Setelah keadaan Anitta membaik, kami langsung bergegas menuju kantor polisi, untuk melaporkan kasus penganiayaan yang dilakukan Fiona. Dengan bukti berupa hasil visum juga luka yang masih membekas diwajah Anitta, membuat laporan semakin mudah di proses.Aku dan Anunggu Fiona dijemput oleh aparat. Hanya memakan waktu satu jam, polisi berhasil membawa Fiona kesini.Kupandangi wajah Fiona yang terlihat semakin cantik saat di introgasi. Sesaat mata kami beradu tatap, namun sorot Fiona datar saja melihatku. Tidak ada benci atau amarah dimatanya.Polisi memutuskan untuk menahan Fiona, hatiku sedikit lega mendengarnya. Karna menurutku, ini adalah kesempatan bagus, untuk menjadi pahlawan baginya. Fiona tersenyum tipis kearahku, saat polisi menggiringnya memasuki sel tahanan. Ada rasa bersalah yang mencuat didalam dada, melihatnya ada didalam jeruji besi, namun secepat kilat aku menepisnya. Toh ini hanya
Bukankah sulit sekali menahan gejolak itu. Daniel?" Lagi Papih menatapku, kali ini dengan senyum mengejek kearahku.Aku tergagap ditempat, lidahku terasa sulit bergerak. Semakin membuat Papih melambung diatas awan."Jadi.. maksudmu, kau akan tetap menjalani hubungan itu dan menikahinya begitu?" Mamih kembali berucap, kali ini tanpa emosi. Sepertinya Mamih berhasil menetralkan perasaannya."Ya.. aku akan menikahinya, apapun yang terjadi. Dengan, atau tanpa persetujuan darimu," ucap Papih santai. Benar-benar membuatku ingin menjotos bibirnya.Mamih mendecih sinis, bibirnya terangkat sebelah. "Itu tidak akan terjadi, aku akan mengurus surat perceraian!" gertak Mamih."Silahkan.. aku lebih baik kehilanganmu, dari pada harus menjauhi dia. Fikirmu, kau sudah jadi istri yang baik untukku? Kau bahkan selalu membuatku malu, didepan rekan-rekanku. Kau selalu ingin menang sendiri dan aku harus selalu mengalah menuruti keinginanmu. Menurutku itu semua sudah cu
"Bukankah sulit sekali menahan gejolak itu. Daniel?" Lagi Papih menatapku, kali ini dengan senyum mengejek kearahku.Aku tergagap ditempat, lidahku terasa sulit bergerak. Semakin membuat Papih melambung diatas awan."Jadi ... maksudmu, kau akan tetap menjalani hubungan itu dan menikahinya begitu?" Mamih kembali berucap, kali ini tanpa emosi. Sepertinya Mamih berhasil menetralkan perasaannya."Ya ... aku akan menikahinya, apapun yang terjadi. Dengan, atau tanpa persetujuan darimu," ucap Papih santai. Benar-benar membuatku ingin menjotos bibirnya.Mamih mendecih sinis, bibirnya terangkat sebelah. "Itu tidak akan terjadi, aku akan mengurus surat perceraian!" gertak Mamih."Silahkan ... aku lebih baik kehilanganmu, dari pada harus menjauhi dia. Pikirmu, kau sudah jadi istri yang baik untukku? Kau bahkan selalu membuatku malu, didepan re
"Sudahlah ... kau pun sama, nafsu saja yang dibesarkan. Bisanya menyakiti hati istri saja!"Tenggorokanku seakan tercekat mendengar ucapan Mamih, aku langsung menyambar minumanku lalu meneguknya hingga tandas. Mamih benar-benar keterlaluan.Dulu mati-matian mendukungku, sekarang malah balik menyalahkanku. Saat aku ingin mengakhiri hubungan dengan Anitta, Mamih sendiri yang melarangku. Sulit dimengerti jalan fikirannya. Pagi-pagi sudah merusak moodku saja!Kutinggalkan sarapan yang baru saja kumulai, Mamih masih saja berbicara tidak jelas saat aku meninggalkannya."Pagi Pak," sapa Puspa, kasir cafe milikku."Pagi ..." sahutku tak acuh, sambil melewatinya menuju ruanganku."Pak ... ini laporan ke uangan bulan ini, dan ini uang hasil dua minggu yang lalu."Puspa menyerahkan buku besar
