Pov Fiona.
Menutup pintu toilet dengan hati yang begitu remuk, tubuhku lunglai di baliknya. Kepala terasa berputar hebat, dengan pandangan yang menjadi buram.Bugh ... bugh ... bugh!Memukul dada sekuat tenaga, untuk menyamarkan rasa sesaknya. Kenyataan memang sangat menyakitkan. Siapa yang mengira, aku akan bertemu dengan Ibu kandungku lagi. Dan yang lebih hancur, selama ini dia bersandiwara, berpura menjadi mertua yang baik.Cih! Dasar picik. Egois. Hanya memikirkan dirinya sendiri. Dari dulu tidak pernah berubah. Selalu mementingkan dirinya sendiri. Entah dia anggap apa aku selama ini.Memori ingatan menyeret saat pertama kali aku singgah di rumah ini. Perlakuan Ibu sangat hangat dan penuh kasih sayang, hingga aku merasa nyaman didekatnya.Hah ... mengapa aku begitu bodoh, tak menyadari kejanggalan ini.Perlahan tubuhku bangkit, menyalakan sower dan berdiri dibawahnya. Ribuan tetes air menerjang kepala,Suasana menjadi hening, Nadia hanya menatapku nanar dengan senyum tipis di bibirnya. Sementara aku, hatiku sangat kesal mengingat perempuan itu."Fi ..." desahnya."Ya?" aku mengangkat kepala."Dalam hidup, terkadang bayak sekali hal-hal yang menyakitkan. Kita di paksa untuk mengerti. Padahal, sebenarnya kita tuh memang tidak tahu apa pun." Nadia menatap hangat."Lo tahu sendirikan, betapa bejatnya Ayah gue. Beberapa kali ketahuan bermain gila. Sampai gue pernah jambak rambut gundiknya di keramaian. Tapi apa? Mamah malah memukul gue. Bisa lo banyangkan betapa kecewanya gue sama dua orang itu," wajah Nadia berubah murung. Masalalu kami memang sama-sama berat, tidak bersahabat."Hal yang paling memuakkan, saat gue tanya alasan kenapa, Mamah masih bertahan? Dia hanya bilang kasian Adik-Adikmu, mereka masih kecil. Ayahmu hanya tersesat nanti juga pasti akan tersadar dan kembali bersama lagi. Sementara Mamah sendiri tidak peduli deng
"Maksud Ayah?" tanyaku dengan alis yang menaut.Apa selama menikah, Ayah bukanlah suami yang baik hingga Ibu memutuskan untuk berselingkuh?Ayah menarik nafas, lalu tersenyum kecut setelahnya."Kami menikah karna perjodohan. Ibumu mencoba patuh pada orangtuanya. Begitupun dengan Ayah. Bisa saja selama menikah Ibumu tidak menyimpan rasa cinta untuk, Ayah. Sehingga dia pergi untuk ..." kalimat Ayah terhenti, nafasnya seolah tercekat di tenggorokan."Untuk ... ya itu, untuk mencari kebahagiaannya sendiri." Ayah tersenyum getir saat menyelesaikan kalimatnya.Dengan cepat Ayah meraih minuman di depannya, lalu meneguknya perlahan."Ayah menerima begitu saja?" tanyaku tak percaya."Yah ... Ayah bisa apa? Biarkan saja. Yang penting ada kamu disisi Ayah. Ayah sudah bahagia," jawab Ayah."Ayah bahagia, meski tidak memiliki pasangan?"Ayah menarik nafas mendengar ucapanku."Mencari pas
Lima belas menit Bik Inah datang dengan alat tespack ditangan. Bibirnya terkulum senyum saat menyerahkan benda itu ketanganku."Semangat, Non ..." ucapnya sambil mengangkat tangan yang terkepal dan mata yang berbinar."Iya ..." aku meringis lalu tersenyum kecil menanggapi tingkah, Bik Inah.Ayah menganggukkan kepala, wajahnya terlihat sangat bersemangat."Ayo, Mas bantu." Mas Yas meraih tangan dan menuntunku masuk ke dalam toilet."Bismillah ya sayang ..." ucapnya seraya membelai wajahku, matanya berbinar dengan bibir terangkat sempurna.Aku hanya mengangguk, lalu menutup pintu toilet. Kupandangin alat berwarna putih panjang ini, dengan gamang. Tiba-tiba saja perasaan ini menjadi sedih. Takut, harapan orang yang ada diluar pupus saat melihat hasil dari alat ini."Bismillahirrahmanirrahim ...."Kupejamkan mata setelah meneteskan air seni ditempat yang ditunjuk pada alat. Jantung berdebar-debar, de
