Sudah kurang lebih satu minggu sejak kejadian itu, aku belum kembali mendapat kabar bagaimana keadaan kak inggit dan bayi yang dilahirkannya. Rasanya malas mau bertanya pada Bang Gagas pasti jawabannya tidak akan seperti apa yang diharapkan.Bukan aku tak perduli dengan musibah yang menimpa saudaraku, namun kesibukan kuliah serta kerja part time ku pun begitu menyita waktu akhir-akhir ini, jadi memang belum sempat juga untuk kembali berkunjung ke rumah sakit.Sebenarnya Ibu juga sudah seringkali memintaku untuk menanyakan keadaan kakak ipar, hanya saja belum sempat ku turuti permintaan beliau, entahlah rasanya malas juga mau bertanya macam-macam lewat saluran telpon dengan abangku yang perangainya tak seramah dulu.Ponselku msih belum kuambil ditempat service karena rusak saat jatuh tempo hari, padahal didalamnya ada bukti kuat perselingkuhan kak Inggit dan laki-laki bernama Denis yang katanya hanya teman itu."Loh ini kue pesanan siapa, Bu, kok masih di meja? biar Dina saja yang anta
Kami berbalik berniat untuk meninggalkan ruang rawat Kak Inggit tanpa menggubris perkataan Bu Arum yang meminta kami membawa kembali dua boks makanan yang kami bawa dari rumah tadi."Apa kalian tidak mendengar perkataanku, tadi. Nih bawa lagi makanan murahan ini, tak sudi kami memakan makanan murahan seperti ini!"Bu Arum beranjak dari duduknya lalu mengambil dua boks kue di paperbag yang ibu simpan diatas meja tadi lalu melemparkannya kebawah kaki kami.Kudengar ibu menghela nafas kasar kemudian berjongkok untuk memunguti kue-kue yang kini sudah tak ditempatnya lagi karena dilempar Bu Arum tadi.Aisyah membantu ibu membereskan makanan yang jatuh tercecer di lantai, sedangkan aku kembali berbalik menghampiri Bu Arum yang sudah kurang kurang ajar dengan tidak sopannya melempar makanan yang ibuku bawakan, setidaknya jika dia tidak menyukainya tidak perlu dilempar seperti itu, dia bisa membiarkannya atau memberikannya kepada orang yang membutuhkan ketimbang harus dilempar seperti itu mak
Brak ...Kubuka pintu ruang rawat kak Inggit, seketika mereka menoleh padaku.Kuambil sandal yang kulihat tergeletak di dekat sofa, lalu buk ....Ku lempar sebelah sandalku ke punggung gempal Bu Arum, wanita itu terkejut sampai berjingkat, matanya nyalang menatapku penuh kebencian. "Kamu itu apa tidak pernah diajari sopan santun oleh ibumu yang penyakitan itu, hah! Berani sekali kamu melemparkan sandal butut mu ini padaku, Dina!""Jangn membahas tentang sopan santun dengan saya jika kelakuan Anda saja tidak patut di contoh, Bu Arum! Ibu saya tak pernah mengajarkan anak-anaknya untuk kurang ajar terhadap orang lain, terlebih itu adalah orang tua. Berbeda dengan Anda yang melihat tingkah buruk anak saja hanya membiarkan tanpa mau menegurnya, bahkan malah mendukung perbuatan buruk yang dilakukannya!" Tunjukku penuh emosi."Dan kamu, Bang! Dimana hati nurani mu melihat ibu terluka karena dia, kamu hanya diam saja bahkan tak ada sedikitpun terlihat kekhawatiran dalam wajahmu!" Bentak ku k
Ya disana berdiri seorang lelaki dengan manik hitamnya menatap iba padaku, anak atasanku Pak Bimo. Entah sedang apa dia di rumah sakit ini, kenapa bisa kebetulan pas aku terkena musibah dia selalu datang bak seorang pahlawan, seperti saat ini dia menghampiriku lalu membantuku untuk berdiri, sebetulnya aku sangatlah malu tapi apa boleh buat biarlah sudah terlanjur basah diguyur aja sekalian.Kupakai sebelah sandalku yang dari tadi kutenteng, lalu bergegas menuju ruangan ibu dirawat tadi. "Assalamualaikum, Bu, Aish."Keduanya menoleh menatapku penuh tanya."Wa'alaikumussalam, darimana saja, Nduk kok lama sekali? ibu sudah mau pulang, tidak betah rasanya di rumah sakit terus.""Kok mau pulang, Bu? kan Ibu baru saja di operasi istirahat dulu saja di sini barang sehari atau dua hari, biar ibu bisa lebih terpantau.""Oalah operasi apa to, Nduk. Wong cuma luka kecil saja, istirahat di rumah malah bisa lebih cepat sembuhnya, kalau disini ibu tidak betah bau obat-obatan." Keluh ibu beralasan.