Pulang kerumah dengan hati yang teriris, aku berjalan dengan langkah gontai menaiki tangga, menuju kamarku.Didalam kamar, ada Anitta sedang mengunyah sambil menyenderkan tubuh disisi ranjang, dia nampak tersenyum melihat kedatanganku dan menautkan alis saat aku tak membalas senyumnya."Gimana sayang, kamu udah resmi cerai dengan dia?" tanya Anitta saat aku merebahkan badan.Hah ... tubuhku begitu lelah, begitu pun dengan hati dan jiwaku."Sayang ... kamu kenapa sih lemes banget," Anitta bergelayut manja dilenganku."Aku, masih kefikiran Fiona," sahutku sambil menatap langit-langit didalam kamar."Sudahlah Mas ... kan ada aku, buat apa mikirin dia. Dia aja sudah ga peduli sama kamu," Anitta meringsekan tubuh dipangkuanku."Lagi pula, apa sih hebatnya dia. Ngasih anak aja ga mampu," lanjut Anitta dengan nada mengejek.Aku yang sedari tadi memijat kening langsung menghentikan activitas mendengar uc
Berbicara kesana-kemari dengan Castie, aku seperti mendapat semangat baru saat bertemu dengannya. Senyum manis, yang selalu terukir serta sikapnya yang dewasa membuatku merasa nyaman saat ada disampingnya.Dia berbeda dengan Anitta, yang selalu minta ini dan itu. Castie sama sekali tidak mau menerima uangku, meski aku telah memakai jasanya."Aku ingin berteman denganmu. Apa bisa?" Ucap Castie sambil mengamatiku yang sedang mengancing kemeja."Ya ... tentu," jawabku antusias. Lalu berjalan mendekatinya yang masih terbalut selimut, tanganku membelai kepala dan merapihkan rambutnya yang sedikit berantakan.Siapa yang bisa menolak berteman dengannya? Hanya orang bodoh yang menolak keinginannya."Setiap sabtu dan minggu aku bekerja di club semalam, datanglah jika kau merindukanku," ucapnya dengan manja, kedua tangannya merengkuh tungkuk leherku."Aku ... menyukaimu Daniel," desahnya ditelinga. Matanya menatapku dengan penu
"Bawa dia kekamarnya, Mih ..." titahku setelah sekian detik melihat Mamih dan Dara mengadu air mata.Dengan patuh, Mamih menuruti perintahku, dituntunnya Dara menuju kamar. Ekor mataku mengikuti langkah mereka.Nafasku masih terasa sesak menerima kenyataan ini. Sungguh aku tidak menyangka, Adik tomboy-ku bisa mengalami nasib seperti ini.Astaga ... kenapa hidupku serumit ini, semua menjadi kacau belakangan ini. Masalah seakan bertubi-tubi berdatangan, belum hilang masalah Papih. Kini Dara membuat masalah baru. Otakku terasa ingin meledak, sebab tak mampu menampung beban fikiran."Mas mau makan?" tanya Anitta ragu-ragu."Tidak usah, Nitt." jawabku lemas, rasa lapar menguap begitu saja, berganti dengan rasa sesak didalam dada.Aku harus menemukan pelakunya. Takkan aku izinkan dia bernafas saat aku menemukannya.***Ofd."Bangun Mas ..." suara samar mengusik telinga, ditambah goncang pelan dipundakku
Jantungku terasa copot dari tempatnya, kedua lelaki itu terus saja menggedor kaca jendela mobil. Nafasku naik turun, aku semakin panik saat satu dari mereka mengayunkan balok ke mobilku.Brak!Satu hantaman balok mendarat keras di kaca jendela, kaca itu langsung retak seketika."Keluar!! Atau gua hancurkan mobil ini!!" Teriak lelaki berkepala botak itu tak main-main.Dug... dug ...Satu lelaki memukul kaca jendela dengan tangannya, lalu menempelkan wajah dikaca dengan mata melotot tajam.Dengan tangan bergetar, aku meraih pintu mobil. Firasat mengatakan jangan membuka, namun gedoran bertubi-tubi kembali terdengar. Membuat aku membuka pintu juga."Lama lu!!" sentaknya sambil menarik badanku dengan kasar."Ada apa ini?" tanyaku cemas.Bugh. .. bugh ...Tanpa bisa kucegah bogemnya langsung mendarat keras di wajah dan perutku, membuat nafas langsung tercekat ditenggorokan.
