaku pada Bang Gagas.Tanpa membantah Bang
Ketika baru saja hendak terlelap kulirik Ibu terburu-buru keluar dari kamar, tapi kulihat Jingga masih di kereta bayinya terlelap tak merasa terganggu, sekali pun berada di rumah sakit dengan keadaan yang kurang nyaman. Mau kemana Ibu, kenapa beliau begitu terburu-buru? kulihat juga wajahnya begitu sendu seolah menyimpan sesuatu dariku saat ini.Ah ingin rasanya aku mengejarnya keluar, tapi bagaimana caranya kakiku saat ini sulit untuk sekedar ku geser saja. Lalu jika pun aku bisa keluar memakai kursi roda, bagaimana dengan Jingga siapa yang akan menjaganya di sini, sementara aku pergi mengejar Ibuku keluar."Suster bisa bantu saya keluar, saya ingin melihat keadaan calon suami saya suster. Saya mohon bantu saya kali ini saja." Mohon Ku, ketika ada suster datang hendak memeriksa keadaanku saat ini."Tapi, saya harus iz—""Jangan meminta izin pada siapapun, Sus! Saya yang akan bertanggung jawab jika ada apa-apa nanti, saya mohon bantu saya sus."Akhirnya dengan sedikit terpaksa suster
"Dek, kamu sudah sadar? bagaimana keadaanmu sekarang?""Bagaimana keadaan Uti juga Mas Zaidan, Bang?" tanpa menjawab pertanyaan kakak ku, aku malah lebih ingin tahu bagaimana keadaan calon suami juga sahabatku Uti.Apakah mereka baik-baik saja sama sepertiku saat ini, atau malah sebaliknya?Bang Zaidan malah diam saja tanpa menjawab pertanyaanku, dia malah saling bertatapan dengan Ibu, seolah mengisyaratkan sesuatu."Bang ...! Kenapa tidak menjawab pertanyaanku, bagaimana keadaan Mas Zaidan juga Uti sekarang, apakah mereka baik-baik saja? jawablah jangan membuatku penasaran, Bang!" Bentakku kesal. "Bu ...! Apakah Ibu tahu bagaimana keadaan mereka sekarang?"Kembali kutanyakan pada Ibu, karena Abangku malah terus saja diam tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya, untuk menjawab pertanyaanku.Karena mereka tetap saja diam membisu tak juga menjawab pertanyaanku, kupaksakan bangun walaupun kepala terasa berdenyut nyeri, namun saat hendak mengangkat kedua kakiku aku merasakan hal yan
Kubuka mata perlahan, mengerjap-ngerjapkan kelopaknya karena silau oleh cahaya yang masuk kedalam iris mataku.Terbangun di hamparan padang rumput berwarna hijau, terasa teduh walaupun sinar mentari menyinari bumi.Kumpulan bunga liar kulihat begitu indah dengan warna-warni yang rupawan, membuat siapa pun betah berlama-lama menatapnya.Kutolehkan kepala kekiri dan kanan mencari siapa saja yang berada didekat sana, namun nihil tak kutemukan seorang pun dipadang rumput itu selain diriku sendiri.Beranjak bangun lalu melangkah pergi mencari, barang kali ada satu manusia yang bisa kutemui. Setelah berjalan beberapa waktu, akhirnya kulihat siluet orang yang tidak begitu asing dipenglihatanku, ya itu Mas zaidan calon suamiku. Namun mau kemana dia? berjalan maju tanpa menoleh sedikit pun padaku."Mas ... Mas Zaidan ...! Tunggu Dina, Mas!" Teriakku penuh harap.Akhirnya Mas Zaidan menoleh juga, wajahnya terlihat teduh seulas senyum hangat ia berikan padaku. Namun tak sepatah kata pun keluar d