"Assalamualaikum, Aisyah ...!"Terdengar teriakkan salam dari luar, "Itu siapa ya, Aish? kok ucap salam sampe teriak-teriak begitu," Aisyah menggeleng, dia juga sama tidak tahunya sepertiku, aku beranjak keluar kamar diikuti Aisyah mengekor dibelakangku."Kok lama banget buka pintunya, Aish. Sedang apa kamu di dalam?"Begitu pintu dibuka, suara tanya yang terdengar kurang bersahabat dilontarkan oleh seorang lelaki paruh baya, yang kini berdiri diambang pintu kepada Aisyah."Wa'alaikumsalam, Paman, Bibi. Maaf Aish telat membukakan pintu, tadi sedang mengerjakan tugas di kamar," cicit Aisyah sedikit beralasan sambil menunduk."Lalu siapa dia, apa kamu tidak kuliah, Aish?" "Perkenalkan saya Dina, Paman. Temannya Aisyah." Jawabku kemudian mengatupkan kedua tangan di dada. Lalu ku ulurkan tangan untuk menyalami Bibinya Aisyah, seorang wanita yang kira-kira umurnya beberapa tahun dibawah ibuku itu, hanya menatap tanpa menyambut uluran tanganku yang kini masih menggantung di udara.Paman,
"Ini Bu Siti, ibunya Dina, Bi. Mereka bukan menginap tapi memang mereka tinggal di sini, bersama Aish." Sahut Aisyah, menyambut ibu lalu mengajaknya duduk di sofa sebelahnya."Apa? apa paman tidak salah dengar Aish, kamu menampung mereka, memangnya mereka tidak punya tempat tinggal sampai kamu harus mengajak mereka hidup menumpang dirumahmu?!" Berang pamannya Aisyah terdengar marah."Memangnya kenapa, Paman? Ini toh rumah Aish, rumah peninggalan ayah dan ibu Aish. Lagi pula mereka tidak menumpang di rumah ini, Aish dan Ibu membuka usaha membuat kue dan Alhamdulillah sudah banyak yang menjadi pelanggan usaha kami. Dina juga bekerja walaupun sambil kuliah, jadi tak ada yang menumpang di rumah ini, mereka tinggal di sini atas permintaan Aish sendiri. Jadi tolong Paman hargai keputusan Aish, jangan berbicara seperti itu pada mereka!" Raut wajah kedua kerabat Aisyah memerah mendengar perkataan keponakannya, sepertinya mereka benar-benar tidak menyukai jika aku dan Ibu tinggal bersama Aisy
"Aish, siapa laki-laki yang katanya mau dijodohkan denganmu itu?" tanyaku penasaran setelah kedua kerabatnya Aisyah pulang."Entahlah, Din aku juga tidak tahu. Bahkan Paman dan bibi belum menyebutkan siapa nama pria itu, mereka hanya bilang jika dia adalah anaknya sahabat Ayah dan kami memang sudah dijodohkan sejak kecil." jawab Aish tak bersemangat. "Apakah aku harus menerimanya, Din? sedangkan aku sendiri tak mengenal calon suamiku, bagaimana jika seandainya laki-laki itu tak bertanggung jawab, atau bahkan sudah mempunyai kekasih?"Aisyah menatap kosong ke balik jendela yang terbuka di belakang dapur, saat ini kami tengah berbincang di ruang makan, sedangkan Ibu sedang memasak nasi goreng seafood kesukaan aku dan Aish. Beliau bersikeras tak ingin hanya tiduran saja, katanya malah membuat kepalanya tambah pusing."Shalat istikharah, Nak. Berdoa memohon petunjuk agar diberikan pilihan yang terbaik, khusnudzan saja yakin jika apa yang Allah pilihkan, itulah jalan yang terbaik untuk Nak