"Terserahlah. Aku sudah malas peduli." jawab Ridwan lalu pergi keluar pintu.Aku dan Mas Yas saling berpandangan. Mata kami kompak menoleh kearah Putri yang semakin menangis sesegukan.Aku mengangguk kecil, tanpa berkata Mas Yas langsung keluar kamar mengerti maksud isyaratku."Ada apa sih, Put? Coba cerita, siapa tahu Kakak bisa bantu," ucapku pelan sambil berjalan mendekati ranjang."Hati aku capek, Kak. Mas Ridwan dan Ibu menyalahkan aku, semua menyalahkan aku atas kejadian ini. Mereka fikir aku tidak sedih kehilangan anakku sendiri." Putri menatap sendu, isaknya terdengar lirih."Sabar sayang, sabar." aku mengusap lembut pundak belakangnya."Belum lagi Mas Ridwan, terlalu cemburu berlebihan Kak. Dia selalu mikir aneh-aneh setiap kali melihat aku sama Juna di kantor," lirih Putri. "Padahal kita hanya teman kerja, tidak lebih.""Loh ... bukannya cemburu itu tanda cinta ya? Emangnya kamu mau Ridwan cuek-cuek aja, lihat kamu diantar pulang sama orang lain?" sahutku selembut mungkin."
"Pasien rumah sakit jiwa terlindas truk hingga tewas, kondisi sangat mengenaskan. Saat ini jenazah korban ada dirumah sakit Pelita Keluarga.""Baca, apa sih Fi serius banget?" Mas Yas yang sedang mengemudi, menoleh singkat lalu kembali fokus menghadap jalan."Baca berita yang lewat dibranda, Mas. Seram ih, aku baca juga komen-komennya. Katanya, tubuh korban tabrakan itu terbelah menjadi dua bagian." sahutku, sambil bergidik ngeri."Innalillahi ... semoga amal ibadahnya diterima Alloh." jawab Mas Yas dengan wajah prihatin."Aamiin," aku hanya menyahut, pandangan fokus pada gawai melanjutkan membaca komentar yang ada didalam berita.Mengingat rumah sakit jiwa, aku jadi teringat ucapan Nyonya Diana. Dia bilang, Anitta terkena gangguan jiwa, dan sekarang tinggal dirumah sakit jiwa. Semoga dia dalam keadaan baik-baik saja, walau aku sangat membencinya tapi aku tak ingin mendoakan keburukan padanya. Aku takut doa buruk itu akan kembali padaku. Naudzubillah."Nyonya Diana, terlihat bukan oran
Pov DianaSuara debur ombak beradu dengan karang membuat aku menarik nafas panjang, angin lembut berhembus diwajah dan rambut. Menimbulkan aura menenangkan.Hmm ...Menghembuskan nafas secara perlahan, bibir tersenyum simpul melihat dua sosok kesayangan bermain dengan ceria ditepi pantai.Duhai Tuhan ... trimakasih. Atas izinmu, kau biarkan aku melalui badai yang sangat kuat lagi dahsyat."Mamih, ayok kesini!" seru Deo meski terdengar samar. Aku hanya tersenyum, meraih gelas berisi jeruk hangat lalu menyesapnya pelan.Tangan ini melambai saat melihat pasangan suami istri celingukan mencari seseorang. Aku tersenyum manis, saat mata kami beradu tatap."Hai." sapaku ceria."Lama tidak bertemu, Nyonya Diana." wanita cantik menyapa dengan senyuman manis, dia menyodorkan tangan, setelahnya kita berjabat tangan mencium pipi kiri dan kanan."Mbak Fiona, semakin cantik saja." ucapku tulus. Karna memang wajah wanita muda yang ada dihadapanku memang selalu cantik."Nyonya bisa saja," ucapnya sam