Sejak siang rintik hujan terus membasahi bumi, meski pendingin ruangan sudah di matikan tetap saja rasa dingin membuat tubuhku menggigil. Kembali menarik selimut, merapatkan pelukkan pada kekasih hati, memandangi ke Indahan wajahnya yang mampu membuatku tergila-gila."Ishh ... gemes!" gumamku sambil menjawil kedua pipinya. Meraba bulu halus yang ada di samping telinga, lalu menciumi pipi tirusnya."Hm ..." tubuh itu menggeliat, lalu kembali tenang. Tersadar aku memperhatikannya, Mas Yasir mengeratkan pelukkan."Kagum ya." lirihnya, masih dengan mata yang terpejam.Alisku menaut, mendengar suaranya. Sudah bangun?"Aku, ganteng kan?" ucapnya dengan manik menyorot padaku.Aku ternganga, dibuatnya."Baru tahu ya, kalau aku gantengnya pakai banget." sambungnya dengan senyum yang merekah. Kedua alisnya naik-turun dengan ekpresi yang menggelikan."Ishh ... sok ganteng!" cebikku, sambil memukul manja dad
Belaian air laut menyentuh kulit, suara ceria terdengar di telinga. Meski dingin terasa menggigit kulit, namun kaki ini terus saja melangkah, menyusuri pantai.Udara segar memasuki indra penciuman, kupejamkan mata seraya menarik nafas dalam-dalam."Cantik ..." bisiknya di telinga. Kedua tangan kekar itu perlahan melingkar di pinggangku. Aku mengeratkan badan, rasa nyaman menyelusup saat berada dalam dekapannya.Suasana pantai yang tamaram, dan tidak terlalu banyak orang, membuatnya berani mendekapku di alam bebas."Sudah malam, balik kamar yuk ..." ajaknya.Mataku masih fokus melihat hamparan air laut yang berwarna gelap, sesekali ombak kecil menerjang kaki ini. Walau angin laut begitu dingin, namun airnya terasa hangat menyentuh kulit."Mas ..." desahku."Hm?" aku membalik badan, menghadap wajah tampannya.Aku menatap dalam-dalam manik hitam miliknya, binar cinta terpancar jelas di matanya.
Perjalanan pulang ke rumah lancar tanpa kendala. Paman pun sudah sigap di pintu pagar, sementara Bik Inah menyambut kepulanganku dengan suka cita."Non ..." teriak, Bik Inah dengan mata berkaca-kaca, aku hanya tersenyum menanggapinya."Bibik sampai kangen," tuturnya seraya meraih koper yang ada di tangan Mas Yasir."Sama aku kangen tidak, Bik?" goda Mas Yasir.Bik Inah terkekeh geli mendengarnya. "Paman yang kangen Mas, tidak ada teman main catur," balas Bik Inah."Paman sehat?" tanya suamiku seraya menjabat tangan Paman."Sehat." jawab Paman dengan badan tegap dan anggukkan kepala."Saya masuk duluan ya, Paman." pamit Mas Yasir sambil menyeret koper miliknya. Sementara koper milikku dibawa oleh, Bik Inah.Waktu menunjukkan pukul 16:00, setelah membersihkan badan Mas Yas langsung tepar berbaring diatas ranjang. Aku meregangkan otot, merasakan badan yang mulai terasa capek dan pegal-pegal. Saat in
"Kamu Eva?"Wajah imut dengan make-up tipis itu nampak tersentak, aku bahkan bersuara dengan lembut."Eh ... I-ya, Mbak." ucapnya gugup, wajahnya terlihat sekali tak nyaman saat aku jalan mendekatinya."Saya, Fiona. ISTRI, Dokter Yasir." sengaja aku menekan kalimat terakhir, untuk mengingatkan, barang kali dia lupa."I-ya, Mbak Fiona." ucanya ragu-ragu, perlahan wajahnya terangkat melihat wajahku. Tanpa buang waktu aku pamerkan senyum termanisku, dengan wajah bersahabat."Sudah lama jadi asisten suami saya?" tanyaku sambil bersedekap dada, mata mengamatinya dari ujung kaki hingga kepala, membuat dia terlihat salah tingkah.Seragam hijau tosca dengan hijab yang senada, tubuhnya yang ramping dengan kulit putih bersih berwajah baby face. Lumayan cantik, sebenarnya. Kalau aku taksir dari wajahnya, pasti umur Eva berada dibawahku.Sayang sekali jika waktunya dihabiskan untuk mengganggu ketenangan orang lai