"Din, maaf bolehkah aku bertanya?"Diam sejenak aku tak langsung menjawab pertanyaan Pak Bimo, aku malah menatapnya sambil memicingkan mata karena bingung, dia mau bertanya apa, kenapa harus ijin segala."Dina ...!""E-eh tentu saja boleh, Pak. Apa yang mau Bapak tanyakan kenapa harus ijin dulu, silahkan tanya saja, Pak!""Bisakah jangan panggil saya dengan sebutan, bapak! Saya juga masih muda belum terlalu tua untuk tidak disebut bapak, kan," Pak Bimo terkekeh lalu menatapku dengan tatapan yang sulit ku artikanKupalingkan pandanganku saat tak sengaja mata ini bertatapan dengannya. Rasanya menghangat dibagian dada, menatap manik hitam itu begitu bersinar saat beradu pandang dengan mataku."Jadi saya harus panggil apa dong? kan Bapak memang atasan saya, bukan karena Anda sudah bapak-bapak," kilahku."Ya yang enak di dengar lah, Din. Asal jangan bapak, emangnya saya ini bapakmu!"Aku malah jadi tertawa mendengar perkataannya barusan, siapa juga yang mau punya bapak kayak Pak Bimo, pant
"Dek ijinkan aku menjadi lelaki yang akan menggantikan Zaidan di hatimu, ijinkan aku menjadi ayah dari anakmu. Aku berjanji akan selalu membahagiakan kalian selama hidupku." Ucap lelaki itu sambil menatap padaku lekat.Lain sekali dengan Mas Zaidan, jangankan menatapku seperti itu hanya sekadar melirik pun ia begitu takut sepertinya. Ah memang keduanya begitu berbeda, laki-laki itu begitu soleh juga taat pada perintah agamanya, namun kini beliau telah tiada hanya menyisakan sesak di dada karena aku ditinggalkan pas lagi sayang-sayangnya.Lain lagi dengan laki-laki petakilan yang kini berada didepanku, walaupun di mataku dia seolah begitu slebor dan tak bisa menjaga pandangannya dari lawan jenis, namun aku tak tahu kedalaman hatinya seperti apa. Aku tak bisa menilai orang hanya dari covernya saja, asal kulihat jelek, berarti dia jelek. Tidak seperti itu juga, setiap manusia itu punya kekurangan dan kelebihannya tersendiri termasuk juga Mas Yaseer, namun entah kenapa hati ini tak bisa
"Sudah ya, biarkan Zaidan istirahat dengan tenang di sana, agar langkahnya tidak berat untuk pulang menuju dunia keabadian."Aku akhirnya mengangguk mengiyakan kata-kata Bang Gagas, memang benar yang ia katakan, walau bagaimanapun aku harus mengikhlaskan kepergiannya suka ataupun tidak, semua kenyataan itu tak bisa lagi dipungkiri kebenarannya."Lalu bagaimana keadaan Uti saat ini, Bang?""Keadaan adiknya masih kritis saat ini, Dek. Kecelakaan itu begitu parah, bersyukurlah Allah masih menjaga dan melindungi mu. Entah amalan apa yng telah kamu lakukan sampai Allah begitu menyayangimu, Dek."Aku hanya terdiam mendengar penuturan Bang Gagas, dalam pikiranku hanya ada mereka berdua saat ini laki-laki yang telah pergi meninggalkanku untuk selamanya dan juga sahabatku Uti yang kini tengah kritis. Bagaimana aku akan mengatakan padanya nanti jika Mas Zaidan telah pergi lebih dulu meninggalkan kami saat ini."Bang, antar aku melihat Uti sekarang!" Pintaku pada Bang Gagas.Tanpa membantah Bang
Ketika baru saja hendak terlelap kulirik Ibu terburu-buru keluar dari kamar, tapi kulihat Jingga masih di kereta bayinya terlelap tak merasa terganggu, sekali pun berada di rumah sakit dengan keadaan yang kurang nyaman. Mau kemana Ibu, kenapa beliau begitu terburu-buru? kulihat juga wajahnya begitu sendu seolah menyimpan sesuatu dariku saat ini.Ah ingin rasanya aku mengejarnya keluar, tapi bagaimana caranya kakiku saat ini sulit untuk sekedar ku geser saja. Lalu jika pun aku bisa keluar memakai