Tiga Hari Jingga di rawat di rumah sakit, setelah memastikan tubuhnya benar-benar sehat akhirnya kami bisa membawanya pulang, Alhamdulillah dibalik ujian itu ada hikmah yang terselip begitu indah. Perlakuan Bang Gagas pada anakku itu kembali hangat. Terlihat sekali rasa sayangnya bertambah berkali-kali lipat, tak terpikir lagi dikepalanya untuk menyerahkan Jingga kepanti asuhan, atau pikiran buruk lainnya apapun itu dan itu teramat sangat ku syukuri.Segala doa dan harapanku telah Allah kabulkan, betapa besar kasih sayang-Mu pada umat mu ini ya Rabb. Karena Allah yang maha membolak-balikkan hati manusia, maka mudah baginya untuk melakukan hal itu jika memang Allah berkehendak.Kini setiap pagi sebelum ke kantor Bang Gagas selalu menyempatkan diri bermain dulu dengan Jingga walau sebentar saja. Pulang dari kantor pun tak pernah telat, katanya dia selalu rindu dengan anak gadisnya ini, MasyaAllah sungguh kuasa Allah begitu besar.Tok ...Tok ...Tok ..."Assalamualaikum."Hari minggu
"Ayok jalan lagi! Kalau enggak, jawab pertanyaanku yang tadi siapa sebetulnya yang sakit, Dek? Kamu ataukah salah satu keluargamu?""Itu bukan ur—""Yas, sedang apa kamu dengan wanita itu ...?"Aku menatap sekilas ke arah suara yang rasanya tidak begitu asing, suara wanita paruh baya yang tadi membuat energiku terkuras, karena harus menahan emosi tingkat dewa menanggapi sikap absurdnya padaku."Ibu ... kenalkan ini Dina, Bu. Adik partner kerja, Yas di kantor."'Ibu ...? Jadi wanita setengah baya, yang bermulut pedas itu Ibunya Mas Yaseer, pantas saja anaknya tengil gak karuan ternyata ibunya saja memiliki tingkah yang tak kalah ajaib, dari putranya.' pikirku kesal.Ingin sebetulnya segera lari dari tempat itu, menghindari manusia-manusia yang hanya akan merusak moodku seharian. Ibu yang bermulut pedas juga julidh, lalu anak laki-lakinya yang tengil, slengean gak jelas. Sudah pasti hariku akan terus runyam, jika terus bersinggungan dengan manusia-manusia ajaib macam mereka ini."Jadi d
"Apa kamu tidak melihat jalan pakai mata? kamu pikir jalanan ini punya nenek moyangmu, sampai seenaknya saja berjalan tidak memperhatikan jalanan didepanmu!" Bentaknya keras, menatap nyalang sambil menunjuk-nunjuk kearah wajahku."Maafkan say—""Ah awas minggir! Dasar wanita tidak berguna, tidak punya atittude baik. Pasti kamu sengaja menabrak ku untuk mengalihkan perhatianku, kan? kamu ini berniat mencuri dariku ya, heh?"Astagfirullah ... betapa terkejutnya aku mendengar bentakan wanita setengah baya yang kutabrak barusan, padahal aku sudah meminta maaf padanya, sudah berniat mau membantunya untuk kembali berdiri. Tapi tuduhannya padaku tidak main-main, bagaimana mungkin dia bilang aku tidak punya attitude jika dirinya saja berlaku seperti itu, lagipula jika aku berniat mencuri untuk apa aku berniat membantunya berdiri, kenapa tidak kuambil saja barangnya, lalu pergi kabur begitu saja dengan barang yang kucuri darinya. Benar-benar ibu-ibu yang sangat ajaib memang, perangainya sung
"Din, aku akan menceraikan Aisyah setelah pengobatannya selesai, tolong tunggu aku sebentar lagi Din, ku mohon!""Apa maksudmu, Mas ...?"Tanya Aisyah menatap kearah kami, dua orang yang kini berada di depannya. Aku yang tidak mau kembali mendapatkan kesalahpahaman dari Aisyah, secepatnya menghampiri sahabatku kemudian mengusap bahunya lembut."Selesaikanlah masalah kalian, maaf aku tidak ingin ikut campur dan kembali terseret di dalamnya, Aish!"Tanpa menunggu jawaban Aisyah, aku segera kembali ke ruang tamu meninggalkan pasangan suami istri itu agar menyelesaikan berdua masalah mereka, aku tidak ingin lagi jika harus sampai terseret kedalam masalah besar diantara keduanya. "Kemana, Nak Aisyah sama suaminya, Nduk? apakah mereka sudah pulang?""Belum, Bu. Mereka ada di taman belakang." Jawabku sambil tetap menimang Jingga yang masih saja terdengar rewel."Jingga kenapa to, Nduk? nenek dengarkan dari tadi kok kamu tuh rewel terus, Nduk." Ucap ibuku terdengar khawatir.Ibu menghampiri