"Ibu ... akan melakukan apapun, agar mendapat maaf darimu." ucapnya bersungguh-sungguh.Aku tersenyum miris, menyenderkan tubuh disisi ranjang."Keluarlah ... aku ingin beristirahat," usirku halus. Terserah jika di bilang aku tidak sopan, aku hanya risih jika harus berlama-lama dengan perempuan itu.Ibu tersenyum pahit, menganggukkan kepala lalu beringsut dari ranjang."Loh Ibu ada disini?" ucap Mas Yas sedikit kaget saat masuk ke dalam kamar dan mendapati, Ibu ada disini."Iya Yas, Ibu tadi bicara sebentar sama, Fiona." balas Ibu dengan langkah kecil menuju pintu kearah, Mas Yasir."Bicara?" Mas Yas terlihat tidak yakin dengan apa yang dia dengar."Istirahatlah ... sudah malam, besok harus kerja." ucap Ibu pada suamiku."Iya, Buk.Ibu juga ya. Jangan terlalu banyak pikiran," Mas Yas memegangi tangan Ibu, wajahnya terlihat cemas."Iya, Yas. Ibu tidak banyak pikiran kok. Pikiran Ib
"Terserahlah. Aku sudah malas peduli." jawab Ridwan lalu pergi keluar pintu.Aku dan Mas Yas saling berpandangan. Mata kami kompak menoleh kearah Putri yang semakin menangis sesegukan.Aku mengangguk kecil, tanpa berkata Mas Yas langsung keluar kamar mengerti maksud isyaratku."Ada apa sih, Put? Coba cerita, siapa tahu Kakak bisa bantu," ucapku pelan sambil berjalan mendekati ranjang."Hati aku capek, Kak. Mas Ridwan dan Ibu menyalahkan aku, semua menyalahkan aku atas kejadian ini. Mereka fikir aku tidak sedih kehilangan anakku sendiri." Putri menatap sendu, isaknya terdengar lirih."Sabar sayang, sabar." aku mengusap lembut pundak belakangnya."Belum lagi Mas Ridwan, terlalu cemburu berlebihan Kak. Dia selalu mikir aneh-aneh setiap kali melihat aku sama Juna di kantor," lirih Putri. "Padahal kita hanya teman kerja, tidak lebih.""Loh ... bukannya cemburu itu tanda cinta ya? Emangnya kamu mau Ridwan cuek-cuek aja, lihat kamu diantar pulang sama orang lain?" sahutku selembut mungkin."
"Pasien rumah sakit jiwa terlindas truk hingga tewas, kondisi sangat mengenaskan. Saat ini jenazah korban ada dirumah sakit Pelita Keluarga.""Baca, apa sih Fi serius banget?" Mas Yas yang sedang mengemudi, menoleh singkat lalu kembali fokus menghadap jalan."Baca berita yang lewat dibranda, Mas. Seram ih, aku baca juga komen-komennya. Katanya, tubuh korban tabrakan itu terbelah menjadi dua bagian." sahutku, sambil bergidik ngeri."Innalillahi ... semoga amal ibadahnya diterima Alloh." jawab Mas Yas dengan wajah prihatin."Aamiin," aku hanya menyahut, pandangan fokus pada gawai melanjutkan membaca komentar yang ada didalam berita.Mengingat rumah sakit jiwa, aku jadi teringat ucapan Nyonya Diana. Dia bilang, Anitta terkena gangguan jiwa, dan sekarang tinggal dirumah sakit jiwa. Semoga dia dalam keadaan baik-baik saja, walau aku sangat membencinya tapi aku tak ingin mendoakan keburukan padanya. Aku takut doa buruk itu akan kembali padaku. Naudzubillah."Nyonya Diana, terlihat bukan oran