kursi roda, bagaimana dengan Jingga siapa yang akan menjaganya di sini, sementara aku pergi mengejar Ibuku keluar."Suster bisa bantu saya keluar, saya ingin melihat keadaan calon suami saya suster. Saya mohon bantu saya kali ini saja." Mohon Ku, ketika ada suster datang hendak memeriksa keadaanku saat ini."Tapi, saya harus iz—""Jangan meminta izin pada siapapun, Sus! Saya yang akan bertanggung jawab jika ada apa-apa nanti, saya mohon bantu saya sus."Akhirnya dengan sedikit terpaksa suster
"Dek, kamu sudah sadar? bagaimana keadaanmu sekarang?""Bagaimana keadaan Uti juga Mas Zaidan, Bang?" tanpa menjawab pertanyaan kakak ku, aku malah lebih ingin tahu bagaimana keadaan calon suami juga sahabatku Uti.Apakah mereka baik-baik saja sama sepertiku saat ini, atau malah sebaliknya?Bang Zaidan malah diam saja tanpa menjawab pertanyaanku, dia malah saling bertatapan dengan Ibu, seolah mengisyaratkan sesuatu."Bang ...! Kenapa tidak menjawab pertanyaanku, bagaimana keadaan Mas Zaidan juga Uti sekarang, apakah mereka baik-baik saja? jawablah jangan membuatku penasaran, Bang!" Bentakku kesal. "Bu ...! Apakah Ibu tahu bagaimana keadaan mereka sekarang?"Kembali kutanyakan pada Ibu, karena Abangku malah terus saja diam tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya, untuk menjawab pertanyaanku.Karena mereka tetap saja diam membisu tak juga menjawab pertanyaanku, kupaksakan bangun walaupun kepala terasa berdenyut nyeri, namun saat hendak mengangkat kedua kakiku aku merasakan hal yan
Kubuka mata perlahan, mengerjap-ngerjapkan kelopaknya karena silau oleh cahaya yang masuk kedalam iris mataku.Terbangun di hamparan padang rumput berwarna hijau, terasa teduh walaupun sinar mentari menyinari bumi.Kumpulan bunga liar kulihat begitu indah dengan warna-warni yang rupawan, membuat siapa pun betah berlama-lama menatapnya.Kutolehkan kepala kekiri dan kanan mencari siapa saja yang berada didekat sana, namun nihil tak kutemukan seorang pun dipadang rumput itu selain diriku sendiri.Beranjak bangun lalu melangkah pergi mencari, barang kali ada satu manusia yang bisa kutemui. Setelah berjalan beberapa waktu, akhirnya kulihat siluet orang yang tidak begitu asing dipenglihatanku, ya itu Mas zaidan calon suamiku. Namun mau kemana dia? berjalan maju tanpa menoleh sedikit pun padaku."Mas ... Mas Zaidan ...! Tunggu Dina, Mas!" Teriakku penuh harap.Akhirnya Mas Zaidan menoleh juga, wajahnya terlihat teduh seulas senyum hangat ia berikan padaku. Namun tak sepatah kata pun keluar d
Tiga Hari Jingga di rawat di rumah sakit, setelah memastikan tubuhnya benar-benar sehat akhirnya kami bisa membawanya pulang, Alhamdulillah dibalik ujian itu ada hikmah yang terselip begitu indah. Perlakuan Bang Gagas pada anakku itu kembali hangat. Terlihat sekali rasa sayangnya bertambah berkali-kali lipat, tak terpikir lagi dikepalanya untuk menyerahkan Jingga kepanti asuhan, atau pikiran buruk lainnya apapun itu dan itu teramat sangat ku syukuri.Segala doa dan harapanku telah Allah kabulkan, betapa besar kasih sayang-Mu pada umat mu ini ya Rabb. Karena Allah yang maha membolak-balikkan hati manusia, maka mudah baginya untuk melakukan hal itu jika memang Allah berkehendak.Kini setiap pagi sebelum ke kantor Bang Gagas selalu menyempatkan diri bermain dulu dengan Jingga walau sebentar saja. Pulang dari kantor pun tak pernah telat, katanya dia selalu rindu dengan anak gadisnya ini, MasyaAllah sungguh kuasa Allah begitu besar.Tok ...Tok ...Tok ..."Assalamualaikum."Hari minggu