Pov Anitta."Lepass!" aku memberontak saat dua laki-laki berseragam rumah sakit memegangi kedua tangan."Kalian tuli, hah! Lepas aku bilang!" sungutku sambil terus memberontak.Kedua laki-laki itu hanya mendengkus kesal tak mengindahkan ucapanku."Jalan!" ucapnya, lalu menyeret tubuhku keluar dari penjara.Nafasku terengah-engah, terpaan sinar matahari menerjang wajah menimbulkan sensasi hangat dan menenangkan.Otak mulai mencerna apa yang sebenarnya terjadi, aku terbahak menyadari akan keluar dari tempat pengap itu."Hahah ... aku bebas. Aku bebas!" teriakku bersemangat. "Bawa aku pulang ke apartement, aku rindu rumahku. Aku rindu." cerocosku sambil menatap penuh harap kearah dua laki-laki itu.Satu diantaranya membuka pintu bagasi mobil khas rumah sakit, setelah terbuka lebar dia kembali memegangi tanganku."Masuk!" titahnya sambil mendorong tubuhku."Hati-hati, jangan membuatnya marah. Atau kalian akan tersakiti." ucap Polisi gendut. Keduanya saling bertatapan, lalu menoleh kearahk
"Aaaaa!" aku menjerit ketakutan. Pegangan itu tersenyum menyerigai, lalu membuka mulut dan mengeluarkan semua binatang menjijikan."Hah ... hah!" Aku langsung terlonjak dengan nafas memburu. Keringat sebiji jagung bercucuran dari kening hingga kewajahku. Aku mengedarkan pandangan, ruangan sempit masih mengelilingiku."Hiiiyyy." aku bergidik ngeri, mimpi tadi seolah nyata dan aku merasa benar-benar tenggelam dalam lautan darah."Uhuk ... uhuk!" nafasku tersendat. Aku kesulitan bernafas.Hah hah!Benar-benar kurang ajar. Untuk apa perempuan pengeretan itu hadir didalam mimpiku. Aku jadi takut sendiri berada diruangan sempit ini."Pak ... Pak!!" aku berteriak sambil memukul gembok pada pintu besi. Tenggorokanku kering, dan tidak ada satu pun setetes air minum disini."Ada apa! Jangan berisik. Ganggu saja!" maki petugas gendut."Air, saya butuh air." jawabku dengan tatapan memohon."Minum ... haus," pintaku."Ck! Menyusahkan saja sih." maki Polisi itu. Dengan sangat terpaksa dia membalik
Pov Anitta."Tahanan ini benar-benar keterlaluan, dia membunuh Ibunya sendiri saat datang berkunjung menemuinya." ujar petugas gendut sambil melirik kearahku sorotnya memancarkan ketidak percayaan."Ckckck," laki-laki berperawakan tinggi besar itu menatap lekat, menggelengkan kepalanya. Aku semakin menundukan wajah, takut tiba-tiba pukulan kembali menyerangku.Tubuh ini menggigil, luka memar terlihat disekujur tubuh. Rasanya sakit dan menyiksa sekali."Teman satu selnya pun ikut dihajar, aku rasa dia mengalami gangguan jiwa." Mataku mendelik, tak terima dengan kata-kata sipir jelek itu."Bawa dia masuk kembali, tempatkan dia diruangan 355 a. Jangan disatukan dengan yang lain, saya mencuim gelagat mengerikan dari tatapan matanya," ucap komandan Polisi."Siap, Dan!" sahut dua petugas sambil menegakkan badan."Cepat!" tubuh ini diseret paksa. Aku hanya bisa menurut, menyeret kaki mengikutinya.Dug!Rasa nyeuri menerjang lutut dan telapak tangan, saat tubuhku didorong masuk oleh petugas h