Pov DianaSuara debur ombak beradu dengan karang membuat aku menarik nafas panjang, angin lembut berhembus diwajah dan rambut. Menimbulkan aura menenangkan.Hmm ...Menghembuskan nafas secara perlahan, bibir tersenyum simpul melihat dua sosok kesayangan bermain dengan ceria ditepi pantai.Duhai Tuhan ... trimakasih. Atas izinmu, kau biarkan aku melalui badai yang sangat kuat lagi dahsyat."Mamih, ayok kesini!" seru Deo meski terdengar samar. Aku hanya tersenyum, meraih gelas berisi jeruk hangat lalu menyesapnya pelan.Tangan ini melambai saat melihat pasangan suami istri celingukan mencari seseorang. Aku tersenyum manis, saat mata kami beradu tatap."Hai." sapaku ceria."Lama tidak bertemu, Nyonya Diana." wanita cantik menyapa dengan senyuman manis, dia menyodorkan tangan, setelahnya kita berjabat tangan mencium pipi kiri dan kanan."Mbak Fiona, semakin cantik saja." ucapku tulus. Karna memang wajah wanita muda yang ada dihadapanku memang selalu cantik."Nyonya bisa saja," ucapnya sam
Pov Anitta."Lepass!" aku memberontak saat dua laki-laki berseragam rumah sakit memegangi kedua tangan."Kalian tuli, hah! Lepas aku bilang!" sungutku sambil terus memberontak.Kedua laki-laki itu hanya mendengkus kesal tak mengindahkan ucapanku."Jalan!" ucapnya, lalu menyeret tubuhku keluar dari penjara.Nafasku terengah-engah, terpaan sinar matahari menerjang wajah menimbulkan sensasi hangat dan menenangkan.Otak mulai mencerna apa yang sebenarnya terjadi, aku terbahak menyadari akan keluar dari tempat pengap itu."Hahah ... aku bebas. Aku bebas!" teriakku bersemangat. "Bawa aku pulang ke apartement, aku rindu rumahku. Aku rindu." cerocosku sambil menatap penuh harap kearah dua laki-laki itu.Satu diantaranya membuka pintu bagasi mobil khas rumah sakit, setelah terbuka lebar dia kembali memegangi tanganku."Masuk!" titahnya sambil mendorong tubuhku."Hati-hati, jangan membuatnya marah. Atau kalian akan tersakiti." ucap Polisi gendut. Keduanya saling bertatapan, lalu menoleh kearahk
"Aaaaa!" aku menjerit ketakutan. Pegangan itu tersenyum menyerigai, lalu membuka mulut dan mengeluarkan semua binatang menjijikan."Hah ... hah!" Aku langsung terlonjak dengan nafas memburu. Keringat sebiji jagung bercucuran dari kening hingga kewajahku. Aku mengedarkan pandangan, ruangan sempit masih mengelilingiku."Hiiiyyy." aku bergidik ngeri, mimpi tadi seolah nyata dan aku merasa benar-benar tenggelam dalam lautan darah."Uhuk ... uhuk!" nafasku tersendat. Aku kesulitan bernafas.Hah hah!Benar-benar kurang ajar. Untuk apa perempuan pengeretan itu hadir didalam mimpiku. Aku jadi takut sendiri berada diruangan sempit ini."Pak ... Pak!!" aku berteriak sambil memukul gembok pada pintu besi. Tenggorokanku kering, dan tidak ada satu pun setetes air minum disini."Ada apa! Jangan berisik. Ganggu saja!" maki petugas gendut."Air, saya butuh air." jawabku dengan tatapan memohon."Minum ... haus," pintaku."Ck! Menyusahkan saja sih." maki Polisi itu. Dengan sangat terpaksa dia membalik
Pov Anitta."Tahanan ini benar-benar keterlaluan, dia membunuh Ibunya sendiri saat datang berkunjung menemuinya." ujar petugas gendut sambil melirik kearahku sorotnya memancarkan ketidak percayaan."Ckckck," laki-laki berperawakan tinggi besar itu menatap lekat, menggelengkan kepalanya. Aku semakin menundukan wajah, takut tiba-tiba pukulan kembali menyerangku.Tubuh ini menggigil, luka memar terlihat disekujur tubuh. Rasanya sakit dan menyiksa sekali."Teman satu selnya pun ikut dihajar, aku rasa dia mengalami gangguan jiwa." Mataku mendelik, tak terima dengan kata-kata sipir jelek itu."Bawa dia masuk kembali, tempatkan dia diruangan 355 a. Jangan disatukan dengan yang lain, saya mencuim gelagat mengerikan dari tatapan matanya," ucap komandan Polisi."Siap, Dan!" sahut dua petugas sambil menegakkan badan."Cepat!" tubuh ini diseret paksa. Aku hanya bisa menurut, menyeret kaki mengikutinya.Dug!Rasa nyeuri menerjang lutut dan telapak tangan, saat tubuhku didorong masuk oleh petugas h