"Ayok jalan lagi! Kalau enggak, jawab pertanyaanku yang tadi siapa sebetulnya yang sakit, Dek? Kamu ataukah salah satu keluargamu?""Itu bukan ur—""Yas, sedang apa kamu dengan wanita itu ...?"Aku menatap sekilas ke arah suara yang rasanya tidak begitu asing, suara wanita paruh baya yang tadi membuat energiku terkuras, karena harus menahan emosi tingkat dewa menanggapi sikap absurdnya padaku."Ibu ... kenalkan ini Dina, Bu. Adik partner kerja, Yas di kantor."'Ibu ...? Jadi wanita setengah baya, yang bermulut pedas itu Ibunya Mas Yaseer, pantas saja anaknya tengil gak karuan ternyata ibunya saja memiliki tingkah yang tak kalah ajaib, dari putranya.' pikirku kesal.Ingin sebetulnya segera lari dari tempat itu, menghindari manusia-manusia yang hanya akan merusak moodku seharian. Ibu yang bermulut pedas juga julidh, lalu anak laki-lakinya yang tengil, slengean gak jelas. Sudah pasti hariku akan terus runyam, jika terus bersinggungan dengan manusia-manusia ajaib macam mereka ini."Jadi d
"Apa kamu tidak melihat jalan pakai mata? kamu pikir jalanan ini punya nenek moyangmu, sampai seenaknya saja berjalan tidak memperhatikan jalanan didepanmu!" Bentaknya keras, menatap nyalang sambil menunjuk-nunjuk kearah wajahku."Maafkan say—""Ah awas minggir! Dasar wanita tidak berguna, tidak punya atittude baik. Pasti kamu sengaja menabrak ku untuk mengalihkan perhatianku, kan? kamu ini berniat mencuri dariku ya, heh?"Astagfirullah ... betapa terkejutnya aku mendengar bentakan wanita setengah baya yang kutabrak barusan, padahal aku sudah meminta maaf padanya, sudah berniat mau membantunya untuk kembali berdiri. Tapi tuduhannya padaku tidak main-main, bagaimana mungkin dia bilang aku tidak punya attitude jika dirinya saja berlaku seperti itu, lagipula jika aku berniat mencuri untuk apa aku berniat membantunya berdiri, kenapa tidak kuambil saja barangnya, lalu pergi kabur begitu saja dengan barang yang kucuri darinya. Benar-benar ibu-ibu yang sangat ajaib memang, perangainya sung
"Din, aku akan menceraikan Aisyah setelah pengobatannya selesai, tolong tunggu aku sebentar lagi Din, ku mohon!""Apa maksudmu, Mas ...?"Tanya Aisyah menatap kearah kami, dua orang yang kini berada di depannya. Aku yang tidak mau kembali mendapatkan kesalahpahaman dari Aisyah, secepatnya menghampiri sahabatku kemudian mengusap bahunya lembut."Selesaikanlah masalah kalian, maaf aku tidak ingin ikut campur dan kembali terseret di dalamnya, Aish!"Tanpa menunggu jawaban Aisyah, aku segera kembali ke ruang tamu meninggalkan pasangan suami istri itu agar menyelesaikan berdua masalah mereka, aku tidak ingin lagi jika harus sampai terseret kedalam masalah besar diantara keduanya. "Kemana, Nak Aisyah sama suaminya, Nduk? apakah mereka sudah pulang?""Belum, Bu. Mereka ada di taman belakang." Jawabku sambil tetap menimang Jingga yang masih saja terdengar rewel."Jingga kenapa to, Nduk? nenek dengarkan dari tadi kok kamu tuh rewel terus, Nduk." Ucap ibuku terdengar khawatir.Ibu menghampiri