"Istri saya sakit apa, Dok?" tanyaku setelah Dokter Murni memeriksa keadaan Diana."Sepertinya hanya terlalu lelah," jawab Dokter Murni sambil tersenyum tipis pada Diana."Jangan terlalu capek dan banyak fikiran. Bebaskan saja, jangan dipendam nanti tambah sakit," sambungnya sambil mengusap tangan Diana."Iya, Dok. Trimakasih," jawab Diana."Saya hanya meresepkan beberapa vitamin, sama obat pusing ya. Untuk berjaga-jaga, khawatir kepala Nyonya Diana ikut pusing juga karna terlalu banyak berfikir," ucap Dokter Murni sambil terkekeh pelan. Diana tersenyum menanggapinya."Saya permisi, jangan lupa diminum vitaminnya." ucapnya sambil mengemasi alat-alat ke Dokteran yang tadi dia keluarkan."Iya, Dok. Trimakasih ya," sahutku lalu mengekorinya jalan keluar kamar."Kamu tidak apa-apa, Mih?" tanyaku sambil mengusap pucuk kepalanya dengan lembut."Tidak, apa. Aku hanya butuh istirahat saja," jawab Diana."Kamu lagi banyak fikiran ya? Mikirin apa sih?" cecarku berpura bodoh. Padahal aku tahu be
"Mati saja kau, Bu. Hidup pun tak berguna, hanya bisa menyusahkan anak-anakmu saja!" bisikku tepat ditelinganya. Wajah Ibu terlihat membiru, dengan lidah menjulur dan suara nafas yang tercekat ditenggorokan.Aku semakin bersemangat, bibir melengkung sempurna saat melihat Ibu menghadapi sarakatulmaut."Mati, kamu Buk. Mati!" desisku dengan suara tertekan."Hei ... mau apa kamu!" suara sumbang mengganggu kesenanganku. Tangan lemah Ibu terus memukul tangan ini, dan meminta pertolongan. Aku semakin kalap saat beberapa orang mulai mendekat, cengkraman tangan dileher Ibu semakin aku tekan.Dia harus lenyap, aku tak ingin hidup menderita sendirian.Tubuh Ibu mulai lemas, tangannya terkuai tidak lagi melakukan perlawanan.Kedua tanganku ditarik paksa, seruan dari suara sumbang terus saja mengusik pendengaranku."Hei, sudah gila kamu ya!" hadrik suara seseorang."Lepas!""Pak, tolong ..."Plakk plakk!!Rasa panas langsung menjalar dipipiku, setelah memastikan Ibu tak lagi bergerak aku baru mel
"Mas ..."Langkah Mas Mahesa terhenti mendengar panggilanku.Mamah menatap jengah, Diana menampilkan wajah datar berpura tak melihat kehadiranku.Sombong sekali, perempuan tua itu. Merasa menang dariku? Tak tahu malu.Mas Mahesa mengangguk kecil pada dua perempuan busuk itu, Mamah menatap khawatir, tapi akhirnya pergi juga bersama Diana."Ada apa?" tanyanya datar, tanpa melihat wajahku. Tangannya sibuk merapihkan dasi yang menjerat dilehernya."Aku ..." mata ini memanas, melihat perubahannya. Mas Mahesa melirik sekilas, menghela nafas panjang."Katakanlah, aku tidak punya banyak waktu. Mamah dan istriku sudah menunggu diluar," ucapnya sambil menatap lurus kearah pintu, dimana berdiri Mamah Hana juga Diana."Aku juga istrimu," sahutku dengan suara parau. Mas Mahesa terkekeh, lalu menatapku tajam."Istriku?" tanyanya dengan tatapan mengejek. "Oh ya ... kau benar. Aku belum mengucap talak untukmu," sambungnya dengan senyum tipis."Mas ..." selaku dengan wajah memelas."Aku minta maaf, su