"Istri saya sakit apa, Dok?" tanyaku setelah Dokter Murni memeriksa keadaan Diana."Sepertinya hanya terlalu lelah," jawab Dokter Murni sambil tersenyum tipis pada Diana."Jangan terlalu capek dan banyak fikiran. Bebaskan saja, jangan dipendam nanti tambah sakit," sambungnya sambil mengusap tangan Diana."Iya, Dok. Trimakasih," jawab Diana."Saya hanya meresepkan beberapa vitamin, sama obat pusing ya. Untuk berjaga-jaga, khawatir kepala Nyonya Diana ikut pusing juga karna terlalu banyak berfikir," ucap Dokter Murni sambil terkekeh pelan. Diana tersenyum menanggapinya."Saya permisi, jangan lupa diminum vitaminnya." ucapnya sambil mengemasi alat-alat ke Dokteran yang tadi dia keluarkan."Iya, Dok. Trimakasih ya," sahutku lalu mengekorinya jalan keluar kamar."Kamu tidak apa-apa, Mih?" tanyaku sambil mengusap pucuk kepalanya dengan lembut."Tidak, apa. Aku hanya butuh istirahat saja," jawab Diana."Kamu lagi banyak fikiran ya? Mikirin apa sih?" cecarku berpura bodoh. Padahal aku tahu be
"Mati saja kau, Bu. Hidup pun tak berguna, hanya bisa menyusahkan anak-anakmu saja!" bisikku tepat ditelinganya. Wajah Ibu terlihat membiru, dengan lidah menjulur dan suara nafas yang tercekat ditenggorokan.Aku semakin bersemangat, bibir melengkung sempurna saat melihat Ibu menghadapi sarakatulmaut."Mati, kamu Buk. Mati!" desisku dengan suara tertekan."Hei ... mau apa kamu!" suara sumbang mengganggu kesenanganku. Tangan lemah Ibu terus memukul tangan ini, dan meminta pertolongan. Aku semakin kalap saat beberapa orang mulai mendekat, cengkraman tangan dileher Ibu semakin aku tekan.Dia harus lenyap, aku tak ingin hidup menderita sendirian.Tubuh Ibu mulai lemas, tangannya terkuai tidak lagi melakukan perlawanan.Kedua tanganku ditarik paksa, seruan dari suara sumbang terus saja mengusik pendengaranku."Hei, sudah gila kamu ya!" hadrik suara seseorang."Lepas!""Pak, tolong ..."Plakk plakk!!Rasa panas langsung menjalar dipipiku, setelah memastikan Ibu tak lagi bergerak aku baru mel
"Mas ..."Langkah Mas Mahesa terhenti mendengar panggilanku.Mamah menatap jengah, Diana menampilkan wajah datar berpura tak melihat kehadiranku.Sombong sekali, perempuan tua itu. Merasa menang dariku? Tak tahu malu.Mas Mahesa mengangguk kecil pada dua perempuan busuk itu, Mamah menatap khawatir, tapi akhirnya pergi juga bersama Diana."Ada apa?" tanyanya datar, tanpa melihat wajahku. Tangannya sibuk merapihkan dasi yang menjerat dilehernya."Aku ..." mata ini memanas, melihat perubahannya. Mas Mahesa melirik sekilas, menghela nafas panjang."Katakanlah, aku tidak punya banyak waktu. Mamah dan istriku sudah menunggu diluar," ucapnya sambil menatap lurus kearah pintu, dimana berdiri Mamah Hana juga Diana."Aku juga istrimu," sahutku dengan suara parau. Mas Mahesa terkekeh, lalu menatapku tajam."Istriku?" tanyanya dengan tatapan mengejek. "Oh ya ... kau benar. Aku belum mengucap talak untukmu," sambungnya dengan senyum tipis."Mas ..." selaku dengan wajah memelas."Aku minta maaf, su